Gemintang masih terisak pelan, meski tangisnya mulai mereda. Janu kembali memeluknya dengan erat, kemudian membimbing wanita itu untuk duduk di ranjang yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Kalau kamu masih kesal, pukul saja aku, sesukamu," bisik Janu lembut, tetapi Gemintang hanya menggeleng pelan.Pria itu membiarkan Gemintang meluapkan seluruh beban yang menggulung di hatinya. Setelah beberapa saat berlalu dalam hening, Gemintang perlahan melepaskan diri dari pelukan suaminya. Dengan tangannya, dia menyeka air mata yang tersisa, sembari berusaha merapikan napas yang tersengal.“Sudah lebih baik?” tanya Janu, matanya mencari jawaban di wajah istrinya. Gemintang menjawabnya dengan anggukan pelan.“Lain kali, jujurlah denganku. Kalau Rosaline datang dan bersikap buruk, atau jika ada hal buruk yang terjadi padamu, aku ingin kamu langsung bicara. Jangan menunggu sampai masalahnya meledak seperti ini.” Janu mengulur tangannya ke wajah Gemintang, turut merapikan anak rambut yang bera
Hanya saja, malam itu, hubungan Janu dan Gemintang sedikit membaik. Berulang kali Gemintang tersenyum dan berusaha menyembunyikan rasa kecewa yang masih bermukim di hatinya. Ia berharap bisa meredakan ketegangan yang sempat terjadi di antara mereka. Namun, meski permintaan maaf telah terucap, tak ada yang benar-benar berubah di dalam hati Gemintang.Dia terlalu sering terluka.Bahkan luka yang belum sembuh sepenuhnya, selalu tertimpa dengan luka yang baru.Pagi itu, Gemintang terbangun karena suara alarm yang meraung keras dari ponselnya. Namun, pemandangan yang ia lihat setelah membuka mata dengan benar adalah Janu yang sudah bersiap dengan pakaian kerjanya.Pria itu sedang memasang dasi, mematut dirinya di depan cermin. “Hei, kamu sudah bangun?” sapanya saat melihat pantulan Gemintang dari cermin. Gemintang mengangguk, dia lalu menoleh lagi ke arah ponselnya yang masih menyala. Baru pukul enam, tetapi Janu sudah bersiap ke kantor. “Kamu sudah mau berangkat, Mas?” tanyanya, ser
“Apa ibu ada wawancara kerja?” Satpam itu masih berusaha bertanya. Gemintang lalu menggeleng. “Oh, maaf, saya asisten rumah tangga di rumah Pak Janu, tadi ponselnya tertinggal jadi saya diminta mengantar ini,” jawab Gemintang, tak ada pilihan selain menyamar jadi pembantu Janu. Dua alis petugas itu menyatu. “Pembantu? Setahu saya pembantu Pak Janu rata-rata sudah berumur 40 tahun ke atas, tidak ada yang muda seperti kamu.”“Um, sa—saya baru, Pak. Baru mulai bekerja minggu ini.” Gemintang menelan ludahnya kasar, dia berharap jawaban ini masuk akal.Untung saja pria itu hanya mengangguk. “Sebentar, saya konfirmasi dengan Pak Gala dulu,” katanya lalu berjalan ke meja resepsionis, dengan telepon intercom dia menghubungi seseorang. Entah apa yang mereka bicarakan, Gemintang hanya mendengar satpam itu menjawab, “Baik, Pak.”“Ruangan Pak Janu ada di lantai dua puluh, setelah keluar dari lift tinggal belok kanan saja, pesan Pak Gala letakkan ponselnya di meja sekretaris karena Pak Janu sed
Dari seberang sana, Baskara yang sedang dalam perjalanan menuju toko roti, lantas menepikan mobilnya.Padahal, beberapa ratus meter lagi dia sampai tujuan. “Gemintang? Ada apa denganmu?” Baskara kembali bertanya. Dia semakin panik ketika mendengar suara Gemintang semakin terisak kencang. “Kamu kenapa? Jawab dulu, kamu kenapa?”[“Jemput aku di dekat Ferinco. Tolong jemput saja, aku jelaskan nanti.”] Setelah mengatakan itu, Gemintang menutup teleponnya membuat Baskara semakin khawatir. Gegas pria itu memutar arah mobilnya dan segera menuju tempat yang disebutkan oleh Gemintang tadi. Wanita itu juga mengirimkan lokasi padanya. Dia harus tahu, masalah apa, hingga membuat wanita yang telah ia anggap sebagai orang istimewa dalam hidupnya itu menangis saat matahari bahkan belum sepenuhnya tinggi. Tapi, mengapa pula Gemintang bisa di Ferinco pagi-pagi begini?*** Sementara di ruangan lain, tempat dimana Janu dan Rosaline masih melanjutkan perdebatan mereka …."Seharusnya kamu tidak pern
Sementara di sisi lain, Baskara akhirnya mendekati lokasi yang dikirimkan Gemintang. Hanya butuh beberapa menit karena ia melaju dengan kecepatan tinggi,Sepasang mata elangnya menyapu jalanan mencari keberadaan Gemintang, hingga akhirnya ia menangkap pemandangan yang memprihatinkan. Sosok perempuan berbaju biru langit, yang ia yakini sebagai Gemintang, sedang berjongkok di pinggir jalan sepi, tak jauh dari gedung Ferinco. Wanita itu menutup wajahnya dengan kedua tangan.Baskara segera menghentikan mobilnya, bergegas turun, dan berlari menghampiri wanita itu. “Gemintang?” panggilnya saat tiba di hadapan Gemintang. Ia berlutut dan menarik lengan Gemintang agar mendongak ke arahnya. Namun, yang terjadi justru Gemintang memeluk tubuhnya erat-erat, menumpahkan tangis tanpa memberikan penjelasan. Baskara merasa bingung, tetapi satu hal yang ia tahu, Gemintang tampak sangat terluka. Ia pun membalas pelukan itu, mengusap punggung Gemintang pelan, membiarkan wanita itu meluapkan rasa ses
Sementara Gemintang dan Baskara sibuk mengemasi barang-barang, di sudut bangunan yang lain, Janu dilanda kebingungan. Setelah rapat internal selesai, sekretarisnya menyerahkan ponsel yang ia ingat tertinggal di rumah. Masalahnya, ponsel itu tertinggal di rumah kecilnya, sementara sekretaris dan satpam mengatakan bahwa seorang pembantu mengantarnya ke kantor pagi itu. Tentu saja, ini membuatnya bertanya-tanya.“Tadi pagi, satpam menelponku menggunakan intercom. Dia bilang ada asisten rumah tangga yang mengantar ponselmu. Aku pikir kau pulang ke rumah utama, jadi ku katakan saja taruh di meja sekretaris,” ujar Manggala, duduk di sofa tamu sambil membaca beberapa laporan audit.“Aku tidak pulang ke rumah utama. Aku di rumah Gemintang,” jawab Janu, membuat Manggala segera mendongakkan kepalanya.Dia bergegas menutup bendelan kertas itu dan menatap serius ke arah Janu. “Kau serius?”Janu menganggukkan kepalanya. “Aku serius. Jika tertinggal di rumah utama, pasti aku tidak akan santai saat
“Perlu aku temani ke sana?” tanya Manggala kemudian. Dia melihat situasi yang dihadapi Janu terlihat kurang baik. Jika dia ikut, mungkin bisa membantunya. “Maksudku, jika nanti kau butuh pihak ketiga untuk bicara baik-baik dengan Gemintang, aku bisa membantumu. Aku juga ada di ruangan mu pagi ini, dan aku juga tahu semua apa yang kau ucapkan. Aku bisa jadi saksi.”Manggala benar. Dia bisa jadi saksi, tetapi yang Janu khawatirkan jika Gemintang tidak percaya karena menganggap Manggala adalah orangnya. Janu lalu menggelengkan kepalanya. “Kau tunggu di sini. Biar aku sendiri saja. Lagipula, aku harus bertemu dengan ibu mertuaku, jika mengajakmu takutnya membuat mereka salah paham aku menginginkan pembelaan.”Manggala mengangguk setuju. “Kalau begitu maumu baiklah. Tapi, apa kau yakin Gemintang mau menemuimu? Bagaimana jika dia tidak mau, apa yang akan kau lakukan?”Kini, Janu kembali berpikir, telunjuk dan ibu jarinya tak henti memijat kepalanya sendiri. “Apa pun yang terjadi, setidaknya
Tiga hari berlalu.Pagi ini, Manggala berniat menjenguk Janu. Sudah tiga hari pria itu tidak masuk kerja, dan Manggala kewalahan menangani berbagai masalah seorang diri.Saat tiba di rumah kecil itu, Manggala dikejutkan oleh pemandangan yang sangat memprihatinkan. Tiga botol minuman beralkohol tinggi berserakan di ruang tengah. Dua di antaranya kosong, dan satu masih terisi setengah. Janu duduk di lantai dengan pandangan kosong. Satu tangan memegang gelas berisi anggur hitam, sementara tangan lainnya memijat kepalanya.Dia tampak kacau.Wajahnya kusut, rambutnya acak-acakan, dan matanya merah, jelas menunjukkan kelelahan dan mabuk berat.“Astaga!” Manggala segera meletakkan paper bag berisi makanan di meja. Dia cepat mendekat dan merebut gelas dari tangan Janu. “Apa yang kau lakukan? Kau sudah bosan hidup, huh?”Janu menoleh pelan, tetapi tidak menjawab. Matanya yang kosong menatap lurus ke depan, seolah tidak mendengarkan Manggala. Ia menjambak rambutnya sendiri, terperangkap dalam
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme
“Aku tidak tahu, tetapi Manggala bilang Rosaline ingin bertemu denganku.”Janu memperhatikan wajah istrinya yang berubah. Begitu nama Rosaline disebut, senyum di wajah Gemintang pudar perlahan. Janu paham, hati wanita itu begitu sensitif, terlebih jika mendengar nama mantan atau orang yang pernah menjadi masa lalu pasangannya.Dia bahkan tahu, Rosaline adalah sumber masalah mereka selama ini. Seharusnya nama itu tak pernah ia sebutkan.“Rosaline?” ulang Gemintang, “Kamu… masih berhubungan dengan dia?”Janu cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Jangan salah paham dulu. Aku sudah lama putus kontak dengannya. Kalau kamu tidak percaya, kamu boleh tanya ke Manggala. Aku juga tidak tahu apa yang akan Rosaline bicarakan; tiba-tiba saja dia meminta bertemu.”Gemintang tetap diam, membuat Janu khawatir dia akan marah.“Begini saja, kita pergi bersama, supaya kamu tahu apa yang akan Rosaline bicarakan,” tawar Janu, berharap bisa menenangkan hati istrinya.Namun, jawaban Gemintang tak sesuai harapannya
“Mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Janu.”Manggala menatap map berwarna biru yang baru saja disodorkan Rosaline. Sepasang matanya menyipit kala melihat barisan tinta yang tertulis di atas kertas itu. Apakah semudah itu Rosaline menyerahkan kembali semua aset yang telah dia dapatkan ini?“Kalau kau berpikir aku punya rencana buruk, kau salah. Aku serius, Manggala. Aku ingin mengakhiri semua ini. Aku bersedia menjadi saksi. Bahkan jika aku dinyatakan bersalah, aku siap menerima konsekuensinya.” Rosaline mengatakan kalimat itu dengan suara yang agak parau. Sebenarnya Manggala iba dengan wanita itu, tetapi mengingat semua perbuatannya di masa lalu, ia tetap harus waspada, bukan? Bisa saja ini hanya permainan liciknya?“Apa yang membuatmu berubah pikiran seperti ini, Rosaline? Apa yang akan terjadi ketika kau mengembalikan semua ini pada Janu?” Manggala bertanya setelah menyeruput kopinya. Helaan napas panjang meluncur dari bibir Rosaline. “Sudah kukatakan sebelumnya karena
“Maksudmu… Janu?” Manggala mengulang, keningnya berkerut, mencoba mencerna maksud ucapan Rosaline. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba membicarakan pria itu.Mengingat sudah bertahun-tahun lamanya wanita itu tak mengungkit nama Janu. Hingga sekarang ketika Janu sudah bersama lagi dengan Gemintang, mengapa tiba-tiba dia membahas soal pria itu?Apa dia sudah tahu tentang mereka?[“Ya, aku tidak bisa menjelaskan di sini. Aku ingin bertemu denganmu sekarang. Akan aku jelaskan semuanya.”] Rosaline menjawab dari seberang sana. Suaranya terdengar parau. Entah apa yang terjadj dengan wanita itu tetapi Manggala hanya bisa menebak-nebak. Manggala menghela napas panjang, bergulat dengan keengganan, tetapi rasa penasaran yang begitu besar memaksanya setuju. “Oke, sebaiknya kita bertemu di luar kantor saja. Takutnya ada banyak orang yang mendengar,” usulnya yang kemudian disetujui oleh Rosaline. Setelah sepakat, mereka meluncur ke sebuah kafe di pusat kota. Meski ramai, mereka menemukan s