Kalau kalian cinta Marisa, yuk dukung Marisa dg Gem ya. Cuss vote sebanyak-banyaknya biar authornya semangat 🤭💐
"Marisa … kamu harus ikut program bayi tabung!" seru Bu Santi, yang membuat Marisa terperangah. "Kok kamu diam saja! Sini … mama mau bicara." Bu Santi melambaikan tangan dan memerintahkan Marisa mendekat. Marisa pun berdiri dan melangkah dengan sedikit ragu. "Aduh kamu tuh … jalan aja dah kayak siput. Sini cepetan duduk kursi itu." Bu Santi menunjuk salah satu sofa tunggal di sebelahnya. Marisa mempercepat langkahnya. Dia tidak mau Bu Santi punya alasan untuk memarahinya kembali. Sesampainya di sofa yang ditunjuk oleh ibu mertuanya, Marisa segera menghempaskan tubuhnya. "Mau bicara apa, Ma?" tanya Marisa "Solusi agar kamu bisa segera punya anak. Mama dan Papa dah kelamaan nungguin. Kami ini sudah tua dan pengen cepat bisa main dengan cucu. Makanya kamu jangan banyak alasan. Kamu harus setuju usul Mama," desak Bu Santi. "Marisa bukan mau cari alasan, Ma. Kalau memang saran Mama itu bisa jadi solusi ya pasti saya saya setuju. Tapi kan Mas Irawan lagi koma, Ma. Gimana caranya kami
"Lantas tentang apa? Kamu mengkhawatirkan tingkat keberhasilan program? Kamu takut program ini tidak berhasil? Kenapa? Apa karena kamu tahu kalau dirimu mandul?" Bu Santi menatap Marisa dengan pandangan curiga.Marisa terkesiap mendengar kata-kata Bu Santi. "Lagi-lagi dia menuduhku mandul. Tidakkah dia berpikir bisa saja anak kesayangannya yang mandul," batin Marisa. Perempuan yang belum genap berumur tiga puluh tahun itu menggeleng dengan tegas dan berkata, "Tidak, Ma. Saya tidak mandul! Bukannya saya sudah pernah bilang kalau saya tidak mandul. Saya sehat dan siap untuk hamil!" "Lalu kenapa kamu masih perlu waktu untuk berpikir? Kalau memang tidak ada yang kamu khawatirkan. Kalau kamu siap hamil seharusnya kamu cepat mengambil keputusan bukan malah menundanya. Permintaanmu untuk berpikir dulu membuat Mama curiga." Bu Santi menelengkan kepalanya ke kanan dan menatap Marisa dengan tajam."Maaf, Ma, saya memang perlu waktu untuk berpikir tapi bukan karena saya mandul. Untuk alasan
"Loh … kenapa dia bisa ada di sini? Darimana dia tahu tempat ini?" gumam Marisa. Kaki Marisa berhenti melangkah sejenak ketika melihat seseorang duduk di kursi di depan ruang VVIP. Merasa penasaran, dia kemudian mempercepat langkahnya menghampiri sosok itu."Kamu? Sedang apa di sini?" tegur Marisa sesampainya dia di depan orang itu. Marisa menatap dari atas sampai ke bawah sosok yang sangat dikenalnya itu. Tubuh tinggi kurus dengan rambut panjang yang diikat. Cambang menutupi dagunya menandakan dia semakin tidak terurus akhir-akhir ini."Kamu sudah datang, Risa? Tadi kata yang jaga suamimu kamu sudah kembali mengajar?" Marisa mengabaikan pertanyaan orang itu dan kembali bertanya, "Kamu kok bisa tahu kalau Mas Irawan dirawat di sini?""Jangan sinis gitu dong, Risa. Biasanya kamu manggil aku dengan lebih hormat … Mas Sandhy bukan kamu." Marisa terkesiap. Dia baru menyadari kesalahannya yang telah berbuat kasar kepada kakak kelasnya itu. Padahal Mas Sandhy tidak bersalah. Lelaki itu j
"Ooo jadi orang ini alasanmu menolak usul Mama? Pura-pura minta waktu berpikir tapi ternyata berduaan dengan lelaki lain?" Marisa menengok ke balik bahunya dan melihat ibu mertuanya sudah berkacak pinggang. "Ma! Bukan begitu, Ma. Pasti Mama salah paham." Marisa berdiri dan berusaha menjelaskan. Namun, Bu Santi sudah terlanjur emosi dan tidak peduli dengan usaha Marisa untuk menjelaskan duduk perkaranya.Kepala Bu Santi kemudian menoleh ke kanan dan menatap Sandhy dengan tajam."Kamu? Bukankah kamu yang pernah kami temui di rumah sakit di Mojokerto waktu itu?"Sandhy berdiri dan menjawab dengan sopan, "Iya, betul, Bu." Bu Santi mendengkus, "Huh! Sudah aku duga. Ngaku-ngaku istrimu selingkuh dengan anakku, ternyata justru kamu yang selingkuh dengan menantuku." "Ma, kami tidak selingkuh!" seru Marisa. Wajahnya memerah sebagian karena merasa marah mendengar tuduhan ibu mertuanya. Sebagian lagi karena merasa malu melihat para pengunjung kantin dan pegawai kantin mulai memperhatikan
"Nah, akhirnya dia datang juga. Ditunggu dari tadi akhirnya muncul juga." Baru saja membuka pintu ruangan VVIP, Marisa sudah disambut oleh nyinyiran Bu Santi. "Apa, sih, Ma! Kita kan juga baru saja sampai bukan dari tadi!" tegur Pak Hartawan. Wajah cantik Bu Santi seketika berubah masam mendapat teguran seperti itu dari suaminya. Bibirnya mengerucut dan mukanya cemberut karena kesempatannya menyindir sang menantu menjadi gagal. Untuk menghilangkan rasa kesalnya Bu Santi mendesak Marisa dengan nada tinggi. "Sekarang jelaskan kepada kami tentang pertemuan kamu tadi. Juga beritahu kami keputusanmu sekarang juga! Jangan menundanya lagi!" "Bukannya tadi sudah dijelaskan oleh Mas Sandhy ya, Ma? Apalagi yang ingin Mama ketahui?" jawab Marisa dengan tenang. "Itu bukan penjelasan. Itu pembelaan diri," bantah Bu Santi yang membuat Pak Hartawan geleng-geleng. "Kamu jelaskan saja dari awal, Risa. Kalau tidak, kamu akan terus dikejar dan dituduh oleh mama kamu ini," pinta Pak Hartawan.Maris
"Kalau kamu memang mau jadi istri yang baik, harusnya kamu tidak menunda-nunda untuk mengikuti program bayi tabung!" sindir Bu Santi."Apa hubungannya, Ma?" tanyaku dengan cepat."Jelas ada. Mempunyai anak pasti impian Irawan sejak menikah. Nah istri yang baik itu yang bisa mewujudkan impian suaminya. Lagipula kenapa kamu masih menunda terus untuk mengikuti saran Mama? Kenapa kamu butuh waktu lama untuk memutuskan ikut program bayi tabung? Memangnya kamu nggak mau punya anak dari Irawan?" tuduh Bu Santi. Marisa tercenung mendengar pertanyaan ibu mertuanya. Hatinya bertanya-tanya setelah semua kejadian ini, benarkah sekarang dia tidak lagi ingin punya anak dari Irawan? "Heh! Diajak bicara kok malah ngelamun. Kamu itu gimana, sih, Risa. Benar-benar nggak menghormati orang tua. Padahal yang ngajak bicara itu bukan orang tua biasa tapi ibu mertua kamu. Kok bisa-bisanya kamu nggak sopan seperti ini!" Bu Santi mengomel karena merasa tidak dianggap oleh Marisa. "Maaf, Ma. Marisa nggak ber
"Wah taksinya fortuner ya, Bu?" tanya Bu Aisyah. Marisa mengamati mobil yang ditunjuk oleh Bu Aisyah. "Fortuner biru metalik. Aku seperti pernah melihatnya," gumam Marisa sambil mengerutkan keningnya.Lalu Marisa menoleh ke rekan kerjanya yang berdiri di sebelah kiri sambil berkata, "Bukan kok, Bu. Tapi sepertinya saya mengenal mobil itu." Mereka berdua menatap mobil yang baru berhenti di sebelah sepeda motor Bu Aisyah. Tak lama kemudian turunlah seorang lelaki gagah dengan tinggi sekitar 175 cm mengenakan baju koko lengan panjang berwarna biru muda dan celana kain warna biru tua. Bibir Marisa melongo melihat sosok yang sangat dikenalnya itu. Sungguh Marisa tidak menyangka bisa melihatnya di tempat ini. Lelaki itu berjalan santai ke arah pintu rumah Ustaz Yahya. Angin sore yang tiba-tiba berhembus kencang membuat rambut hitamnya berantakan. Tangan lelaki itu sibuk membenahi rambut sehingga dia tidak memperhatikan arah jalannya. Pupil mata lelaki itu melebar ketika menyadari ta
"Jadi gimana keputusan kamu? Ini sudah lewat dari waktu yang kamu minta!" Sebuah suara melengking menyambut Marisa.Marisa yang baru saja memutar handel pintu itu terkejut mendengar suara keras dari ibu mertuanya. Dia menggertakkan giginya karena masih separuh tubuhnya yang masuk, tapi suara melengking itu sudah mendesaknya. "Sabar, dong, Ma. Marisa aja belum masuk ruangan. Juga belum sempat istirahat sepulang mengajar. Kok Mama malah menyambutnya seperti ini," tegur Pak Hartawan. "Menyambutnya seperti ini bagaimana?" tanya Bu Santi dengan sinis. "Nah itu! Masa sih Mama nggak merasa? Mama itu tanya dengan nada marah, sinis, dan mendesak. Papa aja ngerasa loh sama cara Mama tanya itu yang kurang pengertian." "Kurang pengertian bagaimana? Mama itu dah ngasih waktu untuk Marisa berpikir loh, Pa. Masa sih Mama masih disalahkan kalau sekarang bertanya? Dianggap kurang pengertian pula. Terus biar dianggap pengertian apa Mama harus diam aja ngelihat Marisa terus menunda memberi keputusan
"Mas Rian … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Bangun, Mas! Aku membutuhkanmu!" ratap Marisa. Namun, lelaki yang dipeluk dan ditangisinya masih tetap mengatupkan matanya. Rapat. "Sudah, Mbak jangan nangis terus. Lebih baik kita doakan Mas Rian agar diberikan kesehatan." Marisa mengangguk mendengar saran Dokter Harun. Memang tangis tidak akan membuat Rian sembuh. "Alhamdulillah Allah masih melindunginya. Tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Geser satu centi aja akan sangat berbahaya. Namun, mengingat dia ditusuk tiga kali dan mengeluarkan banyak darah, kondisinya belum terbilang stabil. Perlu banyak kantong darah untuk transfusi. Sementara stok golongan darah O di PMI menipis."Marisa mengusap wajah lega. "Ambil darah saya saja, Dok. Golongan darah saya O." "Jangan. Kamu butuh istirahat, Mbak. Darah saya saja, Dok. Saya juga bergolongan darah O," ucap Dokter Harun."Baiklah … nanti kita periksa dulu untuk melihat kecocokannya."Marisa menelepon ibunya untuk mengabarkan di
"Ada apa dengan Marisa?" sambar Rian.Dokter Harun menatap Bu Rahmi dengan prihatin. "Sabar, ya, Bu. Mbak Marisa mengalami penculikan di dekat sekolah. Kasusnya sedang dalam penyelidikan polisi." "Apa diculik?" teriak Rian."Tidak! Jangan polisi. Nanti Marisa tidak selamat!" seru Bu Rahmi yang kemudian menangis. "Kenapa tidak selamat? Ibu tahu kalau Mbak Marisa diculik?" desak Dokter Harun. "Iya." Bu Rahmi mengusap wajahnya dan terduduk lemas di sofa. "Itu sebabnya tadi Bulek telepon kamu." Tatapan Bu Rahmi terarah ke Rian."Sebenarnya Bulek berharap itu cuma bercanda, tapi kabar yang dibawa Dokter Harun membuat Bulek tahu kalau orang itu sungguh-sungguh menculik Marisa." Air mata Bu Rahmi pun menderas di kedua pipinya. "Orang itu? Siapa?" "Siapa orang itu, Bu?"Dokter Harun dan Rian bertanya bersamaan. "Tadi ada telepon. Ngaku temannya Marisa ke Bik Siti. Setelah ibu angkat dia bilang sudah menculik Marisa dan melarang untuk melapor ke polisi kalau mau anak ibu selamat. Tapi ta
"Apa-apaan ini? Siapa mereka?" tanya Marisa ketika melihat tiga orang lelaki turun dari mobil yang menghadangnya.Salah satu lelaki yang turun dari mobil penghadang itu kemudian menggedor jendela di samping Marisa. "Buka pintunya! Cepat!" Marisa terlonjak kaget dan mundur dari jendela. Untuk beberapa saat dia hanya diam dan memandang ketiga lelaki berwajah menyeramkan itu. Marisa tidak mau membuka pintunya. Berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci membuatnya sedikit merasa aman. Sayangnya rasa aman itu hanya bertahan sebentar, karena tak lama kemudian kaca jendela mobilnya pecah berhamburan. Salah satu lelaki menyeramkan itu memegang semacam palu yang besar dan berhasil memecah kaca. Belum hilang rasa kaget Marisa, lelaki yang sama berhasil membuka pintu mobilnya dari dalam dan menarik Marisa keluar. Kemudian dia diseret memasuki mobil milik ketiga lelaki itu. Meski Marisa meronta dan berteriak, tetapi itu tidak ada artinya. Karena tenaga Marisa jelas kalah dibanding ketig
"Iya betul, Bu. Dan kedatangan saya sekarang ini untuk meminta restu dari Ibu. Saya ingin melamar putri Ibu yang bernama Marisa." Bu Rahmi terpana melihat keterusterangan Dokter Harun. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini akan mengatakan hal tersebut di pertemuan pertama. "Alhamdulillah. Saya, sih, terserah kepada Marisa, saja, Nak Dokter. Tapi … kenapa terburu-buru? Apakah Nak Dokter nggak mau kenalan dulu dengan Marisa? Atau jangan-jangan kalian sudah kenal lama?" "Tidak, Bu. Saya baru bertemu dengan Mbak Marisa ketika saya merawat mantan suaminya. Saat itu tidak ada perasaan apa pun kecuali simpati seorang dokter kepada keluarga pasiennya." Bu Rahmi mendengarkan penjelasan Dokter Harun. "Lantas kapan mulai berubah?" Marisa mendelik mendengar pertanyaan ibunya. Dia menyenggol tubuh ibunya dengan siku untuk memintanya diam. Namun, Bu Rahmi tidak mempedulikannya. Sebenarnya Marisa juga penasaran seperti ibunya, tetapi dia terlalu malu untuk bertanya. Jadi, ketika Bu Rahm
Marisa berjalan mendekat. Mungkin karena mendengar suara langkah Marisa, lelaki itu mengangkat wajahnya dan Marisa pun berseru, "Kamu?"Lelaki itu kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri dengan sikap sopan ala abdi kerajaan yang menunggu sang putri datang. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Mata hitam yang dinaungi sepasang alis yang melengkung sempurna itu menatap Marisa lekat. Namun, ketika tatapan dua insan berlawanan jenis itu bertemu, keduanya sama-sama segera mengalihkan tatapannya. "Maaf kalau saya datang tanpa kabar lebih dulu, Bu Marisa," ucap lelaki itu. "Iya. Tidak apa-apa. Silakan duduk, Dok." Marisa pun duduk di seberang sofa yang ditempati Dokter Harun. "Ada yang bisa saya bantu, Dok? Ada apa dengan Amanda?" "Kedatangan saya kemari nggak ada hubungannya dengan Amanda, Bu."Marisa mengangkat wajahnya dan menatap mata Dokter Harun. Ada tatapan bertanya di mata Marisa.Melihat pandangan bertanya di mata hazel Marisa, tiba-tiba saja Dokter Harun menjadi gugup. "B
Tiba-tiba Marisa berhenti melangkah. Raut wajahnya tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu. Dia kemudian berbisik, "Kenapa aku merasa senang mengetahui fakta terbaru tentang Suster Ratri? Apakah ini artinya aku mulai membuka hati untuk Dokter Harun?"Untuk beberapa saat Marisa berdiri termangu, lalu dia menghela napas dan kembali berbisik, "Aku nggak boleh linglung di sini. Lebih baik sekarang aku segera pulang. Tentang bagaimana perasaanku sebenarnya bisa aku pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah."Lantas, Marisa pun memutar tubuh dan kembali ke halaman sekolah. Dia segera memasuki mobil kesayangannya dan memacunya menuju rumah. "Loh … katanya mau ke toko buku. Kok sudah pulang? Nggak jadi?" tegur Bu Rahmi ketika melihat Marisa turun dari mobil. "Enggak, Bu," jawab Marisa sambil melangkah menuju teras. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Marisa menyelonjorkan kaki dan memandang ibunya yang tengah merapikan rumpun mawar.Tidak adanya penjelasan atas
Mata Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "Sudah sedekat itukah hubungan mereka hingga Suster Ratri membawakan bekal untuk makan siang Dokter Harun?" batinnya."Suster Ratri itu seperti seorang ibu sekaligus kakak buat saya. Cerewetnya sama," lanjut Dokter Harun sambil menatap Marisa."Seperti ibu? Cerewet?" Marisa mengulangi kata-kata Dokter Harun dengan nada kebingungan. "Iya. Kalau Suster Ratri lagi ngomelin saya bisa dua puluh ribu kata per jam dia lontarkan." Dokter Harun terkekeh sambil matanya menerawang. Dia mengenang saat-saat Suster Ratri mengomelinya. "Suster Ratri berani ngomelin Dokter?" Marisa bertanya dengan heran. Dia semakin kebingungan mendengar fakta terbaru tentang sosok suster luar biasa yang menjadi kesayangan keluarga Dokter Harun itu."Loh kenapa nggak berani? Kan dia juga sudah saya anggap seperti kakak tertua," jawab Dokter Harun. Marisa melongo mendengar jawaban Dokter Harun yang semakin membuatnya bingung. Benaknya sibuk merangkai semua fa
"Bu Marisa … apa kabar? Lama kita tidak ketemu. Kapan kita bisa mengobrol lagi seperti beberapa bulan lalu, ya, Bu? Saya kangen kepada Ibu."Marisa mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang siswi mendekatinya yang tengah asyik membaca di perpustakaan sekolah. "Amanda? Alhamdulillah kabar ibu baik dan sehat. Semoga Amanda juga sehat. Iya, kita lama nggak ketemu, ya. Soalnya tahun ajaran baru ini ibu nggak mengajar di kelasmu lagi. Ayo sini duduk di sebelah Ibu, mumpung lagi jam istirahat." Amanda menurut dan menarik kursi kosong di sebelah Marisa. Setelah duduk, dia lalu berkata,"Alhamdulillah … syukurlah kalau ibu baik-baik saja. Manda juga Alhamdulillah baik, Bu. Cuma kangen aja karena jarang ngelihat Ibu." "Iya, loh. Ibu juga baru sadar kalau sudah lama nggak lihat kamu nunggu jemputan di bangku halaman sekolah." "Iya, Bu. Sekarang ini Manda nggak perlu nunggu jemputan lagi."Marisa terkesiap. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini ada hubungannya dengan kemarahan Dokter
"Iya, Mas. Aku baru saja memberi tahu dia kalau aku menolak lamarannya." "O pantas saja mukanya ditekuk seperti itu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?""Rencana? Rencana apa maksudmu, Mas?" tanya Marisa dengan wajah kebingungan."Ya rencana masa depan kamu. Misalnya … apa kamu akan kembali menutup diri atau mau membuka hati lagi? Apa kamu mau terima perjodohan yang kemarin diatur ibuku? Atau bagaimana? Kamu pasti sudah memikirkannya, kan?" selidik Rian."Sepertinya aku ngalir aja, Mas. Aku ikut takdir Allah. Maksudku … aku nggak siapin waktu secara khusus untuk cari pasangan hidup, tapi kalau Allah takdirkan aku ketemu seseorang, ya, aku terima." "Meskipun itu aku?""Maksudnya gimana, Mas?""Kalau Allah takdirkan aku adalah jodohmu gimana?" Rian tidak menjawab pertanyaan Marisa, tetapi justru bertanya balik. Tatapan mata Rian menghujam tepat ke bola mata Marisa. Dia menatap penuh harap kepada perempuan yang sudah dikenalnya sejak kecil itu."Kalau memang Allah takdirkan, ya,