"Aku tidak bisa, Bu," ucap Maura membuat Bu Sinta terkesiap."Loh, kenapa tidak bisa? Bukankah kamu yang memberikan ide itu? Kenapa malah menolak, sih?!" seru Bu Sinta, tidak terima dengan keputusan Maura. Padahal, dia datang ke sini sampai mengajaknya makan di restoran mahal untuk mendapatkan hati Maura agar semua rencananya berhasil, tapi yang didapat manalah penolakan. Tentu saja Bu Sinta marah, sebab setengah dari isi dompetnya sudah terkuras habis karena makanan mewah ini."Ya, nggak bisa, Bu. Kalau aku yang melakukan itu semua, berarti sama saja aku pembunuh, dong. Aku nggak mau. Nanti kalau masuk penjara gimana?" terang Maura, memberikan keterangan. Dia sih nggak mau kalau sampai harus ikut-ikutan dalam masalah mereka. Maura hanya berlaku sebagai penghasut dan pengadu domba saja. Kalau misalkan mengeksekusi, wanita itu tidak mau. Dia juga berpikir kalau misalkan sampai terjadi dan diendus oleh Polisi, Maura akan dipenjara. Masalahnya, tidak ada yang akan peduli dengannya ata
Bu Sinta diam sejenak. Sepertinya dia tidak mempertimbangkan lebih jauh apa yang harus dilakukan setelah mengajak Maura untuk bekerja sama. Tentu wanita ini pasti akan meminta hal yang aneh-aneh atau lebih gila lagi menginginkan harta benda yang akan membuat Bu Sinta melarat. Tetapi, wanita paruh baya itu punya tekad kuat, yang penting anaknya kembali. Maka semua akan kembali juga seperti semula. Jadi, Bu Sinta harus mempertaruhkan segala yang dipunya untuk kelancaran rencananya ini. "Apa pun yang kamu mau. Selama Ibu bisa memenuhinya, Ibu akan memberikannya." Bu Sinta membuat Maura berdecak kagum. Wanita paruh baya ini benar-benar bukan sembarangan. Dia bahkan rela mempertaruhkan apa pun demi tercapainya tujuan. Orang seperti ini pasti akan menghalalkan segala cara dan tidak pernah ragu-ragu dalam mengambil risiko, jadi Maura harus hati-hati jika berhadapan dengan Bu Sinta kelak.Entah apalagi yang akan dilakukan Bu Sinta, yang pasti Maura tidak boleh sampai terikat apa pun dengan
Cukup lama Bu Sinta terdiam, membuat Maura jadi kesal sendiri. Tampaknya wanita paruh baya ini tidak benar-benar membutuhkan bantuannya, sampai perhitungan seperti itu.Memang harga rumah itu mahal, tetapi Maura juga tidak mau rugi sendiri. Dia harus benar-benar memanfaatkan situasi agar dirinya tidak terjebak masalah atau tak mendapatkan apa pun dari kerja kerasnya. "Kalau misalkan Ibu masih ragu, ya udah sebaiknya kita pulang saja. Makanan ini cukup untuk membayar ide yang kuberikan. Tetapi kalau misalkan mau eksekusinya juga, permintaanku tetap sama. Yaitu sebuah rumah. Kalau misalkan Ibu masih ragu, ya sudah tinggal pulang saja. Aku juga tidak memaksa kok. Lagian risikonya sangat besar untukku," ungkap Maura.Bu Sinta hanya bisa menghela napas panjang. "Ibu akan pikirkan nanti. Kalau misalkan sudah ada keputusan akan Ibu telepon," ucap Bu Sinta akhirnya. Dia tidak mau gegabah mengambil keputusan, mengingat uang yang harus dikeluarkan juga tidak sedikit. Maura hanya mengedikkan
Adiba terkekeh pelan. Dia benar-benar malu mendengar perkataan Lusi. Walaupun sebenarnya memang itu harus dilakukan sedari dulu, tetapi karena dia memilih untuk memendam dan menjauh, malah menjadi luka batin yang tak terobati sampai saat ini. "Nanti sajalah, yang penting Alia dulu." "Tapi, Adiba. Kalau kamu seperti ini terus, kamu akan menyakiti diri sendiri. Apakah kamu tidak kasihan pada dirimu sendiri? Mungkin kalau kamu bisa ke psikiater, kamu bisa mencurahkan segalanya dan mendapatkan solusi yang terbaik menurut psikolog. Bagaimana?"Adiba pun masih terdiam. Dia menggelengkan kepala, menolak apa yang disarankan oleh Lusi. Wanita itu pun hanya bisa menghela napas panjang, tak bisa memaksa apa pun jika Adiba tidak mau. Yang diharapkan, semoga temannya itu bisa menyembuhkan luka seiring berjalannya waktu, jika memang tidak mau melibatkan ahlinya. Sementara itu, saat ini David sudah kelabakan mencari Lusi. Anak buahnya juga beberapa kali dihubungi, sampai akhirnya beberapa jam kem
"Kamu yakin, Mas? Tapi kan tukang rujak memang tidak ada di sekitar sini." "Makanya, dari itu aku tidak mau sampai kamu kelelahan di mobil. Lumayan juga kan capek kalau duduk saja. Kalau di sini kan kamu bisa jalan-jalan, duduk lagi. Nanti aku fotoin deh kalau misalkan udah dapat rujaknya. Gimana? Kalau kamu mau sekalian aku beli dua," ujar Raka benar-benar memperlihatkan kalau dia itu memang ingin rujak. Sebenarnya, Raka tidak suka dengan rujak. Bahkan waktu Lusi hamil pun, pria itu tidak mau memakannya saat Lusi ngidam. Namun, hanya ini cara satu-satunya agar bisa dibiarkan pergi oleh Mila. Kalau misalkan alasan lainnya pasti Mila tidak akan mengizinkan. Apalagi wanita itu terus mengikutinya kemanapun, seperti tidak boleh lepas dari Raka. Mila tampak berpikir sejenak. Melihat raut wajah Raka yang penuh harap. Sebenarnya dia agak ragu jika Raka benar-benar mengidam, tapi kalau misalkan benar bisa gawat juga untuk anaknya kalau tidak diturutkan.Sang wanita menghela napas panjang,
Raka semakin menggila. Dia bertanya kepada orang-orang yang tiba-tiba saja berkumpul mengelilingi pria itu. Dia seperti seseorang yang kemalingan sesuatu, sampai rasanya begitu menyakitkan. Tak tahu kalau ternyata anak yang begitu dicintainya menghilang tanpa jejak. Di saat keadaan kacau seperti ini, mata Raka menangkap sosok Bu Murni. Ya, tentu saja hanya wanita paruh baya itu yang sangat dekat kepada mantan istrinya. Tanpa diduga Raka langsung menghampiri Bu Murni. Membuat semua orang langsung mengalihkan pandangan mereka kepada dua orang itu. "Bu, Ibu tahu tidak ke mana Lusi dan Alia? Kenapa rumah ini tiba-tiba saja jadi kontrakan dan dikunci? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Raka tampak frustrasi.Melihat itu, Bu Murni begitu kasihan. Tampak sekali kalau Raka putus asa dan sangat sedih. Tetapi, dia sudah janji kepada Lusi tidak akan memberitahukan ke mana wanita itu pergi. Karena kalau tidak, maka bahaya mungkin saja menyertai Lusi dan Alia. Apalagi Bu Murni tahu kejadian sa
Tanpa terasa Raka menitikan air mata. Dia merasa menjadi seorang pria yang tidak berguna. Selain sudah menyakiti hati wanita yang selama ini begitu tulus mencintainya, dia juga membuat anak semata wayangnya merasa sedih. Bahkan dengan sukarela ikut pergi dari tempat ini. Melihat itu, lagi-lagi Bu Murni merasa kasihan. Dia harus menguatkan hati demi kebaikan bersama. "Ya, sudah, Bu. Kalau begitu terima kasih. Kalau misalkan ada apa-apa, Ibu bisa hubungi saya. Nomor saya masih sama seperti yang dulu," ucap Raka yang hanya diangguki oleh Bu Murni.Setelahnya pria itu pun pergi meninggalkan rumah Lusi, yang tersisa hanyalah bisik-bisik tetangga. Mengatakan kalau semua ini adalah karma bagi Raka.Selama perjalanan, Raka menangis. Dia tak kuasa menahan rasa sakit dan juga sesal di dadanya. Pria itu sampai meminggirkan mobilnya untuk berhenti sejenak. Dia menangis sesenggukan, memohon maaf berkali-kali kepada Lusi dan Alia. Terutama anaknya itu, takut jika Alia membencinya hingga akhir ha
Tak lama kemudian Raka pun sampai di percetakan milik Lusi. Dia langsung turun dari mobil. Beberapa karyawan yang sedang sibuk melayani pesanan pun keheranan karena ada mobil bagus di depan toko ini. Mereka mengira itu adalah pelanggan, tetapi betapa terkejutnya saat keluarnya Raka. Beberapa karyawan berbisik, tak menyangka kalau Raka punya mobil. Karena tahu mereka Raka itu sudah jatuh miskin. Bahkan meninggalkan hutang yang banyak kepada Lusi. Tapi kenapa pria itu datang ke sini? Begitu pikir mereka.Raka pun berjalan begitu saja dan menemui mantan anak buahnya yang dipercaya. "Ke mana Lusi?" tanya Raka tiba-tiba saja membuat, pria yang ditanyainya kaget. “Bapak nyari Bu Lusi?” tanya pria itu, yang langsung diangguki oleh Raka. Sang pria benar-benar berharap kalau ada kabar baik dari Lusi. Mungkin saja wanita itu memang mengontrakkan dan ingin tinggal di tempat lain agar bisa menghindarinya. Tetapi jika salah tempat usahanya ini tidak bisa ke mana-mana. Jadi, tentu saja Lusi aka
Raka kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Winda. Bahkan pria itu sampai tidak berkedip, seolah apa yang dikatakan oleh Winda barusan itu sebuah bom yang hampir meledak. "Maksudnya hamil?""Ya, Mas. Aku mau tanya, kalau misalkan aku hamil kamu akan gimana?""Gimana apanya, Winda? Aku tidak paham dengan maksudmu." "Aku tahu kamu menikahi Mila karena dia sedang mengandung anakmu, kan? Tetapi kalau misalkan aku juga mengandung anakmu, bagaimana, Mas? Atau Seandainya Mila tidak mengandung anakmu, apakah kamu juga akan tetap bersamanya?" tanya Winda. Sebenarnya dia butuh validasi dari Raka. Apakah benar yang dikatakan Bu Sinta dan Maura tentang hubungan Mila dan Raka yang diikat hanya karena ada anak di antara mereka. Raka menatap Winda dalam, tapi wanita itu tidak bisa mengartikan semuanya. Lalu sang pria menoleh lurus ke depan. Ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikiran. Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya kepada Winda atau memilih untuk diam? Rasanya sudah se
Tempat pukul 12.00 siang akhirnya Maura istirahat. Ternyata di sana tidak disediakan makan siang dan membeli sendiri. Kalau tahu begini, harusnya wanita itu membawa saja makanan di rumah Mila. Tetapi sayangnya semua sudah terlambat. Dia pun akhirnya memilih untuk makan apa saja yang tersedia di sekitar supermarket, yang penting bisa mengenyangkan.Namun, lagi-lagi ada suasana yang tidak mengenakan sang wanita. Di mana para pegawai yang begitu antipati dan menjauh kepada Maura. Awalnya dia merasa kesal, tetapi lama-lama tidak mempermasalahkan. Lagipula dia sudah kenal dengan Winda. Kalau memang ada yang macam-macam, tinggal lapor saja kepada wanita itu.Maura memilih untuk membeli siomay saja, lebih murah tapi mengenyangkan. Dia pun duduk agak jauh dari teman-temannya, karena memang di sini yang baru hanya Maura saja, jadi dia tidak punya teman yang satu angkatan dan memilih untuk diam. Tidak ada inisiatif sama sekali untuk berbaur atau memperkenalkan diri.Lagi pula di sini niatnya u
Mila menyantap makanan yang dibeli lewat online. Imel pun sama, tetapi gadis itu tampak sekali berbeda dari biasanya. Seperti ada yang dipikirkan dan semua gerak-gerik dari Imel membuat Mila merasa tidak nyaman. Wanita hamil itu pun menghentikan makannya dan berusaha berbicara baik-baik kepada Imel. "Kamu kenapa sih, Mel? Kok diam saja?" tanya Mila tiba-tiba, membuat Imel terkesiap. Dia sedikit bingung, tapi ada juga rasa takut. Namun demikian sang gadis tetap menjawab pertanyaan dari majikannya, takut malah salah paham. "Enggak kok, Bu. Saya cuma berpikir aja, bisa nggak ya melaksanakan tugas dari Ibu? Mengatur semuanya," ungkap gadis itu sebab sebelumnya setelah Imel selesai membereskan isi kamar dia dan Mila sama-sama menyusun jobdesk apa saja yang akan Imel laksanakan di rumah ini, termasuk menyiapkan makanan untuk Mila. Itulah yang paling berat dilakukan oleh sang gadis. Bagaimana kalau Ibu hamil ini rewel dan dia harus mencari makanan susah? Bukankah itu adalah tugasnya seo
Di tempat lain, saat ini Raka dan Winda sedang bersiap-siap untuk pulang. Tetapi hanya packing saja, karena kepulangannya nanti malam Raka akan langsung pulang ke rumah Mila. Sementara Winda ke rumahnya sendiri. "Mas, hari ini kita mau ke mana dulu?" tanya Winda, memastikan karena dia ingin menghabiskan waktu yang sebentar ini. Sebab setelah 7 hari baru dia bisa bertemu dengan Raka lagi."Apa kamu sudah menemukan jejak Alia?" tanya Raka tiba-tiba saja membuat harapan Winda langsung putus. Dia lagi-lagi harus bisa sadar kalau dirinya hanya dimanfaatkan untuk mencari Alia. Tetapi wanita itu akan tetap bersabar dan menjalani semua ini dengan ikhlas. Sesuatu yang dijalani dengan tulus pasti akan berbuah manis. "Belum, Mas. Aku sudah coba tanya sama temen-temen di berbagai kota yang memang ada penyetok barang-barang di supermarket aku, katanya sih belum pernah lihat. Tapi kita coba aja lihat ya, Mas. Moga-moga saja minggu depan atau mungkin besok lusa ada kabar baik," ungkap Winda. Dia
Sesudah zuhur berkumandang, Lusi pun segera bersiap. David memang dari tadi sedang menunggu wanita itu, mencoba untuk mengikutinya. Dia akan mengajak Lusi untuk sama-sama berangkat kerja. Sementara itu Adiba saat ini bekerja di rumah. Dia bisa mengerjakan projectnya dan tidak perlu ke kantor. Jadi, gadis itu bisa menjaga Alia. Lusi sudah semangat untuk pergi bekerja. Ini hari pertama dan harus menjadi momen yang paling berharga. David yang melihat wanita itu keluar pun berusaha untuk mengejarnya. "Hai, mau berangkat kerja, ya?" tanya David, tiba-tiba saja membuat Lusi terkesiap. Dia langsung menoleh kepada pria itu."Oh, hai. Kamu juga mau berangkat kerja?""Iya." "Shif siang?" tanya Lusi, memastikan."Iya," jawab David sembari tersenyum. Lusi hanya tersenyum kikuk, merasa perkataan Adiba tempo hari ada benarnya. Mungkin saja pria ini punya maksud buruk, karena semuanya itu serba mendadak. Tetapi melihat bagaimana pria ini tidak melakukan hal yang di luar batas membuat Lusi mas
Di kamar yang sudah disediakan oleh Mila, Imel hanya termenung menatap lurus. Dia sama sekali tidak merasa antusias untuk melihat kamar yang akan ditempatinya. Meskipun ukurannya sama seperti kontrakan yang sebelumnya dia tinggali, tetapi kali ini pikirannya benar-benar kacau. Apa yang harus dia lakukan mendengar berita-berita itu? Apakah Imel harus menelepon orang yang memasang iklan memberitahukan alamat Mila yang sebenarnya? Gadis itu akan mendapatkan uang yang banyak, bisa membuka usaha atau membeli kios untuknya. Terlepas dari status sebagai buruh. Tetapi, bagaimana kalau Mila tahu dan malah balas dendam kepadanya? Gadis itu tidak tahu bagaimana sifat Mila yang sebenarnya, jadi harus hati-hati dengan segala perlakuan Mila. Ini benar-benar membingungkan juga syok. Dia tidak tahu harus melakukan apa sekarang.Tiba-tiba saja suara Mila terdengar menyerukan nama Imel. Gadis itu langsung terkesiap dan memilih untuk menghampiri bosnya."Iya, Bu. Bagaimana?""Kamu sudah beres-beresnya
Setelah membereskan barang-barang di kontrakan yang dahulu, Imel berpamitan dan langsung pergi menggunakan angkot. Sebelumnya dia memang ingin menggunakan taksi, tetapi tarifnya pasti mahal. Tidak masalah kalau menggunakan angkot. Lagi pula barang bawaannya hanya sedikit.Saat di dalam angkutan umum, dia mendengar pembicaraan kalau ada iklan yang memberikan hadiah besar bagi yang bisa menemukan dan memberi informasi tentang Mila. "Oh, aku tahu! Ini yang dulu sempat viral kan gara-gara dia selingkuh dan digrebek sama istrinya? Benar-benar enggak tahu diri, ya!" "Kayaknya ini orang juga membuat masalah sampai dicari sama yang pasang iklan," timpal seseorang membuat Imel langsung menoleh. Dia kaget sebab yang disebutkan oleh penumpang angkot lainnya itu Mila. Imel terperanjat sebab dikatakan kalau Mila ini adalah orang yang dulu sempat digerebek karena perselingkuhan, ini sama persis yang seperti yang dikatakan oleh Maura tempo hari, saat mereka masih ada di rumah sakit.Kalau benar b
Entah sudah berapa lama Mila berada di kamar. Dia sampai ketiduran, mungkin karena kelelahan dan juga efek obat yang sebelumnya sempat diminum sebelum pulang dari rumah sakit.Wanita itu terbangun dan melihat sudah pukul 10.00, tapi tidak ada tanda-tanda Imel dan Maura pun sepertinya tidak ada. Karena rumah ini begitu hening. Sang wanita merasa tak enak hati. Dia memilih untuk keluar dari kamar dan mencari siapa yang sudah datang terlebih dahulu, antara Maura dan Imel. Entah kenapa dia merasa tidak mau sendirian mungkin karena dia sedang mengandung dan banyak kekhawatiran yang mungkin saja tiba-tiba muncul di pikiran itu, akan membuatnya semakin stres jika terus sendirian. Mila butuh seseorang untuk menemani. Wanita itu sampai memanggil-manggil nama Maura dan Imel, tetapi tidak ada sahutan. Rasa cemas tiba-tiba saja datang. Dia memilih untuk menelepon Imel, karena rasa gengsi kalau harus menghubungi Maura. Yang ada adiknya malah besar kepala dan mungkin akan meminta hal yang lebih b
Sementara itu, saat ini Lusi sedang mengantar Alia. Dia benar-benar bisa meluangkan waktu untuk anaknya. Sebenarnya Alia sudah menolak dan mengatakan kalau dia bisa berangkat sendiri, lagi pula sudah hafal jalan sekolah, tapi Lusi beralasan kalau dia ingin menghabiskan waktu bersama Alia sebelum berangkat kerja.Setelah Alia masuk, barulah Lusi kembali pulang. David yang sedari tadi uring-uringan karena tidak menemukan keberadaan Lusi di sekitar rumah Adiba pun mulai bingung. Harusnya dia meminta nomor ponsel wanita itu, tetapi karena kemarin terlalu senang dan waktunya buru-buru membuat mereka sampai tidak saling bertukar nomor ponsel. Saat melihat Lusi yang berjalan melewati rumahnya, senyuman di bibir David pun merekah. Dia akhirnya bisa melihat wanitanya itu. David akan pergi ke kantor bertepatan dengan Lusi pergi, sementara berkas-berkas penting yang harus dia tanda tangani dikirimkan secara online. Sekarang zaman sudah serba mudah, jadi tidak perlu direpotkan dengan semua itu.