l"Saya yakin. Surat yang ditunjukkan suami Ibu waktu itu bukan surat ini," kata Dokter Anita yang membuat Marisa melongo. Perempuan berusia 29 tahun itu terdiam mendengar ucapan Dokter Anita. Tega-teganya Mas Irawan membahas hal sepenting ini tanpa sepengetahuannya, batin Marisa. Marisa sakit hati mengetahui suaminya menyembunyikan sebuah rahasia besar. Rahasia yang bisa mempengaruhi keberadaannya sebagai seorang istri. Andai suaminya itu mau terbuka, maka dia tidak akan mendapatkan nyinyiran dari ibu mertuanya. "Bu Marisa? Ada apa?" tanya Dokter Anita dengan nada heran. "Eh tidak, Dok. Hanya sedang berpikir kira-kira di mana surat yang dokter maksud itu." "Apa Bu Marisa benar-benar tidak tahu tentang kondisi kesehatan Pak Irawan?" Dokter Anita kembali bertanya. Mungkin bagi orang lain akan terasa aneh ketika ada istri tidak mengetahui kondisi suaminya. "Kalau kondisi kesehatan suami saya yang lain, saya tahu. Akan tetapi untuk yang satu ini saya benar-benar tidak tahu, Dok.
"Kamu itu dari mana saja, sih? Sudah tahu suami sakit kok malah keluyuran. Mending kalau kelayapannya itu bisa bikin kamu nggak mandul lagi!" hardik sebuah suara yang sangat Marisa kenal."Ma!" tegur suara lain yang juga dikenal Marisa.Marisa terpaku di depan pintu masuk yang masih dibiarkannya terbuka. Tubuhnya kaku dengan tangan kanan yang terkepal erat. Sementara tangan kirinya memegang erat tali travel bag yang dibawanya. Matanya nyalang menatap ibu mertua yang baru saja menghardiknya. "Kenapa kamu menatap Mama seperti itu? Kamu marah dibilang mandul?" tanya Bu Santi dengan sinis? "Ma!" seru Pak Hartawan kembali. Mata ayah mertua Marisa itu menatap istrinya dengan tajam. Dia tampak tidak suka dengan perkataan yang baru saja dilontarkan Bu Santi. "Sudah berapa kali Papa bilang. Jangan buat keributan! Kenapa kamu selalu mengulanginya, Ma?" tegur Pak Hartawan kepada Bu Santi. Namun, Bu Santi mengabaikan teguran suaminya itu. "Yang mau bikin keributan siapa, sih, Pa? Mama kan c
"Bangun, Mas! Katakan apa alasanmu menyembunyikan kelemahan kamu? Apa alasanmu menjadikan aku tameng dan membiarkan aku terus dihina oleh mama kamu? Jelaskan, Mas!" Marisa terus mengguncang tubuh suaminya. Dia lupa kondisi Irawan masih rentan dan bisa kembali drop. Apa yang ada dalam pikiran Marisa hanya satu. Dia ingin tahu alasan Irawan melakukan perbuatan yang sangat menyakiti hatinya. Marisa benar-benar hancur, orang yang selama ini dia sayangi ternyata tega membuatnya menderita. Orang yang dia kira bisa melindunginya justru membuatnya jadi bahan hinaan orang lain. "Kita memang menikah karena perjodohan, tapi aku mencintaimu dengan tulus, Mas. Aku menyayangimu sepenuh hatiku. Tak pernah kusangka ini balasan mu kepadaku. Ternyata cintaku selama lima tahun ini bertepuk sebelah tangan." Marisa menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya. Kepalanya tertelungkup di samping tubuh Irawan yang terbaring di kasur. "Selama beberapa hari ini aku tidak enak makan dan tidak bisa tidur memiki
"Mencari ini ya, Bu?" tanya sebuah suara bariton yang dikenalnya. Marisa menoleh ke kanan dan melihat Dokter Harun mengacungkan selembar kertas. Dia terkesiap dan bergumam, "jangan-jangan itu yang kucari." "Bisa saya lihat, Dok?" Marisa mendekati Dokter Harun dan menerima selembar kertas yang tadi diacungkan dokter itu. Melihat kertas yang berada di telapak tangannya, tanpa membukanya pun Marisa sudah yakin kalau kertas itu miliknya. Posisi kertas yang tanpa amplop dan tidak terlipat rapi karena semalam tangan Marisa sempat meremasnya membuat dia menduga Dokter Harun sudah membacanya. Jadi, dengan tertunduk dan pipi memanas menahan malu Marisa berkata singkat, "Terima kasih, Dok." "Sama-sama, Bu. O ya ada tambahan vitamin jantung untuk Pak Irawan. Saya berikan resepnya hari ini, tapi vitamin yang lama bisa dihabiskan lebih dulu." "Baik, Dok. Terima kasih banyak. Terima kasih juga untuk Suster," ucap Marisa sambil mengangguk kepada Dokter Harun dan kedua perawat yang mendampinginy
"Kalau saja kamu tidak mandul! Seandainya saja kamu secepatnya menuruti permintaan Mama. Sekarang ini Irawan pasti sudah punya anak!" Bu Santi berkata dengan nada menyalahkan Marisa. "Kok Mama bisa memastikan? Punya anak itu takdir, Ma. Kita ini manusia … tidak bisa menentukan takdir," tegur Pak Hartawan. "Setidaknya kan ada usaha. Gak diam saja terima nasib kalau belum punya anak setelah nikah lima tahun," sindir Bu Santi."Maaf, Ma. Saya nggak diam saja. Saya juga berusaha sekuat tenaga. Asal Mama tahu, saya juga ikut program hamil di klinik Dokter Anita. Beliau dokter kandungan terbaik untuk program ini!" Marisa akhirnya memilih membela dirinya. Dia sudah terlalu lelah untuk menerima semua sindiran dan cercaan dari ibu mertuanya itu."Kalau begitu kenapa belum ada hasilnya? Berarti kamu memang beneran mandul, "tuduh Bu Santi, yang membuat Marisa menggertakkan giginya. "Kenapa? Mama betul, kan?" desak Bu Santi."Ada hasil atau tidak itu namanya takdir, Ma. Lagipula Marisa nggak ma
"Marisa … kamu harus ikut program bayi tabung!" seru Bu Santi, yang membuat Marisa terperangah. "Kok kamu diam saja! Sini … mama mau bicara." Bu Santi melambaikan tangan dan memerintahkan Marisa mendekat. Marisa pun berdiri dan melangkah dengan sedikit ragu. "Aduh kamu tuh … jalan aja dah kayak siput. Sini cepetan duduk kursi itu." Bu Santi menunjuk salah satu sofa tunggal di sebelahnya. Marisa mempercepat langkahnya. Dia tidak mau Bu Santi punya alasan untuk memarahinya kembali. Sesampainya di sofa yang ditunjuk oleh ibu mertuanya, Marisa segera menghempaskan tubuhnya. "Mau bicara apa, Ma?" tanya Marisa "Solusi agar kamu bisa segera punya anak. Mama dan Papa dah kelamaan nungguin. Kami ini sudah tua dan pengen cepat bisa main dengan cucu. Makanya kamu jangan banyak alasan. Kamu harus setuju usul Mama," desak Bu Santi. "Marisa bukan mau cari alasan, Ma. Kalau memang saran Mama itu bisa jadi solusi ya pasti saya saya setuju. Tapi kan Mas Irawan lagi koma, Ma. Gimana caranya kami
"Lantas tentang apa? Kamu mengkhawatirkan tingkat keberhasilan program? Kamu takut program ini tidak berhasil? Kenapa? Apa karena kamu tahu kalau dirimu mandul?" Bu Santi menatap Marisa dengan pandangan curiga.Marisa terkesiap mendengar kata-kata Bu Santi. "Lagi-lagi dia menuduhku mandul. Tidakkah dia berpikir bisa saja anak kesayangannya yang mandul," batin Marisa. Perempuan yang belum genap berumur tiga puluh tahun itu menggeleng dengan tegas dan berkata, "Tidak, Ma. Saya tidak mandul! Bukannya saya sudah pernah bilang kalau saya tidak mandul. Saya sehat dan siap untuk hamil!" "Lalu kenapa kamu masih perlu waktu untuk berpikir? Kalau memang tidak ada yang kamu khawatirkan. Kalau kamu siap hamil seharusnya kamu cepat mengambil keputusan bukan malah menundanya. Permintaanmu untuk berpikir dulu membuat Mama curiga." Bu Santi menelengkan kepalanya ke kanan dan menatap Marisa dengan tajam."Maaf, Ma, saya memang perlu waktu untuk berpikir tapi bukan karena saya mandul. Untuk alasan
"Loh … kenapa dia bisa ada di sini? Darimana dia tahu tempat ini?" gumam Marisa. Kaki Marisa berhenti melangkah sejenak ketika melihat seseorang duduk di kursi di depan ruang VVIP. Merasa penasaran, dia kemudian mempercepat langkahnya menghampiri sosok itu."Kamu? Sedang apa di sini?" tegur Marisa sesampainya dia di depan orang itu. Marisa menatap dari atas sampai ke bawah sosok yang sangat dikenalnya itu. Tubuh tinggi kurus dengan rambut panjang yang diikat. Cambang menutupi dagunya menandakan dia semakin tidak terurus akhir-akhir ini."Kamu sudah datang, Risa? Tadi kata yang jaga suamimu kamu sudah kembali mengajar?" Marisa mengabaikan pertanyaan orang itu dan kembali bertanya, "Kamu kok bisa tahu kalau Mas Irawan dirawat di sini?""Jangan sinis gitu dong, Risa. Biasanya kamu manggil aku dengan lebih hormat … Mas Sandhy bukan kamu." Marisa terkesiap. Dia baru menyadari kesalahannya yang telah berbuat kasar kepada kakak kelasnya itu. Padahal Mas Sandhy tidak bersalah. Lelaki itu j