"Mbak, tentang Mas Arya yang membantuku memisahkan Mas Devan dan Mbak Lusi ...."Entah pikiran apa yang terlintas di benak Maura. Tetapi wanita itu malah mengakui semua kesalahannya bersama Arya. Tentu saja Adiba kaget, langsung mengembalikan badan. "Jadi, kabar itu benar? Kamulah yang licik di sini dan membuat orang yang sudah menyelamatkanmu menderita sampai harus berpisah dengan pacarnya sendiri, begitu?" Maura berkilah. Dia akan menjelaskan titik permasalahan yang sebenarnya. "Bukan seperti itu, Mbak. Iya, aku menyukai Mas Devan. Tapi bukan berarti aku yang menghancurkan hubungan mereka dulu. Mas Arya hanya tidak suka saja kalau Mas Devan berdekatan dengan Mbak Lusi, sebab kepergian istri Mas Devan. Menurutnya terlalu berharga jika digantikan oleh Mbak Lusi."Adiba menyipitkan matanya. Jadi semua yang didengarnya tempo hari itu benar. Dia malah mendengar sendiri dari pelaku utama itu. "Apa Mbak Adiba tahu dari Mbak Lusi perihal masalah ini?" Adiba tersenyum miring. "Tidak, Lu
Devan sedang terduduk lemas setelah mendapatkan pukulan telak oleh beberapa rekan sesama napi di balik jeruji, sampai dia mendapatkan panggilan dari sipir sebab ada yang menengok. Pria itu sudah berdecak keras, pasti yang datang kalau tidak Maura ya Amanda. Pria itu bahkan belum memikirkan secara matang tawaran dari Amanda, sebab takut jika dia terjebak dan malah akhirnya tak bisa lepas dari wanita itu. Tetapi wajah murung dan lemasnya langsung berubah drastis saat melihat kalau yang datang adalah pujaan hati.Dengan muka babak belur dan hampir tidak dikenali, sang pria pun menghampiri Lusi. Dia tersenyum sebaik mungkin meskipun mungkin tak seindah yang sebelumnya. Lusi tampak terkesiap melihat penampilan pria itu. Ini sungguh di luar dugaan. Ternyata benar, kejahatan apa pun di dalam penjara akan mendapatkan perlakuan yang sama, tetapi akan lebih berkali lipat jika itu berkaitan dengan kekerasan alat vital seorang wanita. Lusi merasa kasihan. Tetapi dia tidak boleh memperlihatkan i
"Kamu masih bertanya apakah kamu menyakitiku? Sangat! Coba pakai pikiran dan hatimu, apa yang sudah kamu lakukan kepadaku?" tanya Lusi, tatapannya sinis. "Aku tahu, aku salah. Tapi semua itu benar-benar di luar dugaan. Aku--" Lusi mengangkat tangannya, menyuruh pria itu untuk tidak mengatakan apa-apa lagi. Karena menurutnya ini sudah cukup. Sekarang dia harus langsung mengatakan yang sejujurnya, apa yang sebenarnya terjadi. "Sudahlah, jangan mengatakan apa-apa lagi. Langsung saja ke intinya. Arya yang membuatmu seperti ini."Belum cukup keterkejutannya karena perubahan Lusi yang seperti ini, tubuh depan menegang di tempat. Dia seperti dikejutkan dengan sesuatu yang membuatnya runtuh. "Apa maksudmu?" Lusi memejamkan mata lagi. Dia berusaha untuk tenang, bagaimanapun harus melakukan ini semua sebelum kepergiannya malam ini. "Yang membuatmu menderita adalah Arya, termasuk hubungan kita yang kandas." Wajah yang semula kaget berubah jadi marah. Otot rahang Devan menegang dengan urat
Setelah kepulangan Lusi, Devan hanya menyendiri di pojokan sel. Beberapa napi yang terus mengolok-oloknya tak dihiraukan oleh pria itu. Sekarang hatinya membara. Kalau tahu begini, mungkin dari dulu dia akan melepaskan Arya dan membiarkan pria itu keluar. Pantas saja, rasanya aneh. Arya adalah orang kaya raya, tetapi kenapa mau bekerja dengannya? Alasan membantunya itu malah membuat Devan berpikiran positif dan terlalu percaya. Harusnya dari awal saat Arya melarangnya untuk mencari pengganti almarhumah istrinya, kala itu pula dia harus mulai curiga. Namun, karena rasa belas kasihan dan juga berpikir jika Arya adalah saudaranya, membuat Devan tidak hati-hati dalam melangkah. Ini benar-benar sangat menyiksa dan di luar dugaan. Dia tidak bisa diam saja. Mungkin saat ini Arya juga sedang merencanakan sesuatu untuknya, apalagi restoran dalam keadaan kosong tanpa pemimpin. Dia harus segera bertindak dan menelepon salah satu pengacara, sebab hanya ini cara satu-satunya agar Devan keluar d
Sepanjang perjalanan menuju toko, Raka sama sekali tidak memulai pembicaraan. Mila juga sesekali melirik, tampaknya perkataan semalam membuat Raka ketakutan, sampai pria itu tidak berani mengatakan apa-apa lagi.Entah kenapa Mila merasa senang dan juga sedih bersamaan. Kalau begini mungkin Raka akan terpaksa menjalani hubungan, tetapi mau bagaimana lagi? Hanya itu satu-satunya cara membuat Raka bertahan di sisinya.Jika cara meraih hati sulit dilakukan, maka hanya ancaman yang bisa membuat Raka tak berkutik. Hingga akhirnya satu pertanyaan pun muncul di benak Mila, tentang ibunya Raka yang sampai saat ini belum ada kabar.Bagaimanapun dia harus memastikan wanita itu tidak kabur, karena kalau sampai Bu Sinta hilang, dia tidak punya ancaman lagi untuk Raka. "Oh ya, Mas. Bagaimana dengan kabar ibumu?" tanya Mila, tiba-tiba saja membuat Raka menoleh. Pria itu kaget bercampur bingung, sebab untuk pertama kalinya Mila mempertanyakan perihal ibunya selama mereka tinggal dua hari ini. "Kam
"Iya, hanya itu cara satu-satunya agar aku bisa mendapatkan Mas Devan. Bagaimana lagi? Aku tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan siapa-siapa." Sang wanita pun pergi ke suatu tempat. Dia akan mencari orang yang kira-kira bisa melancarkan aksinya ini. Katakanlah itu hal yang gila, tetapi dalam keadaan terhimpit pun membuat dia melakukan hal-hal yang di luar batas. Inilah disebut dewasa sebelum waktunya. Masa lalu, trauma dan keadaan memaksa Maura melakukan itu semua.Selama perjalanan, Maura hanya bisa diam. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang. Dia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar atau salah. Tetapi satu hal yang pasti, jalan ini dia tempuh karena tidak ada lagi orang yang bisa dijadikan tempat untuk dimintai tolong. Sempat terlintas datang ke rumah Mila dan meminta bantuan dari wanita itu. Tetapi semua itu terbantahkan. Bahkan Maura akan berpikir ribuan kali untuk kembali berkomunikasi dengan Kakak kandungnya itu. Sebab bagaimanapun Mila masih membencinya dari d
Dengan perasaan campur aduk akhirnya Maura pun kembali. Dia sudah mendatangi dukun ternama di kota ini dan sekali lagi tabungannya benar-benar habis. Bahkan untuk makan besok pun dia berpikir ulang. Wanita itu kembali ke restoran, mungkin ada beberapa bahan makanan yang bisa digunakan. Setidaknya ini bisa membuatnya bertahan hidup sampai dia benar-benar mendapatkan uang lagi, entah bagaimana caranya. Hanya ini satu-satunya cara dia bisa mengisi perut tanpa harus meminta-minta, apalagi sampai bertemu dengan Lusi atau Mila. Ini benar-benar akan menyiksa dan mempermalukan sang wanita. Untunglah di restoran ini masih banyak bahan-bahan yang tersedia di kulkas selama restoran masih tutup, itu artinya bahan-bahan ini akan mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Meskipun mungkin dia tidak bisa makan di luar atau hanya sekedar untuk menaiki angkutan umum.Gadis itu terkesiap. Tunggu! Bagaimana caranya dia menemui Devan kalau tidak ada uang sama sekali? Tidak mungkin juga Maura naik angkutan umu
Saat perjalanan menuju rumah Devan, wanita itu langsung memutar arah. Dia ingat tidak tahu kunci rumahnya di mana. Jadi, memilih untuk pergi ke restoran dan ke ruangan sang pria. Sebab terakhir sebelum Devan ditangkap katanya pria itu ada di restoran, jadi dia harus benar-benar mencari kunci rumah itu di ruangan sang pria. Untunglah tidak ada orang di restoran, jadi dia bisa dengan leluasa mencari kuncinya. Hampir setengah jam wanita itu mencari-carinya, hingga akhirnya menemukannya di bawah laci meja kerja Devan. Wanita itu mengembuskan napas lega. Tanpa menunggu lama sang wanita pun pergi dan menuju rumah Devan. Dia harus segera datang sebelum orang suruhan Devan mendahuluinya. Selama perjalanan, Maura benar-benar ketakutan dan juga khawatir jika semua yang sudah dia lakukan untuk Devan berakhir sia-sia.Tentang kebohongan dan apa pun yang berkaitan Devan selalu diusahakan oleh Maura, meskipun itu jalan yang tidak baik. Sekarang, setelah semua berjalan Maura tidak mau mundur hanya
"Karena Mila itu beda dengan Lusi. Mau seperti apa pun aku berusaha menyamakan Mila dan Lusi atau mengubahnya, itu mustahil, Bu. Mila ya Mila. Lusi ya Lusi, tidak bisa disamakan," ungkap Raka. Dia tidak suka kalau misalkan ada yang membanding-bandingkan dan menyuruh Mila sesuai dengan Lusi, karena mantan istrinya itu tidak ada duanya. Tak bisa ada yang menyamai sifat Lusi yang begitu baik hati."Kalau begitu untuk apa kamu melanjutkan hubungan dengan Mila? Kalau kamu alasannya anak, percaya pada Ibu, hati kamu tidak akan pernah bisa tenang dan anakmu juga akan punya trauma karena kalian menikah dengan terpaksa.""Bu.""Raka, dengarkan Ibu. Ibu tahu kamu tidak percaya kepada Ibu karena kejadian-kejadian kemarin, tapi kali ini Ibu benar-benar melakukan semua ini karena kebaikanmu. Ibu yakin, Mila itu bukan wanita yang baik. Coba kamu pikirkan ulang perkataan Ibu, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari." Raka tidak mau menanggapi perkataan Bu Sinta dan memilih untuk mengeluarkan
Seketika Raka terdiam. Dia melihat ibunya dengan tatapan bingung, tapi Bu Sinta saat ini begitu serius memandangi Raka dan berusaha untuk meyakinkan anaknya agar meninggalkan Mila."Apa maksudnya, Ibu? Aku meninggalkan Mila dan calon anakku?" tanya Raka, wajahnya berubah menjadi serius. "Iya, kamu benar.""Tidak bisa, Bu. Di dalam kandungan Mila itu ada anakku. Bukankah tes DNA sudah membuktikan kalau dia itu adalah anakku? Aku tidak bisa meninggalkan anakku, tidak bisa." Sesuai dengan perkiraan Bu Sinta, kalau pria ini tidak akan pernah tega meninggalkan anaknya. Sisi lain dari Raka itu sangat menyayangi darah dagingnya sendiri, meskipun Mila adalah wanita yang benar-benar memuakkan. "Ya, Ibu tahu kamu sangat menyayangi anakmu, tapi juga pikirkan ke depannya. Kamu akan terus-terusan dikekang oleh Mila. Kamu tidak akan betah kalau terus-terusan begini. Percaya pada Ibu. Mila itu bukan wanita yang baik untuk dijadikan seorang istri," ucap Bu Sinta mengatakan ini dengan sepenuh hati,
Raka menundukkan kepala dengan menutupi wajahnya. Terdengar suara sesenggukan begitu menyakitkan. Tiba-tiba saja Bu Sinta merasa kalau dirinya saat ini benar-benar melihat anaknya yang masih kecil. Raka yang begitu polos dan memohon agar apa yang diinginkannya dikabulkan.Sudah cukup lama dia tidak melihat sisi rapuh anaknya sendiri."Aku bingung, Bu. Aku harus bagaimana? Semua orang menghimpitku, menyalahkanku seolah-olah aku ini adalah orang yang paling berdosa di sini. Aku tidak ingin hal yang lebih, Bu. Aku ingin kembali kepada Lusi dan hidup seperti dulu bersama anakku. Tapi, itu juga tidak bisa. Sekarang yang aku inginkan adalah bertemu dengan Alia. Dia anakku, dia adalah hidupku. Jika aku sekarang hancur karena perbuatanku dulu, setidaknya ada anakku yang bisa menguatkanku untuk tetap bertahan dan melanjutkan hidup," ungkap Raka, kembali sesenggukan. "Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak bisa mengerti dengan keadaanku saat ini? Aku menghukum Ibu karena memang Ibu sudah sangat keterlal
Bu Sinta kembali pura-pura menangis, karena dia akan benar-benar membuat anaknya merasa bersalah sebab sudah meninggalkannya. "Jadi, karena itu kamu berani mengusir Ibu? Kamu meninggalkan Ibu karena wanita itu?" tanya Bu Sinta dengan mata berkaca-kaca.Raka langsung menggelengkan kepala, menghela napas berkali-kali dan berusaha untuk tenang. Di hadapannya ini adalah ibunya sendiri. Dia harus membuat Bu Sinta mengerti, kalau dirinya punya tujuan tertentu dan tidak sembarangan melakukan hal-hal itu. "Bu, Kalau boleh jujur. Dari dulu saat aku bersama Lusi sudah berkali-kali aku ingatkan, Ibu tolong jaga sikap. Jangan terlalu banyak meminta uang kepada Lusi dan apa pun yang membuat Lusi mungkin merasa terbebani, tapi apa? Jawaban Ibu selalu saja memaksakan kehendak. Itu pun aku tetap diam, karena memang Lusi tidak mempermasalahkan itu. Tapi kemarin, aku hampir saja benar-benar kehilangan Lusi karena ide Ibu, kan? Apa Ibu tidak merasa bersalah kepadaku?" Sekarang giliran Raka mengungkap
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah