"Maura!" Suara melengking itu mengagetkan sang wanita yang hampir saja terlelap di pembaringan. Dengan cepat murah bangkit dari tidurnya dan melihat siapa yang sudah berteriak di tengah malam seperti ini.Dia mendapati Arya masuk ke kafe dengan wajah memerah. Wanita tidak mengerti kenapa pria itu sudah ada di sini malam-malam begini. Padahal seharusnya kafe tutup dan tak ada siapa pun yang tinggal di sini, kecuali dirinya. "Loh, Mas Arya. Kenapa datang malam-malam begini?" tanya Maura baik-baik. Dia sama sekali tidak berpikiran kalau Arya saat ini sedang marah kepadanya. Wanita itu malah mengira kalau Arya sedang ada masalah dan datang ke sini untuk curhat kepadanya, tetapi tanpa diduga tiba-tiba saja pria itu mencekik Maura dengan sangat keras. Sang wanita kaget dengan pergerakan Arya. "Apa yang kamu lakukan!" teriak Arya. Dengan suara tersenggal-senggal Maura mengatakan itu. Dia berusaha melepaskan tangan Arya dari lehernya. "Wanita sundal, kurang ajar! Apa yang kamu katakan k
Maura menggigit bibir bawahnya, rasa takut yang tadi sempat datang sekarang pun kembali muncul. Melihat wajah Arya yang menyeramkan, dengan setengah hati wanita itu pun mengangguk saja. Dia tak punya pilihan lain. Sebab tak ada tempat berlindung di sini. Entah apa yang akan dia lakukan besok, setidaknya dia akan berusaha untuk mencari tahu saja. Hasilnya nanti terserah, yang penting dia berusaha mencari siapa yang sudah membocorkan rahasia ini. ***Keesokan harinya pagi-pagi sekali Lusi dan Adiba mempacking semua barang yang tersisa. Mereka harus segera menyelesaikannya sebelum besok. Bahkan semalam keduanya berencana untuk pergi malam hari agar tidak ada yang melihat. Ini lebih baik dibandingkan pagi-pagi sekali, akan banyak mata yang memandang."Lus, apa jadwalmu hari ini?" tanya Adiba.Lusi terdiam sejenak. Dia tampak ragu mengatakan sesuatu. "Kenapa kamu diam saja? Kalau tidak, sebaiknya kita di rumah saja, yuk! Atau mau ke salon aja, seperti rencana kita sebelumnya?" tanya Adi
Sesuai dengan rencananya hari ini, Lusi akan bertemu dengan Devan. Sementara Alia dititipkan kepada Adiba. Mereka akan menghabiskan waktu di rumah, mungkin juga Adiba akan memberikan pengertian kepada Alia agar bisa menerima lingkungan baru nanti. Selama perjalanan, jantung Lusi berdetak dengan sangat kencang. Dia sebenarnya belum siap bertemu dengan Devan lagi. Takut jika pria itu berpikiran kalau dirinya akan kembali kepada Devan.Padahal bukan itu tujuannya, Lusi juga tidak berniat untuk pamitan. Dia hanya ingin memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Kasihan juga kalau misalkan Devan terus-terusan terjebak, sementara Arya merasa jumawa di atas penderitaan Devan. Sepeninggalnya Lusi, ternyata Maura kembali lagi ke tempat itu. Sang wanita benar-benar merasa takut jika bertemu dengan Lusi, pasti dia akan diusir. Dia tidak melihat kepergian mobil Lusi, jadi mengira kalau wanita itu ada di sana. Namun kalau tidak melakukan ini, maka Arya akan terus mendesaknya atau mungkin dia aka
"Mbak, tentang Mas Arya yang membantuku memisahkan Mas Devan dan Mbak Lusi ...."Entah pikiran apa yang terlintas di benak Maura. Tetapi wanita itu malah mengakui semua kesalahannya bersama Arya. Tentu saja Adiba kaget, langsung mengembalikan badan. "Jadi, kabar itu benar? Kamulah yang licik di sini dan membuat orang yang sudah menyelamatkanmu menderita sampai harus berpisah dengan pacarnya sendiri, begitu?" Maura berkilah. Dia akan menjelaskan titik permasalahan yang sebenarnya. "Bukan seperti itu, Mbak. Iya, aku menyukai Mas Devan. Tapi bukan berarti aku yang menghancurkan hubungan mereka dulu. Mas Arya hanya tidak suka saja kalau Mas Devan berdekatan dengan Mbak Lusi, sebab kepergian istri Mas Devan. Menurutnya terlalu berharga jika digantikan oleh Mbak Lusi."Adiba menyipitkan matanya. Jadi semua yang didengarnya tempo hari itu benar. Dia malah mendengar sendiri dari pelaku utama itu. "Apa Mbak Adiba tahu dari Mbak Lusi perihal masalah ini?" Adiba tersenyum miring. "Tidak, Lu
Devan sedang terduduk lemas setelah mendapatkan pukulan telak oleh beberapa rekan sesama napi di balik jeruji, sampai dia mendapatkan panggilan dari sipir sebab ada yang menengok. Pria itu sudah berdecak keras, pasti yang datang kalau tidak Maura ya Amanda. Pria itu bahkan belum memikirkan secara matang tawaran dari Amanda, sebab takut jika dia terjebak dan malah akhirnya tak bisa lepas dari wanita itu. Tetapi wajah murung dan lemasnya langsung berubah drastis saat melihat kalau yang datang adalah pujaan hati.Dengan muka babak belur dan hampir tidak dikenali, sang pria pun menghampiri Lusi. Dia tersenyum sebaik mungkin meskipun mungkin tak seindah yang sebelumnya. Lusi tampak terkesiap melihat penampilan pria itu. Ini sungguh di luar dugaan. Ternyata benar, kejahatan apa pun di dalam penjara akan mendapatkan perlakuan yang sama, tetapi akan lebih berkali lipat jika itu berkaitan dengan kekerasan alat vital seorang wanita. Lusi merasa kasihan. Tetapi dia tidak boleh memperlihatkan i
"Kamu masih bertanya apakah kamu menyakitiku? Sangat! Coba pakai pikiran dan hatimu, apa yang sudah kamu lakukan kepadaku?" tanya Lusi, tatapannya sinis. "Aku tahu, aku salah. Tapi semua itu benar-benar di luar dugaan. Aku--" Lusi mengangkat tangannya, menyuruh pria itu untuk tidak mengatakan apa-apa lagi. Karena menurutnya ini sudah cukup. Sekarang dia harus langsung mengatakan yang sejujurnya, apa yang sebenarnya terjadi. "Sudahlah, jangan mengatakan apa-apa lagi. Langsung saja ke intinya. Arya yang membuatmu seperti ini."Belum cukup keterkejutannya karena perubahan Lusi yang seperti ini, tubuh depan menegang di tempat. Dia seperti dikejutkan dengan sesuatu yang membuatnya runtuh. "Apa maksudmu?" Lusi memejamkan mata lagi. Dia berusaha untuk tenang, bagaimanapun harus melakukan ini semua sebelum kepergiannya malam ini. "Yang membuatmu menderita adalah Arya, termasuk hubungan kita yang kandas." Wajah yang semula kaget berubah jadi marah. Otot rahang Devan menegang dengan urat
Setelah kepulangan Lusi, Devan hanya menyendiri di pojokan sel. Beberapa napi yang terus mengolok-oloknya tak dihiraukan oleh pria itu. Sekarang hatinya membara. Kalau tahu begini, mungkin dari dulu dia akan melepaskan Arya dan membiarkan pria itu keluar. Pantas saja, rasanya aneh. Arya adalah orang kaya raya, tetapi kenapa mau bekerja dengannya? Alasan membantunya itu malah membuat Devan berpikiran positif dan terlalu percaya. Harusnya dari awal saat Arya melarangnya untuk mencari pengganti almarhumah istrinya, kala itu pula dia harus mulai curiga. Namun, karena rasa belas kasihan dan juga berpikir jika Arya adalah saudaranya, membuat Devan tidak hati-hati dalam melangkah. Ini benar-benar sangat menyiksa dan di luar dugaan. Dia tidak bisa diam saja. Mungkin saat ini Arya juga sedang merencanakan sesuatu untuknya, apalagi restoran dalam keadaan kosong tanpa pemimpin. Dia harus segera bertindak dan menelepon salah satu pengacara, sebab hanya ini cara satu-satunya agar Devan keluar d
Sepanjang perjalanan menuju toko, Raka sama sekali tidak memulai pembicaraan. Mila juga sesekali melirik, tampaknya perkataan semalam membuat Raka ketakutan, sampai pria itu tidak berani mengatakan apa-apa lagi.Entah kenapa Mila merasa senang dan juga sedih bersamaan. Kalau begini mungkin Raka akan terpaksa menjalani hubungan, tetapi mau bagaimana lagi? Hanya itu satu-satunya cara membuat Raka bertahan di sisinya.Jika cara meraih hati sulit dilakukan, maka hanya ancaman yang bisa membuat Raka tak berkutik. Hingga akhirnya satu pertanyaan pun muncul di benak Mila, tentang ibunya Raka yang sampai saat ini belum ada kabar.Bagaimanapun dia harus memastikan wanita itu tidak kabur, karena kalau sampai Bu Sinta hilang, dia tidak punya ancaman lagi untuk Raka. "Oh ya, Mas. Bagaimana dengan kabar ibumu?" tanya Mila, tiba-tiba saja membuat Raka menoleh. Pria itu kaget bercampur bingung, sebab untuk pertama kalinya Mila mempertanyakan perihal ibunya selama mereka tinggal dua hari ini. "Kam