Adiba juga terdiam. Dia meneguk saliva dengan susah payah. Sesaat dia baru sadar kalau tadi sudah mengeluarkan kata-kata yang terlarang. Padahal dia sudah berjanji tidak akan mengungkap apa pun masalah yang ada di tempat ini, sebelum mereka benar-benar pergi. Tidak mau sampai meninggalkan kesan yang buruk atau trauma bagi Lusi. Bagaimanapun Lusi pasti akan kembali ke tempat ini, karena ada perusahaan yang harus dia kelola di tempat ini. Lusi masih terdiam. Dia memandang Adiba dengan bingung, telinganya terus saja berdengung kalimat yang baru saja dilontarkan oleh sang teman. "Kamu tadi bilang apa?" tanya Lusi dengan pelan dan hati-hati. Adiba memejamkan mata sembari mengenal napas dengan panjang. Tidak ada pilihan lain, bagaimanapun dia sudah mengeluarkan kata-kata itu. Mungkin memang ini waktu yang tepat membicarakan perihal ini. Lusi harus tahu kalau Arya tidak sebaik yang dia kira. Dengan begitu Lusi juga tidak akan terus-terusan mendorongnya mendekat dengan Arya. "Dengar, aku
"Kamu tidak sedang bercanda, kan?" tanya Lusi dengan suara bergetar, memastikan kalau semua ini nyata dan bukan karangan Adiba saja sebab berusaha menjauh dari Arya. Adiba berdecak keras. "Kamu pikir untuk apa aku berbohong atau bercanda? Ini tidak lucu sama sekali, Lus! Aku mengatakan ini dengan serius. Aku tidak mau kalau sampai aku juga jadi korban selanjutnya dan kamu terseret dalam masalah ini." Adiba mengatakan ini agar Lusi paham kalau Arya itu tidak sebaik yang dikira. "Aku mohon jangan pernah menjodohkan aku lagi dengan pria itu. Biarkan saja dia sendiri di luar, sampai pingsan pun aku tidak peduli," ujar Adiba menjelaskan. Dia benar-benar sudah tidak respect lagi kepada pria itu. Lusi mau melakukan apa saja, silakan. Yang penting dia sudah mengatakannya sebenarnya kepada temannya, agar tidak ada lagi yang mendorongnya mendekat pada Arya. Lusi masih berdiri. Tetapi entah kenapa lututnya terasa bergetar sebab mendengar pernyataan dari Adiba. Satu pertanyaan pun
"Entahlah, aku akan pikirkan itu nanti. Sekarang sebaiknya aku berbicara dengan Arya terlebih dahulu. Dia tidak mungkin berada di sana seharian, kan? Atau akan menjadi gunjingan tetangga." Adiba mendengkus kesal. Setiap mendengar nama Arya, hatinya membara. Bahkan ingin sekali menangis. "Aku bahkan berharap dia pingsan di sana dan membiarkan laki-laki itu sendirian di luar sepanjang malam. Aku tidak pernah menyuruhnya untuk menunggu, kan? Aku menyuruhnya untuk pergi. Jadi, untuk apa kamu berbicara dengannya?" papar Adiba, tidak setuju dengan saran Lusi yang hendak menghampiri Arya. Lusi menghela napas panjang sembari mengusap pundak temannya. "Tidak seperti itu konsepnya, Diba. Walaupun memang dia salah, kita tidak perlu membalasnya dengan seperti itu, kan? Kamu cukup mendiamkan dia. Aku yakin itu akan lebih menyakitkan untuk Arya. Aku juga malu kalau misalkan mengganggu ketenangan Bu Murni. Bagaimanapun dia kan sering membantu kita," timpal Lusi membuat Adiba akhirnya menyerah.Di
"Kalau aku tidak mau bagaimana?" Lusi menatap Arya dengan serius. Wajah Lusi juga tak kalah serius. Sepertinya Arya punya sifat yang tidak bisa diubah. Pemaksa dan mungkin saja akan menghalalkan segala cara jika keinginannya tidak terlaksana. Lusi jadi penasaran apa motif Arya sampai berani memisahkan hubungannya dengan Devan. Pada akhirnya rasa penasaran itu mencuat juga, meskipun Lusi sudah berusaha menekan agar tidak membahas perihal itu. Tetapi melihat Arya yang seperti ini, Lusi benar-benar ingin tahu seperti apa sosok pria yang begitu menggilai Adiba. "Apa seperti ini juga cara kamu memisahkan aku dengan Devan?" Pertanyaan itu tiba-tiba membuat Arya terdiam. Wajah yang semula gusar langsung menegang. Ada kekagetan yang amat kentara di mata Arya. Dia seperti dipanah dengan jarum yang sangat banyak, hingga rasanya menusuk seluruh tubuhnya. Tubuhnya bergetar hebat. Ada rasa ketakutan yang menyergap melihat wajah Lusi yang begitu garang dan serius. Padahal sebelumnya Lusi tidak
"Maura!" Suara melengking itu mengagetkan sang wanita yang hampir saja terlelap di pembaringan. Dengan cepat murah bangkit dari tidurnya dan melihat siapa yang sudah berteriak di tengah malam seperti ini.Dia mendapati Arya masuk ke kafe dengan wajah memerah. Wanita tidak mengerti kenapa pria itu sudah ada di sini malam-malam begini. Padahal seharusnya kafe tutup dan tak ada siapa pun yang tinggal di sini, kecuali dirinya. "Loh, Mas Arya. Kenapa datang malam-malam begini?" tanya Maura baik-baik. Dia sama sekali tidak berpikiran kalau Arya saat ini sedang marah kepadanya. Wanita itu malah mengira kalau Arya sedang ada masalah dan datang ke sini untuk curhat kepadanya, tetapi tanpa diduga tiba-tiba saja pria itu mencekik Maura dengan sangat keras. Sang wanita kaget dengan pergerakan Arya. "Apa yang kamu lakukan!" teriak Arya. Dengan suara tersenggal-senggal Maura mengatakan itu. Dia berusaha melepaskan tangan Arya dari lehernya. "Wanita sundal, kurang ajar! Apa yang kamu katakan k
Maura menggigit bibir bawahnya, rasa takut yang tadi sempat datang sekarang pun kembali muncul. Melihat wajah Arya yang menyeramkan, dengan setengah hati wanita itu pun mengangguk saja. Dia tak punya pilihan lain. Sebab tak ada tempat berlindung di sini. Entah apa yang akan dia lakukan besok, setidaknya dia akan berusaha untuk mencari tahu saja. Hasilnya nanti terserah, yang penting dia berusaha mencari siapa yang sudah membocorkan rahasia ini. ***Keesokan harinya pagi-pagi sekali Lusi dan Adiba mempacking semua barang yang tersisa. Mereka harus segera menyelesaikannya sebelum besok. Bahkan semalam keduanya berencana untuk pergi malam hari agar tidak ada yang melihat. Ini lebih baik dibandingkan pagi-pagi sekali, akan banyak mata yang memandang."Lus, apa jadwalmu hari ini?" tanya Adiba.Lusi terdiam sejenak. Dia tampak ragu mengatakan sesuatu. "Kenapa kamu diam saja? Kalau tidak, sebaiknya kita di rumah saja, yuk! Atau mau ke salon aja, seperti rencana kita sebelumnya?" tanya Adi
Sesuai dengan rencananya hari ini, Lusi akan bertemu dengan Devan. Sementara Alia dititipkan kepada Adiba. Mereka akan menghabiskan waktu di rumah, mungkin juga Adiba akan memberikan pengertian kepada Alia agar bisa menerima lingkungan baru nanti. Selama perjalanan, jantung Lusi berdetak dengan sangat kencang. Dia sebenarnya belum siap bertemu dengan Devan lagi. Takut jika pria itu berpikiran kalau dirinya akan kembali kepada Devan.Padahal bukan itu tujuannya, Lusi juga tidak berniat untuk pamitan. Dia hanya ingin memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Kasihan juga kalau misalkan Devan terus-terusan terjebak, sementara Arya merasa jumawa di atas penderitaan Devan. Sepeninggalnya Lusi, ternyata Maura kembali lagi ke tempat itu. Sang wanita benar-benar merasa takut jika bertemu dengan Lusi, pasti dia akan diusir. Dia tidak melihat kepergian mobil Lusi, jadi mengira kalau wanita itu ada di sana. Namun kalau tidak melakukan ini, maka Arya akan terus mendesaknya atau mungkin dia aka
"Mbak, tentang Mas Arya yang membantuku memisahkan Mas Devan dan Mbak Lusi ...."Entah pikiran apa yang terlintas di benak Maura. Tetapi wanita itu malah mengakui semua kesalahannya bersama Arya. Tentu saja Adiba kaget, langsung mengembalikan badan. "Jadi, kabar itu benar? Kamulah yang licik di sini dan membuat orang yang sudah menyelamatkanmu menderita sampai harus berpisah dengan pacarnya sendiri, begitu?" Maura berkilah. Dia akan menjelaskan titik permasalahan yang sebenarnya. "Bukan seperti itu, Mbak. Iya, aku menyukai Mas Devan. Tapi bukan berarti aku yang menghancurkan hubungan mereka dulu. Mas Arya hanya tidak suka saja kalau Mas Devan berdekatan dengan Mbak Lusi, sebab kepergian istri Mas Devan. Menurutnya terlalu berharga jika digantikan oleh Mbak Lusi."Adiba menyipitkan matanya. Jadi semua yang didengarnya tempo hari itu benar. Dia malah mendengar sendiri dari pelaku utama itu. "Apa Mbak Adiba tahu dari Mbak Lusi perihal masalah ini?" Adiba tersenyum miring. "Tidak, Lu