Halo semuanya ... terima kasih sudah membaca cerita ini. Mohon dukungannya untuk Marisa, ya., dengan cara memberikan ulasan, vote dan gem. I love you all 🥰🥰🥰
"Papa dan Mama mengenalnya?" Clara menoleh mendengar pertanyaan Marisa. Dia menatap Marisa dengan pandangan meremehkan. Bibirnya menyunggingkan senyum kemenangan. "Tentu saja kami mengenal Clara. Dia adalah menantu pilihan Mama," sahut Bu Santi dengan sengit Marisa terbelalak mendengar jawaban ibu mertuanya. Dia terpaku dan kehilangan kata-kata. "Ma!" tegur Pak Hartawan."Apaan, sih, Pa. Emang benar kan kata-kata Mama. Dari awal Clara itu calon menantu pilihan Mama. Kalau saja waktu itu Papa nggak menyodorkan dia. Terus Papa juga nggak mendesak Irawan untuk menikahinya sudah pasti Clara lah yang akan menjadi istri anak kita." Bu Santi membantah ucapan suaminya sambil melirik Marisa dengan sinis. Tubuh Marisa gemetar mendengar kata-kata ibu mertuanya. Hatinya jadi bertanya-tanya "Apa itu artinya Mas Irawan terpaksa menikahiku? Apa karena dia tidak sungguh-sungguh mencintaiku maka dia mudah sekali berselingkuh?" Tubuh Marisa luruh bagaikan tanpa tulang dan hanya Pak Hartawan y
"Tidak. Kamu mungkin saja benar-benar hamil, tapi itu bukan anak Mas Irawan. Karena sebenarnya Mas Irawan itu mandul!" Marisa menatap sinis perempuan yang baru saja berteriak histeris itu."Apa?" seru ketiga orang yang duduk di depan Marisa. "Ya benar. Papa, Mama, dan kamu tidak salah dengar. Mas Irawan sudah divonis mandul oleh dokter." "Ti-tidak … tidak mungkin," jerit Bu Santi yang terlebih dulu sadar dari kekagetannya. "Tidak mungkin apa, Ma?" tanya Marisa."Tidak mungkin Irawan mandul. Kamu pasti berbohong," tuduh Bu Santi. "Buat apa Marisa bohong, Ma? Kenyataannya memang seperti itu. Awalnya Marisa pun tidak percaya tapi buktinya jelas jadi mau tidak mau ya harus mau percaya," papar Marisa."Buat apa katamu? Ya jelas buat menghalangi Clara. Kamu iri sama Clara, kan? Makanya kamu mengarang cerita Mas Irawan mandul biar Clara tidak bisa minta tanggung jawab kepada keluarganya," sergah Clara. "Iri? Kenapa aku harus iri. Aku bisa saja hamil kalau Mas Irawan tidak mandul," ba
"Saya minta kamu melakukan tes DNA! Saya tidak ingin kamu menipu kedua mertua saya ini!" kata Marisa dengan tegas.Marisa menatap Clara dengan tajam dan membuat perempuan itu salah tingkah. Mata Marisa melihat bagaimana wajah model itu berubah menjadi gugup dan tampak ketakutan. Hal itu membuatnya semakin yakin bahwa Clara memang berniat tidak baik kepada keluarganya. "Ya aku akan jalani tes DNA … nanti kalau anakku sudah lahir," jawab Clara dengan ketus. "Kenapa harus nanti? Kenapa tidak sekarang? Kalau kamu melakukan tes DNA-nya nanti berarti biaya hidup juga akan kamu terima nanti saja." Marisa tersenyum sinis melihat wajah Clara terkejut dan berubah menjadi pucat. "Loh ya nggak bisa gitu. Kan aku hamilnya sekarang. Kebutuhan bayinya Mas Irawan gimana kalau biaya hidupnya baru bisa aku dapat nanti." "Iya kamu nih aneh-aneh aja, Risa. Lagipula kamu ngapain pakai acara ngatur-ngatur segala. Itu kan uang Papa bukan uang kamu yang bakal dikasih ke Clara," sahut Bu Santi sinis. Mari
"Iya betul, Pa. Bisa kok dilakukan sekarang. Marisa sudah konfirmasi ke dokter spesialis kandungan langganan Risa. Kalau Mbak Clara mau, saya bisa temani." "Tidak usah. Aku bisa sendiri," tolak Clara. Dia mendelik kepada Marisa yang dianggapnya terlalu ikut campur. "Bagus kalau begitu. Jadi kapan Mbak Clara mau tes DNA?" "Secepatnya!" "Secepatnya itu kapan? Ingat Mbak, keluarga ini butuh bukti kalau Mbak benar-benar mengandung anak dari Mas Irawan." Clara menatap nyalang Marisa. Tangannya yang mencekram di samping tubuhnya seolah-olah ingin mencakar Marisa. Matanya yang melotot juga seakan-akan ingin menelan Marisa bulat-bulat. Model cantik itu merasa Marisa sudah menghalangi keinginannya. "Ya secepatnya! Nanti aku yang akan hubungi." Clara berkata dengan ketus."Tante Santi nanti Clara hubungi lagi, ya. Sekarang Clara mau pemotretan lagi."Tanpa berpamitan kepada Pak Hartawan dan Marisa. Model cantik berusia sekitar pertengahan dua puluhan itu berderap meninggalkan ruang VVIP. U
"Jadi … benar-benar tidak ada harapan lagi untuk kalian memiliki anak? Vonis mandul itu apakah benar-benar tidak dapat diatasi?" tanya Pak Hartawan dengan nada sedih. Belum sempat Marisa menjawab pertanyaan ayah mertuanya, Bu Santi menyahut, "Tidak mungkin, Pa. Mama tetap tidak percaya kalau anak kita itu mandul. Besok Mama akan cek hasil lab yang Marisa bawa. Kalau perlu Mama akan minta cek ulang!"Marisa hanya tersenyum mendengar ucapan ibu mertuanya yang dikatakan dengan sengit. Dengan tenang Marisa berkata, "Silakan, Ma semoga sudah ada perkembangan. Karena hasil cek lab Mas Irawan bulan lalu juga masih belum menunjukkan ada kemajuan dari terapinya." Melihat Bu Santi tidak menanggapi ucapannya, Marisa kembali berkata, "O ya, Ma, kalau bisa sekalian ajak Clara untuk tes DNA saja. Bukankah lebih cepat ketahuan janinnya anak siapa itu lebih baik lagi?" Bu Santi mendengkus mendengar ucapan Marisa. Meski dia tahu apa yang dikatakan oleh menantunya itu benar, tetapi dia tidak suka di
"Risa, kemarin Mama temani Clara tes DNA. Hasilnya belum keluar. Tapi … feeling Mama tidak enak."Marisa terdiam mendengar cerita Bu Santi di telepon. Setelah berdamai dengan ibu mertuanya beberapa hari lalu, baru sekarang dia menerima telepon Bu Santi. Ada rasa canggung tapi Marisa mencoba menepisnya. "Kenapa tidak enak, Ma? Memangnya ada sesuatu yang dikatakan oleh Clara?" tanya Marisa."Enggak, sih. Justru karena dia gak mau menjawab semua pertanyaan Mama makanya perasaan Mama jadi tidak enak." "Maaf Ma Risa nggak paham maksud Mama." "Ah kamu ini diajak ngomong kok selalu gak nyambung," kata Bu Santi dengan nada kesal. "Maaf, Ma." Meskipun sebenarnya bukan salahnya tetapi Marisa memutuskan meminta maaf agar hubungannya dengan ibu mertuanya itu tetap baik-baik saja. Terdengar suara helaan nafas dari seberang. Marisa menduga Bu Santi pun tengah mencoba mengatur emosinya yang biasanya meledak-ledak. "Ya sudah gak apa-apa." "Mungkin Mama bisa cerita gimana awalnya kok Mama bisa a
"Marisa … Mama sudah tahu hasilnya!"Tanpa mengucapkan salam Bu Santi langsung saja menyampaikan maksudnya. "Hasilnya bagaimana, Ma?""Sepertinya kita harus bahas ini barengan dengan Papa. Tadi Mama izin sebentar ke toilet kalau terlalu lama, Clara bisa curiga." "Ya sudah kalau begitu, Ma. Marisa tunggu nanti sore." Marisa memandangi ponsel yang masih ada di tangannya setelah ibu mertuanya memutus sambungan telepon. Sebenarnya dia sangat ingin segera mengetahui hasilnya. Namun, dia juga menghormati keputusan ibu mertuanya yang ingin menyampaikannya di depan ayah mertua marisa. "Semoga saja janin yang ada dalam kandungan Clara bukan anak Mas Irawan," gumam Marisa. Meskipun Marisa hampir yakin janin itu bukan anak suaminya karena kondisi Irawan, tetapi masih ada kekhawatiran di dalam hatinya. "Tapi seandainya itu anaknya Mas Irawan sikap apa yang harus aku ambil? Akankah aku menerima anak itu? Lantas bagaimana posisi Clara? Itu berarti dia adalah maduku meski belum dinikahi o
"Kok kamu bisa bilang seperti itu! Kalau kamu mengandung anak lelaki lain. Itu artinya kamu berhubungan dengan banyak lelaki bukan hanya dengan Irawan. Jadi kamu bukan korban! Kamu juga pelaku yang melakukan dengan suka rela dan senang hati. Saya kecewa karena ternyata kamu betul-betul perempuan yang tidak punya martabat!" Bu Santi meradang. Matanya menatap Clara nyalang. Wajah Clara memerah mendengar kata-kata Bu Santi. Meski merasa marah, tetapi dia tidak berani membantah ucapan Bu Santi. Sebagai gantinya tubuhnya berbalik dan matanya menatap nyalang Marisa. Tangannya terangkat lalu menuding Marisa. "Kamu yang menyebabkan semua ini terjadi! Kamu harus bertanggung jawab atau kamu akan tahu rasa!"Marisa terkesiap mendapat tuduhan seperti itu dari Clara. "Hei … apa maksud kamu? Kenapa aku harus bertanggung jawab untuk ulahmu sendiri? Harusnya sebagai orang dewasa yang bisa berpikir kamu tahu resikonya pergaulan bebas! Jadi kalau kamu hamil di luar nikah itu salahmu sendiri!" Clara
"Mas Rian … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Bangun, Mas! Aku membutuhkanmu!" ratap Marisa. Namun, lelaki yang dipeluk dan ditangisinya masih tetap mengatupkan matanya. Rapat. "Sudah, Mbak jangan nangis terus. Lebih baik kita doakan Mas Rian agar diberikan kesehatan." Marisa mengangguk mendengar saran Dokter Harun. Memang tangis tidak akan membuat Rian sembuh. "Alhamdulillah Allah masih melindunginya. Tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Geser satu centi aja akan sangat berbahaya. Namun, mengingat dia ditusuk tiga kali dan mengeluarkan banyak darah, kondisinya belum terbilang stabil. Perlu banyak kantong darah untuk transfusi. Sementara stok golongan darah O di PMI menipis."Marisa mengusap wajah lega. "Ambil darah saya saja, Dok. Golongan darah saya O." "Jangan. Kamu butuh istirahat, Mbak. Darah saya saja, Dok. Saya juga bergolongan darah O," ucap Dokter Harun."Baiklah … nanti kita periksa dulu untuk melihat kecocokannya."Marisa menelepon ibunya untuk mengabarkan di
"Ada apa dengan Marisa?" sambar Rian.Dokter Harun menatap Bu Rahmi dengan prihatin. "Sabar, ya, Bu. Mbak Marisa mengalami penculikan di dekat sekolah. Kasusnya sedang dalam penyelidikan polisi." "Apa diculik?" teriak Rian."Tidak! Jangan polisi. Nanti Marisa tidak selamat!" seru Bu Rahmi yang kemudian menangis. "Kenapa tidak selamat? Ibu tahu kalau Mbak Marisa diculik?" desak Dokter Harun. "Iya." Bu Rahmi mengusap wajahnya dan terduduk lemas di sofa. "Itu sebabnya tadi Bulek telepon kamu." Tatapan Bu Rahmi terarah ke Rian."Sebenarnya Bulek berharap itu cuma bercanda, tapi kabar yang dibawa Dokter Harun membuat Bulek tahu kalau orang itu sungguh-sungguh menculik Marisa." Air mata Bu Rahmi pun menderas di kedua pipinya. "Orang itu? Siapa?" "Siapa orang itu, Bu?"Dokter Harun dan Rian bertanya bersamaan. "Tadi ada telepon. Ngaku temannya Marisa ke Bik Siti. Setelah ibu angkat dia bilang sudah menculik Marisa dan melarang untuk melapor ke polisi kalau mau anak ibu selamat. Tapi ta
"Apa-apaan ini? Siapa mereka?" tanya Marisa ketika melihat tiga orang lelaki turun dari mobil yang menghadangnya.Salah satu lelaki yang turun dari mobil penghadang itu kemudian menggedor jendela di samping Marisa. "Buka pintunya! Cepat!" Marisa terlonjak kaget dan mundur dari jendela. Untuk beberapa saat dia hanya diam dan memandang ketiga lelaki berwajah menyeramkan itu. Marisa tidak mau membuka pintunya. Berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci membuatnya sedikit merasa aman. Sayangnya rasa aman itu hanya bertahan sebentar, karena tak lama kemudian kaca jendela mobilnya pecah berhamburan. Salah satu lelaki menyeramkan itu memegang semacam palu yang besar dan berhasil memecah kaca. Belum hilang rasa kaget Marisa, lelaki yang sama berhasil membuka pintu mobilnya dari dalam dan menarik Marisa keluar. Kemudian dia diseret memasuki mobil milik ketiga lelaki itu. Meski Marisa meronta dan berteriak, tetapi itu tidak ada artinya. Karena tenaga Marisa jelas kalah dibanding ketig
"Iya betul, Bu. Dan kedatangan saya sekarang ini untuk meminta restu dari Ibu. Saya ingin melamar putri Ibu yang bernama Marisa." Bu Rahmi terpana melihat keterusterangan Dokter Harun. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini akan mengatakan hal tersebut di pertemuan pertama. "Alhamdulillah. Saya, sih, terserah kepada Marisa, saja, Nak Dokter. Tapi … kenapa terburu-buru? Apakah Nak Dokter nggak mau kenalan dulu dengan Marisa? Atau jangan-jangan kalian sudah kenal lama?" "Tidak, Bu. Saya baru bertemu dengan Mbak Marisa ketika saya merawat mantan suaminya. Saat itu tidak ada perasaan apa pun kecuali simpati seorang dokter kepada keluarga pasiennya." Bu Rahmi mendengarkan penjelasan Dokter Harun. "Lantas kapan mulai berubah?" Marisa mendelik mendengar pertanyaan ibunya. Dia menyenggol tubuh ibunya dengan siku untuk memintanya diam. Namun, Bu Rahmi tidak mempedulikannya. Sebenarnya Marisa juga penasaran seperti ibunya, tetapi dia terlalu malu untuk bertanya. Jadi, ketika Bu Rahm
Marisa berjalan mendekat. Mungkin karena mendengar suara langkah Marisa, lelaki itu mengangkat wajahnya dan Marisa pun berseru, "Kamu?"Lelaki itu kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri dengan sikap sopan ala abdi kerajaan yang menunggu sang putri datang. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Mata hitam yang dinaungi sepasang alis yang melengkung sempurna itu menatap Marisa lekat. Namun, ketika tatapan dua insan berlawanan jenis itu bertemu, keduanya sama-sama segera mengalihkan tatapannya. "Maaf kalau saya datang tanpa kabar lebih dulu, Bu Marisa," ucap lelaki itu. "Iya. Tidak apa-apa. Silakan duduk, Dok." Marisa pun duduk di seberang sofa yang ditempati Dokter Harun. "Ada yang bisa saya bantu, Dok? Ada apa dengan Amanda?" "Kedatangan saya kemari nggak ada hubungannya dengan Amanda, Bu."Marisa mengangkat wajahnya dan menatap mata Dokter Harun. Ada tatapan bertanya di mata Marisa.Melihat pandangan bertanya di mata hazel Marisa, tiba-tiba saja Dokter Harun menjadi gugup. "B
Tiba-tiba Marisa berhenti melangkah. Raut wajahnya tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu. Dia kemudian berbisik, "Kenapa aku merasa senang mengetahui fakta terbaru tentang Suster Ratri? Apakah ini artinya aku mulai membuka hati untuk Dokter Harun?"Untuk beberapa saat Marisa berdiri termangu, lalu dia menghela napas dan kembali berbisik, "Aku nggak boleh linglung di sini. Lebih baik sekarang aku segera pulang. Tentang bagaimana perasaanku sebenarnya bisa aku pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah."Lantas, Marisa pun memutar tubuh dan kembali ke halaman sekolah. Dia segera memasuki mobil kesayangannya dan memacunya menuju rumah. "Loh … katanya mau ke toko buku. Kok sudah pulang? Nggak jadi?" tegur Bu Rahmi ketika melihat Marisa turun dari mobil. "Enggak, Bu," jawab Marisa sambil melangkah menuju teras. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Marisa menyelonjorkan kaki dan memandang ibunya yang tengah merapikan rumpun mawar.Tidak adanya penjelasan atas
Mata Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "Sudah sedekat itukah hubungan mereka hingga Suster Ratri membawakan bekal untuk makan siang Dokter Harun?" batinnya."Suster Ratri itu seperti seorang ibu sekaligus kakak buat saya. Cerewetnya sama," lanjut Dokter Harun sambil menatap Marisa."Seperti ibu? Cerewet?" Marisa mengulangi kata-kata Dokter Harun dengan nada kebingungan. "Iya. Kalau Suster Ratri lagi ngomelin saya bisa dua puluh ribu kata per jam dia lontarkan." Dokter Harun terkekeh sambil matanya menerawang. Dia mengenang saat-saat Suster Ratri mengomelinya. "Suster Ratri berani ngomelin Dokter?" Marisa bertanya dengan heran. Dia semakin kebingungan mendengar fakta terbaru tentang sosok suster luar biasa yang menjadi kesayangan keluarga Dokter Harun itu."Loh kenapa nggak berani? Kan dia juga sudah saya anggap seperti kakak tertua," jawab Dokter Harun. Marisa melongo mendengar jawaban Dokter Harun yang semakin membuatnya bingung. Benaknya sibuk merangkai semua fa
"Bu Marisa … apa kabar? Lama kita tidak ketemu. Kapan kita bisa mengobrol lagi seperti beberapa bulan lalu, ya, Bu? Saya kangen kepada Ibu."Marisa mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang siswi mendekatinya yang tengah asyik membaca di perpustakaan sekolah. "Amanda? Alhamdulillah kabar ibu baik dan sehat. Semoga Amanda juga sehat. Iya, kita lama nggak ketemu, ya. Soalnya tahun ajaran baru ini ibu nggak mengajar di kelasmu lagi. Ayo sini duduk di sebelah Ibu, mumpung lagi jam istirahat." Amanda menurut dan menarik kursi kosong di sebelah Marisa. Setelah duduk, dia lalu berkata,"Alhamdulillah … syukurlah kalau ibu baik-baik saja. Manda juga Alhamdulillah baik, Bu. Cuma kangen aja karena jarang ngelihat Ibu." "Iya, loh. Ibu juga baru sadar kalau sudah lama nggak lihat kamu nunggu jemputan di bangku halaman sekolah." "Iya, Bu. Sekarang ini Manda nggak perlu nunggu jemputan lagi."Marisa terkesiap. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini ada hubungannya dengan kemarahan Dokter
"Iya, Mas. Aku baru saja memberi tahu dia kalau aku menolak lamarannya." "O pantas saja mukanya ditekuk seperti itu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?""Rencana? Rencana apa maksudmu, Mas?" tanya Marisa dengan wajah kebingungan."Ya rencana masa depan kamu. Misalnya … apa kamu akan kembali menutup diri atau mau membuka hati lagi? Apa kamu mau terima perjodohan yang kemarin diatur ibuku? Atau bagaimana? Kamu pasti sudah memikirkannya, kan?" selidik Rian."Sepertinya aku ngalir aja, Mas. Aku ikut takdir Allah. Maksudku … aku nggak siapin waktu secara khusus untuk cari pasangan hidup, tapi kalau Allah takdirkan aku ketemu seseorang, ya, aku terima." "Meskipun itu aku?""Maksudnya gimana, Mas?""Kalau Allah takdirkan aku adalah jodohmu gimana?" Rian tidak menjawab pertanyaan Marisa, tetapi justru bertanya balik. Tatapan mata Rian menghujam tepat ke bola mata Marisa. Dia menatap penuh harap kepada perempuan yang sudah dikenalnya sejak kecil itu."Kalau memang Allah takdirkan, ya,