Sayangnya, tidur Gemintang terlalu nyenyak hingga tak mendengar permintaan maaf itu. Sementara Janu tampak seperti pria pengecut yang tak ingin berusaha lagi mengambil hati Gemintang, memilih untuk membiarkan suasana rumah tangga mereka tetap membeku, berharap semuanya akan membaik dengan sendirinya tanpa harus menghadapi percakapan yang sulit.Meskipun demikian, keduanya masih mampu menjaga sikap ketika di hadapan Maura. Hari Minggu pun tak jauh berbeda. Janu dan Gemintang tampak bahagia menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, berperan seolah tak ada masalah, menyembunyikan luka dalam rumah tangga mereka dengan tawa dan senyum yang dipaksakan demi menjaga hati gadis kecil itu.Namun, ketika Maura tak ada, keheningan dan jarak yang menganga di antara mereka semakin terasa menyiksa. Entah sampai kapan Gemintang akan bertahan, dia hanya bisa mengusahakan yang terbaik demi Maura, buah hatinya.Hari ini, Gemintang kembali bekerja dan karena Maura tidak sekolah, maka ia menitipkannya
“Tunggu ... Lorena?” tanpa sadar, bibir Gemintang menggumamkan nama itu.Baskara yang sedang merapikan ponsel dan dompetnya, menoleh sambil mengangguk pelan. "Ya, dia sudah lama ingin bertemu denganmu. Ada hal yang ingin dibicarakan, jadi kurasa hari ini adalah waktu yang tepat. Kalian bisa berbincang sepuasnya."Gemintang mengerjap, mencoba mengingat nama itu. Lorena. Ia pernah membaca nama tersebut di ponsel Baskara beberapa waktu lalu dan juga melihatnya pada daftar tamu pesta NovaLuxe kemarin. Namun, ia tidak ingat jelas siapa Lorena dan jabatan apa yang dipegangnya.“Ada masalah, Gemintang?” tanya Baskara, yang masih menunggu jawaban darinya. Gemintang lalu menggeleng cepat.“Tidak, hanya saja, aku merasa tidak mengenalnya,” jawab Gemintang. Baskara tersenyum.“Tidak apa-apa, setelah ini kau bisa mengenalnya lebih baik,” ujarnya sembari mendekat dan mengajaknya keluar. "Ayo."***Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk tiba di sebuah restoran di pusat kota. Seorang wanita berambut
Brakk!Gemintang meletakkan gelas yang baru saja ia ambil dengan cukup keras di meja. Tak peduli dengan beberapa pasang mata memandang, tetapi Gemintang tak bisa menahan rasa kesal yang tiba-tiba muncul dalam hatinya.Entahlah, beberapa hari ini emosinya tak terkendali.Suasana di meja makan mendadak hening. Lorena dan Baskara saling bertukar pandang, tak menyangka dengan reaksi Gemintang yang tiba-tiba. Gemintang sendiri memejaman kedua matanya, napasnya sedikit memburu.“Gemintang, kamu baik—” Lorena ingin berkomentar, tetapi Gemintang mengangkat satu tangannya, mengisyaratkan agar wanita itu tak bicara lagi.“Aku tidak tahu apa rencana kalian. Entah apa yang membuat kalian bekerjasama di belakangku, tetapi apa pun itu, aku tidak mau kalian membuat hal seperti ini hanya untuk membuat nama G’Lars menjadi terkenal di beberapa kalangan.” Gemintang lalu menggeser pandangan ke arah Baskara dan menatapnya dengan tajam. “Bas, apa kamu lupa permintaanku kemarin?”Seketika, nada bicara Ge
“Membuatnya malu?” ulang Lorena dengan nada yang sama seriusnya. "Kau benar-benar sadar dengan keputusanmu, Gemintang?"Mata Lorena menatap sahabatnya yang duduk di sampingnya. Dia tahu persis siapa Rosaline, dan wanita itu bukanlah seseorang yang akan duduk diam jika ditantang. Terlebih, Rosaline sudah terlalu banyak memiliki kekuasaan untuk menghancurkan siapa saja yang berani menentangnya."Keputusanmu ini ... seperti kau mengibarkan bendera perang dengan Rosaline. Kau tahu, dia tidak pernah terima jika ada yang menolak keinginannya."Namun, bukannya merasa gentar, Gemintang justru mengulas senyum tipis di wajahnya. Senyum yang penuh dengan makna. "Sudah lama aku ingin berperang. Tapi aku tidak mau buang waktu untuk adu mulut dengannya. Aku lebih suka membalas dengan cara ini."Gemintang menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. "Kalau dia terima, dan mencari koki lain, aku tidak kehilangan apa-apa. Tapi kalau dia ceroboh, dia sendiri yang akan mempermalukan dirinya. Dan ak
Di tempat lain, Rosaline duduk di ruang kerjanya yang mewah. Wanita itu serius meneliti tumpukan dokumen laporan di mejanya, sementara ibu mertuanya, Bu Dewi, duduk di sofa tamu dengan sebuah bendelan kertas di tangannya, sibuk menorehkan tanda tangan.“Bu Rosaline, saya sudah mencoba menghubungi manajer G’Lars seperti yang Ibu minta.” Sekretarisnya melapor dengan nada hati-hati, tak ingin menyulut emosi wanita itu. Beberapa waktu yang lalu, ia mendapatkan nomor tersebut dari Lorena dan Rosaline begitu semangat dan berekspektasi tinggi dengan hasilnya. Sayang, raut wajah sekretaris itu tak menunjukkan keberhasilan sama sekali.“Ya? Katakan jawabanya,” ujarnya tanpa mendongak dan mengubah ekspresinya..Sang sekretaris kembali menelan ludah, menggigit bibirnya sebelum menjawab. “Maaf, Bu .... Saya sudah menawarkan harga tinggi seperti yang ibu katakan, saya juga sudah meminta mereka untuk mempertimbangkan lagi jika menerima tawaran ibu, sayangnya, tawaran kita ditolak.”“Apa?” Tatapan
Sayangnya, sekretarisnya kembali membawa kabar bahwa negosiasi kedua juga menemui jalan buntu, hingga membuat Rosaline benar-benar naik pitam!Wanita itu bahkan melempar vas bunga sampai pecah untuk melampiaskan amarah. “Kurang ajar!” teriaknya, keras.“Orang ini benar-benar berani mencari masalah denganku!”Rosaline menarik napasnya dalam-dalam, menetralkan gelombang amarah yang meluap-lupa dalam dadanya. Dia membuang pandangan, kembali berpikir dan mencari cara.“Jika saja aku tidak membutuhkan namamu, aku pun tidak sudi merendahkan harga diri untuk memohon dua kali dan melipatkan harga agar kau setuju sialan!” Ya! Rosaline tak akan membiarkan harga dirinya diinjak-injak! Penolakan itu tidak membuatnya menyerah begitu saja, justru semakin menyulut ambisi Rosaline untuk berusaha lebih keras—bagaimanapun dan apapun caranya.“Baiklah! Aku akan menggunakan cara baik sekali lagi. Jika itu tetap saja tak membuatmu berubah pikiran, jangan salahkan jika aku menggunakan cara yang lebih ke
Janu segera menghampiri Gemintang yang tampak mengerang kesakitan sambil memegangi jarinya. Darah mengucur deras pada telunjuknya. Janu pun segera mengakhiri panggilan.“Kenapa bisa terluka?” tanya Janu. Nadanya terdengar panik, tetapi ekspresinya terlihat tenang. Pria itu segera menarik tangan Gemintang ke wastafel dan menyiramnya menggunakan air bersih.Gemintang meringis menahan perih. “Ah—aku tidak sengaja, pisaunya licin dan dagingnya masih beku.”Setelah selesai dengan air bersih, Janu dengan cepat menyambar beberapa tisue dan mengeringkannya, tetapi cairan kental berwarna merah itu masih saja mengalir deras dari sana. “Duduklah,” ujar pria itu usai menggeser tubuh Gemintang mendekat pada kursi meja makan.“Ini cuma luka biasa, biar aku saja yang—” “Tunggu saja disitu! Jangan banyak bicara!”Janu menghiraukan protes Gemintang dan segera mengambil kotak P3K dari lemari dapur. Dengan cepat, ia membuka kotak tersebut dan mengeluarkan antiseptik serta plester luka berwarna cokelat
Gemintang hendak melihat detail lebih lanjut dari pesan itu, tetapi baru saja tangannya bergerak mengusap layar..."Apa yang kamu lakukan, Gemintang?"Suara berat itu terdengar sangat dekat, tepat di belakang tubuhnya. Gemintang membeku, menelan ludah dengan susah payah. Dia segera mengusap layar ponsel untuk menghilangkan notifikasi tersebut.Perlahan, dia menoleh dan mendapati Janu berdiri dengan kedua tangan sedang menggendong Maura di belakangnya. Sejak kapan pria itu di sana? Dan Maura ..., anak itu kenapa berkaca-kaca?“Sudah selesai pesan makanannya?” todong Janu lagi, nadanya tenang tetapi Gemintang terlalu gelagapan.Dia menggelengkan kepalanya cepat. “Belum ....”Sementara Janu masih menatapnya, menunggu penjelasan. “Lalu, apa yang kamu lakukan dari tadi?” Gemintang terdiam sejenak, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang terasa dingin. “Aku ... masih melihat-lihat menu dan harga yang cocok,” jawabnya, berusaha menutupi kegugupannya.Janu mendekat, pandangannya tertuju pad