"Gimana, ya, Bu? Sebenarnya aku mau-mau aja, tapi masalahnya pekerja rumah itu belum selesai." Bu Sinta berdecak pelan. Anak ini susah sekali untuk dirayu. Apakah harus dengan materi, Maura baru mau mengikuti semua permintaannya? Sementara dia juga tidak punya waktu lama, harus segera menghilangkan nyawa bayi yang ada di dalam kandungan Mila. Jangan sampai semakin besar dan sulit untuk dikeluarkan secara paksa. "Gini, deh. Sebentar aja, kok. Ibu janji akan mengabulkan satu permintaanmu, setelah kita makan." Mendengarnya Maura terdiam. Dia benar-benar bingung dengan kedatangan wanita paruh baya itu. Tetapi jika Bu Sinta menawarkan sesuatu kepadanya, tentu saja Maura tidak boleh melewatkan semua ini. Mungkin saja sang wanita bisa meminta HP baru, agar dia bisa update dan mengikuti trending topik sekarang. "Oke, kalau gitu aku siap-siap dulu, ya, Bu. Tapi mohon maaf, Ibu harus di sini dulu. Takut kalau misalkan Mbak Mila dan Mas Raka tiba-tiba datang, Ibu ada di dalam, aku akan dimar
Maura terperangah sembari mengerjapkan mata berkali-kali. Dia pikir itu salah dengar, makanya sang wanita bertanya kembali apakah Bu Sinta benar-benar mengatakan hal seperti tadi."Bentar, Bu. Ibu, seriusan mengatakan ucapan tadi?" tanya Maura memastikan yang langsung diangguki oleh Bu Sinta dengan serius. "Iya, Ibu serius mengatakan semua itu." Maura kembali terperangah, tidak menyangka kalau ibunya Raka sendiri yang memintanya untuk menggugurkan kandungan Mila. Padahal wanita itu memberikan ide tersebut kepada Winda. Bahkan Winda sendiri menolaknya secara mentah-mentah, karena tidak mau terseret dalam masalah besar. Tetapi siapa sangka? Bu Sinta malah datang pagi-pagi dan meminta hal seperti ini, benar-benar menakjubkan menurut Maura. Namun, sang wanita harus memastikan dulu. Ini ide dari siapa. Kalau memang itu adalah ide Bu Sinta sendiri, berarti Maura tidak perlu mengatakan apa-apa. Namun jika itu dari idenya, maka harus menginginkan komisi yang lebih besar dari seharusnya."
"Aku tidak bisa, Bu," ucap Maura membuat Bu Sinta terkesiap."Loh, kenapa tidak bisa? Bukankah kamu yang memberikan ide itu? Kenapa malah menolak, sih?!" seru Bu Sinta, tidak terima dengan keputusan Maura. Padahal, dia datang ke sini sampai mengajaknya makan di restoran mahal untuk mendapatkan hati Maura agar semua rencananya berhasil, tapi yang didapat manalah penolakan. Tentu saja Bu Sinta marah, sebab setengah dari isi dompetnya sudah terkuras habis karena makanan mewah ini."Ya, nggak bisa, Bu. Kalau aku yang melakukan itu semua, berarti sama saja aku pembunuh, dong. Aku nggak mau. Nanti kalau masuk penjara gimana?" terang Maura, memberikan keterangan. Dia sih nggak mau kalau sampai harus ikut-ikutan dalam masalah mereka. Maura hanya berlaku sebagai penghasut dan pengadu domba saja. Kalau misalkan mengeksekusi, wanita itu tidak mau. Dia juga berpikir kalau misalkan sampai terjadi dan diendus oleh Polisi, Maura akan dipenjara. Masalahnya, tidak ada yang akan peduli dengannya ata
Bu Sinta diam sejenak. Sepertinya dia tidak mempertimbangkan lebih jauh apa yang harus dilakukan setelah mengajak Maura untuk bekerja sama. Tentu wanita ini pasti akan meminta hal yang aneh-aneh atau lebih gila lagi menginginkan harta benda yang akan membuat Bu Sinta melarat. Tetapi, wanita paruh baya itu punya tekad kuat, yang penting anaknya kembali. Maka semua akan kembali juga seperti semula. Jadi, Bu Sinta harus mempertaruhkan segala yang dipunya untuk kelancaran rencananya ini. "Apa pun yang kamu mau. Selama Ibu bisa memenuhinya, Ibu akan memberikannya." Bu Sinta membuat Maura berdecak kagum. Wanita paruh baya ini benar-benar bukan sembarangan. Dia bahkan rela mempertaruhkan apa pun demi tercapainya tujuan. Orang seperti ini pasti akan menghalalkan segala cara dan tidak pernah ragu-ragu dalam mengambil risiko, jadi Maura harus hati-hati jika berhadapan dengan Bu Sinta kelak.Entah apalagi yang akan dilakukan Bu Sinta, yang pasti Maura tidak boleh sampai terikat apa pun dengan
Cukup lama Bu Sinta terdiam, membuat Maura jadi kesal sendiri. Tampaknya wanita paruh baya ini tidak benar-benar membutuhkan bantuannya, sampai perhitungan seperti itu.Memang harga rumah itu mahal, tetapi Maura juga tidak mau rugi sendiri. Dia harus benar-benar memanfaatkan situasi agar dirinya tidak terjebak masalah atau tak mendapatkan apa pun dari kerja kerasnya. "Kalau misalkan Ibu masih ragu, ya udah sebaiknya kita pulang saja. Makanan ini cukup untuk membayar ide yang kuberikan. Tetapi kalau misalkan mau eksekusinya juga, permintaanku tetap sama. Yaitu sebuah rumah. Kalau misalkan Ibu masih ragu, ya sudah tinggal pulang saja. Aku juga tidak memaksa kok. Lagian risikonya sangat besar untukku," ungkap Maura.Bu Sinta hanya bisa menghela napas panjang. "Ibu akan pikirkan nanti. Kalau misalkan sudah ada keputusan akan Ibu telepon," ucap Bu Sinta akhirnya. Dia tidak mau gegabah mengambil keputusan, mengingat uang yang harus dikeluarkan juga tidak sedikit. Maura hanya mengedikkan
Adiba terkekeh pelan. Dia benar-benar malu mendengar perkataan Lusi. Walaupun sebenarnya memang itu harus dilakukan sedari dulu, tetapi karena dia memilih untuk memendam dan menjauh, malah menjadi luka batin yang tak terobati sampai saat ini. "Nanti sajalah, yang penting Alia dulu." "Tapi, Adiba. Kalau kamu seperti ini terus, kamu akan menyakiti diri sendiri. Apakah kamu tidak kasihan pada dirimu sendiri? Mungkin kalau kamu bisa ke psikiater, kamu bisa mencurahkan segalanya dan mendapatkan solusi yang terbaik menurut psikolog. Bagaimana?"Adiba pun masih terdiam. Dia menggelengkan kepala, menolak apa yang disarankan oleh Lusi. Wanita itu pun hanya bisa menghela napas panjang, tak bisa memaksa apa pun jika Adiba tidak mau. Yang diharapkan, semoga temannya itu bisa menyembuhkan luka seiring berjalannya waktu, jika memang tidak mau melibatkan ahlinya. Sementara itu, saat ini David sudah kelabakan mencari Lusi. Anak buahnya juga beberapa kali dihubungi, sampai akhirnya beberapa jam kem
"Kamu yakin, Mas? Tapi kan tukang rujak memang tidak ada di sekitar sini." "Makanya, dari itu aku tidak mau sampai kamu kelelahan di mobil. Lumayan juga kan capek kalau duduk saja. Kalau di sini kan kamu bisa jalan-jalan, duduk lagi. Nanti aku fotoin deh kalau misalkan udah dapat rujaknya. Gimana? Kalau kamu mau sekalian aku beli dua," ujar Raka benar-benar memperlihatkan kalau dia itu memang ingin rujak. Sebenarnya, Raka tidak suka dengan rujak. Bahkan waktu Lusi hamil pun, pria itu tidak mau memakannya saat Lusi ngidam. Namun, hanya ini cara satu-satunya agar bisa dibiarkan pergi oleh Mila. Kalau misalkan alasan lainnya pasti Mila tidak akan mengizinkan. Apalagi wanita itu terus mengikutinya kemanapun, seperti tidak boleh lepas dari Raka. Mila tampak berpikir sejenak. Melihat raut wajah Raka yang penuh harap. Sebenarnya dia agak ragu jika Raka benar-benar mengidam, tapi kalau misalkan benar bisa gawat juga untuk anaknya kalau tidak diturutkan.Sang wanita menghela napas panjang,
"Lus, kenalkan. Dia calon suamiku."Alis Lusi bertaut kencang ketika mendengar Mila memperkenalkan seorang pria di hadapan sebagai calon suaminya. Daging merah di dalam dadanya berdenyut keras mendapati sosok pria yang sedang berdiri mematung di sana.Suara Lusi pun terasa tersekat di tenggorokan. Matanya berubah nanar melihat pria yang hanya diam memandangnya dengan tatapan yang tak dapat ia artikan. Sungguh, ini bagaikan mimpi buruk bagi Lusi.Pijakan Lusi di atas bumi ini seperti berputar dan suara Mila seakan makin menjauh dari pendengaran wanita itu.'Tuhan, jika ini hanya mimpi buruk, tolong biarkan aku terjaga.' Lusi membatin dengan perasaan yang penuh kegundahan."Kamu kenal dia, kan?" tanya Mila. "Dia Mas Raka, suamimu," ucapnya sembari tersenyum. Ia melontarkan kalimat itu tanpa rasa bersalah.Jelas saja Lusi kenal dengan pria itu!Dulu, Lusi akan ikut senang jika Mila tersenyum seperti itu. Karena, dia adalah sahabatnya. Ya, orang yang Lusi sayangi setelah keluarganya. Aka