"Kamu mau tahu kekuranganmu? Kamu itu mandul!" Marisa berlari tanpa arah tujuan. Baginya yang lebih penting adalah segera menjauh dari semua orang. Masih berlatih dengan jelas raut wajah Bu Santi ketika mengangkat telunjuk dan menudingnya mandul. Kata-kata mandul juga terus terngiang di benaknya sehingga dia menutup telinganya. Air mata yang terus mengalir membuat mata Marisa berkabut. Membuat dia tidak bisa melihat seseorang yang berada di depannya. Marisa menabrak orang itu dengan cukup keras. Tubuh berotot di balik baju yang dikenakannya membuat tubuh Marisa limbung. Dia pasti terjatuh Andai saja tidak ada sepasang tangan kokoh yang menggenggamnya. “Mbak… Mbak… Mbak gak apa-apa?” Pemilik tangan kokoh itu bertanya kepada Marisa dengan suara bernada khawatir. Ternyata dia jugalah orang yang telah ditabrak oleh Marisa. Marisa tidak segera menjawab. Dia merasa pusing entah karena harus berhenti mendadak setelah berlari atau sebab kepalanya terbentur tubuh berotot lelaki di depa
"Sabar, Bu…sabar. Suami ibu yang mana?" tanya salah satu perawat. Marisa belum pernah melihat perawat itu. Sepertinya giliran jaga yang baru. "Suami saya namanya Irawan. Di-dia korban kecelakaan di tol SUMO tadi pagi." "Sebentar saya lihat datanya dulu." "Suami saya biasanya di bilik sebelah kanan pojok itu. Ta-tapi barusan saya ke sana kok nggak ada." "Ooo yang itu. Maaf… yang masih koma itu ya, Bu?" "Iya, benar." "Tadi baru saja dibawa ke ruang ICU, Bu. Ibu bisa coba ke sana untuk bertanya. Tadi ada keluarganya yang ikut, kok." "Ada apa ini?" Seorang perawat pria datang dan bertanya kepada rekannya. "Ibu ini mencari suaminya yang di bilik pojok tadi. Terus aku bilang dibawa ke ICU." Perawat yang tadi bersama Marisa menjawab. "O iya benar Bu. Saya tadi yang mengantarnya. Ini baru saja kembali." Celana perawat pria itu melegakan hati Marisa. Dia tersenyum dan berpikir menerima kasih berulang kali sebelum berlalu dari hadapan kedua perawat itu. Marisa berjalan cepat
"Loh kamu? Bukannya kamu... Mbak yang tadi di masjid?" tanya lelaki yang mengenakan jas dokter. "Iya. Saya tadi menabrak dokter. Maaf, ya, Dok," jawab Marisa. Dia tertunduk malu ketika mengenali laki-laki yang ada di depannya. "Oo tidak apa-apa. Itu kan tidak merugikan. Jadi, Mbak ini keluarganya pasien yang bernama Irawan?" "Betul, Dok. Saya istrinya," jawab Marisa dengan suara pelan. Dokter yang duduk di depan Marisa itu mengangkat alisnya. Ada binar terkejut di tatapan matanya yang teduh. "Baik kalau begitu. Saya menelepon ibu saja karena saya juga memanggil pak kepada pasien." Marisa mengangguk mendengarkan kata-kata dokter yang duduk di depannya. "O ya sebelumnya perkenalkan, saya Dokter Harun. Dokter Spesialis Jantung yang menangani suami Anda." "Jantung?" Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "A-ada a-apa dengan jantung suami saya, Dok? Apa ada masalah dengan jantungnya?" Suara marah Marisa membuat Dokter Harun mengangkatnya dari berkas data rekam med
"Kenapa kembali, Pa? Ada yang ketinggalan?" Marisa mengangkat wajahnya dan menengok ke pintu masuk ke ruang tunggu ICU yang berada di sebelah kiri. Matanya seketika membulat ketika melihat sosok yang dia kenal sejak lama tetapi baru dipertemukan kembali. Mereka bertemu kembali sejak sebuah peristiwa membuat mereka sama-sama menjadi orang yang dikhianati. "Kamu? Ada apa ke sini Mas Sandhy?" tanya Marisa dengan nada menyelidik. Marisa takut Sandhy sengaja menyusulnya. Dia juga merasa tidak nyaman dengan kedatangan Sandhy. Bagaimanapun juga dia sendirian menjaga Irawan. Jadi, dia tidak ingin kedatangan Sandhy disalahartikan oleh ibu mertuanya. Mentalnya sudah lelah dipersalahkan terus menerus oleh Bu Santi. "Istriku dirawat di sini," jawab Sandhy singkat. Dia melangkah memasuki ruang tunggu ICU. "Apa?" Mata Marisa seakan-akan ingin melompat keluar ketika mendengar jawaban Sandhy. Dia tidak menyangka suaminya akan berada dalam satu ruangan yang sama dengan istri Sandhy. Apakah takdi
"Bu… Bu Marisa… bangun, Bu." Marisa tersentak ketika ada seseorang yang memanggil namanya sambil mengguncang lengannya. Semalam dia tidur di kursi dalam posisi duduk. Hanya kakinya saja yang dia luruskan ke lantai. Sebenarnya bukan posisi yang enak, tapi dia juga merasa tidak nyaman kalau harus tidur di tempat umum dengan posisi bergelung. "A-apa? Ada apa suster? Kenapa dengan suami saya?" Marisa panik ketika membuka mata dan melihat orang yang membangunnya itu adalah salah satu perawat ICU. "Tenang...tenang Bu. Istighfar. Tidak ada apa-apa Bu dengan Pak Irawan. Hanya saja ini ada resep dari Dokter Harun. Dia minta segera ditebus. Jadi Ibu saya bangunkan." Suster mencetak satu lembar resep yang segera diterima oleh Marisa. "Ooo begitu. Ini jam berapa ya? Dokter Harun pagi-pagi sudah visite?" tanya Marisa setelah membaca resep. Menjelang Subuh, Bu. “O iya … iya saya ke apotik sekarang.” Marisa segera mengenakan sandal jepitnya dan berdiri. Dia melirik Sandhy di kursi sebrang yang
"Marisa! Kamu kemana lagi, sih! Katanya mau jaga suami tapi kok keluyuran aja kerjamu!" Marisa kaget ketika baru saja memasuki ruang tunggu ICU sudah dibentak oleh ibu mertuanya. Dia tidak menyangka sepagi ini kedua mertuanya sudah duduk di kursi depan pintu kaca ICU. Matanya otomatis melirik ke kiri ke kursi di seberang kursi mereka. Dia mengembuskan napas lega ketika melihat Sandhy sudah tidak berada di sana. Dia khawatir Bu Santi akan salah paham kalau melihat Sandhy tidur di kursi itu. "Risa nggak keluyuran, Ma. Barusan Risa mandi terus sarapan di kantin dan beli ini." Marisa mengangkat kantong plastik berisi 4 botol air mineral ukuran 600ml. "Kamu tuh, ya, selalu aja punya jawaban buat ngeles." "Risa nggak ngeles, Ma. Mama bisa tanya ke suster tadi Risa pamit ke mana.""Ah sudahlah. Mama capek ngomong sama kamu. Selalu aja bikin Mama kesal!" "Sudahlah, Ma. Kamu itu pagi-pagi sudah marah-marah, nanti kamu kena tegur perawat lagi!" Pak Hartawan mengingatkan Bu Santi untuk t
"Sudahlah, Ma. Kenapa marah-marah lagi, sih." Pak Hartawan menegur Bu Santi."Papa gak ngeliat apa? Itu menantu kesayangan Papa berduaan dengan lelaki lain?" "Heh! Tante… jangan seenaknya sendiri kalau ngomong! Yang berduaan itu siapa?" Sandhy meradang mendengar tuduhan ngawur dari Bu Santi. "Loh itu kan jelas. Situ duduk, menantu saya berdiri di sebelah kursi. Kamu ke sini kan juga pasti mau ketemu dia!" Marisa menatap nanar Bu Santi. Bibirnya terkatup rapat dan tangannya terkepal di samping. Kalau tidak ingat Bu Santi adalah ibu mertuanya, pasti dia sudah melabraknya. Mulut tajam seperti itu tidak boleh dibiarkan. Namun, hal itu tidak dilakukannya, karena takut dicap sebagai menantu durhaka. "Bukan begitu, Ma. Saya berdiri karena baru keluar dari dalam ruangan ICU. Tadi saya menyeka tubuh Mas Irawan. Perawat yang meminta saya melakukannya. Nah, pas saya keluar ada Mas Sandhy duduk di kursi ini. Kami baru saja ngobrol waktu Mama dan Papa masuk." Marisa mencoba menjelaskan kejadia
Bab 26 Sindiran Pedas Bu Rahmi"Tidak, Bu!" jerit Marisa."Jangan begitu, Bu Rahmi," ucap Pak Hartawan. "Kan saya bilang seandainya. Seandainya Nak Irawan bangun. Seandainya Marisa mengajukan surat cerai … saya akan mendukung. Kalau salah satu itu tidak terjadi ya sudah, tidak apa-apa," jawab Bu Rahmi dengan tenang. Pak Hartawan dan Bu Santi memucat. Mereka baru sadar kalau ada kemungkinan Irawan tidak bangun. "Tidak! Irawan pasti bangun. Dia lelaki kuat, pasti dia akan berjuang untuk sembuh," jerit Bu Santi. "Saya juga berharap demikian, karena banyak hal yang ingin saya lakukan di sini. Salah satunya alasan dia melakukan hal itu. Apa dia tidak ingat dengan janji pernikahan yang dikatakannya di depan almarhum suami suami saya? Apa dia lupa bersumpah dengan nama Allah ketika mengucapkan akad nikah ?" Pertanyaan yang diucapkan dengan tenangnya oleh Bu Rahmi membuat Pak Hartawan dan Bu Santi terdiam. "Cuma saya ini kan bukan Tuhan. Meski saya ingin Nak Irawan segera sadar, tapi s
"Mas Rian … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Bangun, Mas! Aku membutuhkanmu!" ratap Marisa. Namun, lelaki yang dipeluk dan ditangisinya masih tetap mengatupkan matanya. Rapat. "Sudah, Mbak jangan nangis terus. Lebih baik kita doakan Mas Rian agar diberikan kesehatan." Marisa mengangguk mendengar saran Dokter Harun. Memang tangis tidak akan membuat Rian sembuh. "Alhamdulillah Allah masih melindunginya. Tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Geser satu centi aja akan sangat berbahaya. Namun, mengingat dia ditusuk tiga kali dan mengeluarkan banyak darah, kondisinya belum terbilang stabil. Perlu banyak kantong darah untuk transfusi. Sementara stok golongan darah O di PMI menipis."Marisa mengusap wajah lega. "Ambil darah saya saja, Dok. Golongan darah saya O." "Jangan. Kamu butuh istirahat, Mbak. Darah saya saja, Dok. Saya juga bergolongan darah O," ucap Dokter Harun."Baiklah … nanti kita periksa dulu untuk melihat kecocokannya."Marisa menelepon ibunya untuk mengabarkan di
"Ada apa dengan Marisa?" sambar Rian.Dokter Harun menatap Bu Rahmi dengan prihatin. "Sabar, ya, Bu. Mbak Marisa mengalami penculikan di dekat sekolah. Kasusnya sedang dalam penyelidikan polisi." "Apa diculik?" teriak Rian."Tidak! Jangan polisi. Nanti Marisa tidak selamat!" seru Bu Rahmi yang kemudian menangis. "Kenapa tidak selamat? Ibu tahu kalau Mbak Marisa diculik?" desak Dokter Harun. "Iya." Bu Rahmi mengusap wajahnya dan terduduk lemas di sofa. "Itu sebabnya tadi Bulek telepon kamu." Tatapan Bu Rahmi terarah ke Rian."Sebenarnya Bulek berharap itu cuma bercanda, tapi kabar yang dibawa Dokter Harun membuat Bulek tahu kalau orang itu sungguh-sungguh menculik Marisa." Air mata Bu Rahmi pun menderas di kedua pipinya. "Orang itu? Siapa?" "Siapa orang itu, Bu?"Dokter Harun dan Rian bertanya bersamaan. "Tadi ada telepon. Ngaku temannya Marisa ke Bik Siti. Setelah ibu angkat dia bilang sudah menculik Marisa dan melarang untuk melapor ke polisi kalau mau anak ibu selamat. Tapi ta
"Apa-apaan ini? Siapa mereka?" tanya Marisa ketika melihat tiga orang lelaki turun dari mobil yang menghadangnya.Salah satu lelaki yang turun dari mobil penghadang itu kemudian menggedor jendela di samping Marisa. "Buka pintunya! Cepat!" Marisa terlonjak kaget dan mundur dari jendela. Untuk beberapa saat dia hanya diam dan memandang ketiga lelaki berwajah menyeramkan itu. Marisa tidak mau membuka pintunya. Berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci membuatnya sedikit merasa aman. Sayangnya rasa aman itu hanya bertahan sebentar, karena tak lama kemudian kaca jendela mobilnya pecah berhamburan. Salah satu lelaki menyeramkan itu memegang semacam palu yang besar dan berhasil memecah kaca. Belum hilang rasa kaget Marisa, lelaki yang sama berhasil membuka pintu mobilnya dari dalam dan menarik Marisa keluar. Kemudian dia diseret memasuki mobil milik ketiga lelaki itu. Meski Marisa meronta dan berteriak, tetapi itu tidak ada artinya. Karena tenaga Marisa jelas kalah dibanding ketig
"Iya betul, Bu. Dan kedatangan saya sekarang ini untuk meminta restu dari Ibu. Saya ingin melamar putri Ibu yang bernama Marisa." Bu Rahmi terpana melihat keterusterangan Dokter Harun. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini akan mengatakan hal tersebut di pertemuan pertama. "Alhamdulillah. Saya, sih, terserah kepada Marisa, saja, Nak Dokter. Tapi … kenapa terburu-buru? Apakah Nak Dokter nggak mau kenalan dulu dengan Marisa? Atau jangan-jangan kalian sudah kenal lama?" "Tidak, Bu. Saya baru bertemu dengan Mbak Marisa ketika saya merawat mantan suaminya. Saat itu tidak ada perasaan apa pun kecuali simpati seorang dokter kepada keluarga pasiennya." Bu Rahmi mendengarkan penjelasan Dokter Harun. "Lantas kapan mulai berubah?" Marisa mendelik mendengar pertanyaan ibunya. Dia menyenggol tubuh ibunya dengan siku untuk memintanya diam. Namun, Bu Rahmi tidak mempedulikannya. Sebenarnya Marisa juga penasaran seperti ibunya, tetapi dia terlalu malu untuk bertanya. Jadi, ketika Bu Rahm
Marisa berjalan mendekat. Mungkin karena mendengar suara langkah Marisa, lelaki itu mengangkat wajahnya dan Marisa pun berseru, "Kamu?"Lelaki itu kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri dengan sikap sopan ala abdi kerajaan yang menunggu sang putri datang. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Mata hitam yang dinaungi sepasang alis yang melengkung sempurna itu menatap Marisa lekat. Namun, ketika tatapan dua insan berlawanan jenis itu bertemu, keduanya sama-sama segera mengalihkan tatapannya. "Maaf kalau saya datang tanpa kabar lebih dulu, Bu Marisa," ucap lelaki itu. "Iya. Tidak apa-apa. Silakan duduk, Dok." Marisa pun duduk di seberang sofa yang ditempati Dokter Harun. "Ada yang bisa saya bantu, Dok? Ada apa dengan Amanda?" "Kedatangan saya kemari nggak ada hubungannya dengan Amanda, Bu."Marisa mengangkat wajahnya dan menatap mata Dokter Harun. Ada tatapan bertanya di mata Marisa.Melihat pandangan bertanya di mata hazel Marisa, tiba-tiba saja Dokter Harun menjadi gugup. "B
Tiba-tiba Marisa berhenti melangkah. Raut wajahnya tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu. Dia kemudian berbisik, "Kenapa aku merasa senang mengetahui fakta terbaru tentang Suster Ratri? Apakah ini artinya aku mulai membuka hati untuk Dokter Harun?"Untuk beberapa saat Marisa berdiri termangu, lalu dia menghela napas dan kembali berbisik, "Aku nggak boleh linglung di sini. Lebih baik sekarang aku segera pulang. Tentang bagaimana perasaanku sebenarnya bisa aku pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah."Lantas, Marisa pun memutar tubuh dan kembali ke halaman sekolah. Dia segera memasuki mobil kesayangannya dan memacunya menuju rumah. "Loh … katanya mau ke toko buku. Kok sudah pulang? Nggak jadi?" tegur Bu Rahmi ketika melihat Marisa turun dari mobil. "Enggak, Bu," jawab Marisa sambil melangkah menuju teras. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Marisa menyelonjorkan kaki dan memandang ibunya yang tengah merapikan rumpun mawar.Tidak adanya penjelasan atas
Mata Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "Sudah sedekat itukah hubungan mereka hingga Suster Ratri membawakan bekal untuk makan siang Dokter Harun?" batinnya."Suster Ratri itu seperti seorang ibu sekaligus kakak buat saya. Cerewetnya sama," lanjut Dokter Harun sambil menatap Marisa."Seperti ibu? Cerewet?" Marisa mengulangi kata-kata Dokter Harun dengan nada kebingungan. "Iya. Kalau Suster Ratri lagi ngomelin saya bisa dua puluh ribu kata per jam dia lontarkan." Dokter Harun terkekeh sambil matanya menerawang. Dia mengenang saat-saat Suster Ratri mengomelinya. "Suster Ratri berani ngomelin Dokter?" Marisa bertanya dengan heran. Dia semakin kebingungan mendengar fakta terbaru tentang sosok suster luar biasa yang menjadi kesayangan keluarga Dokter Harun itu."Loh kenapa nggak berani? Kan dia juga sudah saya anggap seperti kakak tertua," jawab Dokter Harun. Marisa melongo mendengar jawaban Dokter Harun yang semakin membuatnya bingung. Benaknya sibuk merangkai semua fa
"Bu Marisa … apa kabar? Lama kita tidak ketemu. Kapan kita bisa mengobrol lagi seperti beberapa bulan lalu, ya, Bu? Saya kangen kepada Ibu."Marisa mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang siswi mendekatinya yang tengah asyik membaca di perpustakaan sekolah. "Amanda? Alhamdulillah kabar ibu baik dan sehat. Semoga Amanda juga sehat. Iya, kita lama nggak ketemu, ya. Soalnya tahun ajaran baru ini ibu nggak mengajar di kelasmu lagi. Ayo sini duduk di sebelah Ibu, mumpung lagi jam istirahat." Amanda menurut dan menarik kursi kosong di sebelah Marisa. Setelah duduk, dia lalu berkata,"Alhamdulillah … syukurlah kalau ibu baik-baik saja. Manda juga Alhamdulillah baik, Bu. Cuma kangen aja karena jarang ngelihat Ibu." "Iya, loh. Ibu juga baru sadar kalau sudah lama nggak lihat kamu nunggu jemputan di bangku halaman sekolah." "Iya, Bu. Sekarang ini Manda nggak perlu nunggu jemputan lagi."Marisa terkesiap. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini ada hubungannya dengan kemarahan Dokter
"Iya, Mas. Aku baru saja memberi tahu dia kalau aku menolak lamarannya." "O pantas saja mukanya ditekuk seperti itu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?""Rencana? Rencana apa maksudmu, Mas?" tanya Marisa dengan wajah kebingungan."Ya rencana masa depan kamu. Misalnya … apa kamu akan kembali menutup diri atau mau membuka hati lagi? Apa kamu mau terima perjodohan yang kemarin diatur ibuku? Atau bagaimana? Kamu pasti sudah memikirkannya, kan?" selidik Rian."Sepertinya aku ngalir aja, Mas. Aku ikut takdir Allah. Maksudku … aku nggak siapin waktu secara khusus untuk cari pasangan hidup, tapi kalau Allah takdirkan aku ketemu seseorang, ya, aku terima." "Meskipun itu aku?""Maksudnya gimana, Mas?""Kalau Allah takdirkan aku adalah jodohmu gimana?" Rian tidak menjawab pertanyaan Marisa, tetapi justru bertanya balik. Tatapan mata Rian menghujam tepat ke bola mata Marisa. Dia menatap penuh harap kepada perempuan yang sudah dikenalnya sejak kecil itu."Kalau memang Allah takdirkan, ya,