Pov Author[ Mbak Jeni, para pemegang saham memajukan pertemuan mereka besok. Jika memang nyonya Saswita masih hidup, mereka ingin melihatnya besok].Jeni tak dapat tidur semalam. Sebuah pesan dari Suci membuat dirinya gelisah. Ia terus memikirkan bagaimana langkah untuk membalas perbuatan Amelia. Terlebih hingga hari berganti, Saswita tak juga membuka mata. Hatinya mulai gamang, bila saja ada sedikit celah memberi mereka peluang, tentu akan dia upayakan.Menghubungi nyonya Winda, adalah salah satu ide yang sempat terbersit dikepala. Namun Jeni masih tak lupa, Winda juga punya ambisi menguasai seluruh harta Erlansyah. Ia tak ingin salah langkah sekarang. Satu-satunya cara adalah meyakinkan mereka semua, Nyonya Erlansyah baik-baik saja.Baiklah, Nyonya Erlansyah akan hadir di sana !Sebelum matahari terbit, Jeni sudah berganti pakaian. Dia keluar dari kamar, melihat Mega masih sibuk didapur rumahnya."Mbak mau pergi?" Mega berdiri saat Jeni mendekat."Iya, pulang sebentar." Dia menatap
Pov AuthorSaswita melenggang cantik memasuki gedung tinggi itu. Kaca mata hitam membuat dia leluasa memandang mereka semua tanpa terintimidasi. Saat pintu lift di buka, Andi terkejut. Tanpa sadar dia mundur hingga terpojok di dalam lift.Satu senyum Wita tersunging, menertawakan lelaki yang merasa dirinya menang melawan Wita. "Bodoh!" Ucapnya lirih dan masuk tanpa memperdulikan Andi yang berdiri di belakangnya."Bu Wita sehat?" Lelaki yang terus mengikuti Wita sejak kedatanganya dikantor ini mulai bertanya."Tentu saja sehat pak Agung, kenapa? Pak Agung berharap mendengar kabar kematian saya?""Bukan bu, hanya saja ada kabar bu Wita mengalami kecelakaan.""Iya, ada manusia serakah yang ingin menyingkirkan saya. Sayangnya mereka semua terlalu bodoh untuk melawan seorang Saswita!"Sengaja dia bicara begitu, ekor matanya menangkap ketidak sukaan diwajah Andi.Pintu lift terbuka, Wita keluar dan berjalan diantara lorong. Tak dilihat Andi ikut keluar. mungkin dia sedang menyusun rencana
Saswita berdiri. Antara terkejut dan tak menyangka, Erlansyah duduk diatas kursi roda. Mengenakan setelan jas hitam, lelaki itu bergerak masuk dengan kursi roda otimatisnya.Rambutnya tersibak kebelakang, sedikit basah karena gel rambut yang di pakai, memperlihatkan urat keningnya yang mengeras, menandakan bahwa dia tak sedang bersikap baik saat ini.Andi berdiri, merapikan setelan jasnya dan berlari mendekat. Menyentuh ujung pegangan kursi roda. "Menyingkir dari jalanku!" Erlan berucap dingin, membuat Andi berdesir menahan amarah. Dua lelaki gagah mendorongnya menjauh, rupanya Erlan tak sendiri, dia membawa pengawal di belakangnya. Tak membiarkan siapapun mendekatinya saat ini. Para pemegang saham saling berbisik. Sepertinya menangkap hubungan tak baik antara Erlan dan Andi. Erlan naik keatas podium. Lalu mensejajarkan kursinya disamping sang ibu. Winda memberikan mic ketangan Erlansyah, dan putranya itu menerimanya dengan tangan dingin. Dia melepas kaca mata hitamnya, mulai meliha
Wita jatuh kejurang? Bagaimana bisa semua ini terjadi? Apa yang sudah aku bawa kedalam kehidupan kami.Erlansyah terus meratapi apa yang terjadi. Semangat dan alasannya untuk sembuh ternyata jatuh kedalam jurang. Apa yang bisa dia lakukan sekarang, sejak kemarin dia dan ibunya terus berusaha. Membuat suaranya bisa kembali keluar dengan baik, dan kini saat semua sudah kembali, dia justru masih kehilangan istrinya."Katakan Jeni, apakah Wita baik-baik saja?" Ibu Winda bertanya. Jeni dapat melihat ada harapan dalam pancaran mata mertua Wita."Maaf bu, saya tak bisa pastikan." Ucapnya lirih."Bagaimana kamu tak bisa pastikan Jeni, kamu asistennya, orang yang seharusnya menjaga Wita apapun yang terjadi!" Erlan meninggikan suaranya. Ibu Winda mendekat, memeluk erat putranya yang baru saja mulai bicara. Teringat bagaimana perjuangan mereka berdua kemarin. Winda memaksa suara Erlan keluar, mencoba dari pagi hingga malam, dan akhirnya suara itu benar-benar keluar."Tenanglah lan, kita akan sa
Banyak melalui jalan yang tak mudah, mereka tiba di depan balai desa. Setelah mengucap terimakasih. Erlan dan ibunya berjalan masuk ke pelataran. Sementara Jeni masih di jalan, ia ingin memberi upah pada warga yang sudah membantu membawa Erlan, namun mereka menolaknya.Berpisah di pelataran, warga itu melanjutkan perjalanan kedusun sebelah. Jeni masuk mendekati Bu Winda dan Tuan Erlan."Kok sepi Jen?" Bu Winda bertanya."Ini masih jam setengah tujuh bu, masih sepi. Mari ikut saya, kita temui bu Wita."Jeni mengajak mereka menuju puskesmas desa. Lampu terasnya masih menyala, namun di dalam nampak gelap. Tak satupun lampu terlihat menyala.Tok...tok...Tak ada suara apapun. Tak terdengar juga bunyi langkah mendekat. Jeni mengintip dari jendela, namun tak ada apapun terlihat selain tirai di baliknya. "Gimana? Ada tidak?" Bu Winda terdengar mulai panik."Sepertinya tidak ada orang" Ucap Tuan Erlan. "Kalian, cari kebelakang!" Titahnya pada pengawal yang dia bawa.Dua lelaki berotot kekar
"Kita temui mereka Jeni. Aku ingin melihat apa yang akan di kalukan ibu dan anak itu"Aku dan Jeni masuk, melihat Mega sudah menata makanan di atas tikar. Kami saling pandang sebentar."Mbak Jeni sudah datang? Alhamdulillah, ayo makan bersama mbak, ada nasi jagung kesukaan mbak Jeni.""Em, nambah beberapa orang masih cukup tidak makanannya?"Mega terdiam sebentar. "Nambah siapa mbak?""Suami dan ibu mertuaku datang.""Dan dua pengawal" Tambah Jeni"Dua pengawal?" Aku dan Mega berucap hampir bersamaan. Ternyata mas Erlan tak datang sendiri, baguslah, pengawal itu bisa di minta mengangkat mas Erlan turu. Kemari."Cukup kok mbak makannya, nanti kalau habis Mega masak lagi. Sebelum Bapak pergi, Bapak pesan agar menjamu tamu dengan baik.""Memang Bapak Mega kemana?" Jeni bertanya penasaran."Kerja mbak, di tambang pasir. Soalnya ladangnya sudah selesai tanam, jadi Bapak balik ke tambang pasir. Tempatnya lumayan jauh, Bapak bisa pulang satu atau dua minggu sekali.""Yasudah, kami naik dulu
"Mungkin jika aku mati, tak ada lagi sebutan istri bagiku mas, namun kau masih punya istri yang lain""Tak ada!"Mas Erlan begitu cepat menyanggah kalimatku. Aku menatapnya dalam diam. Mungkinkah kini hanya aku satu-satunya istri dalam hidupnya?"Jangan bercanda mas, pernikahan bukanlah sebuah permainan! Kamu tak bisa sebentar menikahi wanita dan sebentar menceraikannya!""Aku tak bercanda. Aku sudah menceraikan Amelia. Hanya kau satu-satunya istriku sekarang."Kalimat itu membuat semakin banyak tanya berklebat dalam benakku. Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?Mas Erlan menjalankan kursinya kedepan, dia menatap kearah air terjun di depan kami. "Amelia adalah sebuah kesalahan Saswita. Aku minta maaf padamu atas kebodohan dan ketamakanku. Sebagai manusia aku merasa gagal mensyukuti nikmat Allah dalam hidupku..." Ucapnya lirih, membuat bulu kudukku meremang.Kalimat yang begitu kurindukan dulu, kini terdengar hanya bagai kalimat yang diucapkan karena tak ada pilihan."Untuk apa meminta
Assalamualaikum. Jangan lupa berikan bintang dan subbscribe ya teman-teman. Maaf off beberapa hari, semoga kedepannya bisa up cerita setiap hari. Selamat membaca.*** Aku keluar rumah. Setelah membantu gadis itu membersihkan piring bekas makanan kami. Terlalu tak tau diri jika sudah di kenyangkan, namun tak bisa meringankan sedikir saja kerjanya.Melangkah dari dalam rumah, terbentang punggung bukit yang kehijauan. Bila saja terjadi longsor, rumah ini pastilah terhantam lebih dulu.Astaqfirullah. Apa yang aku fikirkan!Aku turuni anak tangga dari bebatuan. Berjalan kepelataran. Ternyata hanya rumah ini yang berada dibawah. Selebihnya ada beberapa rumah dipunggung bukit." kita jadi kepuskesmas mbak?" Mega, gadis yang kutaksir berusia sekitar empat belas tahun itu bertanya."Jadi. Ayo, kemana arah puskesmasnya?""Kesana mbak"Mataku membulat, di menunjuk bukit didepan kami. Mendadak kakiku terasa berat. Bagaimana kami akan kesana? Panjat tebing?"Ada jalan setapak kecil mbk, ayo iku