"Langsung meneng kelakep, kan Bu Sam!" celetuk Ibu bangga.Setelah ditanya, kapan nyusul, Bu Samini langsung berpamitan pulang. Tak ada lagi basa basi yang keluar dari mulutnya. Mungkin kena mental sama omongan Ibu.Lagian, salah sendiri. Siapa suruh coba ngatain anak orang duluan. Kan jadi malu sendiri."Iya, Bu. Memang jawaban Ibu hebat banget. Bisa mengusir tanpa menyentuh!""Sekali-kali, orang kayak dia itu, harus dikasih pelajaran. Biar agak pinter sedikit. Jadi, kalau ngomong sama orang lain, ini-nya dipake!" tunjuk Ibu ke kepalanya sendiri. "Besok-besok, kalau ada orang nyinyir lagi. Ibu aja yang ngejawabnya. Biar langsung K.O,""Gampang itu. Wani piro?""Haiisshhh. Nggak jadi lah kalau gitu. Udah malem, aku mau tidur dulu, Bu. Ibu juga, jangan sering begadang, nanti matanya hitam kayak panda yang udah tua!""Panda mau tua mau muda, matanya ya tetep hitam toh nduk! Ya wes sana tidur. Besok harus kerja demi mencari sesuap nasi dan sebongkah berlian,"Aku berjalan masuk ke kamar
Ponsel Sinta yang sempat dia lempar padaku, berdering nyaring."Tuh, kan! Jangan mengelak lagi. Kita ini memang sudah pasti jodoh. Sudahlah nggak usah malu-malu. Ayo kita pesan makanan. Pasti sudah pada lapar kan? Itu temannya, suruh pesan juga!"Kutu kupret! Memang Sinta keong racun! Aku jadi kejebak gara-gara ponselnya.Kuberikan tatapan membunuh pada teman lucnut satu ini. Tapi dia cuma cengengesan tak jelas._"Bang! Oy! Sini!" teriak Sinta pada salah satu pelayan warung bakso."Pesan apa, Mbak?" tanya Sang pelayan tak lupa melirik ke arah kakek tua itu.Mungkin dia berpikir kalau kami adalah perempuan nggak bener, karena jalan sama kakek-kakek. Hemmm, nasib. Punya temen, gampang banget dibohongi. "Saya mau bakso, tiga, sama jus jeruknya satu!?" jawab Sinta memesan makanan."Dek, Sinta ini, kerjanya apa ya?" tanya lelaki tua itu padaku.Bukannya menjawab, karena namanya yang disebut, Sinta malah jadi wanita pendiam. Padahal, biasanya dia kayak belatung. Lompat sana lompat sini ng
"Eh, ketemu lagi, sama manusia madesu!" celetuk seseorang, yang baru aja datang. Kami semua menoleh padanya.Huh, siapa lagi orangnya kalau bukan biang keladi!Nggak di kampung, nggak di luar, selalu aja ketemu. Mana kalau ketemu omongannya nyelekit lagi. Pengen deh retakkan ginjalnya."Eh, ya ampun! Ketemu lagi sama mantan calon Ibu mertua. Kok bisa ya, selalu kebetulan begini. Ah, Jangan-jangan kita berjodoh. Nggak di kampung, nggak di jalan, nggak di luar. Kok pas banget ya? Apa nanti di akhirat juga kita bertemu? Tapi kayaknya enggak deh. Soalnya, saya masuk surga, situ masuk neraka!" celetukku di iringi tawa ngakak dari Sinta. Ibu Bang Jali, hanya sendiri. Dengan dandanan seperti biasanya. Cetar membahana badai. Kalau sempat aja ada rampok, udah habis dia dirampok. Lagian, kok ya nekat banget cari masalah. Apa nggak. mikir, kalau pakai perhiasan begitu bisa ngundang kejahatan.Itu rantai di leher, kalau sempat ditarik jambret, pasti orangnya langsung ngikut. Kan kasihan aspalnya
"Tuh, kan. Makanya, jadi orang jangan sombong, Bu. Tuhan itu maha adil. Langsung deh kena karma. Udah ngerti dong, kalau karma sekarang, naik jet!" ejekku, mendekati Ibu Bang Jali, yang masih menangis."Memang si4lan, kamu! Udah jelas-jelas, liat orang kesusahan. Malah diem aja. Bukan ditolongin!" bentaknya.Udah kena karma, masih aja suka bentak-bentak orang. Begini lah, manusia yang tak sadar jika dirinya udah ditegur sama yang maha Kuasa."Minta tolong, ke kantor polisi lah, Bu. Jangan sama aku. Lagian, emas imitasi kok ditangisi!""Yang diambil, jambret, itu emas asli!" sungutnya."Lah, mana saya tau. Toh, semuanya kelihatan asli, tapi nyatanya palsu. Itu, buktinya dibuang sama jambretnya. Ya, wes. Jangan nangis, besok beli lagi. Aku mau pulang dulu, ya!" ucapku berpamitan. "Tunggu, aja. Nanti saya bakal lapor polisi. Dan kamu pasti keseret. Karena udah biarin orang tua kejambretan!" ancamnya, dengan wajah sinis.Seandainya, yang kejambretan bukan dia, pasti aku langsung menolong
Gagal Move on"Rani, tunggu!" Aku menghentikan laju sepeda motor saat suara seseorang memintaku berhenti. Dan ternyata, Bang Jali."Ada apa?" tanyaku jutek. Nggak biasanya dia berhentiin aku di jalan. Mana sepi lagi. Ini kali pertama dia ngajak aku ngobrol setelah kami putus. Biasanya juga, kalau ketemu wajahnya selalu kayak debcollektor nagih hutang. Nggak ada ramahnya."Ada yang mau abang omongin," jawabnya memegangi stang motorku.Hari ini, aku pulang kerja sendirian. Sinta bawa motor sendiri. Jadi, dia udah pulang lebih dulu tanpa menungguku. "Tinggal ngomong, nggak usah pegang-pegang!" Aku memukul tangannya yang sempat nangkring di stang.Kalau sampai ada orang yang melihat dia megang stang motorku, bisa-biaa mereka salah sangka. Terus aku dilabrak Ibunya sama calon mertuanya. Kan nggak banget!Apa kata tetangga? Bakal jadi kasus terviral kedua setelah mahar lima Milyar nanti. Diomongin tetangga dimana-mana. Bukannya peduli dengan omongan orang. Tapi, berisik aja gitu dengernya
"Ya, Allah. Kamu kenapa, Nduk? Kok jalannya pincang begitu?" tanya Ibu khawatir. Ia langsung berjalan cepat mendekatiku."Ini tadi, nggak sengaja nendang besi, Bu," jawabku berbohong. Nggak mungkin aku bilang kalau semua ini ulah Bang Jali yang udah mulai menggila. Bisa panjang nanti pertanyaan dari ibu. "Lah kok bisa toh, Nduk. Besi nggak bersalah ditendang? Apa ngerasa udah kuat kayak gatot kaca? Pengen ngetes ilmu gitu?" tanya ibu sewot."Bukan gitu loh, Bu. Tadi, Rani jalan nggak lihat-lihat. Saking terburu-buru tiang warung yang terbuat dari besi, langsung kena sambar," jawabku menambah kebohongan lainnya.Kalau udah sekali bohong, pasti akan ada ke dua dan ke tiga. Hanya gara-gara satu orang. Yang rasanya pengen ku sunat dua kali. Tapi sayang, diri ini bukan bidan."Owalah. Lah ngapain kamu buru-buru? Nggak akan lari jodoh dikejar," ucap Ibu melirikku."Gunung, Bu. Bukan jodoh," ralatku."Halah, sama aja itu. Pokoknya sama-sama nggak akan lari kalau dikejar.""Iya, lah. Suka ha
"Kamu kenapa tadi ribut sama Si Atun, Nduk?" tanya Ibu yang baru saja pulang dari acara Putri.Sudah jam lima sore. Dan aku dari tadi hanya duduk makan dan tiduran sambil menunggu ibu pulang. Setelah ribut dengan Bi Atun, aku tak lagi kembali ke acara. Karena malas bertemu dengan wanita berbisa itu."Iya, tadi Bi Atun udah keterlaluan, Bu. Ngomong yang nggak-nggak," jawabku, mengingat kejadian pagi tadi. Seandainya, meracuni orang tidak berdosa Udah kukasih, rac*n tikus dia. Biar sekalian berubah jadi tikus sawah. Jangan tikus negara. Susah soalnya, harus sekolah. "Lah, ngomong gimana emangnya?" tanya Ibu lagi, dan ikut duduk di depan TV."Gara-gara Bang Jali salah sebut nama. Bi Atun bilang kalau Rani yang ngedukuni. Makanya sampai salah dua kali. Ya, Rani nggak terima lah."Udah dibelain cuti kerja, demi datang ke acara. Eh, malah diomongin yang enggak-enggak. Kan emosi tingkat kecamatan. Udah rugi waktu, rugi duit juga, karena gaji dipotong. "Sabar, Nduk. Orang sabar jidatnya l
Dari ketiga parsel yang mereka bawa. Ada satu set emas, di dalamnya. Dan satunya lagi, tak kelihatan karena hanya hiasan saja yang nampak dari luar. Ibu Bang Juna, dan kedua ibu-ibu yang membawa parsel tersebut, duduk berdampingan."Ini semua, untuk Dek Rani. Uang 200juta, satu set emas seberat empat puluh gram sebagai mas kawin, serta sertifikat kebun kelapa sawit seluas dua hektare," ucap Bang Juna memberikan seserahan itu padaku satu persatu.Ibu sampai tak bisa berkata apa-apa. Melihat begitu banyak yang diberikan oleh Bang Juna. Tak ada yang menyangka, seorang petani yang selalu di rendahkan oleh Bu Jujuk, ternyata bisa memberikan lebih banyak ketimbang anaknya yang seorang PNS.Bukan sebanyak ini juga yang kuinginkan. Berapapun itu, pasti kuterima. Ini semua terasa berlebihan."Tutup itu mulut. Lihat itu, air liurmu sampai menetes!" celetuk salah seorang Ibu-ibu, melihat Ibu Bang Jali menganga sampai menjatuhkan air liurnya."Hish, apaan sih kamu!" sewot Ibu Bang Jali mengusap
Pov Putri. "Huhuhu." Aku turun dari sepeda motor tukang ojek online yang mengantarkanku pulang. Aku harus berakting dan berpura-pura sangat bersedih. Pokoknya Bang Jali dan seluruh keluarganya tidak boleh curiga. Abang tukang ojek itu agak kebingungan melihatku yang tiba-tiba saja menangis. Sejak naik sepeda motornya, aku hanya diam saja. Dan sekarang, dengan tiba-tiba aku menangis. Aku memintanya segera pergi setelah kuberikan ongkos yang sudah ditentukan di aplikasi. Abang ojek itu langsung menancap gas sepeda motornya. "Kamu kenapa?" tanya Ibu mertua yang sedang melihat-lihat tanaman bunganya. Dia hanya menoleh sekilas saja. Oke, Put, perdalam lagi aktingmu! "Duhh, gimana, ya, Bu, bilangnya." Aku kembali menangis dan berusaha mengeluarkan air mata agar lebih meyakinkan aktingku, aku juga meremas kedua tanganku. "Ada apa? Ngomong kamu! Jangan cuma nangis aja! Nggak jelas banget kamu ini!" gerutunya jengkel."Itu Bu. Sepeda motor Bang Jali, hilang, Bu," ucapku seraya menundukk
Tidak ada satupun dari mereka yang berniat melerai kami. Mereka hanya menonton pertarungan sengit antara aku dan ulat bulu. Tak habis akal, aku juga menen-dangnya dengan sekuat tenaga.Rasakan! Rani, kok mau dilawan. Belum tahu saja kamu, bagaimana sifat bar-bar Rani, jika sudah tersakiti. Tidak akan ada kata atau pun lagu kumenangis. Berkali-kali aku menghadiahinya dengan tendangan maut, seperti pemain sepak bola. 'BRAK!'"ADUHH, SAKIT DEK!" keluhnya, mengaduh. Eh, suaranya kok berubah jadi laki-laki sih? Apakah Turmi wanita jadi-jadian? Terus, tadi manggil aku, "Dek". Kok aneh. "Dek, sadarlah." Suara lelaki lagi. Padahal yang di hadapanku adalah Turmi yang sedang menepuk-nepuk wajahku pelan. Ah, berani sekali dia menepuk-nepuk wajahku. Ingin membalasku ya? Tak tinggal diam, aku kembali menjambaknya dengan bar-bar. "Astaghfirullah, Bu, Rani kerasukan!" teriak Turmi dengan suara laki-laki, mirip dengan suara Bang Juna. "Astaghfirullahalazim, eling, Nduk!" Suara ibu, entah dar
"Dingin banget tangan, kamu," ujar Sinta yang sedang berdiri di sampingku, Ia sengaja menyentuh tanganku. Aku hanya bisa tersenyum, sambil terus fokus karena sedang dirias, dan Sinta, dari sejak awal aku dirias dia terus saja menggodaku dengan semua ucapan gi-lanya. Dari mulai malam pertama, sampai ke anak cucu dia bahas. Dia sengaja datang ke rumah dari kemarin dan menginap di rumahku. Karena tidak mau melewatkan momen pernikahanku, katanya. "Baca do'a biar nggak gugup. Nih, minum!" Sinta kembali berucap serta menyodorkan air mineral padaku.Aku langsung meminumnya sedikit demi sedikit, hingga tandas. Hari ini, janji suci akan segera terlaksana. Beberapa jam lagi, status lajangku akan berubah menjadi istri orang. Istri Bang Juna lebih tepatnya. Gugup? Sudah pasti aku sangat gugup. Siapa pun akan gugup saat hari pernikahannya tiba.Akhirnya, perjuangan menuju hari pernikahan telah kulewati dengan penuh lika-liku. Semoga saja, setelah menikah, tidak ada lagi gangguan dari orang-o
Ah, aku tidak akan mau diperbudak lagi. Bagaimanapun caranya, besok aku tidak akan mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Pepatah mengatakan, banyak jalan menuju roma. "Ibu, mau mandi dulu. Bawa sendiri itu cangkir bekas tehmu ke belakang!" perintah Ibu lalu meninggalkanku bersama Bang Jali. Ibu menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang sedang merajuk. "Jangan berfikir masalah sudah selesai, Put. Besok aku akan bertanya pada semua teman kerjamu. Jika kamu ketahuan berbohong, maka bersiaplah menanggung akibatnya," ancam Bang Jali tanpa rasa malu. Sebagai lelaki, seharusnya dia bisa melindungiku sebagai istrinya. Bukan malah mengancam seperti aku ini adalah musuhnya. Hanya masalah uang gajiku, dia segitu marahnya. Apa tidak malu suami meminta uang gaji istri untuk keluarganya? Setelah bercerai nanti, jika suatu saat dia meminta kembali dengan dalih penyesalan. Sampai mati pun tak akan aku mau kembali padamu, Jali. Tunggu saja semuanya. Kupastikan kamu akan menyesal te
Pov PutriBagaimanapun caranya, setelah berpisah dengan Bang Jali. Aku tak mau rugi. Saat di pengadilan nanti, pasti dia tidak akan membagi sedikitpun hartanya padaku. Sedangkan uangku yang sudah ada padanya lumayan banyak.Aku sudah memiliki rencana yang sangat apik. Tidak masalah semua uangku tidak kembali. Setidaknya separuhnya saja sudah lebih dari cukup. ***Hari yang ditunggu oleh ibu mertuaku pun tiba. Hari di mana aku menerima gaji bulanan. Dia pasti sudah sangat menanti-nanti hari ini.Wajah semringah menyambutku yang baru saja pulang bekerja. Jika biasanya ibu mertuaku ini cemberut, kali ini senyumnya merekah, seperti bunga mawar yang baru mekar."Sudah pulang, Nak?" tanya Ibu mertua, sangat ramah dan lembut. Aku tau itu hanya basa-basinya karena ingin mendapatkan uangku yang sekian lama dinantinya."Iya, Bu. Capek sekali hari ini," jawabku, menghembuskan napas kasar lalu menjatuhkan diri di sofa."Mau Ibu buatkan Teh? Agar hilang sedikit lelahmu," tawarnya masih dengan se
Dia mengataiku pemalas? Padahal dia lebih pemalas dibanding aku. Dasar, bisa menghina tapi lupa berkaca! "Apa maksud kamu, Wat?" tanya Ibu lembut, pada anak perempuan kesayangannya."Tadi, aku meminta menantu Ibu untuk mengambikan minum. Tapi dengan angkuhnya dia menolak, dan memintaku untuk mengambilnya sendiri. Padahal aku sedang sibuk menonton infotainment, dan dia sudah berdiri di situ. Apa salahnya sih tinggal melangkah ke dapur, yang tinggal berapa jengkal lagi!" cerocosnya, seperti bebek yang tidak bisa diam. "Apa benar begitu, Put?" tanya Ibu mertua lembut, lalu mengalihkan pandang padaku. Jika bukan karena sebentar lagi gajian, pasti Ibu mertua sudah memarahiku karena tak mau menuruti perintah anak kesayangannya. Ia lembut seperti itu, karena ada maksud dan tujuannya, yaitu uangku."Iya, Bu. Aku ini buru-buru mau berangkat bekerja, yang tujuannya mendapatkan uang. Nah sementara dia, hanya menonton infotainment saja masa tidak bisa ditinggal barang sebentar," Ucapku membela
"Bang, antarkan aku kerja, yuk!" Aku mengguncang tubuh Bang Jali yang masih lelap tertidur. Sudah jam setengah tujuh pagi. Tapi dia belum juga bangun. Apakah hari ini dia tidak mengajar seperti biasanya?"Emmm ... " Bang Jali hanya bergumam tanpa mau membuka matanya."Bang, bangun, sudah siang. Tolong antarkan aku pergi bekerja dong!" pintaku lagi, sambil menepuk pipinya pelan. "Apaan sih! Bisa berangkat sendiri kan!" bentaknya lalu terduduk dan mengacak rambutnya kesal."Gimana mau berangkat sendiri? Sepeda motorku, kan sedang ditahan orang. Terus aku harus jalan kaki pergi bekerja gitu? Kapan sampainya? Bisa-bisa aku terlambat masuk," ucapku dengan nada merajuk.Muak sebenarnya terus berakting menjadi wanita lembut di hadapannya. Tapi mau bagaimana lagi, agar dia tidak curiga, aku harus tetap berpura-pura seperti ini sampai tujuanku tercapai."Arrgghhh." Bang Jali semakin kesal, dia mengangkat lalu membanting kakinya di kasur, seperti anak kecil yang sedang merajuk pada Ibunya. "
"Akh, benar-benar menyus-" Bang Jali menggantung kalimatnya saat mataku menatapnya serius. Yakin sekali aku, jika dia ingin mengataiku. Tapi urung dilakukan karena tujuan untuk mendapatkan harta warisan dari orang tuaku belum tercapai. Miris sekali pemikiran suamiku satu ini. Bisa-bisanya ingin mendapatkan harta secara instan. Sebelum kamu menggerogoti hartaku, maka aku lah yang akan terlebih dahulu melakukannya. Setelah ini, akan datang masalah lainnya yang sengaja aku buat, untuk keluarga parasit. Tunggu saja tanggal mainnya, suamiku tercinta. "Menyus apa Bang?" tanyaku pura-pura tidak tau. Aku memasang wajah bodoh agar dia berpikir jika aku memang wanita bodoh. "Akh, sudah lah. Tidak usah dibahas," tukasnya, lalu memejamkan mata. "Abang marah ya, sama aku?" tanyaku dengan manja.Aku sengaja bergelayut di lengannya. Meskipun dia tidak menyukaiku, tapi aku pura-pura saja tidak tahu."Enggak!" jawabnya singkat, masih dengan mata terpejam. "Terus, keputusannya gimana? Aku bawa
Mulai membodohi JaliPov Putri. "Kemana sepeda motor kamu. Kenapa pulang diantar orang?" tanya Bang Jali saat aku baru saja turun dari sepeda motor, diantar oleh tetangga samping rumah Ibu. Tidak menggunakan sepeda motorku, melainkan sepeda motor anak tetangga, karena agar Bang Jali dan keluarganya tidak curiga dengan rencana yang sudah kususun matang. Suamiku itu sedang duduk di teras. Seperti sedang menungguku pulang. Di hadapannya, juga terdapat secangkir kopi yang kuyakini sudah diminum. Aku sengaja minta diantar tetangga dan meninggalkan sepeda motorku di rumah, agar Ibu bisa mengantar pesanan kue. Meskipun Ibu tidak bisa mengendarai sepeda motor, tapi aku sudah berpesan pada David, anak tetangga samping rumah untuk mengantarkan Ibu atau pesanan kuenya kemana saja. Anak remaja itu setuju, asalkan diberikan upah tiap minggunya. "Ditahan sama orang Bang," jawabku berbohong. Hanya dengan cara ini, aku bisa membantu Ibu. Jika kukatakan padanya bila sepeda motor kutinggalkan d