"Alah! Sudahlah, ngapain kamu nangis dan memukulku seperti itu?! Mau aku pukul balik, hah?!" Suaminya Bu Sinta hampir saja melayangkan pukulan kepada Bu Sinta, tapi langsung dicegah oleh Lusi. Pria itu langsung didorong oleh Lusi sampai terjerembab ke sofa."Jaga tangan Bapak dan perbuatan Bapak di sini, ya! Ini wilayah saya! Ini rumah saya. Kalau Bapak melakukan sesuatu yang membuat rugi, saya tidak akan segan-segan menyeret Bapak ke kantor polisi saat ini juga!" seru Lusi dengan tegas. Dia tidak suka jika seorang pria bermain tangan seperti suaminya Bu Sinta. Sudah masih untung istrinya itu menurut, bahkan rela membuang anaknya sendiri demi pria paruh baya itu, tetapi ternyata malah seperti ini. Ringan tangan sekali. Suaminya Bu Sinta berdiri. Dia hampir saja memukul Lusi kalau Maura tidak ikut melindungi wanita itu, sampai akhirnya yang kena pukul Maura, begitu keras. Sampai menggema di rumah itu. Lusi benar-benar garam. Dia pun akhirnya menelepon satpam untuk segera datang ke
Bu Sinta dan suaminya berjalan keluar dari rumah Lusi dan saat itu pula satpam yang dipanggil oleh wanita itu datang. Sang pria paruh baya kaget melihat kedatangan satpam, pasti ini gara-gara tadi dirinya yang hampir saja menampar Lusi. Dengan cepat pria itu menarik tangan istrinya agar menjauh dari tempat tinggal Lusi, takutnya wanita itu benar-benar melaporkannya ke polisi. Bu Sinta sampai terseret saat berusaha untuk mengikuti langkah suaminya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh suaminya. Mungkinkah marah karena dia sempat membela Maura dan marah-marah karena tahu akan kebusukan pria itu? Namun demikian, Bu Sinta tidak berani bertanya apa-apa. Dia hanya ingin semuanya cepat selesai. Hatinya benar-benar sedih sebab tahu kalau dirinya tidak bisa bertemu dengan Maura lagi. Kalaupun bisa, wanita itu tak mungkin membawa suaminya. Setelah keluar dari kompleks perumahan elit itu, mereka pun langsung menaiki angkot yang sebelumnya dituliskan oleh Mila. Saat sud
"Tidak, Mas. Aku tahu anak-anakku menderita karena ulah kita. Aku juga tidak menyalahkan kamu seutuhnya. Aku ikut andil dalam permasalahan ini.""Tidak, tidak. Kamu tidak boleh bilang seperti itu. Semua ini kan salahmu. Kamu sendiri yang tidak mengatur uang dengan baik. Uangku juga kamu tidak perlu ikut campur," ujarnya masih mengelak. Bu Sinta ingin menangis sejadi-jadinya mendengar perkataan sang suami. Ternyata, dia benar-benar sudah mengambil keputusan salah, menikah dengan mantan suami yang sudah jelas-jelas tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Hanya karena ingin membuat Mila bahagia, Bu Sinta rela menggadaikan masa depan Maura sampai gadis itu sengsara saat sekolah. Tetapi, ternyata pernikahannya juga malam semakin membuat Mila terpuruk. Niatnya yang mulia itu tergadaikan karena utang-utang yang harus dilunasi oleh anaknya sendiri."Mas, apa kamu tidak kasihan kepada Mila? Dia pasti capek jika banyak bekerja untuk menghasilkan uang bagi kita, sementara dia sendiri sedan
Mila tersenyum miring sembari membuang muka. Dia sama sekali tidak tersentuh ataupun tidak peduli lagi dengan semua yang dikatakan oleh ibunya. Baginya, luka tetaplah luka. Mau bagaimanapun ibunya mengubah segala sikap, yang salah tetap saja di mata Mila sudah terlambat. Sekarang tujuannya adalah satu, dia ingin segera membalaskan dendam kepada kedua orang itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Lusi dan mertuanya. Sebelumnya Mila harus kembali dulu ke rumah orang tuanya untuk melunasi utang-utang. Setelah itu dia akan kembali ke kota ini dan mengontrak saja. Namun demikian, sepertinya dia juga harus membawa kedua orang tua agar tidak dikejar-kejar oleh rentenir, karena Mila tahu kalau utang-utang mereka itu pasti lebih dari puluhan juta. Jadi mau tidak mau harus mengambil tindakan itu. Dia akan mencari kerja di sini, sembari membalaskan dendam. Pokoknya apa pun yang dia inginkan harus terlaksana. Tidak boleh sampai ada yang terlewatkan. Penderitaannya juga harus dirasakan oleh Lusi. "Nah
"Oh, jadi kalian di sini? Pantesan kalian tidak ada di rumah, dari pagi bolak-balik ke sini tidak ada juga. Lalu, kalian dari mana, hah?!" tanya sang rentenir yang sudah sepuh itu kepada kedua orang tua Mila, tetapi keduanya memilih untuk bungkam dan berdiri di balik punggung anaknya. Mila yang paham akan situasi yang terjadi pun akhirnya langsung bertanya berapa utang yang dimiliki oleh kedua orang tuanya itu. "Apakah Ibu ini rentenir yang akan menagih utang orang tua saya?" tanya Mila membuat rentenir itu menelisik penampilan sang wanita hamil mulai dari atas sampai bawah. Walaupun terlihat pucat karena baru saja keluar dari penjara, tetapi Mila punya pesona sendiri, lebih tepatnya tubuhnya yang lebih mengikat dibandingkan wajahnya, karena Mila lebih cantik jika memakai make up. "Oh, jadi ini anak kalian?" tanya wanita tua itu, membuat Bu Sinta dan suaminya terdiam. Mila terdiam juga dia berpikir keras, mencerna apa yang sedang dibicarakan oleh wanita tua itu. "Iya, saya anakn
Mila terdiam melihat rumah kedua orang tuanya yang begitu kosong. Hanya ada kursi, tikar dan beberapa alat masak saja. Mila tadi sudah membayar 30 juta kepada rentenir tua itu. Wanita hamil itu pun akhirnya memilih untuk masuk ke rumah, karena ternyata ada beberapa tetangga yang melihat reaksi mereka. Untunglah rentenir itu mau mengalah dan menerima uang 30 juta. Walaupun wajahnya terlihat kesal, tetapi sepertinya masih waras untuk tidak membuat masalah bersama Mila, karena Mila bisa melakukan apa saja saat itu, mengingat kalau dirinya tengah hamil. Dia bisa membuat drama yang lebih meyakinkan lagi agar sang rentenur masuk ke dalam bui.Mila menghela napas panjang sembari memejamkan mata sesaat, lalu ia pun menoleh kepada kedua orang tuanya dengan tatapan datar. "Ternyata benar, kan dugaanku? Tidak ada yang tersisa di rumah ini, kecuali alat-alat yang penting. Kalau kalian tidak membebaskanku, apa yang akan kalian lakukan? Mau menjual rumah ini? Lalu, kalian akan tinggal di mana?" t
Mila terdiam cukup lama. Dia memikirkan apa yang harus dijawab dari pertanyaan sang ibu. Memang benar dia tidak punya siapa-siapa lagi selain kedua orang tuanya. Tetapi kalau bersama mereka, sama saja Mila menjerumuskan diri ke jurang kesakitan juga penderitaan yang tidak akan pernah ada ujungnya. Wanita itu menatap orang tuanya satu persatu, lalu mengambil napas panjang. Dia harus benar-benar menenangkan diri saat berbicara dengan mereka. Walaupun dia muak dengan segala perlakuan Bu Sinta dan suaminya, tetapi bagaimanapun lagi-lagi mereka adalah orang tua yang sudah membesarkan Mila, setidaknya itu yang membuat Mila bisa mengendalikan diri sampai hari ini. "Dengar, ya, Bu. Aku memang tidak punya siapa-siapa selain kalian. Tetapi kalau aku tetap bertahan dengan kalian, sama saja menjerumuskan diri dalam kesengsaraan. Kalian pasti akan terus memanfaatkanku, tidak memberiku kebebasan. Aku ingin bebas dengan caraku sendiri. Ingat, ya. Jangan pernah menghubungiku setelah utang-utang kal
Tepat setelah salat Asar, Maura bersiap untuk bertemu Devan di sebuah kafe yang sudah dijanjikan. Dia bingung harus memakai apa, karena pakaiannya hanya sedikit. Tetapi daripada tidak datang, lebih baik Maura berpakaian seadanya. Lagi pula, untuk sekarang dia belum bisa membeli apa pun yang diinginkan, karena Lusi belum memberikan uang saku. Gadis itu berdandan seadanya. Tetapi dia berusaha untuk terlihat rapi. Rambutnya pun didandani sedemikian rupa, make up yang natural membuat Maura terlihat pangling. Walaupun tidak menor, tetapi itu sudah terlihat sekali berbeda dengan Maura yang natural. Gadis itu memang cantik dibandingkan Mila. Jadi, didandani seperti apa pun Maura tetap akan terlihat cantik. Setelah siap, dia memastikan terlebih dahulu tidak ada Lusi yang melihat kepergiannya. Kalau sampai itu terjadi, maka sang wanita pasti akan bertanya macam-macam kepada Maura dan entah apa yang harus garis itu jawab. Mana mungkin dia jujur akan bertemu dengan Devan, bisa-bisa Lusi kemba
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka
"Kamu serius, Mas? Kamu tidak salah lihat atau mungkin tetanggamu itu pura-pura tidak tahu?" tanya Winda tiba-tiba saja membuat Raka terdiam. Raka baru terpikir, bisa saja Bu Murni itu memang sebenarnya tahu ke mana Lusi berada, tetapi tampaknya disembunyikan. Namun demikian, Raka tidak mungkin memaksa wanita paruh baya itu untuk berbicara jujur. Yang ada dia bisa dipidanakan, karena sudah melakukan pemaksaan kepada orang tua. "Aku juga tidak tahu, mungkin sesuatu itu terjadi. Tapi yang pasti, saat ini aku tidak punya informasi apa pun. Nomorku diblokir orang, pasti aku tidak bisa melacak keberadaan anakku," ungkap Raka, semakin frustrasi. Membuat Maura akhirnya paham apa yang sebenarnya terjadi kepada Raka, sampai pria itu akhir-akhir ini memilih untuk diam saja."Ya, Mas. Aku paham posisi kamu. Kamu pasti merasa hampa dan takut kehilangan Alia, kan?" "Tentu saja, Winda. Aku benar-benar tidak bisa kehilangan anakku. Dari kecil aku mengasuhnya. Aku memberikan kasih sayang berlimpa
Raka dan Winda memesan tempat di pojokan. Dia tidak mau sampai ada orang yang melihat keberadaan mereka, terlebih mungkin mata-mata yang akan mengambil foto Raka dan juga Winda. Raka sudah memperkirakan ini, tapi dia tidak sadar kalau dirinya sudah dari tadi diikuti oleh Maura. Maura tidak mau kalah. Dia akhirnya membayar argo taksi dan memilih untuk mengikuti keduanya. Dia kembali memakai hoodie dan kacamata, lalu duduk tak jauh dari tempat itu. Tentu saja posisinya membelakangi keduanya, takut diketahui identitasnya oleh Raka ataupun Winda. Raka memesan makanan yang cukup mewah di sana, membuat Winda keheranan. Karena dia tahu kalau Raka itu pasti mendapatkan uang dari Mila. Tetapi wanita itu tidak mau melukai harga diri sang pria dan memilih untuk diam saja. Dia akan tunggu apa saja yang diinginkan oleh Raka. Bahkan di mobil saja pria itu sudah meminta sesuatu kepada Winda. Mungkin saja pembicaraan ini pun penting. Meskipun dia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh sang pria,