"Tidak. Kamu mungkin saja benar-benar hamil, tapi itu bukan anak Mas Irawan. Karena sebenarnya Mas Irawan itu mandul!" Marisa menatap sinis perempuan yang baru saja berteriak histeris itu."Apa?" seru ketiga orang yang duduk di depan Marisa. "Ya benar. Papa, Mama, dan kamu tidak salah dengar. Mas Irawan sudah divonis mandul oleh dokter." "Ti-tidak … tidak mungkin," jerit Bu Santi yang terlebih dulu sadar dari kekagetannya. "Tidak mungkin apa, Ma?" tanya Marisa."Tidak mungkin Irawan mandul. Kamu pasti berbohong," tuduh Bu Santi. "Buat apa Marisa bohong, Ma? Kenyataannya memang seperti itu. Awalnya Marisa pun tidak percaya tapi buktinya jelas jadi mau tidak mau ya harus mau percaya," papar Marisa."Buat apa katamu? Ya jelas buat menghalangi Clara. Kamu iri sama Clara, kan? Makanya kamu mengarang cerita Mas Irawan mandul biar Clara tidak bisa minta tanggung jawab kepada keluarganya," sergah Clara. "Iri? Kenapa aku harus iri. Aku bisa saja hamil kalau Mas Irawan tidak mandul," ba
"Saya minta kamu melakukan tes DNA! Saya tidak ingin kamu menipu kedua mertua saya ini!" kata Marisa dengan tegas.Marisa menatap Clara dengan tajam dan membuat perempuan itu salah tingkah. Mata Marisa melihat bagaimana wajah model itu berubah menjadi gugup dan tampak ketakutan. Hal itu membuatnya semakin yakin bahwa Clara memang berniat tidak baik kepada keluarganya. "Ya aku akan jalani tes DNA … nanti kalau anakku sudah lahir," jawab Clara dengan ketus. "Kenapa harus nanti? Kenapa tidak sekarang? Kalau kamu melakukan tes DNA-nya nanti berarti biaya hidup juga akan kamu terima nanti saja." Marisa tersenyum sinis melihat wajah Clara terkejut dan berubah menjadi pucat. "Loh ya nggak bisa gitu. Kan aku hamilnya sekarang. Kebutuhan bayinya Mas Irawan gimana kalau biaya hidupnya baru bisa aku dapat nanti." "Iya kamu nih aneh-aneh aja, Risa. Lagipula kamu ngapain pakai acara ngatur-ngatur segala. Itu kan uang Papa bukan uang kamu yang bakal dikasih ke Clara," sahut Bu Santi sinis. Mari
"Iya betul, Pa. Bisa kok dilakukan sekarang. Marisa sudah konfirmasi ke dokter spesialis kandungan langganan Risa. Kalau Mbak Clara mau, saya bisa temani." "Tidak usah. Aku bisa sendiri," tolak Clara. Dia mendelik kepada Marisa yang dianggapnya terlalu ikut campur. "Bagus kalau begitu. Jadi kapan Mbak Clara mau tes DNA?" "Secepatnya!" "Secepatnya itu kapan? Ingat Mbak, keluarga ini butuh bukti kalau Mbak benar-benar mengandung anak dari Mas Irawan." Clara menatap nyalang Marisa. Tangannya yang mencekram di samping tubuhnya seolah-olah ingin mencakar Marisa. Matanya yang melotot juga seakan-akan ingin menelan Marisa bulat-bulat. Model cantik itu merasa Marisa sudah menghalangi keinginannya. "Ya secepatnya! Nanti aku yang akan hubungi." Clara berkata dengan ketus."Tante Santi nanti Clara hubungi lagi, ya. Sekarang Clara mau pemotretan lagi."Tanpa berpamitan kepada Pak Hartawan dan Marisa. Model cantik berusia sekitar pertengahan dua puluhan itu berderap meninggalkan ruang VVIP. U
"Jadi … benar-benar tidak ada harapan lagi untuk kalian memiliki anak? Vonis mandul itu apakah benar-benar tidak dapat diatasi?" tanya Pak Hartawan dengan nada sedih. Belum sempat Marisa menjawab pertanyaan ayah mertuanya, Bu Santi menyahut, "Tidak mungkin, Pa. Mama tetap tidak percaya kalau anak kita itu mandul. Besok Mama akan cek hasil lab yang Marisa bawa. Kalau perlu Mama akan minta cek ulang!"Marisa hanya tersenyum mendengar ucapan ibu mertuanya yang dikatakan dengan sengit. Dengan tenang Marisa berkata, "Silakan, Ma semoga sudah ada perkembangan. Karena hasil cek lab Mas Irawan bulan lalu juga masih belum menunjukkan ada kemajuan dari terapinya." Melihat Bu Santi tidak menanggapi ucapannya, Marisa kembali berkata, "O ya, Ma, kalau bisa sekalian ajak Clara untuk tes DNA saja. Bukankah lebih cepat ketahuan janinnya anak siapa itu lebih baik lagi?" Bu Santi mendengkus mendengar ucapan Marisa. Meski dia tahu apa yang dikatakan oleh menantunya itu benar, tetapi dia tidak suka di
"Risa, kemarin Mama temani Clara tes DNA. Hasilnya belum keluar. Tapi … feeling Mama tidak enak."Marisa terdiam mendengar cerita Bu Santi di telepon. Setelah berdamai dengan ibu mertuanya beberapa hari lalu, baru sekarang dia menerima telepon Bu Santi. Ada rasa canggung tapi Marisa mencoba menepisnya. "Kenapa tidak enak, Ma? Memangnya ada sesuatu yang dikatakan oleh Clara?" tanya Marisa."Enggak, sih. Justru karena dia gak mau menjawab semua pertanyaan Mama makanya perasaan Mama jadi tidak enak." "Maaf Ma Risa nggak paham maksud Mama." "Ah kamu ini diajak ngomong kok selalu gak nyambung," kata Bu Santi dengan nada kesal. "Maaf, Ma." Meskipun sebenarnya bukan salahnya tetapi Marisa memutuskan meminta maaf agar hubungannya dengan ibu mertuanya itu tetap baik-baik saja. Terdengar suara helaan nafas dari seberang. Marisa menduga Bu Santi pun tengah mencoba mengatur emosinya yang biasanya meledak-ledak. "Ya sudah gak apa-apa." "Mungkin Mama bisa cerita gimana awalnya kok Mama bisa a
"Marisa … Mama sudah tahu hasilnya!"Tanpa mengucapkan salam Bu Santi langsung saja menyampaikan maksudnya. "Hasilnya bagaimana, Ma?""Sepertinya kita harus bahas ini barengan dengan Papa. Tadi Mama izin sebentar ke toilet kalau terlalu lama, Clara bisa curiga." "Ya sudah kalau begitu, Ma. Marisa tunggu nanti sore." Marisa memandangi ponsel yang masih ada di tangannya setelah ibu mertuanya memutus sambungan telepon. Sebenarnya dia sangat ingin segera mengetahui hasilnya. Namun, dia juga menghormati keputusan ibu mertuanya yang ingin menyampaikannya di depan ayah mertua marisa. "Semoga saja janin yang ada dalam kandungan Clara bukan anak Mas Irawan," gumam Marisa. Meskipun Marisa hampir yakin janin itu bukan anak suaminya karena kondisi Irawan, tetapi masih ada kekhawatiran di dalam hatinya. "Tapi seandainya itu anaknya Mas Irawan sikap apa yang harus aku ambil? Akankah aku menerima anak itu? Lantas bagaimana posisi Clara? Itu berarti dia adalah maduku meski belum dinikahi o
"Kok kamu bisa bilang seperti itu! Kalau kamu mengandung anak lelaki lain. Itu artinya kamu berhubungan dengan banyak lelaki bukan hanya dengan Irawan. Jadi kamu bukan korban! Kamu juga pelaku yang melakukan dengan suka rela dan senang hati. Saya kecewa karena ternyata kamu betul-betul perempuan yang tidak punya martabat!" Bu Santi meradang. Matanya menatap Clara nyalang. Wajah Clara memerah mendengar kata-kata Bu Santi. Meski merasa marah, tetapi dia tidak berani membantah ucapan Bu Santi. Sebagai gantinya tubuhnya berbalik dan matanya menatap nyalang Marisa. Tangannya terangkat lalu menuding Marisa. "Kamu yang menyebabkan semua ini terjadi! Kamu harus bertanggung jawab atau kamu akan tahu rasa!"Marisa terkesiap mendapat tuduhan seperti itu dari Clara. "Hei … apa maksud kamu? Kenapa aku harus bertanggung jawab untuk ulahmu sendiri? Harusnya sebagai orang dewasa yang bisa berpikir kamu tahu resikonya pergaulan bebas! Jadi kalau kamu hamil di luar nikah itu salahmu sendiri!" Clara
"Maaf," ucap Dokter Harun kepada perempuan yang menabraknya. Dibesarkan dalam lingkungan agamis dan menjunjung tinggi adab membuat dokter berdarah Timur Tengah itu tetap meminta maaf meski sebenarnya perempuan seksi itulah yang menabraknya.Saat Dokter Harun ditabrak oleh Clara, mata mereka berdua sempat bersirobok. Namun, sang dokter segera mengalihkan pandangannya. Tatapan lekat perempuan itu yang menggoda membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi ketika melihat pakaian perempuan itu yang terbuka. Sang dokter pun mundur dan menundukkan pandangan, meski terdengar suara cemooh dari bibir merah perempuan itu. Setelah perempuan itu berlalu, mata Dokter Harun kembali terarah kepada keluarga pasiennya. Sempat mendengar ancaman dari perempuan tadi membuat Dokter Harun tidak merasa heran melihat wajah-wajah mereka terutama Marisa. Justru dia kagum dengan istri pasiennya itu yang tampak tegar, meski dia tidak bisa menutupi bulu matanya yang bergetar.Maaf … apa saya mengganggu? Atau sebai