"Suami sakit kok malah keluyuran! Sama lelaki lain pula. Istri macam apa kamu!" Marisa menoleh mencari sumber suara bentakan itu. Matanya bersirobok dengan mata nyalang seorang perempuan paruh baya model berpakaian terbaru dengan rambut disanggul. Marisa melangkah mendekat dan mengulurkan tangan ingin memberi salam perempuan yang berdandan ala sosialita itu. "Ma, kapan datang?" sapa Marisa dengan santunan.Namun, sopan santun Marisa tidak ada artinya. Perempuan paruh baya yang dia panggil Mama itu menepis tangan Marisa, "Tak perlu bekerja sok baik.""Bu!" tegur seorang lelaki dengan rambut sudah memutih semuanya yang berdiri agak jauh di belakang perempuan itu. Marisa menoleh lalu menemui lelaki itu. "Pa," sapanya. Kali ini tangannya tidak ditepis sehingga Marisa bisa mencium tangan lelaki yang dipanggilnya papa itu. "Sudah lama, Pa?" "Tidak, kok. Kami baru saja datang," jawab bapak mertua Marisa. "Dan menemukan anak kesayangan kami ditelantarkan oleh istrinya," sergah ibu mertu
"Bohong? Untuk apa saya bohong? Gak ada untungnya! Kalau Tante tidak percaya ya terserah aja. Tapi kalau mau buktikan omongan saya, Tante bisa tanya ke petugas di kantor polisi. Tante bisa minta penjelasan ke mereka, waktu kecelakaan Irawan ditemukan bersama siapa? Pasti mereka akan menjawab bersama selingkuhannya!" "Tidak mungkin! Anak saya tidak mungkin seperti itu!" "Tidak mungkin? Itu kan kata Tante. Kalau kata netizen beda lagi. Coba Tante cari berita infotainment yang lagi viral hari ini tentang kecelakaan itu." "Nah, kan, udah jelas kamu bohong. Mana ada kecelakaan masuk infotainment," ucap Bu Santi dengan nada tinggi. Wajah Bu Santi terlihat lega dan dia ganti mencibir Rian yang dianggapnya bohong “Bapak, Ibu tadi kan, saya sudah meminta kalian untuk tenang! Kenapa masih ribut? Ah sudahlah… saya panggil satpam saja!” Perawat tadi kembali menghampiri Rian dan Bu Santi. Sekali lagi dia melarang mereka membuat kerubutan. Namun, melihat kata-katanya diabaikan oleh Rian dan
"Mas Rian kok gitu, sih." Marisa memprotes ucapan sarkastik dari Rian. "Gitu gimana? Mas gak merasa gimana-gimana, kok. Kamu aja yang baper," sahut Rian dengan nada sedikit ketus. Marisa terdiam mendengar omelan Rian. Dia tidak mau menanggapi Rian yang sedang emosi. Marisa hanya menatap Rian dengan pandangan kesal. Melihat Marisa tidak menanggapi kekesalannya, Rian melanjutkan bertanya, "Terus kamu ke mari mau apa? Bukan mau ngomelin aku lagi, kan?" Marisa masih menatap Rian dengan tatapan kesal tanpa membalasnya. Dia sadar kakak sepupunya berhak marah. Jadi, Marisa mencoba tenang. Dia menarik napas sebelum kembali berbicara, "Maafkan Risa, Mas. Mungkin Risa tadi memang sudah keterlaluan. Tidak seharusnya Risa marah kepada Mas Rian yang sudah banyak membantu." Rian terdiam mendengarkan permintaan maaf Marisa. Dia mendengar ketulusan dalam nada suara adik sepupunya itu. Membuat Rian pun tidak tega terus memarahi Marisa. "Iya, gak apa-apa. Mas ngerti." Marisa tersenyum mendenga
"Konyol sekali pertanyaanmu itu, Ris. Untuk apa aku bercanda buat hal yang menyedihkan ini?" Sandhy menjawab dengan kesal. "Maaf, Mas. Aku nggak bermaksud bikin kamu kesal. Soalnya aku gak nyangka aja." Marisa menunduk dan tangannya memainkan tisu yang ada di meja. "Gak nyangka kalau aku punya istri tukang selingkuh? Gak nyangka kalau istriku itu pelakor yang mengganggu rumah tangga kamu, gitu?!" Suara Sandhy naik beberapa oktaf ketika mengatakan hal itu. Marisa tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Sandhy. Perlahan air mata menetes di kedua belah pipinya. Marisa tahu nada suara Sandhy yang tinggi itu bukan karena memarahinya. "Sama Risa, aku sendiri pun sampai sekarang belum percaya. Tapi aku bisa apa? Mau menyangkal juga percuma, toh dia ditemukan semobil berdua dengan lelaki lain. Tepatnya dengan suami orang lain." Ada kepedihan dalam suara Sandhy ketika dia melanjutkan perkataannya. "Andai waktu bisa kuputar, pasti aku tidak akan izinkan istriku pergi hari itu. Namu
"Apa? Kok bisa anakku mengenal kamu?" Bu Santi sudah mengganti nama panggilannya kepada Sandhy menjadi kamu. Berarti dia tak lagi berpura-pura melindungi Sandhy seperti tadi. Tatapan wanita itu mengamati Sandhy dari atas ke bawah dan ke atas lagi. Dia sayang tak percaya anaknya bisa mengenal seseorang seperti lelaki ini. Orang yang berpenampilan nyentrik layaknya seorang seniman. Tangan Sandhy mengepal di samping tubuhnya. Dia menatap dengan tatapan meremehkan dan senyum sinis dari Bu Santi. Baru kali ini ada orang yang menyepelekannya. Membuat dia kesal dan ingin membalas agar orang itu tidak membatasinya lagi. "O tidak, Bu. Anak Ibu tidak mengenal saya," jawab Sandhy dengan nada sopan yang dibuat-buat."Lho, gimana, sih. Tadi katanya kamu punya urusan dengan anak saya. Kok sekarang kamu bilang tidak kenal dengan anak saya?" cecar Bu Santi yang mulai kesal dengan Sandhy.Pak Hartawan yang sedari tadi hanya diam dan mengamati percakapan istri dan teman-temannya itu mulai tertarik.
"Dok! Jangan diam saja. Bagaimana hasil pemeriksaan suami saya? Skalanya berapa? Tolong katakan sekarang, Dok!" tuntut Marisa.Dokter menatap Marisa dengan sorot prihatin. "Sabar ya, Bu. Ini hanya salah satu cara saja untuk mengetahui kondisi pasien. Jadi bukan satu-satunya jalan. Masih ada beberapa tes lain yang bisa dilakukan.""Iya … iya … terus gimana hasilnya, Dok?" sergah Marisa. Mungkin bagi orang lain terdengar tidak sopan memotong pembicaraan dokter begitu saja. Namun, Marisa tidak butuh basa-basi. Dia benar-benar sudah tidak sabar mengetahui hasil pemeriksaan suaminya. "Hasil pemeriksaannya menunjukkan angka enam, Bu." "Enam? Berarti kondisi suami saya enggak bagus, ya, Dok? Angkanya mendekati tiga." Marisa seketika merasa lemas. Dia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Isak lirih terdengar dari sela-sela tangannya. "Seperti saya bilang tadi, Bu. Angka itu bukan satu-satunya penentu kondisi pasien Irawan. Namun, kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan lebih
"Sepertinya aku memang harus menemukan sendiri bukti hubungan antara Monika dengan Irawan," gumam Sandhy, sambil berjalan meninggalkan Marisa.Sandhy akhirnya memutuskan membongkar barang-barang Monika. Dia menyetujui saran Marisa setelah adik kelasnya itu menolak menceritakan temuannya pada barang-barang suaminya. Sejak mengetahui Monika berduaan bersama lelaki lain saat mengalami kecelakaan, benak Sandhy mulai sibuk berpikir. "Apakah mereka benar-benar dekat? Mengapa mereka bisa semobil ketika terjadi kecelakaan?"Sandhy bertanya kepada Marisa itu karena sebenarnya di hati kecilnya dia tidak siap. Ada ketakutan apabila ada kabar buruk yang dia terima. Namun, bagaimana pun juga sekarang dia sekarang harus menghadapinya. "Aku taruh mana tas yang kuambil dari kantor polisi itu, ya? Seingatku masih di dalam box penyimpanan motor." Sandhy segera berderap menuju parkiran sepeda motor. Sesampainya di motor warna hijau elektrik kesayangannya, Sandhy segera membuka bagasi. Dia mengangkat
"Kamu mau tahu kekuranganmu? Kamu itu mandul!" Marisa berlari tanpa arah tujuan. Baginya yang lebih penting adalah segera menjauh dari semua orang. Masih berlatih dengan jelas raut wajah Bu Santi ketika mengangkat telunjuk dan menudingnya mandul. Kata-kata mandul juga terus terngiang di benaknya sehingga dia menutup telinganya. Air mata yang terus mengalir membuat mata Marisa berkabut. Membuat dia tidak bisa melihat seseorang yang berada di depannya. Marisa menabrak orang itu dengan cukup keras. Tubuh berotot di balik baju yang dikenakannya membuat tubuh Marisa limbung. Dia pasti terjatuh Andai saja tidak ada sepasang tangan kokoh yang menggenggamnya. “Mbak… Mbak… Mbak gak apa-apa?” Pemilik tangan kokoh itu bertanya kepada Marisa dengan suara bernada khawatir. Ternyata dia jugalah orang yang telah ditabrak oleh Marisa. Marisa tidak segera menjawab. Dia merasa pusing entah karena harus berhenti mendadak setelah berlari atau sebab kepalanya terbentur tubuh berotot lelaki di depa
"Mas Rian … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Bangun, Mas! Aku membutuhkanmu!" ratap Marisa. Namun, lelaki yang dipeluk dan ditangisinya masih tetap mengatupkan matanya. Rapat. "Sudah, Mbak jangan nangis terus. Lebih baik kita doakan Mas Rian agar diberikan kesehatan." Marisa mengangguk mendengar saran Dokter Harun. Memang tangis tidak akan membuat Rian sembuh. "Alhamdulillah Allah masih melindunginya. Tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Geser satu centi aja akan sangat berbahaya. Namun, mengingat dia ditusuk tiga kali dan mengeluarkan banyak darah, kondisinya belum terbilang stabil. Perlu banyak kantong darah untuk transfusi. Sementara stok golongan darah O di PMI menipis."Marisa mengusap wajah lega. "Ambil darah saya saja, Dok. Golongan darah saya O." "Jangan. Kamu butuh istirahat, Mbak. Darah saya saja, Dok. Saya juga bergolongan darah O," ucap Dokter Harun."Baiklah … nanti kita periksa dulu untuk melihat kecocokannya."Marisa menelepon ibunya untuk mengabarkan di
"Ada apa dengan Marisa?" sambar Rian.Dokter Harun menatap Bu Rahmi dengan prihatin. "Sabar, ya, Bu. Mbak Marisa mengalami penculikan di dekat sekolah. Kasusnya sedang dalam penyelidikan polisi." "Apa diculik?" teriak Rian."Tidak! Jangan polisi. Nanti Marisa tidak selamat!" seru Bu Rahmi yang kemudian menangis. "Kenapa tidak selamat? Ibu tahu kalau Mbak Marisa diculik?" desak Dokter Harun. "Iya." Bu Rahmi mengusap wajahnya dan terduduk lemas di sofa. "Itu sebabnya tadi Bulek telepon kamu." Tatapan Bu Rahmi terarah ke Rian."Sebenarnya Bulek berharap itu cuma bercanda, tapi kabar yang dibawa Dokter Harun membuat Bulek tahu kalau orang itu sungguh-sungguh menculik Marisa." Air mata Bu Rahmi pun menderas di kedua pipinya. "Orang itu? Siapa?" "Siapa orang itu, Bu?"Dokter Harun dan Rian bertanya bersamaan. "Tadi ada telepon. Ngaku temannya Marisa ke Bik Siti. Setelah ibu angkat dia bilang sudah menculik Marisa dan melarang untuk melapor ke polisi kalau mau anak ibu selamat. Tapi ta
"Apa-apaan ini? Siapa mereka?" tanya Marisa ketika melihat tiga orang lelaki turun dari mobil yang menghadangnya.Salah satu lelaki yang turun dari mobil penghadang itu kemudian menggedor jendela di samping Marisa. "Buka pintunya! Cepat!" Marisa terlonjak kaget dan mundur dari jendela. Untuk beberapa saat dia hanya diam dan memandang ketiga lelaki berwajah menyeramkan itu. Marisa tidak mau membuka pintunya. Berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci membuatnya sedikit merasa aman. Sayangnya rasa aman itu hanya bertahan sebentar, karena tak lama kemudian kaca jendela mobilnya pecah berhamburan. Salah satu lelaki menyeramkan itu memegang semacam palu yang besar dan berhasil memecah kaca. Belum hilang rasa kaget Marisa, lelaki yang sama berhasil membuka pintu mobilnya dari dalam dan menarik Marisa keluar. Kemudian dia diseret memasuki mobil milik ketiga lelaki itu. Meski Marisa meronta dan berteriak, tetapi itu tidak ada artinya. Karena tenaga Marisa jelas kalah dibanding ketig
"Iya betul, Bu. Dan kedatangan saya sekarang ini untuk meminta restu dari Ibu. Saya ingin melamar putri Ibu yang bernama Marisa." Bu Rahmi terpana melihat keterusterangan Dokter Harun. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini akan mengatakan hal tersebut di pertemuan pertama. "Alhamdulillah. Saya, sih, terserah kepada Marisa, saja, Nak Dokter. Tapi … kenapa terburu-buru? Apakah Nak Dokter nggak mau kenalan dulu dengan Marisa? Atau jangan-jangan kalian sudah kenal lama?" "Tidak, Bu. Saya baru bertemu dengan Mbak Marisa ketika saya merawat mantan suaminya. Saat itu tidak ada perasaan apa pun kecuali simpati seorang dokter kepada keluarga pasiennya." Bu Rahmi mendengarkan penjelasan Dokter Harun. "Lantas kapan mulai berubah?" Marisa mendelik mendengar pertanyaan ibunya. Dia menyenggol tubuh ibunya dengan siku untuk memintanya diam. Namun, Bu Rahmi tidak mempedulikannya. Sebenarnya Marisa juga penasaran seperti ibunya, tetapi dia terlalu malu untuk bertanya. Jadi, ketika Bu Rahm
Marisa berjalan mendekat. Mungkin karena mendengar suara langkah Marisa, lelaki itu mengangkat wajahnya dan Marisa pun berseru, "Kamu?"Lelaki itu kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri dengan sikap sopan ala abdi kerajaan yang menunggu sang putri datang. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Mata hitam yang dinaungi sepasang alis yang melengkung sempurna itu menatap Marisa lekat. Namun, ketika tatapan dua insan berlawanan jenis itu bertemu, keduanya sama-sama segera mengalihkan tatapannya. "Maaf kalau saya datang tanpa kabar lebih dulu, Bu Marisa," ucap lelaki itu. "Iya. Tidak apa-apa. Silakan duduk, Dok." Marisa pun duduk di seberang sofa yang ditempati Dokter Harun. "Ada yang bisa saya bantu, Dok? Ada apa dengan Amanda?" "Kedatangan saya kemari nggak ada hubungannya dengan Amanda, Bu."Marisa mengangkat wajahnya dan menatap mata Dokter Harun. Ada tatapan bertanya di mata Marisa.Melihat pandangan bertanya di mata hazel Marisa, tiba-tiba saja Dokter Harun menjadi gugup. "B
Tiba-tiba Marisa berhenti melangkah. Raut wajahnya tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu. Dia kemudian berbisik, "Kenapa aku merasa senang mengetahui fakta terbaru tentang Suster Ratri? Apakah ini artinya aku mulai membuka hati untuk Dokter Harun?"Untuk beberapa saat Marisa berdiri termangu, lalu dia menghela napas dan kembali berbisik, "Aku nggak boleh linglung di sini. Lebih baik sekarang aku segera pulang. Tentang bagaimana perasaanku sebenarnya bisa aku pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah."Lantas, Marisa pun memutar tubuh dan kembali ke halaman sekolah. Dia segera memasuki mobil kesayangannya dan memacunya menuju rumah. "Loh … katanya mau ke toko buku. Kok sudah pulang? Nggak jadi?" tegur Bu Rahmi ketika melihat Marisa turun dari mobil. "Enggak, Bu," jawab Marisa sambil melangkah menuju teras. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Marisa menyelonjorkan kaki dan memandang ibunya yang tengah merapikan rumpun mawar.Tidak adanya penjelasan atas
Mata Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "Sudah sedekat itukah hubungan mereka hingga Suster Ratri membawakan bekal untuk makan siang Dokter Harun?" batinnya."Suster Ratri itu seperti seorang ibu sekaligus kakak buat saya. Cerewetnya sama," lanjut Dokter Harun sambil menatap Marisa."Seperti ibu? Cerewet?" Marisa mengulangi kata-kata Dokter Harun dengan nada kebingungan. "Iya. Kalau Suster Ratri lagi ngomelin saya bisa dua puluh ribu kata per jam dia lontarkan." Dokter Harun terkekeh sambil matanya menerawang. Dia mengenang saat-saat Suster Ratri mengomelinya. "Suster Ratri berani ngomelin Dokter?" Marisa bertanya dengan heran. Dia semakin kebingungan mendengar fakta terbaru tentang sosok suster luar biasa yang menjadi kesayangan keluarga Dokter Harun itu."Loh kenapa nggak berani? Kan dia juga sudah saya anggap seperti kakak tertua," jawab Dokter Harun. Marisa melongo mendengar jawaban Dokter Harun yang semakin membuatnya bingung. Benaknya sibuk merangkai semua fa
"Bu Marisa … apa kabar? Lama kita tidak ketemu. Kapan kita bisa mengobrol lagi seperti beberapa bulan lalu, ya, Bu? Saya kangen kepada Ibu."Marisa mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang siswi mendekatinya yang tengah asyik membaca di perpustakaan sekolah. "Amanda? Alhamdulillah kabar ibu baik dan sehat. Semoga Amanda juga sehat. Iya, kita lama nggak ketemu, ya. Soalnya tahun ajaran baru ini ibu nggak mengajar di kelasmu lagi. Ayo sini duduk di sebelah Ibu, mumpung lagi jam istirahat." Amanda menurut dan menarik kursi kosong di sebelah Marisa. Setelah duduk, dia lalu berkata,"Alhamdulillah … syukurlah kalau ibu baik-baik saja. Manda juga Alhamdulillah baik, Bu. Cuma kangen aja karena jarang ngelihat Ibu." "Iya, loh. Ibu juga baru sadar kalau sudah lama nggak lihat kamu nunggu jemputan di bangku halaman sekolah." "Iya, Bu. Sekarang ini Manda nggak perlu nunggu jemputan lagi."Marisa terkesiap. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini ada hubungannya dengan kemarahan Dokter
"Iya, Mas. Aku baru saja memberi tahu dia kalau aku menolak lamarannya." "O pantas saja mukanya ditekuk seperti itu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?""Rencana? Rencana apa maksudmu, Mas?" tanya Marisa dengan wajah kebingungan."Ya rencana masa depan kamu. Misalnya … apa kamu akan kembali menutup diri atau mau membuka hati lagi? Apa kamu mau terima perjodohan yang kemarin diatur ibuku? Atau bagaimana? Kamu pasti sudah memikirkannya, kan?" selidik Rian."Sepertinya aku ngalir aja, Mas. Aku ikut takdir Allah. Maksudku … aku nggak siapin waktu secara khusus untuk cari pasangan hidup, tapi kalau Allah takdirkan aku ketemu seseorang, ya, aku terima." "Meskipun itu aku?""Maksudnya gimana, Mas?""Kalau Allah takdirkan aku adalah jodohmu gimana?" Rian tidak menjawab pertanyaan Marisa, tetapi justru bertanya balik. Tatapan mata Rian menghujam tepat ke bola mata Marisa. Dia menatap penuh harap kepada perempuan yang sudah dikenalnya sejak kecil itu."Kalau memang Allah takdirkan, ya,