Assalamualaikum. Jangan lupa berikan bintang dan subbscribe ya teman-teman. Maaf off dua hari, semoga kedepannya bisa up cerita setiap hari. Selamat membaca.*** Aku keluar rumah. Setelah membantu gadis itu membersihkan piring bekas makanan kami. Terlalu tak tau diri jika sudah di kenyangkan, namun tak bisa meringankan sedikir saja kerjanya.Melangkah dari dalam rumah, terbentang punggung bukit yang kehijauan. Bila saja terjadi longsor, rumah ini pastilah terhantam lebih dulu.Astaqfirullah. Apa yang aku fikirkan!Aku turuni anak tangga dari bebatuan. Berjalan kepelataran. Ternyata hanya rumah ini yang berada dibawah. Selebihnya ada beberapa rumah dipunggung bukit." kita jadi kepuskesmas mbak?" Mega, gadis yang kutaksir berusia sekitar empat belas tahun itu bertanya."Jadi. Ayo, kemana arah puskesmasnya?""Kesana mbak"Mataku membulat, di menunjuk bukit didepan kami. Mendadak kakiku terasa berat. Bagaimana kami akan kesana? Panjat tebing?"Ada jalan setapak kecil mbk, ayo ikut say
Tak ada yang lebih membahagiakan dari pada hari ini, berita kematian Saswita membuat hidupku jauh lebih sempurna. Wanita yang selalu jadi penghalang segala rencanaku, kini benar-benar lenyap dari kehidupanku.Andi yang kupercaya menyelesaikan segala urusanku dengan wanita angkuh itu, dia yang melempar wanita sok suci itu lenyap kedasar jurang.Rasakan ! Kau belum tau sedang berurusan dengan siapa, Wita !Sekarang aku hanya tinggal menunggu berita pencarianmu selesa dan seluruh harta mas Erlan akan jatuh dalam genggamanku !"Kau mau kemana?" Ibu bertanya, ah wanita tua satu ini masih saja mengurusi hidupku."Pergi, kenapa? Ini bukan urusanmu juga!" Aku menjawab ketus. Tak ada urusan lagi bersikap manis padanya."Jangan lancang kamu Lia! Bagaimana dengan Erlan, apa kau sudah mengurusnya?" Dia menarik rambutku dengan kencang.Kurang ajar !" Lepaskan!" Aku hempaskan tangannya dengan kasar.Wanita tua itu terkejut, jika saja tak ada kursi di belakangnya, dia pasti suda terjengkang."Janga
Pov Erlan.Ibu menangis masuk kedalam kamar. Terduduk dalam posisi bersimpuh di tepian ranjang. Meletakkan kepalanya pada telapak tanganku. Matanya kian membesar, basah karena bulir bening tak juga berhenti keluar.Apa yang terjadi padamu bu?Ingin rasa hatiku bertanya. Namun berkali-kali kucoba, suaraku masih tak bisa keluar."Maafkan ibu ya lan" Nyaris tak terdengar. Suaranya bercampur tangis yang tertahan.Berkali ia mengusap telapak tanganku, seperti mengungkapkan penyesalan terbesarnya akan satu hal."B...bb... bu..." Ucapku penuh perjuangan.Hanya mengucap ujung awal sebuah kata saja, serasa urat-urat leherku menegang.Ibu melihatku diam, sepertinya dia mendengar saat aku memanggilnya. "Kamu panggil ibu lan?" Wajahnya terkejut.Aku mengangguk pelan. Kulihat ibu menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Erlan, kau bisa bergerak?"Aku kembali memganggukkan kepala. Meski aku sudah bisa bergerak, namun lidahku masih sulit untuk merangkai kata."Erlan...!" Ibu semakin tergugu. Memelukku
Pov bu WindaMenuju hotel tempat Lia mengadakan acara. Aku tiba di lobi saat perempuan itu keluar dari dalam Lift. Diikuti banyak sorot kamera. Dia nampak berjalan cepat meninggalkan Lobi.Aku memghampirinya, tanpa bicara,menarik tangannya kearahku.Plak !Satu tamparan dengan keras mendarat di wajahnya, dia nampak terkejut. Tamparan ini bahkan tak sebanding dengan segala kejahatan yang dia lakukan.Dua orang menarikku menjauh. Aku tepis sekuat tenaga. Kudatangi mata yang terus menatapku tak suka itu."Ini belum sebanding dengan semua kejahatanmu!" Teriakku didepan wajahnya. Semua mata menatapku, kini mereka membidikan kamera pada kami berdua.Lia bergeming, tangannya mencengkeram tas dengan kencang. Namun aku belum mendengar pembelaan keluar dari mulutnya. Mungkinkah dia takut pada media?"Ibu silahkan pergi bu" Andi memintaku menjauh. Tangannya bahkan membentang kearah luar.Cuuiihh! Kuludahi jas hitamnya yang mewah. Dia pasti membelinya dari uang anakku juga. Kufikir dia bisa dip
Pov Author[ Mbak Jeni, para pemegang saham memajukan pertemuan mereka besok. Jika memang nyonya Saswita masih hidup, mereka ingin melihatnya besok].Jeni tak dapat tidur semalam. Sebuah pesan dari Suci membuat dirinya gelisah. Ia terus memikirkan bagaimana langkah untuk membalas perbuatan Amelia. Terlebih hingga hari berganti, Saswita tak juga membuka mata. Hatinya mulai gamang, bila saja ada sedikit celah memberi mereka peluang, tentu akan dia upayakan.Menghubungi nyonya Winda, adalah salah satu ide yang sempat terbersit dikepala. Namun Jeni masih tak lupa, Winda juga punya ambisi menguasai seluruh harta Erlansyah. Ia tak ingin salah langkah sekarang. Satu-satunya cara adalah meyakinkan mereka semua, Nyonya Erlansyah baik-baik saja.Baiklah, Nyonya Erlansyah akan hadir di sana !Sebelum matahari terbit, Jeni sudah berganti pakaian. Dia keluar dari kamar, melihat Mega masih sibuk didapur rumahnya."Mbak mau pergi?" Mega berdiri saat Jeni mendekat."Iya, pulang sebentar." Dia menatap
Pov AuthorSaswita melenggang cantik memasuki gedung tinggi itu. Kaca mata hitam membuat dia leluasa memandang mereka semua tanpa terintimidasi. Saat pintu lift di buka, Andi terkejut. Tanpa sadar dia mundur hingga terpojok di dalam lift.Satu senyum Wita tersunging, menertawakan lelaki yang merasa dirinya menang melawan Wita. "Bodoh!" Ucapnya lirih dan masuk tanpa memperdulikan Andi yang berdiri di belakangnya."Bu Wita sehat?" Lelaki yang terus mengikuti Wita sejak kedatanganya dikantor ini mulai bertanya."Tentu saja sehat pak Agung, kenapa? Pak Agung berharap mendengar kabar kematian saya?""Bukan bu, hanya saja ada kabar bu Wita mengalami kecelakaan.""Iya, ada manusia serakah yang ingin menyingkirkan saya. Sayangnya mereka semua terlalu bodoh untuk melawan seorang Saswita!"Sengaja dia bicara begitu, ekor matanya menangkap ketidak sukaan diwajah Andi.Pintu lift terbuka, Wita keluar dan berjalan diantara lorong. Tak dilihat Andi ikut keluar. mungkin dia sedang menyusun rencana
Saswita berdiri. Antara terkejut dan tak menyangka, Erlansyah duduk diatas kursi roda. Mengenakan setelan jas hitam, lelaki itu bergerak masuk dengan kursi roda otimatisnya.Rambutnya tersibak kebelakang, sedikit basah karena gel rambut yang di pakai, memperlihatkan urat keningnya yang mengeras, menandakan bahwa dia tak sedang bersikap baik saat ini.Andi berdiri, merapikan setelan jasnya dan berlari mendekat. Menyentuh ujung pegangan kursi roda. "Menyingkir dari jalanku!" Erlan berucap dingin, membuat Andi berdesir menahan amarah. Dua lelaki gagah mendorongnya menjauh, rupanya Erlan tak sendiri, dia membawa pengawal di belakangnya. Tak membiarkan siapapun mendekatinya saat ini. Para pemegang saham saling berbisik. Sepertinya menangkap hubungan tak baik antara Erlan dan Andi. Erlan naik keatas podium. Lalu mensejajarkan kursinya disamping sang ibu. Winda memberikan mic ketangan Erlansyah, dan putranya itu menerimanya dengan tangan dingin. Dia melepas kaca mata hitamnya, mulai meliha
Wita jatuh kejurang? Bagaimana bisa semua ini terjadi? Apa yang sudah aku bawa kedalam kehidupan kami.Erlansyah terus meratapi apa yang terjadi. Semangat dan alasannya untuk sembuh ternyata jatuh kedalam jurang. Apa yang bisa dia lakukan sekarang, sejak kemarin dia dan ibunya terus berusaha. Membuat suaranya bisa kembali keluar dengan baik, dan kini saat semua sudah kembali, dia justru masih kehilangan istrinya."Katakan Jeni, apakah Wita baik-baik saja?" Ibu Winda bertanya. Jeni dapat melihat ada harapan dalam pancaran mata mertua Wita."Maaf bu, saya tak bisa pastikan." Ucapnya lirih."Bagaimana kamu tak bisa pastikan Jeni, kamu asistennya, orang yang seharusnya menjaga Wita apapun yang terjadi!" Erlan meninggikan suaranya. Ibu Winda mendekat, memeluk erat putranya yang baru saja mulai bicara. Teringat bagaimana perjuangan mereka berdua kemarin. Winda memaksa suara Erlan keluar, mencoba dari pagi hingga malam, dan akhirnya suara itu benar-benar keluar."Tenanglah lan, kita akan sa
Kami masih berdiri di keramaian. Lelaki itu berusaha tersenyum. Namun ekor matanya tak berhenti mencuri pandang kerah Ibu."Ibu, bisa jelaskan sesuatu?" Wita meminta. Sejujurnya ia merasa canggung. Berdiri lebih lama dengan lelaki yang begitu mirip mendiang suaminya.Winda hanya diam. Tak berhenti memandang wajah lelaki itu. "Kamu Lando nak?" Winda mencoba menyentuh wajah lelaki itu. Namun ditepisnya dengan raut tak ramah." je suis désolé ( Saya Permisi )" Lelaki itu tiba-tiba memilih pergi. Meinggalkan kami yang masih terpaku."Lando! Kamu Erlando kan?" Ibu berteriak, hampir saja mengejarnya, namun lelaki itu dengan cepat keluar gedung dan masuk kedalam sebuah taksi."Ibu mengenalnya?" Wita masih mencari tau. "Bu, katakan sesuatu. Ibu mengenalnya?" Wita menatap ibu Winda, namun wanita itu masih dengan lekat memandang taksi itu pergi."Bu, kenapa diam? Ibu kenal dia? Ibu! Dia begitu mirip dengan mas Erlan." Wita mengguncang tubuh ibunya. Air matanya turun tanpa dia tau mengapa. Nama
"Bagaimana rasanya menjadi berbeda Lia? Seperti terbang diatas duniamu sendiri. Apakah menyenangkan?" Wita memandangi Amelia dari sisi ruangan berbeda. Wanita itu tak henti berteriak dan menjambak dirinya sendiri. Bahkan terkadang dia menjerit lalu meringkuk ketakutan. Apa yang di lakukan Wita dan Jeni semalam, membuat wanita itu depresi sekarang."Ayo kita pergi Jeni. Biarkan dia menikmati hidupnya sekarang, aku sudah melakukan apa yang seharusnya dia terima."Saswita berjalan memasuki mobil. Memakai kacamata hitamnya dengan anggun. Lalu mobil itu berjalan meninggalkan tempat Lia di tahan. "Ke Bandara Internasional pak!" Jeni memberi perintah." Kau sudah urus semuanya Jen?""Sudah bu. Nyonya Winda sudah menunggu disana. Ibu yakin dengan keputusan itu?""Aku yakin Jen. Tak ada lagi alasan aku tetap disini. Lagi pula aku punya mimpi yang harus aku wujudkan. Dan aku harus melindungi milik berhargaku yang lain." Ucapnya mengusap perutnya yang masih rata.Pagi tadi dia mengetahui jika
Amelia tak mati, sebuah tembakan melukai sisi perutnya, tembakan dari aparat yang sejak awal sudah mengikuti Amelia. Mereka tau aku di ancam masuk kedalam mobil dari taman dan mengikuti kami hingga kecelakaan itu terjadi.Beruntungnya nyawa wanita itu selamat. Dia masih ada dirumah sakit menjalani perawatan. Luar biasa bukan, seperti kucing dia bahkan punya nyawa berlapis.Hah...Aku mendesah kesal. Penjara saja tak akan cukup membuatnya jera. Bagaimana aku bisa memberinya pelajaran?"Ibu kenapa?" Jeni bertanya. Mungkin dia membaca kegundahan hatiku sejak tadi."Jika aku membalas wanita siluman itu, menurutmu apakah itu sebuah kesalagan Jen?"Dia terdiam, nampak berfikir sebentar."Aku merasa sangat marah atas apa yang dia lakukan padaku. Dan membawanya ke penjara, itu hukuman yang terlalu ringan bukan?" Kembali aku bicara, kali ini Jeni mendekat dan duduk di depanku."Bagaimana jika sedikit membuatnya syok bu?"Aku tertarik, kudekatkan wajahku pada Jeni. "Caranya?"Jeni hanya terseny
Pulanglah dalam damai mas, kebaikan yang kau tanam, akan harum sebagai saksi untukmu kelak di hari penghakiman. Tersenyumlah dalam keabadian, akan kulanjutkan apa yang sudah kau usahakan. Akan kujaga ibu juga sebagai baktiku padamu. Terimakasih sudah menjadi indahku, disaat-saat terakhir kita bersama.Pemakaman baru saja selesai. Sudah aku janjikan aku kuat. Sebisa mungkin kutahan bulir yang ingin terlepas dari netra. Meski terkadang lolos juga.Kami pulang kerumah, rumahku sendiri, ibu juga kubawa kemari. Beliau sedang istirahat dikamarnya sekarang. Sejak dulu memang kami sediakan kamar untuk ibu bermalam, meski hampir tak pernah ditempati, namun mas Erlan tetap memberikan kamar itu hanya untuk ibu.Kolega dan rekan bisnis kami datang silih berganti. Rumahku kini sibuk menerima tamu tang tak pernah habis sejak kabar duka itu tersebar. Ucapan demi ucapan aku terima. Hingga hampir senja, mobil Polisi masuk kedalam pelataran. Tiga Polisi laki-laki dan satu Polisi perempuan kini duduk di
Aku bersimpuh di mushola rumah sakit. Menengadah, meminta Allah tak mengambil lagi miliknya yang pernah hilang dari hati. "Ya Allah, ampunilah diri yang terlalu kufur. Hingga lupa nikmat yang kau berikan diantara ujian. Maafkanlah kebodohan ini, beraninya membenci takdir yang ada karena kehendakmu.Ya Allah, pemberi ampun dengan segala karuniamu, yang maha kaya dengan segala kemurahanmu. Izinkanlah aku mengucap taubat.Dalam hati kecilku yang tamak, aku ingin mas Erlan tetap disisiku, menemaniku lagi seperti dulu, mengulang lagi masa indah yang pernah Engkau beri. Namun segalanya kini aku letakkan dalam kehendakmu. Engkau yang lebih berhak memutuskan, karena dia memang milikmu. Engkau pula yang lebih berhak menyembuhkannya, karena dia memang milikmu. Seperti aku yang bersamanya karena takdirmu, maka aku juga menerima takdirmu bila harus melepasnya pulang. Aku ikhlaskan segelanya dalam ridhomu, aku terima apa yang menjadi kehe
Beberapa malam telah aku lalui di lembah nan hijau ini. Tak ada kebisingan selain suara air terjun yang jatuh, kicau burung yang bersahutan berbeda dan hembusan angin yang menyentuh pucuk pepohonan. Aku benar-benar jatuh cinta dengan suasana disini.Namun sebuah kabar dari kota membuat kami semua terdiam dalam tanya. Pagi ini, setelah berjalan-jalan dengan Mega, Jeni pulang membawa kabar mengejutkan. Andi, mantan asisten mas Erlan terbunuh dirumahnya sendiri. Polisi masih mendalami motif pembuhunan dan mencari informasi lebih lanjut.Ternyata setiap pagi, Jeni selalu ke atas bukit. Mencari tau berita terbaru, mencatatnya, memberikan kabar padaku juga mas Erlan tentang apa yang kami tinggalkan di kota. Butikku yang kini aku minta Suci mengontrolnya dan perusahaan mas Erlan, yang dia percayakan pada pak Lilik, kawannya dulu di proyek."Mungkinkah Lia pelakunya?" Mas Erlan bertanya padaku saat kami duduk bersama diteras rumah." M
Assalamualaikum. Jangan lupa berikan bintang dan subbscribe ya teman-teman. Maaf off beberapa hari, semoga kedepannya bisa up cerita setiap hari. Selamat membaca.*** Aku keluar rumah. Setelah membantu gadis itu membersihkan piring bekas makanan kami. Terlalu tak tau diri jika sudah di kenyangkan, namun tak bisa meringankan sedikir saja kerjanya.Melangkah dari dalam rumah, terbentang punggung bukit yang kehijauan. Bila saja terjadi longsor, rumah ini pastilah terhantam lebih dulu.Astaqfirullah. Apa yang aku fikirkan!Aku turuni anak tangga dari bebatuan. Berjalan kepelataran. Ternyata hanya rumah ini yang berada dibawah. Selebihnya ada beberapa rumah dipunggung bukit." kita jadi kepuskesmas mbak?" Mega, gadis yang kutaksir berusia sekitar empat belas tahun itu bertanya."Jadi. Ayo, kemana arah puskesmasnya?""Kesana mbak"Mataku membulat, di menunjuk bukit didepan kami. Mendadak kakiku terasa berat. Bagaimana kami akan kesana? Panjat tebing?"Ada jalan setapak kecil mbk, ayo iku
"Mungkin jika aku mati, tak ada lagi sebutan istri bagiku mas, namun kau masih punya istri yang lain""Tak ada!"Mas Erlan begitu cepat menyanggah kalimatku. Aku menatapnya dalam diam. Mungkinkah kini hanya aku satu-satunya istri dalam hidupnya?"Jangan bercanda mas, pernikahan bukanlah sebuah permainan! Kamu tak bisa sebentar menikahi wanita dan sebentar menceraikannya!""Aku tak bercanda. Aku sudah menceraikan Amelia. Hanya kau satu-satunya istriku sekarang."Kalimat itu membuat semakin banyak tanya berklebat dalam benakku. Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?Mas Erlan menjalankan kursinya kedepan, dia menatap kearah air terjun di depan kami. "Amelia adalah sebuah kesalahan Saswita. Aku minta maaf padamu atas kebodohan dan ketamakanku. Sebagai manusia aku merasa gagal mensyukuti nikmat Allah dalam hidupku..." Ucapnya lirih, membuat bulu kudukku meremang.Kalimat yang begitu kurindukan dulu, kini terdengar hanya bagai kalimat yang diucapkan karena tak ada pilihan."Untuk apa meminta
"Kita temui mereka Jeni. Aku ingin melihat apa yang akan di kalukan ibu dan anak itu"Aku dan Jeni masuk, melihat Mega sudah menata makanan di atas tikar. Kami saling pandang sebentar."Mbak Jeni sudah datang? Alhamdulillah, ayo makan bersama mbak, ada nasi jagung kesukaan mbak Jeni.""Em, nambah beberapa orang masih cukup tidak makanannya?"Mega terdiam sebentar. "Nambah siapa mbak?""Suami dan ibu mertuaku datang.""Dan dua pengawal" Tambah Jeni"Dua pengawal?" Aku dan Mega berucap hampir bersamaan. Ternyata mas Erlan tak datang sendiri, baguslah, pengawal itu bisa di minta mengangkat mas Erlan turu. Kemari."Cukup kok mbak makannya, nanti kalau habis Mega masak lagi. Sebelum Bapak pergi, Bapak pesan agar menjamu tamu dengan baik.""Memang Bapak Mega kemana?" Jeni bertanya penasaran."Kerja mbak, di tambang pasir. Soalnya ladangnya sudah selesai tanam, jadi Bapak balik ke tambang pasir. Tempatnya lumayan jauh, Bapak bisa pulang satu atau dua minggu sekali.""Yasudah, kami naik dulu