Banyak gaya! Dulu saja ketika awal pernikahanku, Mas Ferdi tak pernah mengajak bulan madu, malah mengajakku ngontrak rumah petakan.Sekarang setelah ia sukses dan banyak uang bukan malah memanjakanku yang selama ini mendukung dan mendampinginya, malah membahagiakan wanita lain yang baru dikenalnya.Miris memang."Oh kalian berencana bulan madu ya? Tapi gimana lagi uangnya sudah habis aku depositokan ke rumah sakit ini untuk biaya perawatan Mas Ferdi, ya ... dari pada hutang sana sini mending uangnya dipakai dulu kali ya." Aku tersenyum kecut."Oh ya, Mas, sepertinya aku harus pulang karena sebentar lagi Desti pulang sekolah, Dita dan Dara juga kutitipkan pada ibu."Raut wajah Susan menjadi masam, bukankah aku terlalu baik membiarkannya untuk selalu bersama Mas Ferdi.Dasar tak tahu terima kasih.Sementara Mas Ferdi hanya menatap gerak-gerikku, entah seperti apa kondisinya kini yang jelas sejak tadi ia tidak mengeluarkan suara."Tapi, Mbak, aku belum mandi dari pagi, boleh Mbak di sini
"Kau masih mau makan, Mas?"Aku tertawa jahat saat menyadari jika lelaki yang sedang kuajak bicara ini tak bisa mengeluarkan suara apapun."Baiklah, kita habiskan bubur ini."Aku menyuapkan satu sendok bubur yang sedikit cair ke dalam mulutnya yang terbuka setengah."Lihatlah, Mas, Susan itu ga ada gunanya 'kan? Dia malah ingin mengelola restoran sementara dia menyuruhku mengurusmu, itu artinya apa? Dia hanya mau uangmu saja."Tatapan mata Mas Ferdi mendadak sayu seperti hendak mengeluarkan air mata, dan aku sangat berharap ada sebuah penyesalan yang menggerogoti hatinya."Malang sekali nasibmu, Mas. Dan dari kejadian ini harusnya kamu berpikir agar mensyukuri nikmat yang ada, bukan malah fokus pada ambisi yang tak nyata."Sambil tersenyum miring aku kembali menyuapkan bubur ke mulutnya."Kamu sangat ingin punya anak lelaki, sampai berani menikah lagi diam-diam, padahal di rumah ketiga putrimu sangat menyayangimu, Mas. Dan kamu harus tahu jika ketiga putri kita terluka oleh perbuatanm
"Aku juga istrinya Mas Ferdi, tapi kenapa keuangan hanya dikuasai Mbak saja sih, aku juga sama butuh uang untuk kebutuhan," ucap Susan sambil duduk di kursi ruangan staf restoran ini.Semua karyawan memandang Susan dengan tatapan menjijikkan, apalagi rok mini yang memperlihatkan paha putihnya, ditambah dengan tonjolan gunung kembar yang menantang, semua orang menyorot bagian itu.Kuakui tubuh Susan memang sempurna, berkulit putih, tinggi dan juga berisi, didukung dengan wajah mulus tanpa sedikitpun jerawat yang mengotori."Jangan mentang-mentang Mbak istri pertama dan aku hanya istri siri Mbak bisa seenaknya zalimi aku kaya gini ya.""Aku yakin kalau Mas Ferdi ga sakit mungkin sekarang dia udah marah sama kelakuan Mbak ini, dan bisa saja dia juga langsung menceraikan Mbak."Kubiarkan wanita ini mengoceh sepuasnya, dan aku diam bukan berarti kalah melainkan mencari celah untuk menjatuhkannya."Lalu apa yang kamu mau hem? Uang?" tanyaku sambil bersilang tangan di dada."Ya tentu saja se
"Hei, Mbak sudah pulang?"Aku terkesiap tiba-tiba saja Susan keluar dari kamar dan memergokiku yang sedang melamun."Hem, kelihatannya?"Wanita itu mengukir senyum setenang mungkin, ah sepertinya ia sudah membaca isi hatiku saat ini."Gimana ngurus restoran? Mbak hepy?" tanyanya sambil mengangkat sebelah alis."Tentu saja, aku tidak selemah apa yang kamu kira, Susan, lalu bagaimana dengan Mas Ferdi? Perubahan apa yang sudah terjadi selama sebulan ini hem?" tanyaku."Begitulah, sekarang dia sudah bisa bicara walau masih terbata, dan aku yakin barusan Mbak mendengarnya 'kan?" Wanita itu menyeringai lebar hingga deretan giginya terlihat jelas.Jelas ia sangat bangga mendengar kata cinta yang terlontar dari mulut Mas Ferdi, dan karena hali itu ia merasa bisa mengalahkan aku.Menghirup napas perlahan, mengusir debar cemburu yang merasuki hatiku, sebesar apapun rasa benci terhadap Mas Ferdi tetap saja aku belum bisa menerima kemesraan mereka di hadapan mata, aku lebih suka melihat mereka se
Aku langsung mendorong kursi roda Mas Ferdi menuju sumber keributan, sampai di dapur kulihat Dita dan Dara saling berpelukan sambil menatap Susan ketakutan."Ada apa sih?""Tolong ajari anakmu ini sopan santun ya, Mbak, aku selalu diam dan sabar ketika mereka memainkan lipstikku untuk mencoret-coret kaca.""Aku juga sabar saat bedak mahalku pecah berserakan di lantai akibat dijatuhkan mereka, aku juga sabar ketika mereka menyemprotkan parfum kesayanganku ke seluruh ruangan hingga habis.""Tapi sekarang, aku tak bisa sabar lagi ketika sedang makan dan mereka berdua menaruh kecoa di atas piringku, untung saja kecoa itu tak tertelan."Anak-anak baik, malang sekali nasibmu, Nak. Tapi mama acungi jempol atas perbuatan yang kalian lakukan, kalian memang anak pintar."Ya ampun, sini, Sayang." Aku merentangkan sebelah tangan lalu memeluk mereka berdua dan mencium ubun-ubunnya, setelah itu menatap wajah Susan yang penuh kobaran api dengan lembut."Mereka 'kan masih kecil, San, bisa loh dikasih
"Jadi kamu dendam sama aku? Hei kumohon berkacalah, Susan." Aku memiringkan bibir "Kamu." Aku menekan dada Susan dengan jari telunjuk."Sudah menikah diam-diam dengan suamiku, dan hal itu sangat menyakitkan bagi setiap wanita, tetapi lihatlah bahkan aku masih baik padamu dengan memberikan tempat tinggal dan makan gratis, tapi tetap saja ya kamu bersikap tak tahu malu." "Sampai kapanpun kamu tak akan bisa mempermalukanku, karena apa? Karena aku tidak pernah mempermalukan diri sendiri sepertimu."Aku tersenyum sinis.*"Hari ini aku yang akan antar Mas Ferdi terapi, kamu di rumah saja ya, San. Oh ya aku sudah deposit uang di salon Mutiara atas namamu, pergilah siapa tahu kamu butuh merawat diri," ujarku sambil bersiap.Mata Susan berbinar, mungkin untuk pertama kali aku memanjakannya serasa di surga, ia tak tahu saja kejutan apa yang akan didapat di tempat itu."Ok, sekalian aku ajak Ibu ya, Mbak.""Hem, terserah."Wajahnya mendadak ceria, setelah siap kami berempat berangkat mengguna
Aku mendorong kursi roda Mas Ferdi ke dalam rumah, di ruang keluarga Susan terlihat sedang duduk merenung dengan tatapan kosong dan memeluk bantal sofa.Menyadari kami datang ia menoleh ke arahku dengan tatapan tajam. Aku melewatinya begitu saja tanpa menyapa sama sekali.Namun, saat meneguk air di dapur ia menghampiriku sambil cemberut."Kenapa sih ga habis-habisnya Mbak bikin aku malu?""Bikin malu apa, Sih?" tanyaku dengan nada dibuat malas."Mbak sengaja 'kan nyuruh aku perawatan di salon itu cuma buat aku malu, mereka yang ada di salon itu nyinyirin aku dengan kata-kata pedas, padahal aku ini istri kedua, bukan pelakor!""Aku dinikahi dan sah secara agama sama Mas Ferdi bukan dijadikan simpanan, Mbak, kamu terima dong kenyataan ini," lanjutnya dengan mata membeliak.Kuremas gelas yang sedang digenggam lalu menaruhnya dengan kasar di meja."Kamu fikir aku ga tahu apa yang kalian lakukan di belakangku jauh-jauh hari Hem?""Kamu fikir aku ga tahu kalau Mas Ferdi sering nyawer kamu,
"Ya sudah aku akan memesan bubur lewat aplikasi, sekarang kita mandi dulu ya, Mas."Lelaki yang dahulu sering menyakitiku dengan kata-kata pedasnya itu hanya diam dan menatap pasrah, aku mulai melucuti baju, celana dan juga popoknya yang terlihat sudah penuh oleh kotoran.Bau menyengat menusuk hidung. Namun, aku sudah terbiasa menghirup aroma ini sehingga bisa biasa saja, setelah area pantat bersih aku mulai memakaikan popok yang baru, lalu mengelap tubuh Mas Ferdi dengan handuk basah, setelah itu memakaikan baju ganti untuknya.Benar-benar melelahkan rasanya aku seperti memiliki bayi, tetapi hatiku mendadak sedih saat teringat jika Mas Ferdi bisa mengalami hal ini pun memang karena ulahku sendiri.Rasa sesal, kecewa sakit hati dan lelah menyatu dalam hatiku, terkadang aku ketakutan karena telah menyakiti suami sendiri."Sudah selesai, aku mau mandi dulu ya, Mas, baru pulang soalnya."Sebagai respon ia hanya mengedipkan mata."Kak." Aku membuka pintu kamar Desti, anak itu sedang memb
Setelah ditelusuri lebih dalam aku menemukan sebuah situs web khusus para pria hidung belang, di sana mereka bisa membahas para organ intim wanita yang pernah mereka cicipi berikut dengan Poto b*gilnya.Yang membuat otakku panas ialah poto Desti juga ada di sana, beberapa pria berkomentar tentang bentuk tubuh anakku, bahkan diantara mereka dengan terang-terangan mengincar tubuh putriku itu."Bagaimana ini, Lira?"Gadis itu langsung meluncur ke restoran begitu mengetahui Poto sy*r Desti tersebar."Apa Poto itu diambil ketika Desti diculik kemarin ya?" tanya Lira."Aku tak mau tahu Poto itu diambil kapan, yang kumau poto-poto anakku terhapus, apa kamu bisa membantuku?"Digulung emosi aku sampai membentak adik sendiri, beruntung Lira tak membalas gertakanku, ia hanya melirikku sekilas lalu kembali fokus pada laptopnya.Sebagai seorang ibu tentu hatiku sakit melihat poto-poto Desti tersebar luas apalagi dengan busana tidak pantas, selama ini aku selalu menjaganya, memastikan jika ia baik-
Aku pun meninggalkannya di luar rumah karena masih banyak yang harus kupersiapkan di dalam.Benar saja rambut Dara belum disisir, sedangkan Dita teriak-teriak mencari seragamnya, dan Desti gadis itu sedang makan sambil melamun, insiden penculikan itu benar-benar telah merenggut keceriaannya."Dara, cepat sisir rambutmu ya, Kak Haikal sudah datang itu.""Ya, Ma, bentar ini balesin chat Amina dulu." Aku geleng-geleng kepala, seperti biasa ponsel telah menyibukkan anak-anakku."Dita! Coba cari seragam olahraganya di keranjang, siapa tahu belum di setrika sama Mbak Ani!" teriakku dengan suara memekik."Duuh Mbak Ani gimana sih, kok seragam aku belum disetrika, mau dipake sekarang, Ma, gimana dong?!" teriak Dita yang menyalahkan asisten rumah tangga kami.Aku terpaksa naik ke lantai atas padahal ingin sekali bicara dengan Desti."Sini Mama setrikain, kamu cepetan keringin dulu itu rambutnya." "Gitu dong dari tadi."Aku berdecak kesal, setiap pagi pasti ada saja yang diributkan, kukira se
"Aku sudah bicara dengan Haikal, dia bersedia jadi supir anak-anakmu, Yul," ujar AndreSedikit tak percaya dengan apa yang diucapkannya, karena kulihat Haikal adalah lelaki gagah dan masih muda, bahkan terakhir kudengar ia memiliki pekerjaan."Masa sih dia mau, Dre, bukankah dia memiliki pekerjaan?" tanyaku."Ya dia mau, karena dia tak hanya mendapatkan gaji darimu tapi dariku juga, lalu dia bisa melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda sambil bekerja," jawab Andre."Memangnya anak itu putus kuliah?""Ya, semenjak keadaan ekonomi kakakku melemah, Haikal memilih berhenti kuliah dan membantu orang tuanya mencari nafkah.""Oh begitu, tapi kamu tak perlu ikut-ikutan menggajinya, Dre, aku sanggup kok memberikan gaji yang besar untuknya."Aku merasa tak enak saja pada Andre, sudah mobil ia yang carikan bahkan ia ikut andil dalam pembelian mobil ini, Andre terlalu banyak membantu kehidupanku, sementara aku tidak bisa melakukan apa-apa untuknya."Ga apa-apa, Yul, itung-itung aku bantu dia s
(POV Susan)"Ya makanya dicoba dulu, dan ingat jika dia ke sini kamu harus memelas dan memohon, juga jangan coba-coba memancing amarahnya."Ia berdecak sambil memalingkan wajah, aku tahu ia paling anti kalah dengan mantan istrinya itu, tapi bagaimana lagi saat ini posisi kami memang lemah, tak memiliki jabatan dan juga uang, sementara Mbak Yuli memiliki segalanya, dengan uangnya itu ia bisa membeli nyawa dan hidup seseorang."Aku pulang dulu, Mas, semoga saja Mbak Yuli mau membebaskanmu."Tak ada kata yang terucap darinya sebelum kepergianku.Di depan rumah bercat abu tua ini aku berdiri, rumah minimalis dua lantai itu sudah banyak mengalami perubahan, Mbak Yuli sudah banyak merenovasi bagian-bagian tertentu hingga terlihat nyaman.Mengesampingkan rasa malu aku mengetuk pintu, semoga saja wanita itu masih ada di rumahnya pagi ini.Pintu rumah terbuka nampaklah Mbak Yuli dengan setelan kerjanya, mata kami sempat bersitatap dalam diam beberapa detik."Susan?"Aku mengukir senyum tipis d
(POV SUSAN)"Apa, Dokter? Perempuan lagi?" Dokter Lia itu tersenyum sambil menganggukkan kepala."Iya, Bu, semuanya normal ya, Ibu harus banyak gerak biar persalinannya lancar nanti."Aku tak percaya setelah beberapa kali melakukan USG ternyata benar bayi yang kukandung berjenis kelamin perempuan lagi.Entah bagaimana reaksi Mas Ferdi nanti jika tahu anak yang ia harapkan laki-laki ternyata lahir perempuan lagi."Mau laki-laki atau perempuan yang penting sehat dan selamat, Bu," ujar Dokter Lia.Ia tak mengerti saja bagaimana keadaan rumah tanggaku, aku sangat takut Mas Ferdi tak tahan lalu pergi meninggalkan kami seperti dulu ia meninggalkan Mbak Yuli.Dulu saat si kembar masih kecil aku tak terlalu risau ditinggalkannya, karena aku merasa bisa mandiri, tetapi sekarang aku bergantung seratus persen padanya setelah mengandung anak ini dan tak lagi bekerja di club malam."Apa kamu bilang?! Perempuan lagi, bener ga itu hasilnya jangan-jangan salah lagi kayak yang udah-udah."Benar saja
(PoV Ferdi) Yuli sudah melapor maka lambat laun aku akan dipanggil polisi, sekarang keadaannya sudah berbeda, aku tak bisa menggunakan uang untuk membebaskan diri dari tuduhan seperti beberapa tahun silam.Aku mengacak rambut, kenapa hidup dengan Susan banyak sekali masalah, bahkan di usia pernikahan yang ketujuh masih juga belum mendapatkan kedamaian.*"Yang datang semalam siapa?" tanya Susan saat merapikan baju di kamar."Anak buah Vincen, mereka menghajarku semalam, mereka juga bilang kalau Vincen mecat aku."Susan menghentikan aktivitasnya, dengan mulut menganga ia menatapku."Kok menghajar kamu bukannya hutangmu sudah lunas? Terus sekarang kita gimana kalau kamu dipecat?"Susan memang mengetahui semua rencanaku pada Desti, dan dia mendukungnya, katanya yang penting hutang kami lunas dan beban kami hilang.Tak mudah untuk melakukan hal itu, aku harus melakukan penyelidikan terlebih dahulu agar mudah menyerahkan Desti pada Vincen."Yuli berhasil membawa kabur Desti sebelum anak i
(POV FERDI)Tengah malam pintu rumahku ada yang mengetuk beberapa kali, Susan terus saja menepuk pundakku menyuruh membuka pintu."Apaan sih ah, kamu aja sana yang buka!" Aku menepis kasar tangannya."Ya ampun, Mas! Aku tuh lagi hamil besar mau istirahat, aku capek ngurusin kedua anak kamu dari pagi, bisa ga sih ngertiin aku!" bentaknya.Sudah tujuh tahun kami membina rumah tangga ini, bukan semakin harmonis malah semakin sering cekcok setiap hari Setiap hari selalu saja ada hal yang membuat kami ribut, entah itu anak-anak, masalah keuangan dan yang lainnya.Sampai saat ini aku masih berharap anak yang ada di rahim Susan itu perempuan, aku melarang Susan bertanya soal jenis kelamin anak itu ketika di USG, aku takut saja jika bayi dalam perutnya itu perempuan lagi."Ya udah iya aku yang buka!" tegasku sambil menyibak selimut.Aku berjalan menghidupkan lampu menuju pintu, saat pintu terbuka nampaklah lima orang lelaki bertubuh tinggi besar, aku tahu dia anak buah Vincen.Vincen adalah
Pemuda bernama Haikal itu bersalaman denganku dan ibu, lalu kami masuk ke dalam.Setelah ganti baju aku menceritakan kejadian sebenarnya pada ibu, termasuk keterlibatan Mas Ferdi dengan penculikan Desti.Jelas saja ibu dan Lira murka mendengar lelaki itu dalang dari masalah ini."Dasar laki berotak batu," ujar Lira."Ini ga bisa dibiarkan, Yul, si Ferdi itu harus dipenjara," ujar ibu."Iya sebaiknya kamu segera melapor ke polisi, Yul," ujar Andre "Baiklah, aku ambil hape dulu ya."Menelpon seorang penyidik yang menangani kasus penculikan Desti, mereka menyuruhku datang ke kantor siang ini dengan Desti untuk memberi keterangan."Gimana? Udah di telpon?" tanya Andre."Sudah, aku sama Desti disuruh ke kantor nantisiang.""Baiklah, aku pulang dulu ya, nanti siang aku kemari lagi nemenin kalian.""Terima kasih ya." Lagi-lagi hanya sebuah senyuman yang kuberikan untuk membalas jasanya.Jika Andre bukan orang kaya sudah pasti aku memberikan sejumlah uang besar padanya, tetapi tentu saja And
"Bagaimana ini?" tanyaku dengan napas terengah-engah menatap Andre "Mana pistolmu, Yul?"Aku langsung memberikan benda itu padanya dan entah apa yang ingin ia lakukan, lalu kaca mobil di sampingnya terbuka setengah, seorang lelaki langsung menodongkan pedang ke leher Andre."Serahkan harta berharga kalian!" tegas laki-laki yang mengenakan penutup kepala tersebut.Perlahan Andre mulai menodongkan pistol ke orang tersebut, dapat kulihat mata lelaki itu membeliak."Jangan halangi jalanku kalau tidak kepalamu akan pecah saat ini juga," ancam Andre.Lalu di belakang mobilku terdengar seorang berteriak lantang."Mundur! Mereka membawa pistol!"Hingga akhirnya segerombolan orang itu kembali mundur dan masuk kembali ke semak-semak, aku bernapas lega ternyata tidak ada pertumpahan darah lagi.Orang-orang itu ketakutan melihat senjata api di tangan Andre dan sepupunya di mobil belakang, jika pun melawan mereka sudah pasti kalah.Mobil kembali melaju membelah jalanan malam tanpa arah tujuan."M