"Maaf, ya Bu. Atas keributan yang barusan. Sebenarnya tadi saya udah menolak dia untuk ikut. Tapi dia memaksa," ujar Ibu Bang Juna, tak enak hati."Tidak apa, Bu. Sudah biasa lihat orang seperti dia. Nggak kaget lagi." ucap Ibu sambil tersenyum hangat.Entah sampai kapan Ibu Bang Jali itu tidak merendahkan orang lain. Usia udah tua, wajah udah keriput, kulit udah kendur, tapi masih aja memandang orang dengan sebelah mata. Seperti bajak laut. Mungkin yang namanya watak susah untuk dirubah. Setelah kepergian Ibu Bang Jali yang entah kemana. Kami semua melanjutkan acara yang sempat tertunda. Tak ada yang peduli juga dia kemana. Biarin aja, dari pada bikin rusuh. Nanti kalau tak ada orang yang mau mengantarkannya pulang, pasti dia kembali ke rumah ini lagi. "Ini semua apa nggak berlebihan, Bang?" tanyaku, saat semua sudah kembali fokus pada acara.Tak enak aja, diberi sebanyak ini. Bayangkan aja, dari uang, perhisan, sampai kebun kelapa sawit. Kalau di total, semua yang telah diberik
"Masih takut juga toh sama setan? Padahal diri sendiri udah melebihi set*n!" sindir Bude Juni sambil melirik sinis Ibu Bang Jali.Merasa tersindir, wanita bertubuh tambun itu, langsung menyambar bak api tersiram bensin, "Heh, jaga mulutmu itu! Belum pernah makan ceker gajah, hah?" bentaknya, lalu mengangkat kaki kirinya."Mau nyoba?" tanyanya marah, sambil mengarahkan kaki ke bude Juni. "Naj-is! Kaki bau terasi, begini diarahkan pula sama aku!" gerutu Bude Juni lalu mendorong kaki tersebut, hingga yang empunya kaki oleng. "Dasar wedus gembel!" makinya, lalu menjauh dari Bude Juni. "Tadi katanya nggak sudi menunggu. Sok-sokan jalan pulang. Eh, taunya malah balik lagi!" Kini giliran ibu-ibu yang lain menyindirnya.Kasihan, kembalinya ia ke sini malah kena sindir sana sini. Salah sendiri juga punya mulut nggak bisa di jaga dan sok berani. Tapi nyatanya, malah balik arah karena takut setan. Padahal, kan nggak ada setan di bambuan. Paling cuma karena dia ketakutan. Jadi, seperti nampak
"Biasanya kalau gajian gini, pasti Putri ngasih gajinya sedikit untukku." Bu Samini tampak lesu saat menceritakan keluh kesahnya. Ia dan ganknya sedang duduk di warung Bude Juni.Aku yang baru saja datang ingin membeli sayuran, tak jadi melanjutkan langkah. Aku tetap di posisi ini sambil terus mendengarkan mereka ngobrol. Anggap aja, nguping."Lah, sekarang apa nggak ngasih?" tanya Bi Badriah sambil korek-korek telinga lalu diciumnya. Hih, jorok!"Jangankan ngasih gajinya. Ngasih kabar aja nggak pernah. Selama nikah, cuma sekali nelfon. Itu pun cuma nanya, berapa uang yang di dapat dari sumbangan orang yang datang ke pesta kemarin," keluhnya, lalu menjatuhkan diri ke atas meja."Mungkin mau tau, balik modal apa enggak-nya," ucap Bi Badriah menenangkan bestie-nya. Nah, kalau udah gini. Baru terasa. Kemarin-kemarin dikasih tau, ngeyel. Mentang-mentang tua nggak dengerin sama omongan yang muda. "Bukan karena itu. Putri minta dibagi dua semua uang sumbangannya. Karena, katanya selama i
Pov Bang Jali."Coba kamu tanya, sama ibumu. Berapa uang sumbangan yang di dapat dari acara pesta kemarin!" perintahku pada Putri yang baru aja selesai mandi. Sebenarnya udah dari kemarin aku gatal pengen tau jumlahnya. Tapi, karena habis pesta, nggak mungkin langsung dihitung hari itu juga. Makanya, sekarang aku harus segera tau.Enak saja, Ibu mertua ingin menguasainya sendiri. Yang pesta kan kami. Jadi, harus dibagi dua dong."Untuk apa ditanyakan, Bang?" Bukannya menuruti ucapanku, dia malah kembali bertanya.Istri, macam apa yang tak mendengarkan ucapan suaminya. Mau jadi, istri durhaka. Nggak bisa dibiarkan. Pokoknya, mulai hari ini dia harus tau posisinya sebagai istri itu, dimana. Jadi, kalau disuruh, tak payah lagi bertanya."Ya, untuk dibagi dua lah. Emang untuk apa lagi!" sahutku ketus.Percuma dilembutin. Nanti yang ada ngelunjak. Lagian, hatiku ini tak ada sedikitpun untuknya. Jadi, mungkin aku nggak akan bisa lembut sama dia."Loh, kenapa harus dibagi dua?" tanyanya la
"Jali! Bangunkan istrimu! Udah jam empat ini!" teriak Ibu sambil menggedor pintu kamarku.Berisik sekali, masih jam 4 subuh, Ibu sudah teriak-teriak seperti di pasar. Sementara Putri, bukannya bangun, dia malah masih pulas tertidur. Apa nggak dengar sama suara Ibu yang seperti petir? "Jali! Cepat bangunkan istrimu. Sudah Jam 4 ini. Nanti dia nggak sempat masak dan membersihkan rumah!" teriak Ibu lagi."Iya, Bu. Sebentar Jali bangunkan dia dulu!" jawabku sedikit berteriak juga.Padahal suara Ibu dan suaraku sudah keras, tapi wanita satu ini tak kunjung bangun. Dasar! "Bangun, put!" Aku mengguncang tubuhnya agar dia terbangun."Putri! Bangun!" Sekali lagi kuguncang dengan agak kuat. Payah sekali sih bangunnya. Kalau tidur udah sama kayak sapi mati."PUTRI!" Aku meninggikan suara agar dia mendengarnya. Perlahan, matanya terbuka."Kamu denger nggak dari tadi aku panggil?" tanyaku, sudah tersulut emosi."Maaf, Bang. Badanku capek banget. Jadi nggak denger apa-apa," sesalnya, lalu bangkit
"Rok, Ibu kenapa sobek?" tanyaku pada Ibu yang baru saja pulang dari mengantar tetangga jauh lamaran. Siapa lagi tetangga itu, kalau bukan si petani miskin Juna. Entah apa tujuan Ibu, sampai ngotot ikut rombongan. Padahal, dari dulu Ibu tak pernah suka dengan keluarga miskin itu. Tak hanya roknya yang sobek, dandanan Ibu juga sudah acak-acakan. Tak sama seperti awal pergi tadi.Sebenarnya aku juga penasaran. Tapi tak mungkin juga ikut rombongan. Biarkan saja, toh besok pasti beritanya langsung menyebar luas.Ini sudah lebih dari dua minggu sejak aku menikah dengan Putri. Dan Rani langsung dilamar oleh, si Juna. Aku tau, pasti demi bisa move on, makanya dia langsung minta lamar lelaki itu. Tapi sayang, pilihannya harus salah, karena ia menjatuhkannya pada petani yang hanya berpenghasilan sejuta sebulan. Kasihan, malang sekali nasibmu Rani! Membuang berlian demi batu kerikil. Coba kalau waktu itu mau kawin lari denganku. Pasti sekarang sudah memiliki suami PNS."Ini tadi, gara-gara k
Pov Rani"Jali, Nak!" panggil seseorang, yang kuyakini adalah Bu Samini.Saat ini, aku sedang duduk di dalam kedai Bulek Nunik. Tadi aku dimintanya untuk menjaga warung sebentar karena dia sedang buang air besar.Tak menyangka, jika lelaki yang sangat kuhindari datang dengan mendorong sepeda motornya, lalu berhenti langsung mengisikan bensin.Aku sengaja tidak ke luar, dan bersembunyi di dalam kedai karena takut dia berbuat nekat lagi. Biar bagaimana pun, masih ada rasa was-was jika bertemu dengannya."Kenapa, Bu?" tanya Bang Jali pada sang Ibu mertua.Entah dari mana datangnya, tau-tau Bu Samini sudah berada di dekat bang Jali. Aku hanya bisa mengintip mereka dari cela papan yang sudah bolong dimakan rayap."Putri kemana ya? Kenapa nggak pernah datang jenguk Ibu?" tanya Bu Samini, cemas."Mana kutau, Bu. Mungkin dia sibuk," jawab Bang Jali ketus.Duh, sama mertua sendiri aja, ketusnya minta ampun. Untung nggak jadi suamiku. Menghargai mertua saja dia nggak bisa. Apalagi menghargai is
"Assalamu'alaikum, Bu!" salamku saat sudah sampai rumah. Sudah jam 6 sore dan aku baru aja pulang, dikarenakan lembur. Ya, lumayanlah. Untuk tambahan beli beras, selebihnya beli mobil. Amin.Sebelum sah menikah, aku akan tetap bekerja. Sayang banget, kalau harus keluar sekarang. Kan uangnya bisa untuk tambahan belanja Ibu. Lagian nunggu sampe hari H tanpa ada kegiatan tuh, yang ada bosen. Makan tidur, makan tidur, yang ada badan tambah bulat, kayak badak bercula satu."Waalaikumsalam," sahut Ibu dari dalam.Aku membuka sepatu dan masuk ke dalam. Kulihat Ibu sedang bersantai menonton drama Korea. Meskipun udah tuir, ibuku ini masih suka kalau lihat yang bening-bening. Katanya bikin seger, kayak minum cendol di siang bolong.Entahlah siapa pencetus pertama siang bolong. Aku heran, emang ada siang pake bolong? Udah kayak daster emakku aja, bolong-bolong."Tadi, Bu Samini datang ke sini. Dia pinjam duit untuk berobat suaminya. Katanya kena asam urat," ucap Ibu, memberi tahuku, saat aku ba