Kupuaskan dua hari ini libur di rumah dengan tidak kemana-mana, benar-benar di rumah saja, menikmati kebersamaan dengan Ayah dan Ibu. Banyak kegiatan yang kami lakukan, dari beberes rumah, mengurus bunga, atau mencoba menu baru.
Di setiap kegiatan kami Ayah tanpa sungkan ikut membantu, meskipun ada beberapa bantuannya yang bukannya meringankan tapi malah mengacaukan kata ibu. Tak jarang Ibu ngomel-ngomel karena Ayah hanya menambah pekerjaan saja.
"Udah lah, duduk saja kamu, Mas! Nggak selesai-selesai kalau begini caranya," protes Ibu saat melihat Ayah salah menyiram bunga anggrek koleksinya.
"Aduh maaf. Emang anggrek nggak boleh disiram apa gimana? Mas nggak tahu." Ayah mencoba membela diri.
"Bukannya nggak boleh disiram, Yah. Tapi nggak boleh berlebihan airnya nanti bisa busuk." Aku mencoba menerangkan pada Ayah.
"Astaghfirullah, maaf ya, yang! Nanti deh Mas belikan bunga anggrek. Mau yang macam apa, tinggal pilih aja."
"Bukan masalah belinya, Mas. Kalau beli sih gapang, yang penting ada duitnya." Ibu masih saja ngomel-ngomel.
Melihat Ibu mengomeli Ayah tidak membuat hatiku sedih, tapi membuat dadaku rasanya penuh dengan kebahagiaan, sampai-sampai mataku berka-kaca tapi senyum juga setia bertahan di bibirku. Ayah pun tak berhenti menggoda Ibu, tiap kali wanita pemilik rambut hitam panjang itu ngomel karena sang suami membuat kekacauan.
Diam-diam kufoto setiap kegiatan mereka berdua, saat ayah membantu membersihkan ikan yang baru dibeli dari pasar, lagaknya yang seperti chaf profesional, tapi membersihkan ikan saja membuat dapur kacau balau seperti kapal pecah, atau saat ayah belepotan tepung membantu ibu membuat kue, ada juga saat ibu cemberut karena ayah masuk kerumah tanpa cuci kaki dulu, membuat lantai kotor mencetak jejak kaki ayah, yang memang habis membantu ibu menanam bunga, ayah pun dihukum untuk mengepel ulang lantai rumah oleh ibu. Tak lupa setiap moment yang ku jepret, ku kirim ke Toya supaya dia ikut merasakan keseruan kami.
Entahlah, ku lihat ayah seperti sedang maraton mengganti waktu yang banyak hilang bersama ibu. Apapun yang diminta ibu tak sekalipun ayah membantah, meskipun selalu nurut, namun memang selalu ada saja cara ayah untuk menggoda ibu, sesekali aku tak bisa menahan tawa melihat kelakuan ayah.
"Ibu kok bisa jatuh cinta sama ayah?" Ibu tak segera menjawab pertanyaanku, sambil mengulum senyum, dipandangnya ayah yang sedang mengepel lantai, sementara kami masih asik dengan pot-pot bunga koleksi ibu.
"Dulu Ibu juga nggak langsung suka dengan Ayahmu, waktu itu ibu kasir di cafe yang sering ayahmu kunjungi. Suatu hari ayahmu mengajak kenalan, mulai saat itu ayah gencar mendekati ibu," kenang ibu tanpa mengentikan kegiatan menanam bung yang sedang kami kerjakan.
"Ayahmu setiap hari membawakan Ibu bunga, Ibu sampai malu sama teman-teman ibu, karena banyaknya sampah bunga yang Ibu hasilkan."
"Dari situ pertama kalinya ibumu mulai ngomel-ngomel, Wid." ayah yang sudah selesai membereskan kekacauannya kembali bergabung dengan kami. "ibumu meminta ayah menghentikan kebiasaan mengirim bunga, mubazir katanya."
"Bunganya kan mahal, sayang saja kalau akhirnya berakhir di tempat sampah." jawab Ibu.
"Setelah itu Ibu nerima Ayah?" tanyaku penasaran.
"Nggak lah, ayah menghabiskan waktu hampir setengah tahun buat PDKT sama ibumu." kali ini ayah yang menjawab, "jinak-jinak merpati ibumu ini, malu-malu tapi mau."
Ayah tergelak menceritan kenangan masa muda mereka, sementara sesekali ibu memukulkan tangannya ke pundak ayah, aku yakin sakitnya tak seberapa, tapi ayah mengaduh-aduh seperti sedang di pukul pakai gada, benar-benar drama ayahku ini.
" Kenapa akhirnya Ibu mau menerima Ayah?"
Kali ini bukan hanya aku yang fokus menunggu jawaban Ibu, Ayahpun tiba-tiba menghentikan kegiatannya memasukan tanah ke dalam pot, rupanya ayah ikut penasaran dengan alasan Ibu dulu mau menerimanya.
"Ibu pernah melihat Ayahmu menolong seseorang yang kesusahan di jalan, dari situ ibu berkesimpulan kalau ayahmu orang baik."
Ayah mengerutkan alisnya, "Kapan Yang? Mas nggak ingat."
"Di jalan depan cafe, ada bapak-bapak yang membawa barang dibonceng pakai sepeda, tapi tiba-tiba barang bawaannya terjatuh, ayahmu lah satu-satunya orang yang mau membantu bapak itu," kenang Ibu.
"Kok Mas lupa ya, Yang?" rupanya ayah tidak berhasil mengingat peristiwa itu.
"Itu tandanya Ayah orang baik, karena tidak mau mengingat-ingat kebaikan yang sudah Ayah lakukan." ku peluk ayah dengan bangga.
"Ayah melawatkan banyak waktu tanpa kalian." ucap ayah sambil membalas pelukan dariku, "Apa kau punya banyak teman?" ku anggukan kepalaku di dalam pelukan ayah.
Ayah merenggangkan pelukan kami, lalu menatap wajahku, "Anak ayah cantik sekali, umur berapa cinta pertama Widuri datang?" aku hanya melotot mendengar pertanyaan tak terduga dari ayah.
"Nggak akan dikasih tahu, ibu saja nggak tau."
Tanganku yang belopotan tanah, sengaja sedikit ku usapkan ke baju ayah, "Waduh baju ayah kotor kena tanganku, Yah." ku coba mengalihkan pertanyaan ayah.
Ayah mengalihkan pandangannya ke arah bajunya yang ku tunjukan, "nggak apa-apa kotor sedikit, nanti bisa dicuci."
"Ayah dan Ibu hari apa ke Jakarta?"
"Hari Rabu, naik kereta malam dari Semarang, nanti mampir dulu ke kosan kamu, kita jalan-jalan dulu di Semarang." ibu menjelaskan sambil membereskan pot-pot yang telah selesai kami isi.
"Widuri berangkat ke Semarang, nanti sore atau besok pagi?" tanya ayah.
"Besok saja Yah, jam lima dari rumah."
"Ayah antar ya? Ayah khawatir, kamu naik motor jarak jauh begitu apa nggak gakut? "
"Nggak usah yah, Widuri sudah biasa, ayah tenang saja." ku lemparkan senyum termanisku untuk menenangkan ayahku.
Ayah mengulurkan tangannya ke arah hidungku, lalu menariknya gemas, "untung hidungmu ngikut ayah, coba kalau ngikut ibumu, pasti tersiksa, ngupil aja susah, lubangnya kekecilan."
"Ibu dengar loh, Yah, maksudnya ibu pesek begitu?"
"Nggak apa-apa pesek yang penting cantik." ayah mengedipkan salah satu matanya ke arah ibu, sementara ibu memutarkan bola matanya mendengar gombalan ayah.
Selesai menanam bunga, kami habiskan sisa sore dengan duduk-duduk di teras, sambil menikmati kue yang diakui ayah sebagai kue buatannya.
****
Hari keberangkatan Ayah dan Ibu telah tiba. Siang hari ayah dan ibu sudah tiba di depan kantorku dengan menaiki taksi daring, mereka sengaja menjemputku untuk sekedar makan siang.
"Ayah, Ibu kenalkan ini teman-teman kantor Widuri." Kuperkenalkan satu persatu temanku yang juga mau keluar mencari makan siang.
"Apa kabar, Tante." Mba Mira yang memang sudah mengenal Ibuku, menyapa sambil mencium tangan wanita yang telah melahirkanku itu.
"Alhamdulillah baik, Mba Mira. Lama tidak bertemu ya?" Mba Mira memang pernah beberapa kali main ke rumah karena dia memiliki keluarga di Kudus.
"Iya Tante, lain kali kalau ke Kudus mampir."
"Om, Tante perkenalkan saya Dika teman Dek Widuri." Mas Dika yang baru datang tanpa sungkan langsung memperkenalkan diri, Ayah dan Ibu pun dengan senang hati menyambut uluran tangan Mas Dika.
"Tumben ini Om dan Tante mampir ke kantor Dek Widuri." Mas Dika mulai mengeluarkan jurus sok kenal sok dekatnya.
"Jemput Widuri untuk makan siang bareng." Ayah menjawab sambil tersenyum ramah.
"Mau makan siang dimana? Atau mau saya antar? Kebetulan saya bawa mobil." Tawar Mas Dika berbaik hati.
"Sudah pesan taksi kok, itu menunggu di depan." Tunjuk Ayah ke arah mobil putih bermerk xenina yang terparkir di depan kantor.
Tampak Mas Dika mengangguk pasrah, karena tidak berhasil mengantar kami makan siang. Bukan aku tak tahu jika Mas Dika menyimpan rasa padaku, hanya saja aku yang pura-pura tak tahu.
"Om dan Tante duluan ya," pamit ayah mewakili kami, sebelum masuk ke dalam mobil.
Akhirnya kami menikmati soto semarang untuk menu makan siang kali ini, selama makan siang ayah selalu menggodaku, ayah rupanya cukup peka dengan perasaan Mas Dika kepadaku.
" Menurut ayah, cukup tampan, tidak malu-maluin lah kalau diajak kondangan." mendengar ayah terus menggodaku aku hanya diam, pura-pura sibuk menghabiskan soto di depanku.
"Widuri tidak ingin memberi kesempatan? Mungkin sedikit membuka diri, sepertiny juga dia orang baik," imbuh Ayah lagi.
Kugelengkan kepala, tak ada kata yang keluar dari mulutku, aku memang selalu kehabisan kata-kata, kalau sudah membicarakan tentang jodoh.
"Apa yang membuat Widuri berat untuk membuka hati?" Pertanyaan ayah benar-benar membuatku putus asa.
"Orang tua Mas Dika memiliki beberapa toko besi dan toserba," jawabku lirih.
"Terus apa masalahnya?" cecar ayah.
"Widuri hanya ingin berjodoh dengan orang yang biasa saja Yah, Mas Dika terlalu kaya untuk Widuri."
"Apa Widuri pernah pacaran?" aku sedikit terkejut dengan pertanyaan Ayah, namun akhirnya kugelengkan kepala untuk menjawabnya.
"Dua puluh tujuh tahun, belum menikah dan belum pernah pacaran, Widuri cari pasangan yang seperti apa sebenarnya?"
"Yang biasa saja Yah, tadi kan Widuri sudah bilang."
"Yang biasa itu yang bagaimana? Harus spesifik, Naak." Ayah masih saja mencecarku.
"Widuri tidak ingin berjodoh dengan orang kaya Yah, Widuri ingin yang biasa saja yang mau menerima Widuri apa adanya, tidak memandang rendah Widuri. Widuri takut Yah, kalau tidak diterima di tengah keluarga yang kaya."
Ayah tiba-tiba menghentikan makannya, dan menatapku dengan air muka yang sulit diterka.
"Maafkan ayah!"
"Kenapa Ayah tiba-tiba minta maaf?" tanyaku heran.
"Maaf karena perlakuan keluarga Ayah pada Ibumu sepertinya telah membuatmu trauma."
"Widuri baik-baik saja Yah, hanya belum ketemu jodoh yang tepat saja."
Apa benar kata ayah kalau aku trauma? Aku memang begitu sulit dekat dengan orang yang kaya, selama ini aku membatasi pergaulanku, aku merasa lebih nyaman bergaul dengan orang biasa saja, aku merasa lebih dihargai. Bukannya aku menolak bergaul dengan orang kaya, hanya saja aku tidak akan bisa lebih dekat dengan mereka, ada rasa kurang nyaman, atau takut, entahlah aku kadang bingung dengan yang ku rasakan sendiri.
"Nak, cobalah konsultasi dengan orang yang lebih paham, psikolog misalnya. Tidak semua orang kaya seperti keluarga ayah, yang baik juga ada, banyak bahkan, mungkin hanya Widuri saja yang terlalu membentengi diri." aku hanya menganggukan kepala untuk menenankan ayah yang mulai galau karena merasa menemukan fakta yang menyedihkan tentangku.
Setelah makan siang aku mengantar ayah dan ibu ke kosku, mereka akan menungguku pulang kantor, kami membuat rencana jalan-jalan seputar semarang sambil menunggu jadwal keberangkatan kereta.
Apa benar aku trauma? Toh aku merasa baik-baik saja selama ini.
Apa perlu aku konsultasi dengan psikolog? Semenyedihkan itukah aku?
Jadwal keberangkatan kereta Ayah dan Ibu ke Jakarta pukul sepuluh malam ini. Setengah jam sebelum waktu keberangkatan kami telah sampai di Stasiun Tawang. Dari pada terburu-buru kata Ibu, jadi lebih baik berangkat lebih awal.Meskipun malam namun suasana stasiun cukup ramai. Beberapa calon penumpang juga tampak diantar oleh keluarganya. Para pedagang juga masih menjajakan dagangannya."Nggak ada yang kelupaan kan, Yang? Tiket sudah di cek?" tanya Ayah pada Ibu."Sudah tak masukan tas kok, ini..." jawab ibu sambil menunjukan dua lembar tiket kereta yang diambilnya dari dalam tas."Jangan kebanyakan makan mie instan!" Celetuk Ayah tiba-tiba pindah haluan topik."Apa sih, Yah?" tanyaku pura-pura tidak tahu."Ayah tadi lihat, lengkap bener koleksi mie instanmu. Koleksi itu perhiasan kek, ini koleksi kok mie instan," ejeknya sambil terkekeh."Susah dibilangi anakmu ini kok." Ibu turut memojokanku. Aku sendiri cuek bebek, lah gi
I luv u ols😍😍😍 Selamat membaca yaaaa...semoga kelen suka🥰🥰 ***** Akhir pekan tiba, tepat sesuai dugaanku, aku tidak jadi pergi mengunjungi Ayah dan Ibu di Jakarta. Kebiasaan mudik ke Kudus di akhir pekan pun kali ini tidak kulakukan. Mau mudik juga nggak ada ibu, pikirku. Akhirnya ku habiskan akhir pekanku di kos saja, beberes dan membaca novel. Menjelang sore, Mba Mira menghubungiku, dia mengajakku untuk menemaninya pergi ke suatu acara pada Minggu pagi, besok. Aku sudah mencium aroma-aroma tidak enak, palingan diajak juga untuk membantunya menjaga si kembar, anak mereka yang memang super aktif, intinya aku jadi babysister. Tapi dari pada bosen di kost sendirian, aku pun menerima ajakan Mbak Mira. Tidak masalah menjaga duo krucil gemoy. Toh mereka berdua selalu bisa jadi sekutuku. Keesokan harinya sekitar pukul sembilan, Mba Mira dan Mas Radit datang menjemputku. Aku yang telah siap bergegas keluar saa
Hai Bestie, up lagi yaa, semoga kalian suka🥰🥰*****Setelah melayangkan banyak protes pada pasutri resek, yang masih saja cengangas-cengenges menanggapi kekesalanku, aku memutuskan langsung pulang ke kosan. Kekesalanku sedikit berkurang karena Mas Radit berbaik hati mengantarku dulu ke kost sebelum mereka pulang ke rumah."Ate Ui pulang dulu ya, Bos," pamitku pada Zaiden sebelum turun."Ate besok main lagi ya!" pinta si Bos kecil."Siap Bos," kataku sambil hormat."Tuan Putri nanti video call Ate Ui ya! Nanti ate kasih tau make up apa saja yang dibutuhkan seorang putri." Genderang perang siap ditabuh, Syanum kujadikan media untuk membalas keisengan pasutri kurang gawean yang sedang duduk di kursi depan."Wid awas ya, jangan coba-coba merusak kepolosan anakku, dengan hobi nggak jelasmu!" Tak perlu waktu lama Mba Mira langsung bereaksi."Wanita itu harus memiliki wawasan lua
Yuuhuuu guys jangan lupa follow dan komentnya yaa, biar tambah semangat akunya😘😘😘****Tiga hari sudah tidak ada lagi kiriman sarapan untukku. Mas Dika benar-benar menepati janjinya untuk berhenti memperjuangkan cintanya. Selama tiga hari ini Mas Dika juga seperti menghindariku, tak sekalipun kami bertemu lagi setelah obrolan empat mata kami.Ada sedikit rasa kehilangan, ketika ada rutinitas yang tiba-tiba berhenti. Biasanya setiap pagi Mas Dika akan menyempatkan mampir ke ruanganku, selain memberikan sarapan pagi, juga untuk melayangkan gombalan-gombalan garingnya padaku.Yang kuinginkan bukanlah seperti ini. Aku ingin tetap menjalin perteman dengan Mas Dika. Mengesampingkan kisah yang memang sebenarnya belum dimulai, namun tapaknya Mas Dika tidak sependapat denganku. Karena jelas sekali dia benar-benar menghindariku."Melamun aja kamu, Wid." Mba Mira tiba-tiba d
Hai Bestie bab 10 up yaa. Semoga kaian suka deh, pokoknya masih ada si bucin Satria sama si eneng cantik Widuri.*****Ketika waktu maghrib tiba, sudah menjadi kebiasaan di keluarga Mba Mira, untuk laki-laki biasanya salat di masjid, sementara yang perempuan akan salat berjamaah di musala rumah. Hari ini Mas Radit ke masjid bersama bos dan temannya yang baru kutahu bernama Bayu. Sementara kaum hawa yang telah selesai berjamaah, mulai berkutat dengan persiapan makan malam."Sambelnya mana, Lik Sur?" tanya Mba Rima setelah tak melihat sambel ikut tersaji di meja makan."Tadi kan Mba Widuri yang ngulek to, Mba. Di taruh mana aku kok nggak lihat, yo?" tanya Lik Sur padaku.Aku langsung teringat sambal yang tadi kutaruh di dekat rice cooker. "Owalah iya, tadi tak taruh di dekat rice cooker, malah lupa, tak ambil dulu ya." Aku segera melesat kembali ke dapur mengambil sambel.Saat kembali ke ruang makan, para pria telah duduk m
Hai kamu iya kamu selamat malam. Pak sendok up nieh. Semoga klen suka yaaa. Btw, ada yang nungguin pak sendok nggak nih? kalu sudah baca boleh loh tinggalin jejak, jangan lupa ulasannya yaa bintang lima dooong. i lup u ols🥰🥰*****Malam semakin larut, anak-anak Mba Mira sudah terlelap, setelah kubacakan mereka dongeng. Mba Mira sendiri biasanya akan tidur dengan Mas Radit dulu, namun akan bergabung denganku saat Mas Radit telah tidur. Pernah aku keberatan, nggak enak rasanya kalau kehadiranku mengganggu kebersamaan mereka, namun Mba Mira tidak peduli, dengan alasan sudah minta ijin Mas Radit, dan Mas Radit juga tidak keberatan.Pukul 21.15 kuputuskan untuk mengirim pesan pada ibuku, mengecek sudah tidur atau belum. Saat pesan yang kukirim langsung centang biru, segera saja ku-video call nomor Ibu."Assalamualaikum bu," sapaku ketika wajah Ibu telah mun
Mba Mira kubuat terbengong-bengong dengan pernyataanku yang tak ingin menikah. Sementara Aku masih menyelimuti seluruh tubuhku, tak berniat membukanya, lebih ketakut melihat tampang Mba Mira saat ini. Setelah saling terdiam beberapa saat, tiba-tiba selimut yang kupakai ditarik paksa oleh Mba Mira."Bocah edan! Maksudmu opo dengan tidak usah menikah?" tanya Mba Mira sambil melotot."Ya ora opo-opo, Mbak. Aku merasa nyaman sendiri begini," jawabku sambil kembali memakai selimut yang tadi ditarik Mba Mira."Kamu jangan egois to, Wid. Bagaimana perasaan ibumu kalau kamu tidak menikah? Ibumu kan sudah lama kepengin nimang cucu, Wid," cicit Mbak Mira sedikit menekan suaranya takut membangunkan seisi rumah.Kutarik napasku, lalu kuhembuskan dengan kasar. Ibuku? Mana mungkin aku melupakan perasaan Ibuku. Bagiku hal terpenting di dunia ini adalah Ibuku. Aku akan rela melakukan apapun asalkan beliau bahagia."Naah kan, nggak bisa jawab kan
Suasana pagi di rumah Mba Mira cukup membuat rooming di telinga. Mba Mira yang biasanya memang sudah cerewet, saat pagi hari kadar cerewetnya meningkat berkali-kali lipat. Seolah-oleh kalau berhenti bicara, maka berhenti pula bumi berputar. Ditambah dengan kelakuan si kembar yang tak mau diam, seolah memang sengaja untuk memancing emosi ibunya. Hanya Mas Radit yang tidak terpengaruh oleh kehebohan anak istrinya."Zaidan, letakkan mainannya!" teriak Mbak Mira yang kesekian kalinya."Zaidan, denger Bunda ngga? Letakan mainannya! Mandi dulu!" Mba Mira kembali mengulang titahnya dengan lebih keras."Iya iyaa, Idan mau mandi sama Ate Ui aja," jawab Si Bos kecil sambil mendekat ke arahku."Ate Ui sudah pakai baju kerja nanti basah, mandi sama Bunda saja!" Sang ibu menolak ide sang anak."Nggak mau!" tolak Zaidan dengan cepat."Yah, bantuin to ah! Kebiasaan nggak peka banget lihat istri repot." Kali ini Mba Mira mulai melebarkan g
Suasana pagi di rumah Mba Mira cukup membuat rooming di telinga. Mba Mira yang biasanya memang sudah cerewet, saat pagi hari kadar cerewetnya meningkat berkali-kali lipat. Seolah-oleh kalau berhenti bicara, maka berhenti pula bumi berputar. Ditambah dengan kelakuan si kembar yang tak mau diam, seolah memang sengaja untuk memancing emosi ibunya. Hanya Mas Radit yang tidak terpengaruh oleh kehebohan anak istrinya."Zaidan, letakkan mainannya!" teriak Mbak Mira yang kesekian kalinya."Zaidan, denger Bunda ngga? Letakan mainannya! Mandi dulu!" Mba Mira kembali mengulang titahnya dengan lebih keras."Iya iyaa, Idan mau mandi sama Ate Ui aja," jawab Si Bos kecil sambil mendekat ke arahku."Ate Ui sudah pakai baju kerja nanti basah, mandi sama Bunda saja!" Sang ibu menolak ide sang anak."Nggak mau!" tolak Zaidan dengan cepat."Yah, bantuin to ah! Kebiasaan nggak peka banget lihat istri repot." Kali ini Mba Mira mulai melebarkan g
Mba Mira kubuat terbengong-bengong dengan pernyataanku yang tak ingin menikah. Sementara Aku masih menyelimuti seluruh tubuhku, tak berniat membukanya, lebih ketakut melihat tampang Mba Mira saat ini. Setelah saling terdiam beberapa saat, tiba-tiba selimut yang kupakai ditarik paksa oleh Mba Mira."Bocah edan! Maksudmu opo dengan tidak usah menikah?" tanya Mba Mira sambil melotot."Ya ora opo-opo, Mbak. Aku merasa nyaman sendiri begini," jawabku sambil kembali memakai selimut yang tadi ditarik Mba Mira."Kamu jangan egois to, Wid. Bagaimana perasaan ibumu kalau kamu tidak menikah? Ibumu kan sudah lama kepengin nimang cucu, Wid," cicit Mbak Mira sedikit menekan suaranya takut membangunkan seisi rumah.Kutarik napasku, lalu kuhembuskan dengan kasar. Ibuku? Mana mungkin aku melupakan perasaan Ibuku. Bagiku hal terpenting di dunia ini adalah Ibuku. Aku akan rela melakukan apapun asalkan beliau bahagia."Naah kan, nggak bisa jawab kan
Hai kamu iya kamu selamat malam. Pak sendok up nieh. Semoga klen suka yaaa. Btw, ada yang nungguin pak sendok nggak nih? kalu sudah baca boleh loh tinggalin jejak, jangan lupa ulasannya yaa bintang lima dooong. i lup u ols🥰🥰*****Malam semakin larut, anak-anak Mba Mira sudah terlelap, setelah kubacakan mereka dongeng. Mba Mira sendiri biasanya akan tidur dengan Mas Radit dulu, namun akan bergabung denganku saat Mas Radit telah tidur. Pernah aku keberatan, nggak enak rasanya kalau kehadiranku mengganggu kebersamaan mereka, namun Mba Mira tidak peduli, dengan alasan sudah minta ijin Mas Radit, dan Mas Radit juga tidak keberatan.Pukul 21.15 kuputuskan untuk mengirim pesan pada ibuku, mengecek sudah tidur atau belum. Saat pesan yang kukirim langsung centang biru, segera saja ku-video call nomor Ibu."Assalamualaikum bu," sapaku ketika wajah Ibu telah mun
Hai Bestie bab 10 up yaa. Semoga kaian suka deh, pokoknya masih ada si bucin Satria sama si eneng cantik Widuri.*****Ketika waktu maghrib tiba, sudah menjadi kebiasaan di keluarga Mba Mira, untuk laki-laki biasanya salat di masjid, sementara yang perempuan akan salat berjamaah di musala rumah. Hari ini Mas Radit ke masjid bersama bos dan temannya yang baru kutahu bernama Bayu. Sementara kaum hawa yang telah selesai berjamaah, mulai berkutat dengan persiapan makan malam."Sambelnya mana, Lik Sur?" tanya Mba Rima setelah tak melihat sambel ikut tersaji di meja makan."Tadi kan Mba Widuri yang ngulek to, Mba. Di taruh mana aku kok nggak lihat, yo?" tanya Lik Sur padaku.Aku langsung teringat sambal yang tadi kutaruh di dekat rice cooker. "Owalah iya, tadi tak taruh di dekat rice cooker, malah lupa, tak ambil dulu ya." Aku segera melesat kembali ke dapur mengambil sambel.Saat kembali ke ruang makan, para pria telah duduk m
Yuuhuuu guys jangan lupa follow dan komentnya yaa, biar tambah semangat akunya😘😘😘****Tiga hari sudah tidak ada lagi kiriman sarapan untukku. Mas Dika benar-benar menepati janjinya untuk berhenti memperjuangkan cintanya. Selama tiga hari ini Mas Dika juga seperti menghindariku, tak sekalipun kami bertemu lagi setelah obrolan empat mata kami.Ada sedikit rasa kehilangan, ketika ada rutinitas yang tiba-tiba berhenti. Biasanya setiap pagi Mas Dika akan menyempatkan mampir ke ruanganku, selain memberikan sarapan pagi, juga untuk melayangkan gombalan-gombalan garingnya padaku.Yang kuinginkan bukanlah seperti ini. Aku ingin tetap menjalin perteman dengan Mas Dika. Mengesampingkan kisah yang memang sebenarnya belum dimulai, namun tapaknya Mas Dika tidak sependapat denganku. Karena jelas sekali dia benar-benar menghindariku."Melamun aja kamu, Wid." Mba Mira tiba-tiba d
Hai Bestie, up lagi yaa, semoga kalian suka🥰🥰*****Setelah melayangkan banyak protes pada pasutri resek, yang masih saja cengangas-cengenges menanggapi kekesalanku, aku memutuskan langsung pulang ke kosan. Kekesalanku sedikit berkurang karena Mas Radit berbaik hati mengantarku dulu ke kost sebelum mereka pulang ke rumah."Ate Ui pulang dulu ya, Bos," pamitku pada Zaiden sebelum turun."Ate besok main lagi ya!" pinta si Bos kecil."Siap Bos," kataku sambil hormat."Tuan Putri nanti video call Ate Ui ya! Nanti ate kasih tau make up apa saja yang dibutuhkan seorang putri." Genderang perang siap ditabuh, Syanum kujadikan media untuk membalas keisengan pasutri kurang gawean yang sedang duduk di kursi depan."Wid awas ya, jangan coba-coba merusak kepolosan anakku, dengan hobi nggak jelasmu!" Tak perlu waktu lama Mba Mira langsung bereaksi."Wanita itu harus memiliki wawasan lua
I luv u ols😍😍😍 Selamat membaca yaaaa...semoga kelen suka🥰🥰 ***** Akhir pekan tiba, tepat sesuai dugaanku, aku tidak jadi pergi mengunjungi Ayah dan Ibu di Jakarta. Kebiasaan mudik ke Kudus di akhir pekan pun kali ini tidak kulakukan. Mau mudik juga nggak ada ibu, pikirku. Akhirnya ku habiskan akhir pekanku di kos saja, beberes dan membaca novel. Menjelang sore, Mba Mira menghubungiku, dia mengajakku untuk menemaninya pergi ke suatu acara pada Minggu pagi, besok. Aku sudah mencium aroma-aroma tidak enak, palingan diajak juga untuk membantunya menjaga si kembar, anak mereka yang memang super aktif, intinya aku jadi babysister. Tapi dari pada bosen di kost sendirian, aku pun menerima ajakan Mbak Mira. Tidak masalah menjaga duo krucil gemoy. Toh mereka berdua selalu bisa jadi sekutuku. Keesokan harinya sekitar pukul sembilan, Mba Mira dan Mas Radit datang menjemputku. Aku yang telah siap bergegas keluar saa
Jadwal keberangkatan kereta Ayah dan Ibu ke Jakarta pukul sepuluh malam ini. Setengah jam sebelum waktu keberangkatan kami telah sampai di Stasiun Tawang. Dari pada terburu-buru kata Ibu, jadi lebih baik berangkat lebih awal.Meskipun malam namun suasana stasiun cukup ramai. Beberapa calon penumpang juga tampak diantar oleh keluarganya. Para pedagang juga masih menjajakan dagangannya."Nggak ada yang kelupaan kan, Yang? Tiket sudah di cek?" tanya Ayah pada Ibu."Sudah tak masukan tas kok, ini..." jawab ibu sambil menunjukan dua lembar tiket kereta yang diambilnya dari dalam tas."Jangan kebanyakan makan mie instan!" Celetuk Ayah tiba-tiba pindah haluan topik."Apa sih, Yah?" tanyaku pura-pura tidak tahu."Ayah tadi lihat, lengkap bener koleksi mie instanmu. Koleksi itu perhiasan kek, ini koleksi kok mie instan," ejeknya sambil terkekeh."Susah dibilangi anakmu ini kok." Ibu turut memojokanku. Aku sendiri cuek bebek, lah gi
Kupuaskan dua hari ini libur di rumah dengan tidak kemana-mana, benar-benar di rumah saja, menikmati kebersamaan dengan Ayah dan Ibu. Banyak kegiatan yang kami lakukan, dari beberes rumah, mengurus bunga, atau mencoba menu baru.Di setiap kegiatan kami Ayah tanpa sungkan ikut membantu, meskipun ada beberapa bantuannya yang bukannya meringankan tapi malah mengacaukan kata ibu. Tak jarang Ibu ngomel-ngomel karena Ayah hanya menambah pekerjaan saja."Udah lah, duduk saja kamu, Mas! Nggak selesai-selesai kalau begini caranya," protes Ibu saat melihat Ayah salah menyiram bunga anggrek koleksinya."Aduh maaf. Emang anggrek nggak boleh disiram apa gimana? Mas nggak tahu." Ayah mencoba membela diri."Bukannya nggak boleh disiram, Yah. Tapi nggak boleh berlebihan airnya nanti bisa busuk." Aku mencoba menerangkan pada Ayah."Astaghfirullah, maaf ya, yang! Nanti deh Mas belikan bunga anggrek. Mau yang macam apa, tinggal pilih aja.""Bukan m