"Bangun, Mas! Katakan apa alasanmu menyembunyikan kelemahan kamu? Apa alasanmu menjadikan aku tameng dan membiarkan aku terus dihina oleh mama kamu? Jelaskan, Mas!" Marisa terus mengguncang tubuh suaminya. Dia lupa kondisi Irawan masih rentan dan bisa kembali drop. Apa yang ada dalam pikiran Marisa hanya satu. Dia ingin tahu alasan Irawan melakukan perbuatan yang sangat menyakiti hatinya. Marisa benar-benar hancur, orang yang selama ini dia sayangi ternyata tega membuatnya menderita. Orang yang dia kira bisa melindunginya justru membuatnya jadi bahan hinaan orang lain. "Kita memang menikah karena perjodohan, tapi aku mencintaimu dengan tulus, Mas. Aku menyayangimu sepenuh hatiku. Tak pernah kusangka ini balasan mu kepadaku. Ternyata cintaku selama lima tahun ini bertepuk sebelah tangan." Marisa menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya. Kepalanya tertelungkup di samping tubuh Irawan yang terbaring di kasur. "Selama beberapa hari ini aku tidak enak makan dan tidak bisa tidur memiki
"Mencari ini ya, Bu?" tanya sebuah suara bariton yang dikenalnya. Marisa menoleh ke kanan dan melihat Dokter Harun mengacungkan selembar kertas. Dia terkesiap dan bergumam, "jangan-jangan itu yang kucari." "Bisa saya lihat, Dok?" Marisa mendekati Dokter Harun dan menerima selembar kertas yang tadi diacungkan dokter itu. Melihat kertas yang berada di telapak tangannya, tanpa membukanya pun Marisa sudah yakin kalau kertas itu miliknya. Posisi kertas yang tanpa amplop dan tidak terlipat rapi karena semalam tangan Marisa sempat meremasnya membuat dia menduga Dokter Harun sudah membacanya. Jadi, dengan tertunduk dan pipi memanas menahan malu Marisa berkata singkat, "Terima kasih, Dok." "Sama-sama, Bu. O ya ada tambahan vitamin jantung untuk Pak Irawan. Saya berikan resepnya hari ini, tapi vitamin yang lama bisa dihabiskan lebih dulu." "Baik, Dok. Terima kasih banyak. Terima kasih juga untuk Suster," ucap Marisa sambil mengangguk kepada Dokter Harun dan kedua perawat yang mendampinginy
"Kalau saja kamu tidak mandul! Seandainya saja kamu secepatnya menuruti permintaan Mama. Sekarang ini Irawan pasti sudah punya anak!" Bu Santi berkata dengan nada menyalahkan Marisa. "Kok Mama bisa memastikan? Punya anak itu takdir, Ma. Kita ini manusia … tidak bisa menentukan takdir," tegur Pak Hartawan. "Setidaknya kan ada usaha. Gak diam saja terima nasib kalau belum punya anak setelah nikah lima tahun," sindir Bu Santi."Maaf, Ma. Saya nggak diam saja. Saya juga berusaha sekuat tenaga. Asal Mama tahu, saya juga ikut program hamil di klinik Dokter Anita. Beliau dokter kandungan terbaik untuk program ini!" Marisa akhirnya memilih membela dirinya. Dia sudah terlalu lelah untuk menerima semua sindiran dan cercaan dari ibu mertuanya itu."Kalau begitu kenapa belum ada hasilnya? Berarti kamu memang beneran mandul, "tuduh Bu Santi, yang membuat Marisa menggertakkan giginya. "Kenapa? Mama betul, kan?" desak Bu Santi."Ada hasil atau tidak itu namanya takdir, Ma. Lagipula Marisa nggak ma
"Marisa … kamu harus ikut program bayi tabung!" seru Bu Santi, yang membuat Marisa terperangah. "Kok kamu diam saja! Sini … mama mau bicara." Bu Santi melambaikan tangan dan memerintahkan Marisa mendekat. Marisa pun berdiri dan melangkah dengan sedikit ragu. "Aduh kamu tuh … jalan aja dah kayak siput. Sini cepetan duduk kursi itu." Bu Santi menunjuk salah satu sofa tunggal di sebelahnya. Marisa mempercepat langkahnya. Dia tidak mau Bu Santi punya alasan untuk memarahinya kembali. Sesampainya di sofa yang ditunjuk oleh ibu mertuanya, Marisa segera menghempaskan tubuhnya. "Mau bicara apa, Ma?" tanya Marisa "Solusi agar kamu bisa segera punya anak. Mama dan Papa dah kelamaan nungguin. Kami ini sudah tua dan pengen cepat bisa main dengan cucu. Makanya kamu jangan banyak alasan. Kamu harus setuju usul Mama," desak Bu Santi. "Marisa bukan mau cari alasan, Ma. Kalau memang saran Mama itu bisa jadi solusi ya pasti saya saya setuju. Tapi kan Mas Irawan lagi koma, Ma. Gimana caranya kami
"Lantas tentang apa? Kamu mengkhawatirkan tingkat keberhasilan program? Kamu takut program ini tidak berhasil? Kenapa? Apa karena kamu tahu kalau dirimu mandul?" Bu Santi menatap Marisa dengan pandangan curiga.Marisa terkesiap mendengar kata-kata Bu Santi. "Lagi-lagi dia menuduhku mandul. Tidakkah dia berpikir bisa saja anak kesayangannya yang mandul," batin Marisa. Perempuan yang belum genap berumur tiga puluh tahun itu menggeleng dengan tegas dan berkata, "Tidak, Ma. Saya tidak mandul! Bukannya saya sudah pernah bilang kalau saya tidak mandul. Saya sehat dan siap untuk hamil!" "Lalu kenapa kamu masih perlu waktu untuk berpikir? Kalau memang tidak ada yang kamu khawatirkan. Kalau kamu siap hamil seharusnya kamu cepat mengambil keputusan bukan malah menundanya. Permintaanmu untuk berpikir dulu membuat Mama curiga." Bu Santi menelengkan kepalanya ke kanan dan menatap Marisa dengan tajam."Maaf, Ma, saya memang perlu waktu untuk berpikir tapi bukan karena saya mandul. Untuk alasan
"Loh … kenapa dia bisa ada di sini? Darimana dia tahu tempat ini?" gumam Marisa. Kaki Marisa berhenti melangkah sejenak ketika melihat seseorang duduk di kursi di depan ruang VVIP. Merasa penasaran, dia kemudian mempercepat langkahnya menghampiri sosok itu."Kamu? Sedang apa di sini?" tegur Marisa sesampainya dia di depan orang itu. Marisa menatap dari atas sampai ke bawah sosok yang sangat dikenalnya itu. Tubuh tinggi kurus dengan rambut panjang yang diikat. Cambang menutupi dagunya menandakan dia semakin tidak terurus akhir-akhir ini."Kamu sudah datang, Risa? Tadi kata yang jaga suamimu kamu sudah kembali mengajar?" Marisa mengabaikan pertanyaan orang itu dan kembali bertanya, "Kamu kok bisa tahu kalau Mas Irawan dirawat di sini?""Jangan sinis gitu dong, Risa. Biasanya kamu manggil aku dengan lebih hormat … Mas Sandhy bukan kamu." Marisa terkesiap. Dia baru menyadari kesalahannya yang telah berbuat kasar kepada kakak kelasnya itu. Padahal Mas Sandhy tidak bersalah. Lelaki itu j
"Ooo jadi orang ini alasanmu menolak usul Mama? Pura-pura minta waktu berpikir tapi ternyata berduaan dengan lelaki lain?" Marisa menengok ke balik bahunya dan melihat ibu mertuanya sudah berkacak pinggang. "Ma! Bukan begitu, Ma. Pasti Mama salah paham." Marisa berdiri dan berusaha menjelaskan. Namun, Bu Santi sudah terlanjur emosi dan tidak peduli dengan usaha Marisa untuk menjelaskan duduk perkaranya.Kepala Bu Santi kemudian menoleh ke kanan dan menatap Sandhy dengan tajam."Kamu? Bukankah kamu yang pernah kami temui di rumah sakit di Mojokerto waktu itu?"Sandhy berdiri dan menjawab dengan sopan, "Iya, betul, Bu." Bu Santi mendengkus, "Huh! Sudah aku duga. Ngaku-ngaku istrimu selingkuh dengan anakku, ternyata justru kamu yang selingkuh dengan menantuku." "Ma, kami tidak selingkuh!" seru Marisa. Wajahnya memerah sebagian karena merasa marah mendengar tuduhan ibu mertuanya. Sebagian lagi karena merasa malu melihat para pengunjung kantin dan pegawai kantin mulai memperhatikan
"Nah, akhirnya dia datang juga. Ditunggu dari tadi akhirnya muncul juga." Baru saja membuka pintu ruangan VVIP, Marisa sudah disambut oleh nyinyiran Bu Santi. "Apa, sih, Ma! Kita kan juga baru saja sampai bukan dari tadi!" tegur Pak Hartawan. Wajah cantik Bu Santi seketika berubah masam mendapat teguran seperti itu dari suaminya. Bibirnya mengerucut dan mukanya cemberut karena kesempatannya menyindir sang menantu menjadi gagal. Untuk menghilangkan rasa kesalnya Bu Santi mendesak Marisa dengan nada tinggi. "Sekarang jelaskan kepada kami tentang pertemuan kamu tadi. Juga beritahu kami keputusanmu sekarang juga! Jangan menundanya lagi!" "Bukannya tadi sudah dijelaskan oleh Mas Sandhy ya, Ma? Apalagi yang ingin Mama ketahui?" jawab Marisa dengan tenang. "Itu bukan penjelasan. Itu pembelaan diri," bantah Bu Santi yang membuat Pak Hartawan geleng-geleng. "Kamu jelaskan saja dari awal, Risa. Kalau tidak, kamu akan terus dikejar dan dituduh oleh mama kamu ini," pinta Pak Hartawan.Maris