Apa yang ditakutkan Gemintang terjadi.Air matanya kembali tumpah tanpa bisa ditahan lagi.Pada awalnya, dia mencoba mengerti pertengkaran mereka, tapi ada sisi dalam dirinya yang tidak bisa lagi menerima.Ia tak ingin pasrah begitu saja ketika sang suami mengakhiri perdebatan tanpa peduli dengan pemaparannya! “Kamu mau marah dan pergi begitu saja tanpa mendengar penjelasanku?” ucap Gemintang pada akhirnya.“Bukankah semuanya sudah jelas?” balas Janu tanpa menoleh. “Kalau aku bilang Rosaline yang merusaknya, apakah kamu mau percaya?” Suara Gemintang lirih, seperti tercekat di tenggorokan.Ucapan itu membuat langkah Janu terhenti. Dia terpaku di ambang pintu.Rosaline?Namun, Janu tetap tidak berbalik. Masih mendengarkan apa yang akan dikatakan Gemintang. Wanita itu masih sanggup tertawa singkat dalam tangisnya, terdengar getir dan menyakitkan.“Kamu hidup berapa tahun denganku? Kamu tahu benar, aku sangat menghargai semua barang pemberianmu! Jadi mana mungkin aku menghancurkan benda
Gemintang masih terisak pelan, meski tangisnya mulai mereda. Janu kembali memeluknya dengan erat, kemudian membimbing wanita itu untuk duduk di ranjang yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Kalau kamu masih kesal, pukul saja aku, sesukamu," bisik Janu lembut, tetapi Gemintang hanya menggeleng pelan.Pria itu membiarkan Gemintang meluapkan seluruh beban yang menggulung di hatinya. Setelah beberapa saat berlalu dalam hening, Gemintang perlahan melepaskan diri dari pelukan suaminya. Dengan tangannya, dia menyeka air mata yang tersisa, sembari berusaha merapikan napas yang tersengal.“Sudah lebih baik?” tanya Janu, matanya mencari jawaban di wajah istrinya. Gemintang menjawabnya dengan anggukan pelan.“Lain kali, jujurlah denganku. Kalau Rosaline datang dan bersikap buruk, atau jika ada hal buruk yang terjadi padamu, aku ingin kamu langsung bicara. Jangan menunggu sampai masalahnya meledak seperti ini.” Janu mengulur tangannya ke wajah Gemintang, turut merapikan anak rambut yang bera
Hanya saja, malam itu, hubungan Janu dan Gemintang sedikit membaik. Berulang kali Gemintang tersenyum dan berusaha menyembunyikan rasa kecewa yang masih bermukim di hatinya. Ia berharap bisa meredakan ketegangan yang sempat terjadi di antara mereka. Namun, meski permintaan maaf telah terucap, tak ada yang benar-benar berubah di dalam hati Gemintang.Dia terlalu sering terluka.Bahkan luka yang belum sembuh sepenuhnya, selalu tertimpa dengan luka yang baru.Pagi itu, Gemintang terbangun karena suara alarm yang meraung keras dari ponselnya. Namun, pemandangan yang ia lihat setelah membuka mata dengan benar adalah Janu yang sudah bersiap dengan pakaian kerjanya.Pria itu sedang memasang dasi, mematut dirinya di depan cermin. “Hei, kamu sudah bangun?” sapanya saat melihat pantulan Gemintang dari cermin. Gemintang mengangguk, dia lalu menoleh lagi ke arah ponselnya yang masih menyala. Baru pukul enam, tetapi Janu sudah bersiap ke kantor. “Kamu sudah mau berangkat, Mas?” tanyanya, ser
“Apa ibu ada wawancara kerja?” Satpam itu masih berusaha bertanya. Gemintang lalu menggeleng. “Oh, maaf, saya asisten rumah tangga di rumah Pak Janu, tadi ponselnya tertinggal jadi saya diminta mengantar ini,” jawab Gemintang, tak ada pilihan selain menyamar jadi pembantu Janu. Dua alis petugas itu menyatu. “Pembantu? Setahu saya pembantu Pak Janu rata-rata sudah berumur 40 tahun ke atas, tidak ada yang muda seperti kamu.”“Um, sa—saya baru, Pak. Baru mulai bekerja minggu ini.” Gemintang menelan ludahnya kasar, dia berharap jawaban ini masuk akal.Untung saja pria itu hanya mengangguk. “Sebentar, saya konfirmasi dengan Pak Gala dulu,” katanya lalu berjalan ke meja resepsionis, dengan telepon intercom dia menghubungi seseorang. Entah apa yang mereka bicarakan, Gemintang hanya mendengar satpam itu menjawab, “Baik, Pak.”“Ruangan Pak Janu ada di lantai dua puluh, setelah keluar dari lift tinggal belok kanan saja, pesan Pak Gala letakkan ponselnya di meja sekretaris karena Pak Janu sed
Dari seberang sana, Baskara yang sedang dalam perjalanan menuju toko roti, lantas menepikan mobilnya.Padahal, beberapa ratus meter lagi dia sampai tujuan. “Gemintang? Ada apa denganmu?” Baskara kembali bertanya. Dia semakin panik ketika mendengar suara Gemintang semakin terisak kencang. “Kamu kenapa? Jawab dulu, kamu kenapa?”[“Jemput aku di dekat Ferinco. Tolong jemput saja, aku jelaskan nanti.”] Setelah mengatakan itu, Gemintang menutup teleponnya membuat Baskara semakin khawatir. Gegas pria itu memutar arah mobilnya dan segera menuju tempat yang disebutkan oleh Gemintang tadi. Wanita itu juga mengirimkan lokasi padanya. Dia harus tahu, masalah apa, hingga membuat wanita yang telah ia anggap sebagai orang istimewa dalam hidupnya itu menangis saat matahari bahkan belum sepenuhnya tinggi. Tapi, mengapa pula Gemintang bisa di Ferinco pagi-pagi begini?*** Sementara di ruangan lain, tempat dimana Janu dan Rosaline masih melanjutkan perdebatan mereka …."Seharusnya kamu tidak pern
Sementara di sisi lain, Baskara akhirnya mendekati lokasi yang dikirimkan Gemintang. Hanya butuh beberapa menit karena ia melaju dengan kecepatan tinggi,Sepasang mata elangnya menyapu jalanan mencari keberadaan Gemintang, hingga akhirnya ia menangkap pemandangan yang memprihatinkan. Sosok perempuan berbaju biru langit, yang ia yakini sebagai Gemintang, sedang berjongkok di pinggir jalan sepi, tak jauh dari gedung Ferinco. Wanita itu menutup wajahnya dengan kedua tangan.Baskara segera menghentikan mobilnya, bergegas turun, dan berlari menghampiri wanita itu. “Gemintang?” panggilnya saat tiba di hadapan Gemintang. Ia berlutut dan menarik lengan Gemintang agar mendongak ke arahnya. Namun, yang terjadi justru Gemintang memeluk tubuhnya erat-erat, menumpahkan tangis tanpa memberikan penjelasan. Baskara merasa bingung, tetapi satu hal yang ia tahu, Gemintang tampak sangat terluka. Ia pun membalas pelukan itu, mengusap punggung Gemintang pelan, membiarkan wanita itu meluapkan rasa ses
Sementara Gemintang dan Baskara sibuk mengemasi barang-barang, di sudut bangunan yang lain, Janu dilanda kebingungan. Setelah rapat internal selesai, sekretarisnya menyerahkan ponsel yang ia ingat tertinggal di rumah. Masalahnya, ponsel itu tertinggal di rumah kecilnya, sementara sekretaris dan satpam mengatakan bahwa seorang pembantu mengantarnya ke kantor pagi itu. Tentu saja, ini membuatnya bertanya-tanya.“Tadi pagi, satpam menelponku menggunakan intercom. Dia bilang ada asisten rumah tangga yang mengantar ponselmu. Aku pikir kau pulang ke rumah utama, jadi ku katakan saja taruh di meja sekretaris,” ujar Manggala, duduk di sofa tamu sambil membaca beberapa laporan audit.“Aku tidak pulang ke rumah utama. Aku di rumah Gemintang,” jawab Janu, membuat Manggala segera mendongakkan kepalanya.Dia bergegas menutup bendelan kertas itu dan menatap serius ke arah Janu. “Kau serius?”Janu menganggukkan kepalanya. “Aku serius. Jika tertinggal di rumah utama, pasti aku tidak akan santai saat
“Perlu aku temani ke sana?” tanya Manggala kemudian. Dia melihat situasi yang dihadapi Janu terlihat kurang baik. Jika dia ikut, mungkin bisa membantunya. “Maksudku, jika nanti kau butuh pihak ketiga untuk bicara baik-baik dengan Gemintang, aku bisa membantumu. Aku juga ada di ruangan mu pagi ini, dan aku juga tahu semua apa yang kau ucapkan. Aku bisa jadi saksi.”Manggala benar. Dia bisa jadi saksi, tetapi yang Janu khawatirkan jika Gemintang tidak percaya karena menganggap Manggala adalah orangnya. Janu lalu menggelengkan kepalanya. “Kau tunggu di sini. Biar aku sendiri saja. Lagipula, aku harus bertemu dengan ibu mertuaku, jika mengajakmu takutnya membuat mereka salah paham aku menginginkan pembelaan.”Manggala mengangguk setuju. “Kalau begitu maumu baiklah. Tapi, apa kau yakin Gemintang mau menemuimu? Bagaimana jika dia tidak mau, apa yang akan kau lakukan?”Kini, Janu kembali berpikir, telunjuk dan ibu jarinya tak henti memijat kepalanya sendiri. “Apa pun yang terjadi, setidaknya