Pagi ini aku datang kerumah ibu, rumah ini semakin hari semakin berantakan. Hampir semua kursi tak bisa di duduki karena debu yang tebal, ibu bahkan membiarkan piring menumpuk penuh di wastafel dapurnya.
Baju mas Erlan menumpuk seperti gundukan gunung di atas ember hingga menimbulkan bau yang menusuk saat aku lewat didekatnya.Ini sudah jam lima pagi dan penghuni rumah ini masih tertidur di balik selimut mereka. Tak habis pikir aku, bagaimana bisa mereka menjalani hari-harinya begini? Bagaimana suara Azan akan masuk ke dalam telingga mereka, kokok ayam yang bersahutan saja tak bisa membangunkan mereka.Dua penjaga bayaranku sudah berdiri sejak aku datang. Mereka terlihat lelah, namun berusaha tetap profesional. "Duduklah di sana, kalian pasti lelah. Sambil menunggu berganti waktu jaga, istirahat dulu saja"Mereka tersenyum dan menunduk lalu berjalan untuk duduk di ruang tengah. Suci menarik kursi makan dan membersihkannya laliSuci membuka pintu kamar mas Erlan. Lia langsung menghambur keluar. Dua pengawalku sudah bersiap dan menangkapnya.Dia menangis, meronta ingin lepas. "Mbak... jangan hukum aku begini. Aku gak kuat mbak"Dia masih meronta."Diamlah Lia" Aku berjalan mendekatinya."Mbak, aku gak mau disitu lagi. Aku gak sanggup mengurus mas Erlan""Kenapa? Kamu kan istrinya. Masak gak sanggup?" Ibu kini ikut bersuara. Tertawa aku melihatnya. Mereka dulu begitu kompaknya menghabiskan uang lelaki itu, kini saling melempar tanggung jawab."Ibu saja sana, dia kan anak ibu!" Lia menjawab dengan sengaknya."Heh, berani kamu jawab? Mantu kurang ajar" Ibu berjalan dan langsung menjambak rambut Amelia."Lepas bu, apa maksud ibu begini? Kenapa ibu jambak aku? Lepas" Kini Lia pun berontak berusaha melepaskan cengkraman tangan mertuanya.Pemandangan yang menggelitik!"Berhenti!"Mereka menatapku bersama. Menyadari kekonyolannya sendiri ibu dan menantunya itu saling menjauh."Duduklah Lia!" Aku menarik kursi makan
POV ErlanLima tahun menikahi Saswita. Kami tak juga memiliki keturunan. Berkali-kali Wita mengajakku memeriksakan diri. Tapi ibu selalu bilang bahwa aku baik-baik saja. Ak tak butuh pemeriksaan apapun. Mungkin memang Wita yang bermasalah.Aku tak percaya. Aku yakin semua baik-baik saja. Berkali-kali ibu mencoba mengenalkaku dengan wanita Lain. Tapi aku selalu menolak, aku tak ingin menyakiti wanita sebaik Wita.Hingga suatau hari, Wita membawa hasil pemetiksaan dokter. Dokter mengatakan ada Kista di rahim Wita. Ibu bilang, itulah sebabnya kami tak juga punya anak. Semua karena Wita memang tak memiliki rahim yang baik. Aku fikir, apa yang ibu katakan benar. Mungkin semua masalah hanya ada pada Wita." Ini Amelia lan, dia yang sudah banyak membantu ibu saat berbelanja. Kami tak sengaja bertemu beberapa kali." Begitu kalimat ibu, saat itu ibu memintaku mengantarnya belanja, namun ternyata hanya alasan mengenalkanku dengan Lia.Gadis putih berparas oval itu tersenyum. Rambutnya ikal meng
Huekkk hueekkk! "Ini celana atau bangkai. Bau sekali!" Teriakan istri kedua Erlan terdengar melengking. Berulang kali ia muntah dan berteriak-teriak tak jelas. Jengkel rasanya! Ia tak pernah sekesal ini.Braakk!"Sialan sekali si Wita. Aku suruh cuci baju laki idiot itu!" Lia menendang ember kosong hingga membentur dinding.Dia berkacak pinggang sembari mengatur nafasnya yang memburu. Lelah rasanya, ia mencuci beberapa celana Erlan yang berbau tak sedap lagi. Terlalu lama di tumpuk dalam keadaan basah karena air kencing, tentu saja menimbulkan bau menyengat yang tak enak."Hah...Aku tak mau lagi!" Teriaknya membuat bu Winda mendekat."Kamu kesurupan?""Bukan, Aku sedang kesetanan! Minggir, aku mau masuk!" Lia mendorong tubuh mertuanya. Namun bu Winda tetap diam bergeming."Gak bisa, enak saja main masuk. Siapa yang akan cuci itu baju?""Ibu lah... Aku ini cuma istri tak sah. Harta saja gak dapat, masak harus berutusan dengan gombal begitu!" Lia melangkah masuk."Nantang kamu yaa!
Saat aku pulang. Rumah terlihat lebih rapi. Halaman yang kacau saat aku berangkat tadi, kini bersih. Tak kutemukan satupun daun di bawahnya.Aku kembali berjalan masuk. Lantai rumah ini bersih, harum dengan wangi karbol yang menguar. Sofa yang semula mulai jadi sarang laba-laba, kini tertata bersih dengan bantal yang sudah berganti sarung.Ibu duduk di meja makan. Menikmati kiriman ayam bakar dari Jeni tadi siang. Sementara Lia, kulihat tertidur di sofa dengan baju kumalnya yang ia pakai sejak kemarin."Rapi begini kan indah, cantik dan nyaman juga dilihat!" "Ibu yang bersihkan semua. Dia cuma cuci piring sambil marah-marah tak jelas!""Terimakasih bu" Ucapku menundukkan kepala. Biarkan saja dia mengaku-aku semua pekerjaan itu hasilnya sendiri. Dia fikir aku tak memantau? Bahkan pertengkarannya dengan Lia saja aku tau.Aku berjalan ke sofa lalu duduk di dekat Lia. Memperhatikan wanita itu tertidur dengan dengkuran halusnya terdengar. "Bangun Lia..." Aku menggoyangkan badannya. Dia te
Pov Lia (Kencing dicelana)Brak! Dua pengawal kurang ajar itu mendorongku ke taman belakang. Kini mereka menutup pintunya dan berjaga disana. Mbak Wita membawakan karpet tipis dengan bantal dan selimut. Mereka melemparnya begitu saja di teras.Hihihii... tak apalah, ini lebih baik dari pada tidur dengan lelaki bau itu.Taman ibu cukup luas, ada kolam renang dan tanaman hias di sudut-sudutnya. Terlebih ada lampu-lampu hias yang membuat tamanya jadi lebih indah.Disini tak terlalu buruk. Biarlah wanita tua itu yang mengantikan popok anaknya...Aku rebahkan tubuhku di atas karpet. Hah.... indahnya malam ini.Brut... brruuuttt...."Aaarrrkkk! Kenapa tak berhenti juga!"Aku berlari kekamar mandi luar. Lalu mengeluarkan sumber masalah yang masuk dalam perutku.Untungnya aku bawa obat diare. Segera saja kubuka dan kutelan pil itu.Kok nyangku
Pov Erlan.Sejak amarah Wita saat itu, aku dan dia tak lagi bertegur sapa. Jangankan menyentuhnya, ia bahkan tak mau satu meja makan dengan kami semua. Wita menghindariku sepenuhnya. Aku tak merasa terlalu kehilangan. Ya, sebab sudah ada Lia yang mengantikan perannya sebagai istri dalam hal apapun. Bahkan saat ibu memutuskan membelikan rumah baru untuk Lia. Wita juga tak datang saat syukuran kami gelar di sini."Dimana baju gantiku Lia?" Aku bertanya. Dia sibuk mengurus jari-jari tangannnya.Selalu saja begini. Dia tak menyiapkan baju kerjaku dengan baik. Jika biasanya Wita sudah menyiapkan segalanya di atas tepat tidur. Lia akan sibuk mengurus dirinya setiap pagi."Dilemari kan ada mas. Cari sendiri mana yang mau di pakai mas!" Aku berjalan membuka lemari."Kenapa gak ada yang di setrika bajunya?"Lia yang sedang sibuk mewarnai kuku tangannya terlihat hanya melirik sekilas.
Pagi ini, kudengar keributan di belakang rumah. Rupanya ibu dan Lia kembali berulah. Mereka ribut siapa yang akan membersihkan tubuh mas Erlan. Lia merasa sudah sering melakukannya, sementara ibu berdalih selama menantunya pergi, Ibu yang mengurus mas Erlan sendiri.Kini kulihat mereka bergulung-gulung di atas rumput yang hijau. Ibu dan mantunya seperti atlit gulat di atas ring. Aku bahkan malu melihatnya sekarang."Bagaimana ini bu? Kok malah jadi kaya satwa liar!" Jeni terlihat panik. Dia datang untuk mengantarkan berkasku. Namun justru melihat adegan laga di halaman belakang."Semprot air mereka Jen!"Jeni berlari mengambil selang. Dan kemudian menyemprot dua wanita pembuat onar ini."Hentikan... mbak, apa ini!""Wita , hey ibu basah Wit. Suruh perempuan itu berhenti!"Mereka saling mencari perlindungan. Dan basah juga akhirnya."Sudah bertengkarnya? " kulipat tangan d
Amelia keluar rumah. Terkejut dengan dua lelaki yang kini ada di depan rumah ibu. Ibu menatapnya tajam bahkan melipat tangan seolah menunggu apa yang akan terjadi."Duduk!" Ucapku padanya. Dia berjalan duduk diantara aku dan ibu. "Duduk sana! Itu masih kosing!"Ibu berkata jengkel. Masih ada dua kursi kosong dan dia memilih duduk di dekat kami."Silahkan anda bicara" Aku mempersilahkannya bicara."Baik. Terimakasih. Kami kemari menagih uang Arisan pada bu Amelia""Berapa aridannya?""Tujuh puluh lima juta""Arisan apa sebanyak itu? "Ibu mulai bertanya.Aku hampir saja tertawa. Padahal ibu ikut arisan dengan nominal lebih banyak dari Lia. "Kami tidak bisa bilang. Silahkan ibu tanya pada bu Amelia saja.""Heh, arisan apa yang kamu ikuti? Emas? Berlian? Tas mahal?" Ibu bertanya dengan lancar. Sebagai wanita yang hidup dengan arisan
Kami masih berdiri di keramaian. Lelaki itu berusaha tersenyum. Namun ekor matanya tak berhenti mencuri pandang kerah Ibu."Ibu, bisa jelaskan sesuatu?" Wita meminta. Sejujurnya ia merasa canggung. Berdiri lebih lama dengan lelaki yang begitu mirip mendiang suaminya.Winda hanya diam. Tak berhenti memandang wajah lelaki itu. "Kamu Lando nak?" Winda mencoba menyentuh wajah lelaki itu. Namun ditepisnya dengan raut tak ramah." je suis désolé ( Saya Permisi )" Lelaki itu tiba-tiba memilih pergi. Meinggalkan kami yang masih terpaku."Lando! Kamu Erlando kan?" Ibu berteriak, hampir saja mengejarnya, namun lelaki itu dengan cepat keluar gedung dan masuk kedalam sebuah taksi."Ibu mengenalnya?" Wita masih mencari tau. "Bu, katakan sesuatu. Ibu mengenalnya?" Wita menatap ibu Winda, namun wanita itu masih dengan lekat memandang taksi itu pergi."Bu, kenapa diam? Ibu kenal dia? Ibu! Dia begitu mirip dengan mas Erlan." Wita mengguncang tubuh ibunya. Air matanya turun tanpa dia tau mengapa. Nama
"Bagaimana rasanya menjadi berbeda Lia? Seperti terbang diatas duniamu sendiri. Apakah menyenangkan?" Wita memandangi Amelia dari sisi ruangan berbeda. Wanita itu tak henti berteriak dan menjambak dirinya sendiri. Bahkan terkadang dia menjerit lalu meringkuk ketakutan. Apa yang di lakukan Wita dan Jeni semalam, membuat wanita itu depresi sekarang."Ayo kita pergi Jeni. Biarkan dia menikmati hidupnya sekarang, aku sudah melakukan apa yang seharusnya dia terima."Saswita berjalan memasuki mobil. Memakai kacamata hitamnya dengan anggun. Lalu mobil itu berjalan meninggalkan tempat Lia di tahan. "Ke Bandara Internasional pak!" Jeni memberi perintah." Kau sudah urus semuanya Jen?""Sudah bu. Nyonya Winda sudah menunggu disana. Ibu yakin dengan keputusan itu?""Aku yakin Jen. Tak ada lagi alasan aku tetap disini. Lagi pula aku punya mimpi yang harus aku wujudkan. Dan aku harus melindungi milik berhargaku yang lain." Ucapnya mengusap perutnya yang masih rata.Pagi tadi dia mengetahui jika
Amelia tak mati, sebuah tembakan melukai sisi perutnya, tembakan dari aparat yang sejak awal sudah mengikuti Amelia. Mereka tau aku di ancam masuk kedalam mobil dari taman dan mengikuti kami hingga kecelakaan itu terjadi.Beruntungnya nyawa wanita itu selamat. Dia masih ada dirumah sakit menjalani perawatan. Luar biasa bukan, seperti kucing dia bahkan punya nyawa berlapis.Hah...Aku mendesah kesal. Penjara saja tak akan cukup membuatnya jera. Bagaimana aku bisa memberinya pelajaran?"Ibu kenapa?" Jeni bertanya. Mungkin dia membaca kegundahan hatiku sejak tadi."Jika aku membalas wanita siluman itu, menurutmu apakah itu sebuah kesalagan Jen?"Dia terdiam, nampak berfikir sebentar."Aku merasa sangat marah atas apa yang dia lakukan padaku. Dan membawanya ke penjara, itu hukuman yang terlalu ringan bukan?" Kembali aku bicara, kali ini Jeni mendekat dan duduk di depanku."Bagaimana jika sedikit membuatnya syok bu?"Aku tertarik, kudekatkan wajahku pada Jeni. "Caranya?"Jeni hanya terseny
Pulanglah dalam damai mas, kebaikan yang kau tanam, akan harum sebagai saksi untukmu kelak di hari penghakiman. Tersenyumlah dalam keabadian, akan kulanjutkan apa yang sudah kau usahakan. Akan kujaga ibu juga sebagai baktiku padamu. Terimakasih sudah menjadi indahku, disaat-saat terakhir kita bersama.Pemakaman baru saja selesai. Sudah aku janjikan aku kuat. Sebisa mungkin kutahan bulir yang ingin terlepas dari netra. Meski terkadang lolos juga.Kami pulang kerumah, rumahku sendiri, ibu juga kubawa kemari. Beliau sedang istirahat dikamarnya sekarang. Sejak dulu memang kami sediakan kamar untuk ibu bermalam, meski hampir tak pernah ditempati, namun mas Erlan tetap memberikan kamar itu hanya untuk ibu.Kolega dan rekan bisnis kami datang silih berganti. Rumahku kini sibuk menerima tamu tang tak pernah habis sejak kabar duka itu tersebar. Ucapan demi ucapan aku terima. Hingga hampir senja, mobil Polisi masuk kedalam pelataran. Tiga Polisi laki-laki dan satu Polisi perempuan kini duduk di
Aku bersimpuh di mushola rumah sakit. Menengadah, meminta Allah tak mengambil lagi miliknya yang pernah hilang dari hati. "Ya Allah, ampunilah diri yang terlalu kufur. Hingga lupa nikmat yang kau berikan diantara ujian. Maafkanlah kebodohan ini, beraninya membenci takdir yang ada karena kehendakmu.Ya Allah, pemberi ampun dengan segala karuniamu, yang maha kaya dengan segala kemurahanmu. Izinkanlah aku mengucap taubat.Dalam hati kecilku yang tamak, aku ingin mas Erlan tetap disisiku, menemaniku lagi seperti dulu, mengulang lagi masa indah yang pernah Engkau beri. Namun segalanya kini aku letakkan dalam kehendakmu. Engkau yang lebih berhak memutuskan, karena dia memang milikmu. Engkau pula yang lebih berhak menyembuhkannya, karena dia memang milikmu. Seperti aku yang bersamanya karena takdirmu, maka aku juga menerima takdirmu bila harus melepasnya pulang. Aku ikhlaskan segelanya dalam ridhomu, aku terima apa yang menjadi kehe
Beberapa malam telah aku lalui di lembah nan hijau ini. Tak ada kebisingan selain suara air terjun yang jatuh, kicau burung yang bersahutan berbeda dan hembusan angin yang menyentuh pucuk pepohonan. Aku benar-benar jatuh cinta dengan suasana disini.Namun sebuah kabar dari kota membuat kami semua terdiam dalam tanya. Pagi ini, setelah berjalan-jalan dengan Mega, Jeni pulang membawa kabar mengejutkan. Andi, mantan asisten mas Erlan terbunuh dirumahnya sendiri. Polisi masih mendalami motif pembuhunan dan mencari informasi lebih lanjut.Ternyata setiap pagi, Jeni selalu ke atas bukit. Mencari tau berita terbaru, mencatatnya, memberikan kabar padaku juga mas Erlan tentang apa yang kami tinggalkan di kota. Butikku yang kini aku minta Suci mengontrolnya dan perusahaan mas Erlan, yang dia percayakan pada pak Lilik, kawannya dulu di proyek."Mungkinkah Lia pelakunya?" Mas Erlan bertanya padaku saat kami duduk bersama diteras rumah." M
Assalamualaikum. Jangan lupa berikan bintang dan subbscribe ya teman-teman. Maaf off beberapa hari, semoga kedepannya bisa up cerita setiap hari. Selamat membaca.*** Aku keluar rumah. Setelah membantu gadis itu membersihkan piring bekas makanan kami. Terlalu tak tau diri jika sudah di kenyangkan, namun tak bisa meringankan sedikir saja kerjanya.Melangkah dari dalam rumah, terbentang punggung bukit yang kehijauan. Bila saja terjadi longsor, rumah ini pastilah terhantam lebih dulu.Astaqfirullah. Apa yang aku fikirkan!Aku turuni anak tangga dari bebatuan. Berjalan kepelataran. Ternyata hanya rumah ini yang berada dibawah. Selebihnya ada beberapa rumah dipunggung bukit." kita jadi kepuskesmas mbak?" Mega, gadis yang kutaksir berusia sekitar empat belas tahun itu bertanya."Jadi. Ayo, kemana arah puskesmasnya?""Kesana mbak"Mataku membulat, di menunjuk bukit didepan kami. Mendadak kakiku terasa berat. Bagaimana kami akan kesana? Panjat tebing?"Ada jalan setapak kecil mbk, ayo iku
"Mungkin jika aku mati, tak ada lagi sebutan istri bagiku mas, namun kau masih punya istri yang lain""Tak ada!"Mas Erlan begitu cepat menyanggah kalimatku. Aku menatapnya dalam diam. Mungkinkah kini hanya aku satu-satunya istri dalam hidupnya?"Jangan bercanda mas, pernikahan bukanlah sebuah permainan! Kamu tak bisa sebentar menikahi wanita dan sebentar menceraikannya!""Aku tak bercanda. Aku sudah menceraikan Amelia. Hanya kau satu-satunya istriku sekarang."Kalimat itu membuat semakin banyak tanya berklebat dalam benakku. Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?Mas Erlan menjalankan kursinya kedepan, dia menatap kearah air terjun di depan kami. "Amelia adalah sebuah kesalahan Saswita. Aku minta maaf padamu atas kebodohan dan ketamakanku. Sebagai manusia aku merasa gagal mensyukuti nikmat Allah dalam hidupku..." Ucapnya lirih, membuat bulu kudukku meremang.Kalimat yang begitu kurindukan dulu, kini terdengar hanya bagai kalimat yang diucapkan karena tak ada pilihan."Untuk apa meminta
"Kita temui mereka Jeni. Aku ingin melihat apa yang akan di kalukan ibu dan anak itu"Aku dan Jeni masuk, melihat Mega sudah menata makanan di atas tikar. Kami saling pandang sebentar."Mbak Jeni sudah datang? Alhamdulillah, ayo makan bersama mbak, ada nasi jagung kesukaan mbak Jeni.""Em, nambah beberapa orang masih cukup tidak makanannya?"Mega terdiam sebentar. "Nambah siapa mbak?""Suami dan ibu mertuaku datang.""Dan dua pengawal" Tambah Jeni"Dua pengawal?" Aku dan Mega berucap hampir bersamaan. Ternyata mas Erlan tak datang sendiri, baguslah, pengawal itu bisa di minta mengangkat mas Erlan turu. Kemari."Cukup kok mbak makannya, nanti kalau habis Mega masak lagi. Sebelum Bapak pergi, Bapak pesan agar menjamu tamu dengan baik.""Memang Bapak Mega kemana?" Jeni bertanya penasaran."Kerja mbak, di tambang pasir. Soalnya ladangnya sudah selesai tanam, jadi Bapak balik ke tambang pasir. Tempatnya lumayan jauh, Bapak bisa pulang satu atau dua minggu sekali.""Yasudah, kami naik dulu