Tanpa mereka sadari, di sudut ruangan yang lain, seorang wanita berdiri di ambang pintu memperhatikan keduanya. Dua bola matanya bahkan memanas saat melihat jelas tangan Janu melingkar di pinggang Rosaline. Mereka tampak begitu mesra di mata Gemintang, bahkan saat Rosaline membersihkan bibir Janu, pria itu tidak menolak. Entah mengapa dadanya sesak, tetapi apa juga yang bisa dia lakukan?“Gemintang, ada apa?” tanya seorang rekan yang melihat Gemintang sedang menyeka wajahnya.Gemintang menoleh. “Oh, tidak apa-apa. Aku sedang sakit mata, jadi air mataku keluar terus.”Temannya hendak bertanya lagi, tetapi Gemintang buru-buru menghindarinya.Gemintang memutuskan untuk meninggalkan tempat itu meski acara belum selesai.Ia kini duduk diam di tepi kolam, memandangi permukaan air yang beriak kecil karena angin malam. Sekaligus berharap hawa sejuk bisa meredakan kepedihannya saat ini. Namun, meski tubuhnya sudah menggigil, udara dingin tak mampu menyejukkan hatinya yang pilu.“Sayang sek
“Baskara, kurasa itu tidak perlu.”Gemintang mengatakan jawabannya dengan suara tenang. Dengan cepat, ia berdiri dan mengambil posisi tepat di depan pria itu, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.Sedangkan Baskara, yang berdiri dengan postur tegak, mengerutkan dahinya. Kebingungan tersirat di wajahnya. “Kenapa? Jika kau punya bisnis sendiri, bukankah itu baik untukmu? Kamu sudah dapat tanggapan baik hari ini, kalau potensi itu dikembangkan maka kau bisa mendapatkan banyak uang. Dengan begitu kau lebih siap untuk bercerai dengan Janu.”Kepala Gemintang bergerak menggeleng. “Tapi sungguh, kamu tidak perlu melakukan apapun, Bas,” katanya lagi, kali ini dengan penekanan yang lebih dalam. “Kamu sengaja meminta pembimbing memasukkan namaku ke dalam acara ini. Aku tahu itu, dan aku menghargainya. Tapi, aku harap cukup hari ini saja.”Baskara terdiam, sedikit terkejut mendengar penolakan itu. “Kamu ….”Gemintang menghela napas, mengalihkan pandangannya sejenak sebelum kembali m
Hati Gemintang terasa diremas, rasa perih menjalar hingga ke tulang, membuat tubuhnya hampir limbung.Dengan kasar, ia mengalihkan pandangan dan menahan air mata yang hampir saja mengalir. Ia menarik napas dalam-dalam, sebelum melangkah membawa jas dan pakaian kotor suaminya ke tempat cucian.Setelah itu, Gemintang memutuskan tidur. Sayangnya, ia tak menyangka meski sudah tidur selama delapan jam penuh, perasaan itu tak juga berubah ketika ia terbangun keesokan harinya.Sisi ranjang yang kosong memicu banyak pertanyaan, mungkinkah Janu sudah pergi sebelum pagi?Entah mengapa bayangan mengerikan bagaimana Janu tersenyum manis kepada Rosaline. Namun, pikiran itu segera teralihkan ketika ia mendengar nada keras putrinya.“Ayah bohong! Ayah selalu tidak menepati janji!” teriak Maura, suaranya parau.“Iya, ayah salah. Kemarin ayah banyak pekerjaan, jadi tidak bisa menepati janji. Ayah minta maaf ya, Maura.” Suara Janu terdengar pelan.Gemintang cepat-cepat menyingkap selimut dan berjalan
"Itu ..." Manggala menjeda ucapannya. "Ck! Aku menelponmu dengan suasana hati yang baik, kau malah menjawab dengan ketus! Aku bahkan belum mengatakan apa pun!”Janu membuang napas panjang. Lalu mengambil satu cangkir kosong dan mulai mengisinya dengan kopi bubuk intan. “Kau menelpon di waktu yang tidak tepat.”“Aku tidak peduli hal apa yang sedang kau lakukan, tapi jauh ini lebih penting! Bisakah kita bertemu sebentar sekarang?”Gerakan Janu menuang air panas terhenti. Pria itu menekuk dahinya, kemudian berkata, “Apa yang ingin kau bahas? Bukankah pabrik sudah kondusif?”“Bukan masalah pabrik, ini tentang kumpulan invoice mencurigakan yang dilampirkan pada laporan Dewi tentang tuduhan kasus korupsi ayahmu."Janu hendak bertanya tentang perkembangan kasus itu, tetapi belum juga bibirnya terbuka, Maura membentur-benturkan sendoknya pada piring dengan sengaja.Anak itu sedang memberi isyarat agar Janu tidak sibuk lagi dengan pekerjaannya.“Oh, masalah itu.” Pria itu kemudian melanjutkan
Senyum Janu merekah ketika pesan itu langsung dibaca oleh sang penerima pesan. Namun, hanya beberapa detik sebelum panggilan Maura kembali terdengar.Pria yang masih mengenakan piyama itu lantas bergegas menuju ruang tengah. Ia harus menunaikan janji, menemani putri semata wayangnya.Hari ini, Janu benar-benar memanjakan Maura. Mereka bermain, menonton film kesukaannya, belajar bersama, dan bahkan pergi ke taman kecil di dekat rumah.Kendati demikian, pikiran Janu tak bisa sepenuhnya lepas dari Gemintang. Terlebih ketika wanita itu hanya membisu sepanjang hari dan membuang pandangan ketika mereka berpapasan … dia sungguh merasa tersiksa.Ketika malam hari, setelah memastikan Maura terlelap, pria itu lantas bergegas mengambil sebuah kotak berwarna biru dari dalam laci kamar Maura. "Kalau kuberikan ini dan dia malah tidak suka, apa dia akan semakin mengabaikanku?" gumamnya sambil menatap kotak itu dengan ragu. Janu membuang napas panjang, merasa tidak yakin."Lalu, apa kata yang tepat
Saat itu juga, Manggala menghentikan tawanya. Ekspresinya berubah kesal tetapi itu hanya beberapa detik saja. “Anak buahku sudah mendatangi alamat-alamat yang tertera di invoice itu, seperti yang kau minta. Susah payah mereka mencari alamat dan hanya diputar-putar saja selama berbulan-bulan. Dan sekarang baru ada hasilnya.”Janu mengernyitkan alisnya. Dia menerima bendelan kertas itu dan memeriksa catatan yang diberikan oleh orang-orang Manggala. Lembar demi lembar berisi informasi mencurigakan tentang transaksi keuangan yang diduga hanya laporan palsu dan perusahaan fiktif diverifikasi kebenarannya.“Laporan ini tidak salah. Semua perusahaan yang tercantum di sana adalah perusahaan palsu. Proyek-proyek ini juga sebenarnya tidak pernah ada. Jadi, tidak peduli dengan metode apa yang digunakan, siapapun yang memeriksa ini, pasti menyimpulkan bahwa ayahmu sudah melakukan penggelapan dana dan terlibat di proyek fiktif.”Janu memijat kepala lalu merebahkan punggungnya setelah meletakkan
"Aku tahu ini tujuanmu sejak lama. Tetapi kau juga tidak boleh mengorbankan perasaan Gemintang dan Maura!" Manggala kembali menasihatinya. "Lagipula lusa agendamu terlalu padat.""Reschedule saja," jawab lelaki itu dengan mudahnya mengundang dengkus kesal dari Manggala. "Tidak bisa, Janu! Lusa kau sudah jadwalkan presentasi penting dengan dengan GreenLand group, kau jangan lupa ini kepercayaan terakhir mereka setelah kekacauan kemarin. Selain itu, ada rapat dengan dewan direksi terkait proyek ekspansi.""Ck! Apa gunanya kau sebagai Vice CEO?""Meski aku menggantikan, jangan lupa bahwa ada acara amal yang sudah kita rencanakan sejak lama. Kau harus hadir di sana sebagai pembicara utama. Acara ini tidak bisa diubah atau diundur begitu saja. Jadi, kau tetap tidak bisa berangkat lusa."Janu kembali mendesah lelah, pria itu mengeluarkan ponselnya dan turut memeriksa agenda. Dia mencari tanggal yang sekiranya pas. "Kalau begitu hari jumat saja!" katanya sebelum melempar kembali ponselnya k
Sayangnya, tidur Gemintang terlalu nyenyak hingga tak mendengar permintaan maaf itu. Sementara Janu tampak seperti pria pengecut yang tak ingin berusaha lagi mengambil hati Gemintang, memilih untuk membiarkan suasana rumah tangga mereka tetap membeku, berharap semuanya akan membaik dengan sendirinya tanpa harus menghadapi percakapan yang sulit.Meskipun demikian, keduanya masih mampu menjaga sikap ketika di hadapan Maura. Hari Minggu pun tak jauh berbeda. Janu dan Gemintang tampak bahagia menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, berperan seolah tak ada masalah, menyembunyikan luka dalam rumah tangga mereka dengan tawa dan senyum yang dipaksakan demi menjaga hati gadis kecil itu.Namun, ketika Maura tak ada, keheningan dan jarak yang menganga di antara mereka semakin terasa menyiksa. Entah sampai kapan Gemintang akan bertahan, dia hanya bisa mengusahakan yang terbaik demi Maura, buah hatinya.Hari ini, Gemintang kembali bekerja dan karena Maura tidak sekolah, maka ia menitipkannya
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme
“Aku tidak tahu, tetapi Manggala bilang Rosaline ingin bertemu denganku.”Janu memperhatikan wajah istrinya yang berubah. Begitu nama Rosaline disebut, senyum di wajah Gemintang pudar perlahan. Janu paham, hati wanita itu begitu sensitif, terlebih jika mendengar nama mantan atau orang yang pernah menjadi masa lalu pasangannya.Dia bahkan tahu, Rosaline adalah sumber masalah mereka selama ini. Seharusnya nama itu tak pernah ia sebutkan.“Rosaline?” ulang Gemintang, “Kamu… masih berhubungan dengan dia?”Janu cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Jangan salah paham dulu. Aku sudah lama putus kontak dengannya. Kalau kamu tidak percaya, kamu boleh tanya ke Manggala. Aku juga tidak tahu apa yang akan Rosaline bicarakan; tiba-tiba saja dia meminta bertemu.”Gemintang tetap diam, membuat Janu khawatir dia akan marah.“Begini saja, kita pergi bersama, supaya kamu tahu apa yang akan Rosaline bicarakan,” tawar Janu, berharap bisa menenangkan hati istrinya.Namun, jawaban Gemintang tak sesuai harapannya
“Mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Janu.”Manggala menatap map berwarna biru yang baru saja disodorkan Rosaline. Sepasang matanya menyipit kala melihat barisan tinta yang tertulis di atas kertas itu. Apakah semudah itu Rosaline menyerahkan kembali semua aset yang telah dia dapatkan ini?“Kalau kau berpikir aku punya rencana buruk, kau salah. Aku serius, Manggala. Aku ingin mengakhiri semua ini. Aku bersedia menjadi saksi. Bahkan jika aku dinyatakan bersalah, aku siap menerima konsekuensinya.” Rosaline mengatakan kalimat itu dengan suara yang agak parau. Sebenarnya Manggala iba dengan wanita itu, tetapi mengingat semua perbuatannya di masa lalu, ia tetap harus waspada, bukan? Bisa saja ini hanya permainan liciknya?“Apa yang membuatmu berubah pikiran seperti ini, Rosaline? Apa yang akan terjadi ketika kau mengembalikan semua ini pada Janu?” Manggala bertanya setelah menyeruput kopinya. Helaan napas panjang meluncur dari bibir Rosaline. “Sudah kukatakan sebelumnya karena
“Maksudmu… Janu?” Manggala mengulang, keningnya berkerut, mencoba mencerna maksud ucapan Rosaline. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba membicarakan pria itu.Mengingat sudah bertahun-tahun lamanya wanita itu tak mengungkit nama Janu. Hingga sekarang ketika Janu sudah bersama lagi dengan Gemintang, mengapa tiba-tiba dia membahas soal pria itu?Apa dia sudah tahu tentang mereka?[“Ya, aku tidak bisa menjelaskan di sini. Aku ingin bertemu denganmu sekarang. Akan aku jelaskan semuanya.”] Rosaline menjawab dari seberang sana. Suaranya terdengar parau. Entah apa yang terjadj dengan wanita itu tetapi Manggala hanya bisa menebak-nebak. Manggala menghela napas panjang, bergulat dengan keengganan, tetapi rasa penasaran yang begitu besar memaksanya setuju. “Oke, sebaiknya kita bertemu di luar kantor saja. Takutnya ada banyak orang yang mendengar,” usulnya yang kemudian disetujui oleh Rosaline. Setelah sepakat, mereka meluncur ke sebuah kafe di pusat kota. Meski ramai, mereka menemukan s