"Sebenarnya kemarin Bapak sudah punya firasat tentang Teh Tika.""Firasat?""Ya, Bapak bilang, apa mungkin Teh Tika bercerai dan menghilang karena sakit? Karena ibunya Teh Tika dan Teh Rahmi pun dulunya seperti itu." "Oh begitu ya?""Ya, Mas. Tapi Bapak nggak mau bicarakan dengan Mas Wahyu. Takut Mas Wahyu kepikiran," sahutnya.Jadi, selama ini Bapak pun sudah menyangka ke sana. Itu berarti memang perasaan mereka sangat dekat. Lebih baik Bapak tau saja agar bisa diurus oleh Bapak dan ibu nantinya. Syukur-syukur jika masih bisa tinggal di Jakarta. Namun, aku tak bisa selalu di sampingnya karena ada pekerjaanku di kantor."Ya udah, Mas. Terserah Mas Wahyu saja. Bapak sudah menyangka ke arah sana, semoga Mas bisa bijak saja. Aku ngantuk, Mas. Duluan ya!" Yuni pamit ke kamarnya. Baiklah akan kukatakan saja pada Bapak keberadaan Tika.***Beberapa hari ini aku sibuk di kantor karena akan ada kunjungan kenegaraan dalam tiga hari ke depan. Para diplomat menggunakan hotel kami. Perlu pengama
"Mas, aku ada kabar mengenai Bapak. Sudah kusampaikan semua pada Bapak dan Ibu. Seperti dugaanku, mereka tak kaget. Malah mereka sangat berterima kasih Mas sudah mau menemuinya. Bapak dan Ibu akan menemui Teh Tika dan memintanya pulang. Mereka minta doa agar Teh Tika mau diajak pulang ke kampung," kata Yuni.Aku yang benar-benar tak ada waktu untuk menyampaikan semua pada orang tua Tika sangat berterima kasih pada Yuni yang bisa menjadi penghubung antara kami."Alhamdulillah, terima kasih atas gerak cepatnya. Aku malah terlalu sibuk di kantor. Maaf ya!" sahutku."Nggak apa-apa, Mas. Yuni juga ngerti kerjaan Mas Wahyu memang banyak. Kebayang bakal ada diplomat negara lain yang menginap di sana," sahut Yuni yang memaklumi pekerjaanku. Ia cukup pengertian seperti kakaknya. Tidak seperti Cynthia yang selalu menuntut hal yang tak bisa kuberikan."Makasih banyak ya, Yun!" Aku memandangi wajahnya yang ayu walau tanpa make up. Tak lama aku langsung menunduk, ya Allah jangan sampai aku malah m
Kemana perginya Yuni? Apa yang terjadi padanya? Bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan pada orangtuanya? Apalagi Tika juga menyayangi adiknya ini."Bagaimana anak-anak? Apa kalian tau kemana Tante Yuni pergi?" Aku bertanya karena memang penasaran.Anak-anak belum menjawab juga, akhirnya aku melihatnya lagi ke kamar. Barangkali ia masih di dalam karena belum bangun. Kuketuk pintunya sebanyak tiga kali, tetap tak ada jawaban dari dalam. Aku pun membuka pintu kamarnya. Di dalam sudah kosong, kuperiksa koper dan baju-bajunya sudah tak ada. Kemana dia?Aku kembali menanyakan pada anak-anak. Mereka menelan ludah."Kemarin ... ada Tante Cynthia datang. Tante masuk kamar Ayah. Tak lama keluar dan melihat Tante Yuni yang sedang bersama kami. Tante Cynthia marah-marah dan malah mengusir Tante Yuni."Tak terpikirkan Cynthia akan melakukan ini. Mengapa ia searogan ini? Malah sok mengusir Yuni padahal Yuni adalah tamuku.Cynthia meneleponku. Kuterima teleponnya di dalam kamar karena ada anak-
Hari ini aku pulang tepat waktu, pukul 16.00. Setelah kuminta Bi Sumi tak pulang, ia harus menjaga anak-anak karena aku akan ke Bogor. Bi Sumi setuju karena ia pun bisa meninggalkan keluarganya sore ini.Aku menuju kost-an Yuni. Ia telah mengirimkan lokasi kost-annya. Alamatnya tak jauh dari rumahku.Tak lama aku menunggunya, ia keluar dengan pakaian yang pernah dipakai Tika. Tika memberikan sejumlah bajunya pada Yuni. Mereka berdua mirip, walau beda ibu."Maaf Mas, kalau menunggu lama." Ia masuk dan duduk di sampingku. Baru kali ini kami duduk berdampingan di mobil seperti ini."Ya, nggak apa-apa. Kamu udah makan?" Karena tak ada topik lain, aku bertanya makan pada Yuni. Sungguh, aku agak nervous kali ini. Setelah membaca diary Tika semalam, ia menyinggung Yuni dalam tulisannya. "Udah, Mas. Ayo berangkat! Oya, Mas. Hati-hati ada lalat.""Eh, emang kenapa lalat?""Lalatnya bisa masuk ke dalam mulut Mas yang menganga," katanya.Ups aku jadi malu karena ekspresi wajahku yang menganga.
Tika menggeleng. Ekspresinya datar, tapi ia tersenyum."Maaf ya, aku sepertinya lupa. Sekarang aku ingat, waktu kecil aku sering main barenga adikku. Apa itu kamu?" Mata Tika beralih pada Yuni.Saat ini Yuni mengangguk dan membenarkan apa yang dikatakan kakaknya. Itu berarti ada harapan untuk mengingat. Aku kan menghubungi Bu Hanum, agar aku bisa memindahkannya ke rumah sakit di Jakarta.Lebih baik kuhubungi ia sekarang, agar aku tau apa jawaban Bu Hanum mengenai pemindahan Tika dari sini ke Jakarta.Kurogoh ponselku di saku celanan belakang. Terdengar nada sambung ponsel berbunyi beberapa kali. Bu Hanum belum juga mengangkat panggilan dariku.'Kemana ini Bu Hanum?' gumamku saat ponsel berada di tepat di kupingku.Tanpa kusadari Bu Hanum menjawab telepon dariku."Ya halo, ada apa, Pak?" Ia tau kalau aku yang menghubungi."Saya ada di rumah sakit, sedang menjenguk bundanya anak-anak. Rencana saya dan adiknya Tika mau membawa dan memindahkan ke rumah sakit di Jakarta. Jadi saya menghub
"Bu, pakailah hati nurani Ibu. Saya mohon! Saya ingin memberikan kenangan bagi anak-anak agar mereka bisa berbakti pada bundanya. Selain itu, orang tua dan adiknya ingin bersama dengannya selama sisa hidupnya."Kutinggalkan Bu Hanum agar ia berpikir lebih bijak. Jangan sampai keinginan orang sakit malah ia kabulkan. Padahal orang tersebut butuh dukungan keluarga.Kucoba mengurus perpindahan rumah sakit agar bisa membawa Tika segera. Saat aku akan mengurusnya, Bu Hanum datang."Pak, saya ikut apa kata Bapak tadi. Baiklah, bawa saja Tika ke Jakarta. Mudah-mudahan ada perkembangan lebih baik nantinya. Saya sudah menemuinya barusan, dan saya tak kuat saat berbicara dengannya. Ia sudah melupakan saya." Tiba-tiba saja air matanya meluruh. Aku tau ia sahabat dekatnya, makanya tadinya ia bertahan dengan pendapatnya."Alhamdulillah, terima kasih, Bu. Saya tau Ibu pasti bisa berpikir dengan hati nurani Ibu. Saya permisi dulu mau mengurus kepindahan.""Baiklah. Semoga bisa malam ini juga," katan
Apa kalian tau perasaanku saat ini? Nyesek banget. Di saat Tika kehilangan ingatannya, justru ia menganggap aku suaminya karena aku bilang kalau ia bundanya anak-anak dan aku ayahnya anak-anak. Ia melupakan status kami yang sudah berpisah. Aku memilih pura-pura tak mendengarkan kata-katanya. Aku tak bisa melakukannya karena aku tak mau melakukan dosa dengan menyentuhnya. Sebenarnya Yuni juga melihatku pergi. Ia tak bicara apa-apa karena paham dengan status kami.Beberapa saat aku menahan mataku yang panas. Sampai akhirnya tiba di parkiran, aku memasuki mobil, akhirnya bulir bening mengalir dari mataku. Kali ini aku benar-benar menangis. Menangis untuk sesuatu yang tak mungkin terjadi. Menangis untuk sebuah penyesalan yang tak bertepi serta rindu yang tak berkesudahan.Kuhela napas dalam-dalam dan kuhembuskan kasar. Terisak dalam beberapa waktu sampai akhirnya aku yakin untuk meninggalkan rumah sakit.Kali ini kendaraanku melaju membelah jalanan ibukota. Kulajukan dengan kecepatan s
"Aku Wahyu. Ayahnya anak-anak kita. Kamu cepat pulang, biar segera ketemu anak-anak, ya!""Oh ... Bapak suamiku berarti. Maafkan aku ya, malah sakit begini. Pasti capek ya ngurusin anak-anak. Aku lupa wajah anak-anakku seperti apa? Apa mereka sudah besar?"Lagi-lagi Tika tak mengenaliku dan anak-anak. Dengan sabar aku harus menjawab semua pertanyaannya.Tika mengangguk-angguk saat aku menerangkan tentang anaknya. Kuceritakan semuanya, tentang Faiz dan Kia. Tika tersenyum dan bahagia saat kuceritakan semua padanya."Mas, aku mau ketemu anak-anak. Kita pulang sekarang aja," katanya."Nggak bisa, kalau pulang dari sini harus seizin dokter, Dek.""Aku mau pulang, Mas. Kangen sama kalian." Ia berusaha bangun, tapi tak bisa. "Aw!" serunya."Hati-hati, Dek. Kamu nggak usah mau bangun. Kan masih belum bisa.""Iya, deh." Ia kembali pada posisi tiduran. "Oya, aku bawa bakpia loh. Mau dimakan sekarang nggak?" tanyaku."Bakpia? Memang aku suka bakpia?""Iya, kamu suka banget. Kalau ada bakpia, b