Pagi ini, kudengar keributan di belakang rumah. Rupanya ibu dan Lia kembali berulah. Mereka ribut siapa yang akan membersihkan tubuh mas Erlan. Lia merasa sudah sering melakukannya, sementara ibu berdalih selama menantunya pergi, Ibu yang mengurus mas Erlan sendiri.
Kini kulihat mereka bergulung-gulung di atas rumput yang hijau. Ibu dan mantunya seperti atlit gulat di atas ring. Aku bahkan malu melihatnya sekarang."Bagaimana ini bu? Kok malah jadi kaya satwa liar!" Jeni terlihat panik. Dia datang untuk mengantarkan berkasku. Namun justru melihat adegan laga di halaman belakang."Semprot air mereka Jen!"Jeni berlari mengambil selang. Dan kemudian menyemprot dua wanita pembuat onar ini."Hentikan... mbak, apa ini!""Wita , hey ibu basah Wit. Suruh perempuan itu berhenti!"Mereka saling mencari perlindungan. Dan basah juga akhirnya."Sudah bertengkarnya? " kulipat tangan dAmelia keluar rumah. Terkejut dengan dua lelaki yang kini ada di depan rumah ibu. Ibu menatapnya tajam bahkan melipat tangan seolah menunggu apa yang akan terjadi."Duduk!" Ucapku padanya. Dia berjalan duduk diantara aku dan ibu. "Duduk sana! Itu masih kosing!"Ibu berkata jengkel. Masih ada dua kursi kosong dan dia memilih duduk di dekat kami."Silahkan anda bicara" Aku mempersilahkannya bicara."Baik. Terimakasih. Kami kemari menagih uang Arisan pada bu Amelia""Berapa aridannya?""Tujuh puluh lima juta""Arisan apa sebanyak itu? "Ibu mulai bertanya.Aku hampir saja tertawa. Padahal ibu ikut arisan dengan nominal lebih banyak dari Lia. "Kami tidak bisa bilang. Silahkan ibu tanya pada bu Amelia saja.""Heh, arisan apa yang kamu ikuti? Emas? Berlian? Tas mahal?" Ibu bertanya dengan lancar. Sebagai wanita yang hidup dengan arisan
Ibu bersandar pada kursi santai di ruang tengah. Kursi kebanggaannya. Yang selalu menemaninya selama aku menjadi menantu. Dia tak berhenti memijat kepalanya yang berdenyut. Memikirkan kelakuan menantu kesayangannya itu."Mi..minum bu..." Lia memberikan secangkir teh hangat. Tangannya gemetar saat meletakkan teh itu di atas meja.Ibu hanya menatapnya sekilas, nampak engan melihat lagi menantunya, ibu membuang wajah ke arah lain. Lia dengan canggung berjalan kembali kebelakang. Jangankan untuk duduk bersama, menyapa ibu sedikit saja sudah membuatnya takut.Berapa kali kudengar ibu juga membuang nafasnya kasar. " Seratus lima puluh juta Wit. Ibu harus menebus Lia sebanyak itu!" Keluhnya dan aku hanya melihatnya dengan senyuman. "Itu perhiasan ibu simpan, ibu sisihkan, untuk masa tua ibu. Tapi justru malah terpakai begitu banyak dalam sekejab!" Dia masih mendengus kesal. Ada nada marah dalam kalimatnya.Lucu memang,
Hari ini aku melihat Wita terdiam menatapku. Dia mengelus wajahku yang pasti nampak tak tenang. Berkali-kali dia membersihkan liurku yang terus menetes. Dia terlihat sangat mencintaiku. Namun mengapa, dia meminta Lia dan ibu mengurusku?"Maaf ya mas, banyak kegaduhan yang terjadi. Cepatlah sembuh, dan memulai hidupmu lagi."Air mataku menetes. Membuat dadaku kian sesak karena rasa bersalahku. Mengapa harus aku sia-siakan wanita sempurna ini, hanya untuk bisa bersama perempuan murahan seperti Lia.Dia meninggalakanku sendiri lagi. Ingin rasanya kupeluk erat tubuh itu. Namun tak pernah bisa karena keadaaku yang tak baik-baik saja.Teringat bagaimana aku memperlakukannya dulu, membiatku merasakan sesak yang tak juga membaik.***Kala itu aku menyusulnya kebutik, dia sedang menemui tamu saat aku datang dan menariknya kedalam ruangan."Kamu hamil?" Kalimat itu yang kutanyakan tanpa ada rasa
Aku baru saja melihat keadaan mas Erlan. Entah kenapa dia menangis sesegukaan. Aku tinggalkan dia dengan derai air mata. Lalu berjalan keluar dan melihat Lia baru saja masuk keruang kerja mas Erlan. Tak ada apapun disana. Kecuali brankas berisi uang dan beberapa perhiasanku. Namun sandinya hanya aku yang tau. Ibu, yang jadi tuan rumah tempat ini saja, tak tau apa yang ada didalamnya.Aku tak perlu mengintipnya seperti itu. Aku duduk saja diruang depan dan melihat Lia dari cctv. Dia nampak membuka semua laci, dan berkas-berkas, kemudian berhenti di jam tangan Rolex milik mas Erlan. Jika dijual, sangat lumayan untuk memghindari kami beberapa saat.Lia berjalan keluar dan terkejut melihatku duduk di ruang tamunya. "Mau kemana?" Aku bertanya padanyaDia berangsut mundur, terkejut, seperti ingin berlari. "Ah, em... kedepan mbak, belanja untuk makan nanti.""Oh, ini aku kasih uang belanja." Kuambil dua lembar lima puluh ribuan dan me
Entah mengapa, dadaku sesak setiap kali kuingat janinku. Janin yang tak pernah kutau, namun pergi sebelum aku sempat memberinya kasih sayang.Harusnya ada banyak cinta kuberikan padanya. Namun justru aku sendiri gagal menyadari dirinya ada.Maafkan mamamu ini nak. Namun mama janji, akan membalas segala yang telah mereka lakukan pada kita!" Langsung kekantor bu?" Pertanyaan Jeni membuyarkan lamunanku."Iya, kekantor saja. Sekalian lewat rumah Lia"Entahlah, melihat gelagatnya tadi, aku merasa ada yang sedang dia sembunyikan. Sebab yang kutangkap dia bukan ingin mencari jam tangan mas Erlan. Namun mungkin saja mencari yang lebih dari itu. Tapi apa?Rumah yang di belikan mas Erlan untuk Lia, terletak di kawasan elite. Tentu saja, dengan bangunan besar dan modern, rumahku bahkan tak ada apa-apanya.Mobil masih melaju. Aku sibuk memeriksa email yang masuk. Acara fashion yang akan kugelar b
Wanita itu semakin dekat. Berjalan dengan handuk membelit tubuhnya. Tatapan kami seolah bertemu. Aku mundur, hingga menyentuh kayu belakang.Jika aku ketahuan, maka akan kuseret mereka keluar rumah ini! Bagaimanapun aku lebih punya hak disini!Kleek... pintu lemari dibuka, hanya setengah. Tertahan karena panggilan lelaki dibelakangnya."Kau sedang apa sayang?" Lelaki diranjang itu bangun memakai celana boxernya, lalu turun dari ranjang."Mau melihat baju-baju dilemari. Aku selalu memperhatikan penampilang Lia. Dia nampak sangat berkelas"Wanita itu membuka lemari lebih lebar. Jantungku serasa berhenti berdetak. Mataku tepat di depan gantungan baju. Jika dia mengambil baju tepat didepanku, aku pasti ketahuan.Blak... Dengan cepat lelaki itu menutup pintu lemari. Kini mereka kembali bercumbu di depanku. Menjijikan!"Jangan menyentuh apapun, aku bisa kena masalah, jika Lia tau barangnya d
Pak Sur kembali. Membawa empat satpam lama. Dari mereka yang datang, hanya satu yang masih gagah, mas Arif. Yang lain seumuran pas Sur, tak lagi punya kekuatan untuk melawan jika terjadi sesuatu. Mas Erlan memang tak memberhentikan mereka. Sebab mereka kawan mas Erlan dulu selama jadi kuli di proyek. Meski menyebalkan dan mudah terhasut ibunya, dia masih punga sedikit sisi baik."Hanya ini?"" Iya bu, yang lain sudah diberhentikan. "Aku ambil kertas dan bolpoin dalam laci dan memaruhnya diatas meja. "Mas Arif, kemari. Tolong tulis siapa saja kawan kalian yang dikeluarkan. Tulis bersama alasan mereka dipecat" Arif satpam yang terbilang paling muda berjalan mendekat. Aku memintanya mencatat semua nama rekannya. Dia berjalan mengambil Kertas dan bolpoin di meja.Jeni datang dengan setumpuk berkas berwarna merah dan kuning. Di belakangnya berdiri seorang wanita yang baru kulihat beberapa saat lalu. Sarah."Silahkan duduk disana dulu bapak-bapak, saya ada tamu lagi."Lima satpam itu ber
Aku duduk dalam ruangan, melihat kantor tempatku duduk tak lagi aku kenal. Semuanya di ganti begitu saja!" Katakan, haruskah aku memecatmu juga?" Aku bertanya pada Andi. Setelah semau urusanku selesai, kini hanya tinggal aku dan dirinya diruanganku."Jangan pecat saya bu, saya mohon""Setelah apa yang kamu lakukan pada perusahaanku, kau bilang aku jangan memecatmu?""Maafkan saya bu, saya janji akan memperbaiki diri"Aku ingin sekali tertawa mendengarnya. "Baiklah, apa yang akan kamu perbaiki?" Aku menatapnya tajam. "Kamu, memecat orang - orang kompeten di perusahaan ini, dan menggantinya dengan puluhan orang tolol! Apa hakmu membuat semua keputusan itu?""Semua atas izin bu Lia bu."Aku membelalak tak percaya. Lia memberikan izin Pada? Kurang ajar sekali wanita satu itu.Aku bersandar pada kursi dan menatap lelaki yang menyebut dirinya direktur itu. Dia be
Kami masih berdiri di keramaian. Lelaki itu berusaha tersenyum. Namun ekor matanya tak berhenti mencuri pandang kerah Ibu."Ibu, bisa jelaskan sesuatu?" Wita meminta. Sejujurnya ia merasa canggung. Berdiri lebih lama dengan lelaki yang begitu mirip mendiang suaminya.Winda hanya diam. Tak berhenti memandang wajah lelaki itu. "Kamu Lando nak?" Winda mencoba menyentuh wajah lelaki itu. Namun ditepisnya dengan raut tak ramah." je suis désolé ( Saya Permisi )" Lelaki itu tiba-tiba memilih pergi. Meinggalkan kami yang masih terpaku."Lando! Kamu Erlando kan?" Ibu berteriak, hampir saja mengejarnya, namun lelaki itu dengan cepat keluar gedung dan masuk kedalam sebuah taksi."Ibu mengenalnya?" Wita masih mencari tau. "Bu, katakan sesuatu. Ibu mengenalnya?" Wita menatap ibu Winda, namun wanita itu masih dengan lekat memandang taksi itu pergi."Bu, kenapa diam? Ibu kenal dia? Ibu! Dia begitu mirip dengan mas Erlan." Wita mengguncang tubuh ibunya. Air matanya turun tanpa dia tau mengapa. Nama
"Bagaimana rasanya menjadi berbeda Lia? Seperti terbang diatas duniamu sendiri. Apakah menyenangkan?" Wita memandangi Amelia dari sisi ruangan berbeda. Wanita itu tak henti berteriak dan menjambak dirinya sendiri. Bahkan terkadang dia menjerit lalu meringkuk ketakutan. Apa yang di lakukan Wita dan Jeni semalam, membuat wanita itu depresi sekarang."Ayo kita pergi Jeni. Biarkan dia menikmati hidupnya sekarang, aku sudah melakukan apa yang seharusnya dia terima."Saswita berjalan memasuki mobil. Memakai kacamata hitamnya dengan anggun. Lalu mobil itu berjalan meninggalkan tempat Lia di tahan. "Ke Bandara Internasional pak!" Jeni memberi perintah." Kau sudah urus semuanya Jen?""Sudah bu. Nyonya Winda sudah menunggu disana. Ibu yakin dengan keputusan itu?""Aku yakin Jen. Tak ada lagi alasan aku tetap disini. Lagi pula aku punya mimpi yang harus aku wujudkan. Dan aku harus melindungi milik berhargaku yang lain." Ucapnya mengusap perutnya yang masih rata.Pagi tadi dia mengetahui jika
Amelia tak mati, sebuah tembakan melukai sisi perutnya, tembakan dari aparat yang sejak awal sudah mengikuti Amelia. Mereka tau aku di ancam masuk kedalam mobil dari taman dan mengikuti kami hingga kecelakaan itu terjadi.Beruntungnya nyawa wanita itu selamat. Dia masih ada dirumah sakit menjalani perawatan. Luar biasa bukan, seperti kucing dia bahkan punya nyawa berlapis.Hah...Aku mendesah kesal. Penjara saja tak akan cukup membuatnya jera. Bagaimana aku bisa memberinya pelajaran?"Ibu kenapa?" Jeni bertanya. Mungkin dia membaca kegundahan hatiku sejak tadi."Jika aku membalas wanita siluman itu, menurutmu apakah itu sebuah kesalagan Jen?"Dia terdiam, nampak berfikir sebentar."Aku merasa sangat marah atas apa yang dia lakukan padaku. Dan membawanya ke penjara, itu hukuman yang terlalu ringan bukan?" Kembali aku bicara, kali ini Jeni mendekat dan duduk di depanku."Bagaimana jika sedikit membuatnya syok bu?"Aku tertarik, kudekatkan wajahku pada Jeni. "Caranya?"Jeni hanya terseny
Pulanglah dalam damai mas, kebaikan yang kau tanam, akan harum sebagai saksi untukmu kelak di hari penghakiman. Tersenyumlah dalam keabadian, akan kulanjutkan apa yang sudah kau usahakan. Akan kujaga ibu juga sebagai baktiku padamu. Terimakasih sudah menjadi indahku, disaat-saat terakhir kita bersama.Pemakaman baru saja selesai. Sudah aku janjikan aku kuat. Sebisa mungkin kutahan bulir yang ingin terlepas dari netra. Meski terkadang lolos juga.Kami pulang kerumah, rumahku sendiri, ibu juga kubawa kemari. Beliau sedang istirahat dikamarnya sekarang. Sejak dulu memang kami sediakan kamar untuk ibu bermalam, meski hampir tak pernah ditempati, namun mas Erlan tetap memberikan kamar itu hanya untuk ibu.Kolega dan rekan bisnis kami datang silih berganti. Rumahku kini sibuk menerima tamu tang tak pernah habis sejak kabar duka itu tersebar. Ucapan demi ucapan aku terima. Hingga hampir senja, mobil Polisi masuk kedalam pelataran. Tiga Polisi laki-laki dan satu Polisi perempuan kini duduk di
Aku bersimpuh di mushola rumah sakit. Menengadah, meminta Allah tak mengambil lagi miliknya yang pernah hilang dari hati. "Ya Allah, ampunilah diri yang terlalu kufur. Hingga lupa nikmat yang kau berikan diantara ujian. Maafkanlah kebodohan ini, beraninya membenci takdir yang ada karena kehendakmu.Ya Allah, pemberi ampun dengan segala karuniamu, yang maha kaya dengan segala kemurahanmu. Izinkanlah aku mengucap taubat.Dalam hati kecilku yang tamak, aku ingin mas Erlan tetap disisiku, menemaniku lagi seperti dulu, mengulang lagi masa indah yang pernah Engkau beri. Namun segalanya kini aku letakkan dalam kehendakmu. Engkau yang lebih berhak memutuskan, karena dia memang milikmu. Engkau pula yang lebih berhak menyembuhkannya, karena dia memang milikmu. Seperti aku yang bersamanya karena takdirmu, maka aku juga menerima takdirmu bila harus melepasnya pulang. Aku ikhlaskan segelanya dalam ridhomu, aku terima apa yang menjadi kehe
Beberapa malam telah aku lalui di lembah nan hijau ini. Tak ada kebisingan selain suara air terjun yang jatuh, kicau burung yang bersahutan berbeda dan hembusan angin yang menyentuh pucuk pepohonan. Aku benar-benar jatuh cinta dengan suasana disini.Namun sebuah kabar dari kota membuat kami semua terdiam dalam tanya. Pagi ini, setelah berjalan-jalan dengan Mega, Jeni pulang membawa kabar mengejutkan. Andi, mantan asisten mas Erlan terbunuh dirumahnya sendiri. Polisi masih mendalami motif pembuhunan dan mencari informasi lebih lanjut.Ternyata setiap pagi, Jeni selalu ke atas bukit. Mencari tau berita terbaru, mencatatnya, memberikan kabar padaku juga mas Erlan tentang apa yang kami tinggalkan di kota. Butikku yang kini aku minta Suci mengontrolnya dan perusahaan mas Erlan, yang dia percayakan pada pak Lilik, kawannya dulu di proyek."Mungkinkah Lia pelakunya?" Mas Erlan bertanya padaku saat kami duduk bersama diteras rumah." M
Assalamualaikum. Jangan lupa berikan bintang dan subbscribe ya teman-teman. Maaf off beberapa hari, semoga kedepannya bisa up cerita setiap hari. Selamat membaca.*** Aku keluar rumah. Setelah membantu gadis itu membersihkan piring bekas makanan kami. Terlalu tak tau diri jika sudah di kenyangkan, namun tak bisa meringankan sedikir saja kerjanya.Melangkah dari dalam rumah, terbentang punggung bukit yang kehijauan. Bila saja terjadi longsor, rumah ini pastilah terhantam lebih dulu.Astaqfirullah. Apa yang aku fikirkan!Aku turuni anak tangga dari bebatuan. Berjalan kepelataran. Ternyata hanya rumah ini yang berada dibawah. Selebihnya ada beberapa rumah dipunggung bukit." kita jadi kepuskesmas mbak?" Mega, gadis yang kutaksir berusia sekitar empat belas tahun itu bertanya."Jadi. Ayo, kemana arah puskesmasnya?""Kesana mbak"Mataku membulat, di menunjuk bukit didepan kami. Mendadak kakiku terasa berat. Bagaimana kami akan kesana? Panjat tebing?"Ada jalan setapak kecil mbk, ayo iku
"Mungkin jika aku mati, tak ada lagi sebutan istri bagiku mas, namun kau masih punya istri yang lain""Tak ada!"Mas Erlan begitu cepat menyanggah kalimatku. Aku menatapnya dalam diam. Mungkinkah kini hanya aku satu-satunya istri dalam hidupnya?"Jangan bercanda mas, pernikahan bukanlah sebuah permainan! Kamu tak bisa sebentar menikahi wanita dan sebentar menceraikannya!""Aku tak bercanda. Aku sudah menceraikan Amelia. Hanya kau satu-satunya istriku sekarang."Kalimat itu membuat semakin banyak tanya berklebat dalam benakku. Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?Mas Erlan menjalankan kursinya kedepan, dia menatap kearah air terjun di depan kami. "Amelia adalah sebuah kesalahan Saswita. Aku minta maaf padamu atas kebodohan dan ketamakanku. Sebagai manusia aku merasa gagal mensyukuti nikmat Allah dalam hidupku..." Ucapnya lirih, membuat bulu kudukku meremang.Kalimat yang begitu kurindukan dulu, kini terdengar hanya bagai kalimat yang diucapkan karena tak ada pilihan."Untuk apa meminta
"Kita temui mereka Jeni. Aku ingin melihat apa yang akan di kalukan ibu dan anak itu"Aku dan Jeni masuk, melihat Mega sudah menata makanan di atas tikar. Kami saling pandang sebentar."Mbak Jeni sudah datang? Alhamdulillah, ayo makan bersama mbak, ada nasi jagung kesukaan mbak Jeni.""Em, nambah beberapa orang masih cukup tidak makanannya?"Mega terdiam sebentar. "Nambah siapa mbak?""Suami dan ibu mertuaku datang.""Dan dua pengawal" Tambah Jeni"Dua pengawal?" Aku dan Mega berucap hampir bersamaan. Ternyata mas Erlan tak datang sendiri, baguslah, pengawal itu bisa di minta mengangkat mas Erlan turu. Kemari."Cukup kok mbak makannya, nanti kalau habis Mega masak lagi. Sebelum Bapak pergi, Bapak pesan agar menjamu tamu dengan baik.""Memang Bapak Mega kemana?" Jeni bertanya penasaran."Kerja mbak, di tambang pasir. Soalnya ladangnya sudah selesai tanam, jadi Bapak balik ke tambang pasir. Tempatnya lumayan jauh, Bapak bisa pulang satu atau dua minggu sekali.""Yasudah, kami naik dulu