Mendengar pertanyaan Lusi, kedua orang tua Maura langsung terkesiap. Mereka menoleh kepada Maura, seolah meminta anak itu untuk tidak mengucapkan apa pun. Tetapi kali ini Maura sudah benar-benar muak dengan semua perbuatan kedua orang tuanya, terutama sang Ayah tiri.Selama ini, Maura sudah banyak berkorban. Mengikhlaskan semua penderitaannya meskipun itu sangat menekan dan menyiksa. Tetapi sekarang tidak lagi, ini saatnya Ayah tirinya itu mendapat balasan atas semua perlakuannya kepada Maura, terutama kepada ibunya juga yang sudah berani menyiksa dan menyuruh Bu Sinta untuk melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. "Kenapa kamu diam saja, Maura? Ayo katakan! Apa yang sebenarnya terjadi selama ini, sampai kamu diperlakukan tidak baik oleh Ayah dan Ibu sendiri? Jangan takut! Aku akan melindungimu. Ingat! Mereka sudah mengucapkan untuk melepasmu. Sekarang kamu adalah tanggung jawabku, jadi jangan pernah takut melakukan apa pun jika itu benar," ungkap Lusi, agar gadis itu bersuara. Maur
"Alah! Sudahlah, ngapain kamu nangis dan memukulku seperti itu?! Mau aku pukul balik, hah?!" Suaminya Bu Sinta hampir saja melayangkan pukulan kepada Bu Sinta, tapi langsung dicegah oleh Lusi. Pria itu langsung didorong oleh Lusi sampai terjerembab ke sofa."Jaga tangan Bapak dan perbuatan Bapak di sini, ya! Ini wilayah saya! Ini rumah saya. Kalau Bapak melakukan sesuatu yang membuat rugi, saya tidak akan segan-segan menyeret Bapak ke kantor polisi saat ini juga!" seru Lusi dengan tegas. Dia tidak suka jika seorang pria bermain tangan seperti suaminya Bu Sinta. Sudah masih untung istrinya itu menurut, bahkan rela membuang anaknya sendiri demi pria paruh baya itu, tetapi ternyata malah seperti ini. Ringan tangan sekali. Suaminya Bu Sinta berdiri. Dia hampir saja memukul Lusi kalau Maura tidak ikut melindungi wanita itu, sampai akhirnya yang kena pukul Maura, begitu keras. Sampai menggema di rumah itu. Lusi benar-benar garam. Dia pun akhirnya menelepon satpam untuk segera datang ke
Bu Sinta dan suaminya berjalan keluar dari rumah Lusi dan saat itu pula satpam yang dipanggil oleh wanita itu datang. Sang pria paruh baya kaget melihat kedatangan satpam, pasti ini gara-gara tadi dirinya yang hampir saja menampar Lusi. Dengan cepat pria itu menarik tangan istrinya agar menjauh dari tempat tinggal Lusi, takutnya wanita itu benar-benar melaporkannya ke polisi. Bu Sinta sampai terseret saat berusaha untuk mengikuti langkah suaminya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh suaminya. Mungkinkah marah karena dia sempat membela Maura dan marah-marah karena tahu akan kebusukan pria itu? Namun demikian, Bu Sinta tidak berani bertanya apa-apa. Dia hanya ingin semuanya cepat selesai. Hatinya benar-benar sedih sebab tahu kalau dirinya tidak bisa bertemu dengan Maura lagi. Kalaupun bisa, wanita itu tak mungkin membawa suaminya. Setelah keluar dari kompleks perumahan elit itu, mereka pun langsung menaiki angkot yang sebelumnya dituliskan oleh Mila. Saat sud
"Tidak, Mas. Aku tahu anak-anakku menderita karena ulah kita. Aku juga tidak menyalahkan kamu seutuhnya. Aku ikut andil dalam permasalahan ini.""Tidak, tidak. Kamu tidak boleh bilang seperti itu. Semua ini kan salahmu. Kamu sendiri yang tidak mengatur uang dengan baik. Uangku juga kamu tidak perlu ikut campur," ujarnya masih mengelak. Bu Sinta ingin menangis sejadi-jadinya mendengar perkataan sang suami. Ternyata, dia benar-benar sudah mengambil keputusan salah, menikah dengan mantan suami yang sudah jelas-jelas tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Hanya karena ingin membuat Mila bahagia, Bu Sinta rela menggadaikan masa depan Maura sampai gadis itu sengsara saat sekolah. Tetapi, ternyata pernikahannya juga malam semakin membuat Mila terpuruk. Niatnya yang mulia itu tergadaikan karena utang-utang yang harus dilunasi oleh anaknya sendiri."Mas, apa kamu tidak kasihan kepada Mila? Dia pasti capek jika banyak bekerja untuk menghasilkan uang bagi kita, sementara dia sendiri sedan
Mila tersenyum miring sembari membuang muka. Dia sama sekali tidak tersentuh ataupun tidak peduli lagi dengan semua yang dikatakan oleh ibunya. Baginya, luka tetaplah luka. Mau bagaimanapun ibunya mengubah segala sikap, yang salah tetap saja di mata Mila sudah terlambat. Sekarang tujuannya adalah satu, dia ingin segera membalaskan dendam kepada kedua orang itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Lusi dan mertuanya. Sebelumnya Mila harus kembali dulu ke rumah orang tuanya untuk melunasi utang-utang. Setelah itu dia akan kembali ke kota ini dan mengontrak saja. Namun demikian, sepertinya dia juga harus membawa kedua orang tua agar tidak dikejar-kejar oleh rentenir, karena Mila tahu kalau utang-utang mereka itu pasti lebih dari puluhan juta. Jadi mau tidak mau harus mengambil tindakan itu. Dia akan mencari kerja di sini, sembari membalaskan dendam. Pokoknya apa pun yang dia inginkan harus terlaksana. Tidak boleh sampai ada yang terlewatkan. Penderitaannya juga harus dirasakan oleh Lusi. "Nah
"Oh, jadi kalian di sini? Pantesan kalian tidak ada di rumah, dari pagi bolak-balik ke sini tidak ada juga. Lalu, kalian dari mana, hah?!" tanya sang rentenir yang sudah sepuh itu kepada kedua orang tua Mila, tetapi keduanya memilih untuk bungkam dan berdiri di balik punggung anaknya. Mila yang paham akan situasi yang terjadi pun akhirnya langsung bertanya berapa utang yang dimiliki oleh kedua orang tuanya itu. "Apakah Ibu ini rentenir yang akan menagih utang orang tua saya?" tanya Mila membuat rentenir itu menelisik penampilan sang wanita hamil mulai dari atas sampai bawah. Walaupun terlihat pucat karena baru saja keluar dari penjara, tetapi Mila punya pesona sendiri, lebih tepatnya tubuhnya yang lebih mengikat dibandingkan wajahnya, karena Mila lebih cantik jika memakai make up. "Oh, jadi ini anak kalian?" tanya wanita tua itu, membuat Bu Sinta dan suaminya terdiam. Mila terdiam juga dia berpikir keras, mencerna apa yang sedang dibicarakan oleh wanita tua itu. "Iya, saya anakn
Mila terdiam melihat rumah kedua orang tuanya yang begitu kosong. Hanya ada kursi, tikar dan beberapa alat masak saja. Mila tadi sudah membayar 30 juta kepada rentenir tua itu. Wanita hamil itu pun akhirnya memilih untuk masuk ke rumah, karena ternyata ada beberapa tetangga yang melihat reaksi mereka. Untunglah rentenir itu mau mengalah dan menerima uang 30 juta. Walaupun wajahnya terlihat kesal, tetapi sepertinya masih waras untuk tidak membuat masalah bersama Mila, karena Mila bisa melakukan apa saja saat itu, mengingat kalau dirinya tengah hamil. Dia bisa membuat drama yang lebih meyakinkan lagi agar sang rentenur masuk ke dalam bui.Mila menghela napas panjang sembari memejamkan mata sesaat, lalu ia pun menoleh kepada kedua orang tuanya dengan tatapan datar. "Ternyata benar, kan dugaanku? Tidak ada yang tersisa di rumah ini, kecuali alat-alat yang penting. Kalau kalian tidak membebaskanku, apa yang akan kalian lakukan? Mau menjual rumah ini? Lalu, kalian akan tinggal di mana?" t
Mila terdiam cukup lama. Dia memikirkan apa yang harus dijawab dari pertanyaan sang ibu. Memang benar dia tidak punya siapa-siapa lagi selain kedua orang tuanya. Tetapi kalau bersama mereka, sama saja Mila menjerumuskan diri ke jurang kesakitan juga penderitaan yang tidak akan pernah ada ujungnya. Wanita itu menatap orang tuanya satu persatu, lalu mengambil napas panjang. Dia harus benar-benar menenangkan diri saat berbicara dengan mereka. Walaupun dia muak dengan segala perlakuan Bu Sinta dan suaminya, tetapi bagaimanapun lagi-lagi mereka adalah orang tua yang sudah membesarkan Mila, setidaknya itu yang membuat Mila bisa mengendalikan diri sampai hari ini. "Dengar, ya, Bu. Aku memang tidak punya siapa-siapa selain kalian. Tetapi kalau aku tetap bertahan dengan kalian, sama saja menjerumuskan diri dalam kesengsaraan. Kalian pasti akan terus memanfaatkanku, tidak memberiku kebebasan. Aku ingin bebas dengan caraku sendiri. Ingat, ya. Jangan pernah menghubungiku setelah utang-utang kal
Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah dokter dan suster yang sedang menangani Mila. Dengan cepat Maura menghampiri dan bertanya bagaimana keadaan kakaknya itu. "Kalau boleh tahu, Mbak ini siapanya pasien?" tanya dokter. Saat ini Maura tidak mau mengakui kalau Mila adalah kakaknya, lebih baik seperti ini dibandingkan nanti dirinya yang akan repot harus mengurus semuanya demi wanita hamil itu. "Kebetulan saya tetangganya, Dok. Tadi lihat dia kecelakaan di jalan. Jadi saya yang bawa ke sini," ujar Maura, memilih untuk menjawab secara demokratis. Kalau dia mengatakan hanya orang asing, pasti disuruh pergi dan menelepon keluarganya. Artinya dia harus menelepon kedua orang tua mereka, mengingat itu Maura langsung menggelengkan kepala. Mana sudi dia bertemu dengan kedua orang tuanya lagi, terutama ayah tiri yang membuatnya menderita sampai saat ini." Oh, kalau begitu bisakah Mbak menelepon keluarganya?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari dokter, tetapi setidaknya Maura sud
Maura saat ini sedang ada di rumah sakit. Dia tampak gelisah, sesekali duduk lalu berjalan mondar-mandir menunggu di depan ruang ICU. Saat melihat keadaan kakaknya, wanita itu benar-benar syok. Kepala Mila terbentur. Ada bagian depan mobil yang sudah rusak. Saat ini Maura dihantui ketakutan. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba saja bersarang di benak, salah satunya bagaimana kalau misalkan kakaknya meninggal? Apa yang akan dia jelaskan kepada kedua orang tuanya jika tahu Mila kecelakaan dan saat itu dialah yang ada di rumah sakit ini? Namun, kalau Maura diam saja akan terjadi sesuatu yang buruk kepada kakaknya. Setelah hampir 18 tahun hidup mengenal Mila, pertama kalinya wanita itu merasa khawatir yang teramat sangat dibandingkan dulu saat tahu Mila masuk penjara karena viral. Kali ini ada rasa takut yang benar-benar mengukung, sampai Maura bingung harus melakukan apa. Wanita itu berusaha untuk menelepon Raka, tapi lagi-lagi sang pria tidak bisa dihubungi. Dia jadi bingung
Mila sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang diikuti. Mungkin pikirannya sudah lelah karena perutnya juga lapar dan tidak fokus, hingga dia pun berhenti di sebuah kedai bakso. Saat ini tampaknya sang anak yang ada dalam kandungan ingin mencicipi bakso yang agak jauh. Maura menghentikan taksi itu dan memantau kalau kakaknya masuk ke kedai bakso tersebut. "Lah, kok dia malah berhenti di situ? Atau jangan-jangan Kak Mila memang keluar untuk beli makanan?" gumam wanita itu. Dia keheranan. Kalau terus lama-lama di sini yang ada harga argonya akan terus berjalan dan mungkin dia harus mengeluarkan banyak uang, jadi wanita itu pun terpaksa turun dari taksi dan memantau dari kejauhan saja. "Duh, sial banget! Masa aku harus berdiri di sini memantau dari kejauhan? Mana panas pula," gerutu Maura.Dia mencoba melihat ke sekitar dan mencari tempat yang nyaman, kira-kira bisa duduk menunggu Mila. Inginnya wanita itu pun masuk ke sana dan ikut makan, tetapi pasti Mila akan mengetahui keb
Maura tampak muram dan ketakutan. Dia tidak tahu harus tenang apa, karena saat ini posisinya sedang sendirian. Tidak ada tempat bergantung. Bahkan kakaknya sendiri pun malah mengintimidasi. Tapi, kalau sampai Mila mengetahui masalah ini, yang ada dia akan semakin dipersulit atau mungkin bisa saja malah dilaporkan ke polisi dan berakhir di penjara. Membayangkannya saja membuat Maura merasa ketakutan, apalagi kalau jadi kenyataan. Dia tidak bisa berpikir jernih saat ini, berharap kalau ada solusi lain. Namun semakin diamkan, perasaannya semakin gundah. Maura tidak bisa diam saja. Dia harus meminta bantuan kepada seseorang dan satu orang yang terlintas di benak wanita itu adalah nama Raka.Dengan cepat dia menelepon Raka, tapi sayangnya tidak aktif. “Apa Mas Raka sengaja melakukan ini agar tidak ada yang mengganggu?” gumam sang wanita dan tebakan Maura memang benar.Raka sengaja mematikan ponselnya agar tidak diganggu oleh Mila atau siapapun yang akan memperkeruh suasana. Hari ini jug
Setelah keluar dari ruangan interview, ternyata ada David sudah ada di sana. Lusi sangat kaget dengan kehadiran pria itu, lalu tiba-tiba saja tersenyum merekah, membuat jantung David berdetak dengan sangat kencang. "Bagaimana?" tanya David dengan tenang, walaupun sebenarnya saat ini dia sedang merasa gugup tetapi usianya yang sudah matang tidak mentoleransi semua itu. Dia bukan ABG lagi yang harus terlihat malu-malu di depan wanita yang dicintainya. "Alhamdulillah, aku keterima. Terima kasih, ya."Lusi langsung menjulurkan tangan membuat David terperangah, tetapi tak urung pria itu pun menerima uluran tangan Lusi. Mereka bersalaman dan kali ini David merasa tuntas karena bisa menyentuh tangan Lusi yang sangat halus dan lembut. "Syukurlah kalau begitu. Benar kan, aku tidak menipumu?" "Ya, aku minta maaf. Bukan maksud apa-apa, aku hanya melindungi diri dari hal-hal yang buruk. Tidak ada yang tahu kan apa yang akan terjadi selanjutnya," ucap Lusi membuat David terdiam sembari mengan
Bagaimana? Kalau mau, aku antarkan kamu ke kantornya. Kebetulan aku juga kerja di sana," ucap David membuat Lusi mulai menurunkan rasa curiganya kepada pria itu. "Kamu benar-benar tidak akan membawaku ke tempat yang aneh-aneh, kan?" tanya Lusi lagi, karena dia merasa belum yakin sepenuhnya apalagi mereka baru kenal kemarin. Itu pun hanya sepintas. "Ya Tuhan, apakah kamu selalu melakukan ini kepada orang lain? Kecuali kalau aku itu tidak dekat tempat tinggalnya denganmu, baru kamu curiga. Tapi aku kan tinggalnya dekat. Harusnya kamu bisa mengantisipasi itu, kan?"David lama-lama gemas juga kepada Lusi yang malah terus-terusan bertanya seperti itu. Wanita itu diam sejenak, memandangi pria itu dengan tatapan datar. "Mungkin menurutmu itu hal wajar, tapi tidak bagiku. Apalagi kamu tidak tahu bagaimana masa laluku. Harusnya kamu tahu, orang-orang akan melindungi diri sendiri dari hal-hal yang membuatnya kecewa," ujar Lusi membuat David terdiam. Pria itu memandangi sang wanita yang seka
Lusi sampai tak bisa berkata-kata saking kagetnya kala dia duduk dan muncullah Damian dengan wajah tergesa-gesa. Wanita itu sampai mengerjapkan mata berkali-kali, apalagi saat sang pria duduk di sampingnya. Dia benar-benar tak bisa mengatakan apa pun karena menurutnya pria ini aneh. Lusi hanya mengenal namanya Damian dan tidak berniat untuk berkenalan lebih jauh, karena bagi Lusi hati kecilnya sudah tertutup untuk laki-laki manapun. Dulu sempat hampir saja mempunyai rasa kepada Devan, tapi ternyata pria itu malah membuatnya kecewa dan membuat Lusi tak mau lagi menjalin hubungan dengan pria manapun. Dua kali mengalami kekecewaan dari laki-laki, membuat Lusi merasa kalau dirinya memang harus fokus dulu kepada diri sendiri dan sang anak. Jadi, siapapun yang akan mendekat, Lusi akan berusaha untuk menghalangi dan menutup hati. "Hai, kita bertemu di sini." Tiba-tiba saja David mengatakan hal seperti itu, membuat Lusi menoleh dan hanya tersenyum kaku. Sungguh rasanya dia tidak mau basa-
"Apakah harus?" tanya Raka terlihat sekali kalau wajahnya menentang semua permintaan Winda. Melihat itu Winda lagi-lagi merasa kecewa. Tetapi dia tidak mau malah bertengkar, apalagi di hari pertamanya sebagai seorang istri. Mungkin memang Raka belum mau pergi keluar bulan madu sebab memikirkan Alia. Dia berusaha untuk mengerti semuanya, walaupun tampak sekali di wajahnya rasa kekecewaan itu. "Oh ya sudah, Mas. Kalau memang tidak mau tak masalah, aku juga tidak mau kalau Mas Raka tidak bisa. Sebaiknya kita istirahat saja."Winda memilih untuk berdiri dan pergi, tetapi Raka tiba-tiba saja menariknya dan kembali membuat Winda terduduk. Raka menghela napas kasar, tampaknya dia sudah berbuat salah kepada Winda. Masih untung ada yang mau membantunya. Apalagi kata Winda, mereka akan mencari Alia. "Baiklah kita akan berangkat. Tapi nanti besok pulang, ya? Aku tidak bisa lama. Kamu tahu kan? Lusa harus kembalikan kepada Mila," ucap Raka, tiba-tiba saja membuat Winda mengerjapkan mata semba
Menjelang siang ini, tinggal Winda dan Raka berdua saja di rumah Winda. Untuk kedua kalinya dia merasakan sebagai pengantin baru setelah bertahun-tahun ditinggal oleh almarhum suaminya terdahulu. Winda memang tidak menjalin hubungan dengan siapa pun, karena dia memang ingin mengajar Raka. Sekarang setelah menikah, rasanya seperti mimpi. Kekecewaan karena dia tidak dianggap sebagai istri di depan umum, membuat Winda tak memedulikan itu. Semua karena dirinya sekarang sedang benar-benar bahagia sebab sudah memiliki Raka. "Mas, rencana kita selanjutnya seperti apa?" tanya Winda dengan penuh semangat, berharap kalau pria ini akan mengajaknya untuk bulan madu. Kalau masalah perihal biaya, Winda bisa backup semuanya. Yang dibutuhkan adalah perhatian dari pria itu. "Aku ingin mencari Alia." Seketika senyuman di bibir Winda langsung luntur. Hatinya tersayat dan benar-benar tidak dipedulikan di sini. Hanya dijadikan sebagai alat untuk mencari anak dan mantan istri Raka. "Iya, Mas. Aku tahu