Aku duduk dalam ruangan, melihat kantor tempatku duduk tak lagi aku kenal. Semuanya di ganti begitu saja!" Katakan, haruskah aku memecatmu juga?" Aku bertanya pada Andi. Setelah semau urusanku selesai, kini hanya tinggal aku dan dirinya diruanganku."Jangan pecat saya bu, saya mohon""Setelah apa yang kamu lakukan pada perusahaanku, kau bilang aku jangan memecatmu?""Maafkan saya bu, saya janji akan memperbaiki diri"Aku ingin sekali tertawa mendengarnya. "Baiklah, apa yang akan kamu perbaiki?" Aku menatapnya tajam. "Kamu, memecat orang - orang kompeten di perusahaan ini, dan menggantinya dengan puluhan orang tolol! Apa hakmu membuat semua keputusan itu?""Semua atas izin bu Lia bu."Aku membelalak tak percaya. Lia memberikan izin Pada? Kurang ajar sekali wanita satu itu.Aku bersandar pada kursi dan menatap lelaki yang menyebut dirinya direktur itu. Dia be
Pesan dari Andi membuat hatiku memanas. Bagaimana bisa dia membuat keputusan tanpa bertanya dahulu! Sementara aku belum menemukan setempel atas nama mas Erlan. Bagaimana bisa aku mengambil alih seluruh asetnya dirumahku. Jika tak ada setempelnya sebagai pemilik yang sah.Dua minggu. Andi bilang dua minggu adalah waktu yang dia berikan pada mbak Wita untuk mengadakan rapat pemegang saham. Bagaimana akan aku menangkan hati mereka semua? Sementata tak satupun kukenal meteka secara pribadi. Terlebih istri mereka semua pasti ada dipihak mbak Wita![Harusnya kau tak membuat keputusan sendiri Sayang, aku bisa mati berdiri disini. Mbak Wita atau ibu bisa saja menyiksaku nanti]Kukirim pesanku pada Andi, kami menjalin hubungan cukup lama. Namun belakangan ini dia begitu sulit dihubungi. Terlebih ketika aku diBali. Dia bilang sedang ada urusan di Malaysia, sehingga tak bisa dihubungi lagi.[Kau mau aku dipecat si Wita itu? Bisa-bisa kita gagal menjadi pewaris kekayaan Erlansyah. Kau singkirkan
Aku pulang kerumah ibu. Lagi-lagi aku harus mengawasi dua perempuan licik itu. Lia tak terlihat saat aku datang. Sementara ibu terlihat bahagianya menyiram tanamanya yang begitu subur."Sedang apa bu?" Aku duduk diteras rumah. Meletakkan tasku dimeja dan memyandarkan punggung ini pada kursi.Ibu mematikan kran air dan. Duduk di depanku. " menyiram tanaman, lama sekali ibu tak bisa menikmati sore yang damai. Kamu dari mana?""Dari kantor mas Erlan.""Apa ada masalah?" Ibu bertanya.Aku menggelengkan kepala cepat. Saat ini aku tak percaya pada ibu, mana mungkin aku membagikan masalahku padanya. "Tak ada masalah apa-apa bu, hanya melihat kadaan."Dia hanya menganggukkan kepala pelan. " Mau ibu bawakan teh hangat atau es?" Tawarnya.Aku tertegun, beberapa tahun jadi menantunya, sepertinya baru kali ini ibu menawariku minum dan menganggapku sebagai menantunya. " Tumben sekali ibu perduli padaku?"Dia terdiam sebentar, kudengan hembusan nafas halus dan dalam. "Ibu merasa bersalah Wita. Ibu
Kurang ajar si Wita. Rusak Ponselku sekarang! Aarkk!"Aku jatuhkan badan di kamar pembantu. Menyebalkan sekali, satu-satunya kamar yang tersisa hanya kamar ini. Tadinya mereka mau aku di kamar mas Erlan saja. Namun siapa yang betah ada disana semalaman?Bagaimana bisa aku menghubungi Andi sekarang?Aku tak bisa keluar dari sini dengan mudah. Pengawal Wita saja sudah seperti tugu kecamatan. Tak bergerak di pagar depan! Lagi pula, stempel sialan itu belum juga aku temukan. Dimana sih lelaki lumpuh itu menyembunyikannya?Brak!Aku terduduk, nenek sihir itu sudah ada didepan pintu. Untungnya aku pinya jantung cadangan. Jika tidak bisa mati berdiri aku. Semua orang dirumah ini tak pernah benar saat membuka pintu!"Kenapa bu? Gak pernah lihat wanita cantik?" Tak salahkan aku tanya begitu. Ibu saja memandangku tanpa berkedip."Cantik dari Hongkong!" Ucapnya sembari berkacak pinggangDih, jawaban apa itu? Lupa dia pernah memujiku sampai lupa daratan. Dasar nenek pikun!"Aku kesini bukan mau b
Kutinggalkan Wanita tak tau diri itu diruang tengah. Aku biarkan dia terkejut dan berfikir dengan ketakutannya sendiri. Memikirkan aku yang memiliki stempel itu, pasti membuatnya tak bisa tidur nyenyak malam ini.Aku berjalan kedalam kamar, merebahkan sebentar tubuh ini di atas ranjang. Hari ini aku berfikir sangat keras. Terlebih aku masih belum tau juga dimana stempel itu berada. Ingin rasa memejamkan mata sejenak, namun tidak, tak sekarang. Aku tak mau lenggah sedikitpun.Aku berdiri, mengganti bajuku dengan yang bersih. Aku bawa tumpukan pakaian kotor itu kedalam plastik besar. Aku akan meminta pak Budi membawanya pulang kerumahku sendiri.Aku keluar kamar. Menyeret kantong plastik berukuran cukup besar dan sebuah tas koper kosong di tangan satunya."Mau kemana Wit?""Mau pergi bu""Pergi dari rumah ini?"Aku menggelengkan kepala. "Pergi kedepan. Supirku akan mengambil baju-baju kotor ini kerumahku."Ibu hanya menganggukkan kepala. Wanita itu sekarang tak terlalu banyak memberika
"Bu, Wita berangkat dulu bu"Aku berpamitan pada ibu yang sedang menyiram tanaman. Ibu tersenyum dan beralan kearahku. "Iya Wit, pergilah. Hati-hati yaa""Iya bu, ibu juga ya. Ingat yang sudah kira bicarakan tadi malam. Ibu harus fokus melihat kemana Lia bergerak dirumah ini.""Iya, tenang saja. Ibu akan awasi.""Jaga mas Erlan, Wita sudah pamit, dia tak akan mecari nanti. Pastikan Lia menganti popoknya dengan benar.""Iya, jangan khawatir yaa Wita"Aku tersenyum dan berjalan masuk kedalam mobil. Melambaikan tangan pada ibu dan mobilku melaju keluar gerbang.Berpura-pura baik pada orang yang sudah menghancurkan hidupmu itu penting. Karena aku tak akan membiarkan dia tenang dengan harta melimpah. Akan aku rampas segalanya, tak tersisa!"Kemantor bu?" Pak Budi bertanya. Membuatku melihat kearahnya."Iya... em, mungkin kebutik sebentar." Ucapku sembari memberi pesan pada Jeni untuk datang kebutik saja hari ini.Aku sandarkan tubuhku di kursi. Kemarin, aku dan ibu pulang larut malam. D
Aku kembali keluar rumah. Lebih tepatnya ke butikku sebentar. Setelah memastikan rekaman itu benar adanya. Aku tinggalkan rumah ibu mertuaku. Sekarang aku yakin, mas Erlan memang sudah bisa menggerakkan tubuh atasnya. Saat aku meletakkan tanganku dibawah telapaknya, dapat kurasakan dia memiliki tenaga. Telapak tangannya merespon telapak tanganku. Jika dia belum sembuh, harusnya hal itu tak bisa dia lakukan.Sampai di depan butik. Jeni menyambutku dan membuka buku agendanya hari ini. Gadis ini, tak pernah membiarkan aku istirahat barang sebentar!"Hari ini ibu ada agenda melihat hasil rancangan untuk fashion show nanti.""Apa sudah selesai?""Sudah, semua sudah selesai. Beberapa model akan datang juga untuk berlatih besok siang."Aku menganggukkan kepala. Bagaimanapun sibuknya aku, dengan urusan perusahaan mas Erlan, fashion adalah duniaku. Disinilah namaku besar dan berkembang.Aku masuk kedalam ruangan. Memeriksa beberapa dokumen. Dan teringat sesuatu. "Jen, sudah ada informasi tent
Melewati tanjakan terjal dan tikungan tajam. Aku baru menyadari, kami masuk kekawasan pegunungan. Jauh dari kota tempat kami tinggal. Perlahan kami masuk kedalam tempat pembuangan mobil kecelakaan."Jauh sekali Jen?""Iya bu, memang jauh sekali. Teman saya sudah bilang, jika tempatnya memang jauh. Dan lebih aman kita datang malam hari""Kenapa?""Jika siang, banyak orang disini. Orang kampung sini beternak kambing dan sapi. Dan mereka bisa saja membuat laporan kedatangan kita"Benar, rumput disini memang sangat gemuk. Jika aku sapi, aku juga suka ada disini!"Baiklah. Parkirkan dengan aman mobil ini Jeni""Disini sudah aman bu""Tidak! Jangan disini. Cari tempat yang lebih aman. Mungkin saja kita akan kedatangan orang lain." Meski agak terkejut dengan tempat ini, aku tetap keluar mobil.."Baik bu" Jeni kembali kedalam mobil. Lalu membawa mobil itu lebih kedalam. Bersembunyi diantara tumpukan mobil lain. Tempat ini benar-benar penuh mobil. Dengan suasana gelap dan banyak mobil bertum
Kami masih berdiri di keramaian. Lelaki itu berusaha tersenyum. Namun ekor matanya tak berhenti mencuri pandang kerah Ibu."Ibu, bisa jelaskan sesuatu?" Wita meminta. Sejujurnya ia merasa canggung. Berdiri lebih lama dengan lelaki yang begitu mirip mendiang suaminya.Winda hanya diam. Tak berhenti memandang wajah lelaki itu. "Kamu Lando nak?" Winda mencoba menyentuh wajah lelaki itu. Namun ditepisnya dengan raut tak ramah." je suis désolé ( Saya Permisi )" Lelaki itu tiba-tiba memilih pergi. Meinggalkan kami yang masih terpaku."Lando! Kamu Erlando kan?" Ibu berteriak, hampir saja mengejarnya, namun lelaki itu dengan cepat keluar gedung dan masuk kedalam sebuah taksi."Ibu mengenalnya?" Wita masih mencari tau. "Bu, katakan sesuatu. Ibu mengenalnya?" Wita menatap ibu Winda, namun wanita itu masih dengan lekat memandang taksi itu pergi."Bu, kenapa diam? Ibu kenal dia? Ibu! Dia begitu mirip dengan mas Erlan." Wita mengguncang tubuh ibunya. Air matanya turun tanpa dia tau mengapa. Nama
"Bagaimana rasanya menjadi berbeda Lia? Seperti terbang diatas duniamu sendiri. Apakah menyenangkan?" Wita memandangi Amelia dari sisi ruangan berbeda. Wanita itu tak henti berteriak dan menjambak dirinya sendiri. Bahkan terkadang dia menjerit lalu meringkuk ketakutan. Apa yang di lakukan Wita dan Jeni semalam, membuat wanita itu depresi sekarang."Ayo kita pergi Jeni. Biarkan dia menikmati hidupnya sekarang, aku sudah melakukan apa yang seharusnya dia terima."Saswita berjalan memasuki mobil. Memakai kacamata hitamnya dengan anggun. Lalu mobil itu berjalan meninggalkan tempat Lia di tahan. "Ke Bandara Internasional pak!" Jeni memberi perintah." Kau sudah urus semuanya Jen?""Sudah bu. Nyonya Winda sudah menunggu disana. Ibu yakin dengan keputusan itu?""Aku yakin Jen. Tak ada lagi alasan aku tetap disini. Lagi pula aku punya mimpi yang harus aku wujudkan. Dan aku harus melindungi milik berhargaku yang lain." Ucapnya mengusap perutnya yang masih rata.Pagi tadi dia mengetahui jika
Amelia tak mati, sebuah tembakan melukai sisi perutnya, tembakan dari aparat yang sejak awal sudah mengikuti Amelia. Mereka tau aku di ancam masuk kedalam mobil dari taman dan mengikuti kami hingga kecelakaan itu terjadi.Beruntungnya nyawa wanita itu selamat. Dia masih ada dirumah sakit menjalani perawatan. Luar biasa bukan, seperti kucing dia bahkan punya nyawa berlapis.Hah...Aku mendesah kesal. Penjara saja tak akan cukup membuatnya jera. Bagaimana aku bisa memberinya pelajaran?"Ibu kenapa?" Jeni bertanya. Mungkin dia membaca kegundahan hatiku sejak tadi."Jika aku membalas wanita siluman itu, menurutmu apakah itu sebuah kesalagan Jen?"Dia terdiam, nampak berfikir sebentar."Aku merasa sangat marah atas apa yang dia lakukan padaku. Dan membawanya ke penjara, itu hukuman yang terlalu ringan bukan?" Kembali aku bicara, kali ini Jeni mendekat dan duduk di depanku."Bagaimana jika sedikit membuatnya syok bu?"Aku tertarik, kudekatkan wajahku pada Jeni. "Caranya?"Jeni hanya terseny
Pulanglah dalam damai mas, kebaikan yang kau tanam, akan harum sebagai saksi untukmu kelak di hari penghakiman. Tersenyumlah dalam keabadian, akan kulanjutkan apa yang sudah kau usahakan. Akan kujaga ibu juga sebagai baktiku padamu. Terimakasih sudah menjadi indahku, disaat-saat terakhir kita bersama.Pemakaman baru saja selesai. Sudah aku janjikan aku kuat. Sebisa mungkin kutahan bulir yang ingin terlepas dari netra. Meski terkadang lolos juga.Kami pulang kerumah, rumahku sendiri, ibu juga kubawa kemari. Beliau sedang istirahat dikamarnya sekarang. Sejak dulu memang kami sediakan kamar untuk ibu bermalam, meski hampir tak pernah ditempati, namun mas Erlan tetap memberikan kamar itu hanya untuk ibu.Kolega dan rekan bisnis kami datang silih berganti. Rumahku kini sibuk menerima tamu tang tak pernah habis sejak kabar duka itu tersebar. Ucapan demi ucapan aku terima. Hingga hampir senja, mobil Polisi masuk kedalam pelataran. Tiga Polisi laki-laki dan satu Polisi perempuan kini duduk di
Aku bersimpuh di mushola rumah sakit. Menengadah, meminta Allah tak mengambil lagi miliknya yang pernah hilang dari hati. "Ya Allah, ampunilah diri yang terlalu kufur. Hingga lupa nikmat yang kau berikan diantara ujian. Maafkanlah kebodohan ini, beraninya membenci takdir yang ada karena kehendakmu.Ya Allah, pemberi ampun dengan segala karuniamu, yang maha kaya dengan segala kemurahanmu. Izinkanlah aku mengucap taubat.Dalam hati kecilku yang tamak, aku ingin mas Erlan tetap disisiku, menemaniku lagi seperti dulu, mengulang lagi masa indah yang pernah Engkau beri. Namun segalanya kini aku letakkan dalam kehendakmu. Engkau yang lebih berhak memutuskan, karena dia memang milikmu. Engkau pula yang lebih berhak menyembuhkannya, karena dia memang milikmu. Seperti aku yang bersamanya karena takdirmu, maka aku juga menerima takdirmu bila harus melepasnya pulang. Aku ikhlaskan segelanya dalam ridhomu, aku terima apa yang menjadi kehe
Beberapa malam telah aku lalui di lembah nan hijau ini. Tak ada kebisingan selain suara air terjun yang jatuh, kicau burung yang bersahutan berbeda dan hembusan angin yang menyentuh pucuk pepohonan. Aku benar-benar jatuh cinta dengan suasana disini.Namun sebuah kabar dari kota membuat kami semua terdiam dalam tanya. Pagi ini, setelah berjalan-jalan dengan Mega, Jeni pulang membawa kabar mengejutkan. Andi, mantan asisten mas Erlan terbunuh dirumahnya sendiri. Polisi masih mendalami motif pembuhunan dan mencari informasi lebih lanjut.Ternyata setiap pagi, Jeni selalu ke atas bukit. Mencari tau berita terbaru, mencatatnya, memberikan kabar padaku juga mas Erlan tentang apa yang kami tinggalkan di kota. Butikku yang kini aku minta Suci mengontrolnya dan perusahaan mas Erlan, yang dia percayakan pada pak Lilik, kawannya dulu di proyek."Mungkinkah Lia pelakunya?" Mas Erlan bertanya padaku saat kami duduk bersama diteras rumah." M
Assalamualaikum. Jangan lupa berikan bintang dan subbscribe ya teman-teman. Maaf off beberapa hari, semoga kedepannya bisa up cerita setiap hari. Selamat membaca.*** Aku keluar rumah. Setelah membantu gadis itu membersihkan piring bekas makanan kami. Terlalu tak tau diri jika sudah di kenyangkan, namun tak bisa meringankan sedikir saja kerjanya.Melangkah dari dalam rumah, terbentang punggung bukit yang kehijauan. Bila saja terjadi longsor, rumah ini pastilah terhantam lebih dulu.Astaqfirullah. Apa yang aku fikirkan!Aku turuni anak tangga dari bebatuan. Berjalan kepelataran. Ternyata hanya rumah ini yang berada dibawah. Selebihnya ada beberapa rumah dipunggung bukit." kita jadi kepuskesmas mbak?" Mega, gadis yang kutaksir berusia sekitar empat belas tahun itu bertanya."Jadi. Ayo, kemana arah puskesmasnya?""Kesana mbak"Mataku membulat, di menunjuk bukit didepan kami. Mendadak kakiku terasa berat. Bagaimana kami akan kesana? Panjat tebing?"Ada jalan setapak kecil mbk, ayo iku
"Mungkin jika aku mati, tak ada lagi sebutan istri bagiku mas, namun kau masih punya istri yang lain""Tak ada!"Mas Erlan begitu cepat menyanggah kalimatku. Aku menatapnya dalam diam. Mungkinkah kini hanya aku satu-satunya istri dalam hidupnya?"Jangan bercanda mas, pernikahan bukanlah sebuah permainan! Kamu tak bisa sebentar menikahi wanita dan sebentar menceraikannya!""Aku tak bercanda. Aku sudah menceraikan Amelia. Hanya kau satu-satunya istriku sekarang."Kalimat itu membuat semakin banyak tanya berklebat dalam benakku. Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?Mas Erlan menjalankan kursinya kedepan, dia menatap kearah air terjun di depan kami. "Amelia adalah sebuah kesalahan Saswita. Aku minta maaf padamu atas kebodohan dan ketamakanku. Sebagai manusia aku merasa gagal mensyukuti nikmat Allah dalam hidupku..." Ucapnya lirih, membuat bulu kudukku meremang.Kalimat yang begitu kurindukan dulu, kini terdengar hanya bagai kalimat yang diucapkan karena tak ada pilihan."Untuk apa meminta
"Kita temui mereka Jeni. Aku ingin melihat apa yang akan di kalukan ibu dan anak itu"Aku dan Jeni masuk, melihat Mega sudah menata makanan di atas tikar. Kami saling pandang sebentar."Mbak Jeni sudah datang? Alhamdulillah, ayo makan bersama mbak, ada nasi jagung kesukaan mbak Jeni.""Em, nambah beberapa orang masih cukup tidak makanannya?"Mega terdiam sebentar. "Nambah siapa mbak?""Suami dan ibu mertuaku datang.""Dan dua pengawal" Tambah Jeni"Dua pengawal?" Aku dan Mega berucap hampir bersamaan. Ternyata mas Erlan tak datang sendiri, baguslah, pengawal itu bisa di minta mengangkat mas Erlan turu. Kemari."Cukup kok mbak makannya, nanti kalau habis Mega masak lagi. Sebelum Bapak pergi, Bapak pesan agar menjamu tamu dengan baik.""Memang Bapak Mega kemana?" Jeni bertanya penasaran."Kerja mbak, di tambang pasir. Soalnya ladangnya sudah selesai tanam, jadi Bapak balik ke tambang pasir. Tempatnya lumayan jauh, Bapak bisa pulang satu atau dua minggu sekali.""Yasudah, kami naik dulu