14 Berjuang Melawan Kesengsaraan

Xi Feng baru saja hendak mencari si penjual buku, ketika sesuatu terjadi.

Angin menderu-deru, mencambuk jubah Xi Feng di sekelilingnya seperti hantu yang panik.

Di atas, langit bergemuruh, sebuah kuali berwarna ungu memar dan hitam yang marah berputar-putar. Dia berdiri di puncak Gunung Taihang yang bergerigi, angin menggigit kulitnya yang terbuka, aroma ozon menyengat di lubang hidungnya.

Ini bukanlah kultivasi yang tenang dan meditatif seperti yang ia bayangkan; ini adalah ujian yang brutal dan mendalam terhadap dirinya.

Teknik Tubuh Suci Kekacauan, sebuah jalan yang dibisikkan dengan nada pelan di antara para kultivator paling kuat, telah menjanjikan kekuatan yang tak terbayangkan. Tapi harganya? Tiga Kesengsaraan, enam Bencana.

Dan setelah gelombang pertama isai, sekarang, gelombang kedua jatuh.

Sambaran petir, lebih tebal dari batang pohon mana pun, merobek udara, berderak dengan energi yang sepertinya merobek jalinan realitas.

Itu menghantam Xi Feng, bukan dengan kekuatan ledakan yang diharapkan, tetapi dengan penderitaan internal yang membakar.

Dia merasakan setiap sel di tubuhnya menjerit, seolah sejuta jarum kecil menusuknya dari dalam.

Penglihatannya kabur, napasnya tersengal-sengal, tapi dia tetap berdiri teguh. Teknik Tubuh Suci Kekacauan, yang ditempa dalam wadah kekacauan kuno, berdenyut di dalam dirinya, sebuah tandingan terhadap amukan surgawi.

Itu bukan perisai, tapi sebuah saluran, menyerap kekuatan mentah dari petir, menyempurnakannya, menenunnya ke dalam esensi keberadaannya.

Kesengsaraan kedua ini, tiba dengan cepat, semburan angin sedingin es yang membekukan sangat udara di sekelilingnya. Bukan hanya dingin; itu adalah kehampaan dingin yang mengancam akan menyedot kehangatan, kehidupan, dari tulangnya.

Otot-ototnya menegang, darahnya mengalir ke sungai glasial di dalam nadinya. Dia merasa dirinya tergelincir, tepian kesadarannya memudar ke dalam embun beku yang menggigit.

Namun sekali lagi, Teknik Tubuh Suci Kekacauan merespons, sebuah tungku api internal yang melawan es yang mengganggu. Dia merasakan tekniknya menguat, energi kacau di dalam dirinya semakin kuat, semakin tangguh setiap detiknya.

Kesengsaraan ketiga adalah api. Bukan kehangatan lembut perapian, tapi kobaran api yang turun dari langit, sungai emas cair dan putih pijar. Panasnya tak tertahankan, gelombang panas yang mengancam akan membakarnya.

Kulitnya melepuh, rambutnya hangus, namun ia tetap pantang menyerah. Teknik Tubuh Suci Kekacauan, yang sekarang merupakan badai yang menderu-deru di dalam, bertemu dengan api surgawi dengan kekuatan balasannya sendiri, sebuah tarian kehancuran dan penciptaan yang kacau.

Saat api mereda, hanya menyisakan aroma tanah yang terbakar dan sisa-sisanya. keheningan gunung yang bergema, Xi Feng berdiri, berubah.

Dia terluka, tubuhnya merupakan bukti cobaan berat, namun semangatnya tidak patah. Dia telah menghadapi tiga kesengsaraan, dan muncul sebagai pemenang.

Enam bencana telah menanti, sebuah ujian lebih lanjut bagi tekadnya, namun ia menghadapinya dengan keyakinan baru, kekuatan yang ditempa di tengah badai. Teknik Tubuh Suci Kekacauan, bukan hanya sebuah teknik; itu adalah sebuah wadah, dan dia, Xi Feng, adalah mahakaryanya.

Perjalanan emosional Xi Feng selama tiga kesengsaraan bukanlah perkembangan sederhana dari rasa takut menuju kemenangan. Itu adalah permadani rumit yang ditenun dengan benang kesakitan, tekad, dan pemahaman yang berkembang tentang kekuatannya sendiri.

Kesengsaraan Pertama (Petir): Awalnya, Xi Feng merasakan teror yang paling mendasar. Kekuatan sambaran petir sungguh luar biasa, kekuatan mentah dan liar yang mengancam akan melenyapkannya.

Ketakutan berperang dengan tekad kuat yang lahir dari pelatihan keras selama bertahun-tahun. Dia tidak hanya bertahan hidup; dia melawan petir, menyalurkan energi destruktifnya ke dalam dirinya sendiri.

Pertarungan ini memicu lonjakan adrenalin bercampur dengan tekad yang suram dan terfokus. Ini bukan soal keberanian, tapi lebih soal kemauan keras dan pantang menyerah.

Kesengsaraan Kedua (Es): Angin sedingin es membawa jenis teror yang berbeda – rasa dingin yang merayap dan berbahaya yang mengancam untuk membekukan tidak hanya tubuhnya, namun juga jiwanya demikian juga.

Ketakutan awal berubah menjadi perjuangan putus asa melawan pelupaan. Dia berjuang melawan hawa dingin yang mematikan, tidak hanya secara fisik, tapi juga mental, berpegang teguh pada kesadaran dengan setiap serat keberadaannya.

Rasa terisolasi memperdalam ketakutannya; dia merasa benar-benar sendirian menghadapi kekuatan yang luar biasa ini.

Namun, di tengah keputusasaan yang mengerikan, percikan perlawanan muncul. Dia menolak untuk menyerah, didorong oleh penolakan keras kepala untuk dikalahkan.

Kesengsaraan Ketiga (Api): Panasnya api neraka membawa penderitaan yang mendalam dan mendalam. Ketakutan hampir menjadi hal kedua setelah rasa sakit yang luar biasa.

Keadaan emosi Xi Feng adalah perpaduan antara penderitaan yang hebat dan penerimaan yang aneh dan hampir menggembirakan.

Rasa sakitnya begitu mendalam hingga melampaui rasa takut; itu menjadi bagian dari dirinya, sebuah wadah di mana rohnya ditempa.

Dia merasakan hubungan yang aneh dengan api, pemahaman yang paradoks tentang potensi destruktif dan kreatifnya. Dia tidak hanya menahan api; dia menjadi satu dengannya, menguasai kekuatannya.

Pada akhirnya, kelelahan bercampur dengan kegembiraan yang penuh kemenangan, rasa sakit digantikan oleh rasa pencapaian yang mendalam. Dia telah menghadapi neraka dan muncul, bukan tanpa cedera, tetapi benar-benar berubah.