"Entahlah, aku akan pikirkan itu nanti. Sekarang sebaiknya aku berbicara dengan Arya terlebih dahulu. Dia tidak mungkin berada di sana seharian, kan? Atau akan menjadi gunjingan tetangga." Adiba mendengkus kesal. Setiap mendengar nama Arya, hatinya membara. Bahkan ingin sekali menangis. "Aku bahkan berharap dia pingsan di sana dan membiarkan laki-laki itu sendirian di luar sepanjang malam. Aku tidak pernah menyuruhnya untuk menunggu, kan? Aku menyuruhnya untuk pergi. Jadi, untuk apa kamu berbicara dengannya?" papar Adiba, tidak setuju dengan saran Lusi yang hendak menghampiri Arya. Lusi menghela napas panjang sembari mengusap pundak temannya. "Tidak seperti itu konsepnya, Diba. Walaupun memang dia salah, kita tidak perlu membalasnya dengan seperti itu, kan? Kamu cukup mendiamkan dia. Aku yakin itu akan lebih menyakitkan untuk Arya. Aku juga malu kalau misalkan mengganggu ketenangan Bu Murni. Bagaimanapun dia kan sering membantu kita," timpal Lusi membuat Adiba akhirnya menyerah.Di
"Kalau aku tidak mau bagaimana?" Lusi menatap Arya dengan serius. Wajah Lusi juga tak kalah serius. Sepertinya Arya punya sifat yang tidak bisa diubah. Pemaksa dan mungkin saja akan menghalalkan segala cara jika keinginannya tidak terlaksana. Lusi jadi penasaran apa motif Arya sampai berani memisahkan hubungannya dengan Devan. Pada akhirnya rasa penasaran itu mencuat juga, meskipun Lusi sudah berusaha menekan agar tidak membahas perihal itu. Tetapi melihat Arya yang seperti ini, Lusi benar-benar ingin tahu seperti apa sosok pria yang begitu menggilai Adiba. "Apa seperti ini juga cara kamu memisahkan aku dengan Devan?" Pertanyaan itu tiba-tiba membuat Arya terdiam. Wajah yang semula gusar langsung menegang. Ada kekagetan yang amat kentara di mata Arya. Dia seperti dipanah dengan jarum yang sangat banyak, hingga rasanya menusuk seluruh tubuhnya. Tubuhnya bergetar hebat. Ada rasa ketakutan yang menyergap melihat wajah Lusi yang begitu garang dan serius. Padahal sebelumnya Lusi tidak
"Maura!" Suara melengking itu mengagetkan sang wanita yang hampir saja terlelap di pembaringan. Dengan cepat murah bangkit dari tidurnya dan melihat siapa yang sudah berteriak di tengah malam seperti ini.Dia mendapati Arya masuk ke kafe dengan wajah memerah. Wanita tidak mengerti kenapa pria itu sudah ada di sini malam-malam begini. Padahal seharusnya kafe tutup dan tak ada siapa pun yang tinggal di sini, kecuali dirinya. "Loh, Mas Arya. Kenapa datang malam-malam begini?" tanya Maura baik-baik. Dia sama sekali tidak berpikiran kalau Arya saat ini sedang marah kepadanya. Wanita itu malah mengira kalau Arya sedang ada masalah dan datang ke sini untuk curhat kepadanya, tetapi tanpa diduga tiba-tiba saja pria itu mencekik Maura dengan sangat keras. Sang wanita kaget dengan pergerakan Arya. "Apa yang kamu lakukan!" teriak Arya. Dengan suara tersenggal-senggal Maura mengatakan itu. Dia berusaha melepaskan tangan Arya dari lehernya. "Wanita sundal, kurang ajar! Apa yang kamu katakan k
Maura menggigit bibir bawahnya, rasa takut yang tadi sempat datang sekarang pun kembali muncul. Melihat wajah Arya yang menyeramkan, dengan setengah hati wanita itu pun mengangguk saja. Dia tak punya pilihan lain. Sebab tak ada tempat berlindung di sini. Entah apa yang akan dia lakukan besok, setidaknya dia akan berusaha untuk mencari tahu saja. Hasilnya nanti terserah, yang penting dia berusaha mencari siapa yang sudah membocorkan rahasia ini. ***Keesokan harinya pagi-pagi sekali Lusi dan Adiba mempacking semua barang yang tersisa. Mereka harus segera menyelesaikannya sebelum besok. Bahkan semalam keduanya berencana untuk pergi malam hari agar tidak ada yang melihat. Ini lebih baik dibandingkan pagi-pagi sekali, akan banyak mata yang memandang."Lus, apa jadwalmu hari ini?" tanya Adiba.Lusi terdiam sejenak. Dia tampak ragu mengatakan sesuatu. "Kenapa kamu diam saja? Kalau tidak, sebaiknya kita di rumah saja, yuk! Atau mau ke salon aja, seperti rencana kita sebelumnya?" tanya Adi
Sesuai dengan rencananya hari ini, Lusi akan bertemu dengan Devan. Sementara Alia dititipkan kepada Adiba. Mereka akan menghabiskan waktu di rumah, mungkin juga Adiba akan memberikan pengertian kepada Alia agar bisa menerima lingkungan baru nanti. Selama perjalanan, jantung Lusi berdetak dengan sangat kencang. Dia sebenarnya belum siap bertemu dengan Devan lagi. Takut jika pria itu berpikiran kalau dirinya akan kembali kepada Devan.Padahal bukan itu tujuannya, Lusi juga tidak berniat untuk pamitan. Dia hanya ingin memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Kasihan juga kalau misalkan Devan terus-terusan terjebak, sementara Arya merasa jumawa di atas penderitaan Devan. Sepeninggalnya Lusi, ternyata Maura kembali lagi ke tempat itu. Sang wanita benar-benar merasa takut jika bertemu dengan Lusi, pasti dia akan diusir. Dia tidak melihat kepergian mobil Lusi, jadi mengira kalau wanita itu ada di sana. Namun kalau tidak melakukan ini, maka Arya akan terus mendesaknya atau mungkin dia aka
"Mbak, tentang Mas Arya yang membantuku memisahkan Mas Devan dan Mbak Lusi ...."Entah pikiran apa yang terlintas di benak Maura. Tetapi wanita itu malah mengakui semua kesalahannya bersama Arya. Tentu saja Adiba kaget, langsung mengembalikan badan. "Jadi, kabar itu benar? Kamulah yang licik di sini dan membuat orang yang sudah menyelamatkanmu menderita sampai harus berpisah dengan pacarnya sendiri, begitu?" Maura berkilah. Dia akan menjelaskan titik permasalahan yang sebenarnya. "Bukan seperti itu, Mbak. Iya, aku menyukai Mas Devan. Tapi bukan berarti aku yang menghancurkan hubungan mereka dulu. Mas Arya hanya tidak suka saja kalau Mas Devan berdekatan dengan Mbak Lusi, sebab kepergian istri Mas Devan. Menurutnya terlalu berharga jika digantikan oleh Mbak Lusi."Adiba menyipitkan matanya. Jadi semua yang didengarnya tempo hari itu benar. Dia malah mendengar sendiri dari pelaku utama itu. "Apa Mbak Adiba tahu dari Mbak Lusi perihal masalah ini?" Adiba tersenyum miring. "Tidak, Lu
Devan sedang terduduk lemas setelah mendapatkan pukulan telak oleh beberapa rekan sesama napi di balik jeruji, sampai dia mendapatkan panggilan dari sipir sebab ada yang menengok. Pria itu sudah berdecak keras, pasti yang datang kalau tidak Maura ya Amanda. Pria itu bahkan belum memikirkan secara matang tawaran dari Amanda, sebab takut jika dia terjebak dan malah akhirnya tak bisa lepas dari wanita itu. Tetapi wajah murung dan lemasnya langsung berubah drastis saat melihat kalau yang datang adalah pujaan hati.Dengan muka babak belur dan hampir tidak dikenali, sang pria pun menghampiri Lusi. Dia tersenyum sebaik mungkin meskipun mungkin tak seindah yang sebelumnya. Lusi tampak terkesiap melihat penampilan pria itu. Ini sungguh di luar dugaan. Ternyata benar, kejahatan apa pun di dalam penjara akan mendapatkan perlakuan yang sama, tetapi akan lebih berkali lipat jika itu berkaitan dengan kekerasan alat vital seorang wanita. Lusi merasa kasihan. Tetapi dia tidak boleh memperlihatkan i
"Kamu masih bertanya apakah kamu menyakitiku? Sangat! Coba pakai pikiran dan hatimu, apa yang sudah kamu lakukan kepadaku?" tanya Lusi, tatapannya sinis. "Aku tahu, aku salah. Tapi semua itu benar-benar di luar dugaan. Aku--" Lusi mengangkat tangannya, menyuruh pria itu untuk tidak mengatakan apa-apa lagi. Karena menurutnya ini sudah cukup. Sekarang dia harus langsung mengatakan yang sejujurnya, apa yang sebenarnya terjadi. "Sudahlah, jangan mengatakan apa-apa lagi. Langsung saja ke intinya. Arya yang membuatmu seperti ini."Belum cukup keterkejutannya karena perubahan Lusi yang seperti ini, tubuh depan menegang di tempat. Dia seperti dikejutkan dengan sesuatu yang membuatnya runtuh. "Apa maksudmu?" Lusi memejamkan mata lagi. Dia berusaha untuk tenang, bagaimanapun harus melakukan ini semua sebelum kepergiannya malam ini. "Yang membuatmu menderita adalah Arya, termasuk hubungan kita yang kandas." Wajah yang semula kaget berubah jadi marah. Otot rahang Devan menegang dengan urat
"Tidak akan. Aku jamin dia tidak akan tahu masalah ini, kecuali kamu yang ngomong. Tapi sepertinya kalau kamu ngomong pun jika tidak ada bukti percuma," ucap Mila. Dia tidak sadar kalau dari tadi Maura sedang mengambil buktinya. Wanita itu juga tidak berniat untuk mengatakan kalau dirinya punya bukti. Dia akan menyimpan ini baik-baik dan menjadi kejutan untuk Mila, memberikan semua ini kepada Raka tanpa sepengetahuan wanita hamil itu. Ingin tahu, betapa terkejutnya Mila setelah Raka mengambil tindakan. Karena Maura yakin, Raka tidak akan diam saja jika diperlakukan tidak baik oleh istrinya. Apalagi martabatnya sebagai seorang suami diinjak-injak begitu saja."Dengar, ya. Sekali lagi aku tegaskan, kamu jangan macam-macam sama aku dan jangan terlalu senang seolah Mas Raka itu akan benar-benar mendukungmu, kecuali kalau kamu itu adalah pelakor," ujar Mila dengan santai.Maura hanya diam saja. Dia memilih untuk mematikan rekaman dan hendak pergi dari sana, tetapi baru juga beberapa lang
"Apa tadi Mbak bilang? Mas Raka itu hidup dari uang Kakak, begitu?" tanya Maura memperjelas.Dia ingin merekam semua perkataan Mila. Dengan begitu secara kontan Raka pasti akan sakit hati dan meninggalkan Mila. Menurutnya tak masalah kalau Raka tiba-tiba saja meninggalkan Mila dengan alasan yang jelas. Lagi pula masalah perceraian bisa diurus setelah anak yang ada dalam kandungan Mila lahir. "Iya, kamu nggak sadar juga? Suamiku itu bisa hidup karena aku. Dia juga bisa mendapatkan apa-apa juga sebab uangku. Jadi, kamu jangan merasa senang karena dibela oleh Mas Raka. Karena dia juga akan tergantung padaku. Lalu, apa kamu pikir Mas Raka akan memberikan uang kepadamu? Tidak, kecuali dariku. Uang Mas Raka juga itu uangku. Apa kamu tidak menyadarinya?" ucap Mila. Dia sama sekali tidak curiga kepada Maura, apalagi wanita itu mengatakan hal tersebut sembari makan bubur. Perutnya sangat lapar. Anak yang ada dalam kandungan juga sudah menendang-nendang. Dia benar-benar merasa kalau hari ini
Awalnya Maura takut saat kakaknya tiba-tiba bertanya seperti itu, tetapi karena kelicikan yang sudah terlatih membuat dia berpikir lebih baik mempermainkan perasaan kakaknya itu, akan sangat menghancurkan Siapa tahu dengan tidak sengaja bisa berakibat fatal kepada anak yang ada dalam kandungan. Jadi, dia tidak perlu susah-susah menggugurkan kandungan Mila. Tinggal buat saja mental ibunya down, pasti anaknya ada dalam kandungan pun ikut terkena dampaknya. "Oh, Kakak mau tahu kenapa aku sampai yakin sekali kalau Mas Raka itu pasti membelaku? Sebab Mas Raka lebih percaya sama aku ketimbang sama istrinya. Kakak nggak sadar, ya? Kalau selama ini Mas Raka itu sudah lelah sekali berhubungan dengan Kak Mila, tetapi karena anak yang ada dalam kandungan itulah Mas Raka akhirnya bertahan. Dia sebenarnya berharap Kak Mila bisa berubah lebih baik, tidak terus mengekang dan cemburu buta. Tapi, sayangnya itu tidak terjadi juga. Aku yakin, memang itu ada sifat asli Kak Mila, kan? Pencemburu dan mend
Maura istirahat sejenak di sebuah masjid, tapi dia sama sekali tidak salat. Hanya berteduh. Sebelumnya wanita itu pergi ke kantin rumah sakit untuk makan. Sebab dia tidak mungkin menunggu terus Mila, sementara kakaknya itu menyebalkan. Ada saja kata-kata yang membuat dirinya semakin kesal.Wanita itu makan sambil melamun, banyak pikiran yang terus bergerilya di benak. Apa yang harus dia lakukan saat ini? Sementara Raka sama sekali tidak bisa dihubungi. Kalau misalkan dirinya pulang dengan Mila, apakah semua akan baik-baik saja dan rencananya untuk mengerjai kakaknya itu akan berhasil? Pertanyaan itu juga semakin menjadi-jadi di benaknya. Dia tak tahu harus melakukan apa. "Ah, capeknya! Aku harus benar-benar menerima semua ini. Lagi pula nggak ada salahnya, kan? Aku sudah menolongnya juga. Aku akan memulai aksiku nanti kalau sudah sampai rumah," gumam wanita itu langsung menghabiskan makanan.Dia memilih untuk kembali ke kamar kakaknya dan melihat kalau Mila sedang terduduk sembari he
"Sekarang masih diam lagi, kan? Berarti itu Kakak mengaku kalau selama ini aku belajar cara kejam dari Kakak. Aku tidak mungkin belajar dari orang lain. Pasti dari orang terdekat dulu. Coba saja dari awal saat aku datang ke sini untuk menjenguk Kakak di penjara, mungkin kejadiannya akan beda kalau Kakak bersikap baik saat itu. Ini pun aku pasti akan melupakan semua dendam dan kesakitan yang sudah Kakak beri. Sayangnya sampai detik terakhir, Kakak bersikap seperti ini. Jadi, untuk apa aku lembut dan tetap diam saja? Tidak, aku tidak mau bodoh dan menderita kedua kalinya. Sekarang terserah. Kalau misalkan aku harus keluar rumah, tanggung akibatnya. Kalau tidak mau, lakukan sesuai dengan keinginanku," ujar Maura. Setelah itu dia pergi dari hadapannya, membuat wanita hamil itu mengerang dengan hati yang dipenuhi amarah. "Maura, kurang ajar kamu! Awas! Aku akan buat perhitungan padamu!" seru Mila dengan suara parau. Maura memilih untuk keluar dan menenangkan diri terlebih dahulu. Tidak
Mila sampai tidak bisa berkata-kata mendengar semua perkataan adiknya. Jadi, selama ini Maura itu menyimpan dendam begitu banyak. Dia kira wanita itu tidak akan melakukan hal seperti ini, sebab tahu kalau dirinya adalah keluarga satu-satunya di sini. Melihat diamnya Mila, Maura tersenyum sinis sembari melipat tangan di depan dada."Kakak tahu? Ini adalah curahan hatiku selama ini. Inginnya aku memakai-maki Kakak sebisaku, tetapi sayang ini rumah sakit. Aku tidak bisa begitu saja mengeluarkan unek-unek. Tetapi satu hal yang pasti, Kakak jangan mengharapkan apa-apa dariku. Kecuali kalau bisa membayarku dengan uang yang mahal," ucap Maura menantang. Mila hanya diam saja memandangi adiknya yang dulu polos dan penurut, setelah masuk ke dunia luar dan tinggal di kota sifatnya berubah drastis seperti ini. Entah siapa yang sudah meracuni Maura, tetapi Mila yakin wanita ini tidak tiba-tiba seperti ini. Padahal belum lama di Jakarta, tapi sudah berubah drastis. Diyakini ada yang meracuni piki
"Dari dulu aku ingin tahu, bagaimana rasanya menyiksa Kakak seperti ini? Memang Tuhan itu Maha Adil. DIA akan memberikan balasan yang setimpal untuk orang-orang yang jahat seperti Kakak. sSekarang Kakak sendiri yang merasakan bagaimana sendiri tanpa bantuan siapapun. Harusnya dari dulu Kakak itu tahu kalau Kakak tidak bisa apa-apa sendiri tanpa bantuan orang lain, tapi sayangnya Kakak meremehkanku. Coba Kakak akan dibantu siapa kalau keadaan seperti ini?" papar Maura sepertinya masih belum puas mengeluarkan unek-uneknya kepada wanita hamil itu. Di saat seperti ini Mila bisa saja mengamuk. Tetapi dia tidak berdaya dengan keadaannya. Jadi, wanita itu pun memilih untuk tenang. Menghela nafas berkali-kali dan berusaha untuk menetralkan emosi yang tiba-tiba saja naik karena perkataan adiknya.Mila tahu, Maura pasti akan memancing emosi dan berusaha untuk membuatnya menderita. Tetapi Mila tidak mau disetel oleh anak ini. Dia harus memenangkan semua peperangan antara dirinya dan Maura. Ter
Entah sudah berapa lama Mila tak sadarkan diri, sampai akhirnya wanita itu pun membuka mata. Hal pertama yang membuatnya tersadar adalah aroma ruangan dan bau obat yang menyengat. Apalagi Mila dalam keadaan hamil. Indra penciumannya pasti terasa sensitif. Wanita itu pun sontak penutup hidungnya dengan tangan yang lemas. Dia melihat ke sekeliling dan mendapati kalau ada adiknya sedang tidur di sofa. Sudah dipastikan dia ada di rumah sakit. Sebelumnya, saat sudah melewati masa kritis, Mila pun dibawa ke ruang rawat untuk melakukan observasi apakah wanita itu masih harus dirawat atau diperbolehkan untuk pulang.Suara erangan saat kepalanya terasa berdenyut nyeri membuat Maura terkesiap. Dia melihat kalau kakaknya sudah tersadar. Wanita-wanita itu pun langsung terduduk. Dia hendak berdiri dan menghampiri Mila, tetapi langsung ke tempat semula. Baginya bukan hal yang harus dilakukan jika memerhatikan kakaknya. Dia sudah terlanjur sakit hati dengan wanita ini. Jadi, untuk apa Maura berbai
Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah dokter dan suster yang sedang menangani Mila. Dengan cepat Maura menghampiri dan bertanya bagaimana keadaan kakaknya itu. "Kalau boleh tahu, Mbak ini siapanya pasien?" tanya dokter. Saat ini Maura tidak mau mengakui kalau Mila adalah kakaknya, lebih baik seperti ini dibandingkan nanti dirinya yang akan repot harus mengurus semuanya demi wanita hamil itu. "Kebetulan saya tetangganya, Dok. Tadi lihat dia kecelakaan di jalan. Jadi saya yang bawa ke sini," ujar Maura, memilih untuk menjawab secara demokratis. Kalau dia mengatakan hanya orang asing, pasti disuruh pergi dan menelepon keluarganya. Artinya dia harus menelepon kedua orang tua mereka, mengingat itu Maura langsung menggelengkan kepala. Mana sudi dia bertemu dengan kedua orang tuanya lagi, terutama ayah tiri yang membuatnya menderita sampai saat ini." Oh, kalau begitu bisakah Mbak menelepon keluarganya?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari dokter, tetapi setidaknya Maura sud