"Tidak bisa!" seru Winda dengan tegas, membuat Maura yang sebelumnya senyum-senyum sendiri di seberang sana terkesiap. "Loh kok, tidak bisa? Mbak kan sudah janji mau memberikanku pekerjaan dan rumah?" "Iya, tapi itu kan kalau misalkan Mas Raka benar-benar mau ikut Bu Sinta. Tapi ternyata Mas Raka tidak mau pergi dengan kami, berarti perjanjiannya batal, dong." "Ya nggak bisa gitu dong, Mbak. Aku juga kan tidak meminta rumah. Aku cuma minta pekerjaan. Anggap saja ini rasa terima kasih Mbak karena sudah diberi tahu tempat tinggal Mas Raka. Bukankah kalian itu sudah lama mencari Mas Raka tapi tidak ketemu? Iya, kan?" ujar Maura mulai panik. Dia tidak mau kalau sampai benar-benar tidak mendapatkan pekerjaan apa-apa, karena Maura butuh sekali pekerjaan ini agar bisa terhindar dari Mila. Membayangkan setiap hari bertemu dengan Mila dan diperlakukan tidak baik oleh kakaknya, membuat Maura tersiksa sendiri. Dia tidak bisa berlari ke mana-mana seperti burung yang terperangkap dalam sangka
Winda diam saja. Dia tidak serta mereka menerima permintaan Maura. Harus ada perjanjian yang kuat, sebab tahu kalau sekarang anak ini benar-benar licik."Oh, oke, deh. Kalau gitu nggak masalah sih buatku, tapi satu syaratnya, ya." "Hah! Memang harus ada syarat lagi? Apa susahnya sih memberiku kerjaan? Lagian kan Mbak itu punya supermarket. Mudah kan untuk memperkerjakan atau merekrut satu orang.""Ya, nggak bisa seperti itu, dong. Ada SOPnya. Kamu pikir aku ini adalah bos yang zalim suka karyawan? Sembarangan! Ya nggak lah," ujar Winda tidak terima dengan tuduhan yang diberikan oleh Maura.Winda tiba-tiba saja punya rencana yang bagus. Dia akan menerima Maura, tetapi tentu saja harus dengan syarat.Winda akan membuat Maura tidak betah di tempat kerjanya. Dengan begitu pasti Maura akan keluar tanpa disuruh pindah juga. Akan membuat perjanjian kalau misalkan Maura sudah keluar dari tempat kerja ini, dia tidak bisa kembali lagi ke tempatnya dengan apa pun alasannya.Jadi, kalau misalkan
Sudah hampir 2 jam tidak ada juga pembeli yang datang ke restoran Devan. Sebelumnya tempatnya itu benar-benar sangat ramai. Bahkan terkenal di internet, tetapi gara-gara penangkapan dirinya semua itu langsung berubah 180°.Beberapa kali Devan mondar mandi di depan pintu utama, menunggu pelanggan mana yang datang untuk pertama kalinya. Tetapi sayangnya sudah 2 jam berlalu, tapi tak ada tanda-tanda pelanggan yang singgah di tempat itu. Devan mulai frustrasi. Amanda pun tampak merasa kasihan. Ini semua sebab penangkapan Devan yang viral.Padahal Devan berniat akan menggratiskan 10 orang pertama yang datang di hari itu. Tetapi tak ada satu pun yang singgah, membuat Devan uring-uringan. "Kalau kayak begini aku benar-benar bisa bangkrut. Usahaku yang sudah dirintis oleh orang tua bisa-bisa gulung tikar gara-gara kejadian itu," gumam Devan, frustrasi. Dia duduk termenung memandangi pintu utama. Banyak sekali orang-orang menoleh ke arah tokonya, tapi ada tak ada satu pun yang berani untuk
"Kenapa diam saja? Ayo katakan! Kamu punya rencana apa terhadapku?!" tanya Devan sembari berkacak pinggang. Wajah pria itu juga marah. Amanda semakin kelabakan. Dia tidak tahu harus mengatakan apa agar Devan percaya kalau tadi itu tak bermaksud untuk jahat kepadanya. "Bukan, bukan seperti itu, Mas. Aku hanya terbawa emosi saja, sebab kamu itu mati-matian membela Maura yang sudah jelas membuat kamu seperti ini," ujar Amanda akhirnya berusaha untuk mengelak. Dia tidak mau sampai kehilangan kesempatan mendekati Devan. "Itu urusanku, Amanda. Aku yang merasakan sendiri dan aku yang tahu siapa yang sudah jahat kepadaku. Kamu tidak usah berpikiran buruk terhadap Maura. Tugasku sekarang adalah mencari Maura dan kalau kamu memang masih ingin membantuku, silakan. Aku juga tidak menjanjikan upah yang besar kepadamu. Karena sekarang saja sulit sekali mendapatkan pelanggan. Ingat perjanjian kita di awal, kamu tidak boleh punya niatan untuk mendapatkan apa-apa dariku," ujar pria itu sembari men
Saat itu Winda sedang mengecek penghasilannya di supermarket. Dia dikagetkan dengan suara dering ponsel. Lebih membuatnya syok adalah Raka yang menelepon wanita itu. Winda melotot dengan tubuh mematung melihat HPnya terus bergetar. Karena diamnya itu, salah satu karyawan menepuk pundak Winda dan mengatakan kalau ponselnya berdering. Winda tersentak, dia mengerjapkan mata berkali-kali, tak percaya kalau yang meneleponnya adalah Raka.Dengan perasaan canggung, wanita itu pun menerima panggilan dari sang pria. "H-Halo, Mas?" tanya Winda, suaranya sedikit bergetar karena gugup. "Win, kamu di mana?" tanya Raka, tiba-tiba saja membuat jantung Winda berdetak dengan sangat kencang. Seperti ingin meledak saja."Aku ada di supermarket. Kebetulan lagi cek karyawan," ucap Winda dengan perasaan tak karuan. "Bisakah kita bertemu?""Hah?!" Seperti sebuah kembang api yang meledak, begitu indah di langit. Perasaan Winda pun campur aduk, warna-warni dan meledak-ledak. Dia benar-benar tidak menyang
Lusi berpikir, mungkin sebaiknya dia kerja saja daripada diam dan menunggui Alia, takut kalau pemikirannya terus terpaku kepada sakit hati yang sudah dia tinggalkan di kota sebelumnya. Tetapi dia juga bingung harus bekerja apa. Sementara pengalamannya hanya mengurus percetakan, penerbitan dan beberapa kontrakan. Sebenarnya semua itu sudah cukup untuk menghidupinya dan Alia. Tetapi dia merasa bingung saja jika tidak ada kegiatan apa-apa. Lagi pula kepindahannya ke sini itu untuk melupakan masa lalu dan memulai hidup baru, jadi mungkin dia harus bisa punya kegiatan yang bermanfaat."Hah! Aku bingung sekali. Sudahlah, sebaiknya aku beres-beres aja. Masalah itu biarkan nanti dipikirkan," ujar Lusi kembali melanjutkan aktivitasnya. Sementara itu Adiba ada di kamarnya. Tidak ada yang berubah sejak gadis itu meninggalkan tempat ini. Kelebatan bayangan saat dia dimarahi habis-habisan oleh sang Ayah dan Ibu yang terus dipukuli masih terngiang di benaknya. Adiba berusaha untuk menghalau sem
Jantung Adiba berdetak dengan sangat kencang. Tubuhnya bergetar hebat. Dia berusaha untuk tenang melihat ponselnya yang terus berdering, hingga akhirnya suaranya berhenti. Tetapi tak lama kemudian panggilan itu masuk kembali. Dia benar-benar mulai khawatir. Sesaat, Adiba hanya bisa terdiam memandangi ponsel tersebut. Entah sudah berapa kali ponselnya terus berdering, tapi tak ada satu pun yang diangkat oleh gadis itu. Ini benar-benar membuat sang gadis merasa frustrasi, hingga akhirnya suara ketukan pintu membuatnya terkesiap. Itu adalah Lusi. Karena posisi pintu yang tidak terkunci, membuat Lusi bisa melihat apa yang sedang terjadi. "Adiba, HP kamu dari tadi berdering, loh. Sampai kedengaran ke kamarku," ucap Lusi berusaha untuk mencari tahu apa yang terjadi.Adiba langsung mendekat kepada Lusi dengan tangan yang bergetar. Melihat itu Lusi juga kaget. "Kenapa, Diba? Ada apa?"Dengan perasaan khawatir, Adiba meneguk saliva dengan susah payah, berusaha untuk tenang dan menceritakan
"Apakah semua ini gara-gara aku? Sebab memberitahukan semuanya kepada Devan, jadi kamu yang mendapat getahnya?" tanya Lusi merasa bersalah.Adiba hanya diam saja. Ingin mengatakan kalau itu benar juga takut Lusi malah menjadi beban pikiran. Lagi pula memang harus seperti ini. Kalau misalkan Lusi tidak memberitahukan kebenarannya, mungkin Devan sampai saat ini masih mendekam di penjara. Walaupun Adiba tidak tahu apakah dia sudah bebas atau belum, yang pasti sudah melakukan hal yang benar dengan menceritakan yang sebenarnya.Kebenaran pasti akan terungkap lambat atau lawan, tetapi tentu saja lebih cepat lebih baik agar tidak ada korban lagi."Nggak apa-apa, Lus. Kamu jangan merasa bersalah seperti itu. Aku hanya kaget saja kalau misalkan Arya tiba-tiba saja menerorku. Ya, dia sudah tahu kalau aku yang memberitahumu perihal kejahatannya." Lusi memejamkan mata sembari menghela napas panjang. Dia benar-benar merasa bersalah kepada Adiba. Kalau sampai terjadi seperti ini, mungkin Adiba ak
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka
"Kamu serius, Mas? Kamu tidak salah lihat atau mungkin tetanggamu itu pura-pura tidak tahu?" tanya Winda tiba-tiba saja membuat Raka terdiam. Raka baru terpikir, bisa saja Bu Murni itu memang sebenarnya tahu ke mana Lusi berada, tetapi tampaknya disembunyikan. Namun demikian, Raka tidak mungkin memaksa wanita paruh baya itu untuk berbicara jujur. Yang ada dia bisa dipidanakan, karena sudah melakukan pemaksaan kepada orang tua. "Aku juga tidak tahu, mungkin sesuatu itu terjadi. Tapi yang pasti, saat ini aku tidak punya informasi apa pun. Nomorku diblokir orang, pasti aku tidak bisa melacak keberadaan anakku," ungkap Raka, semakin frustrasi. Membuat Maura akhirnya paham apa yang sebenarnya terjadi kepada Raka, sampai pria itu akhir-akhir ini memilih untuk diam saja."Ya, Mas. Aku paham posisi kamu. Kamu pasti merasa hampa dan takut kehilangan Alia, kan?" "Tentu saja, Winda. Aku benar-benar tidak bisa kehilangan anakku. Dari kecil aku mengasuhnya. Aku memberikan kasih sayang berlimpa
Raka dan Winda memesan tempat di pojokan. Dia tidak mau sampai ada orang yang melihat keberadaan mereka, terlebih mungkin mata-mata yang akan mengambil foto Raka dan juga Winda. Raka sudah memperkirakan ini, tapi dia tidak sadar kalau dirinya sudah dari tadi diikuti oleh Maura. Maura tidak mau kalah. Dia akhirnya membayar argo taksi dan memilih untuk mengikuti keduanya. Dia kembali memakai hoodie dan kacamata, lalu duduk tak jauh dari tempat itu. Tentu saja posisinya membelakangi keduanya, takut diketahui identitasnya oleh Raka ataupun Winda. Raka memesan makanan yang cukup mewah di sana, membuat Winda keheranan. Karena dia tahu kalau Raka itu pasti mendapatkan uang dari Mila. Tetapi wanita itu tidak mau melukai harga diri sang pria dan memilih untuk diam saja. Dia akan tunggu apa saja yang diinginkan oleh Raka. Bahkan di mobil saja pria itu sudah meminta sesuatu kepada Winda. Mungkin saja pembicaraan ini pun penting. Meskipun dia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh sang pria,