Lha?!
”Apa… apa maksudmu?” Kenapa Andre menjadi sangat mengerikan di depanku. Rasanya aku ingin menghilang dan menenggelamkan diriku ke dasar bumi. Dia menyebut namaku dengan lengkap. Adina El Khairi. Apakah itu artinya…. Dan dia mengabaikan pertanyaan juga tatapan mataku. Wajahnya begitu dingin dan berkabut. Tanpa sepatah kata dia pergi meninggalkan ruang meeting. Langkahnya panjang dan cepat untuk menuju ke ruangannya. Aku mengikuti dari belakang dengan sedikit berlari. Beberapa karyawan melihat kami tanpa ada yang berani mengarahkan pandangan. Dalam hatiku mengumpat Andre. Dia memperlakukanku seperti aku sekretaris yang harus mengikutinya. Dia mungkin lupa bahwa aku baru saja mengungkap fakta besar tentang perusahaannya. Kemenanganku beberapa waktu lalu seketika menghilang. Andre duduk di kursi besarnya dan aku tiba beberapa detik kemudian dengan nafas terengah. “Bisa nggak kalau jalan itu pelan-pelan?” ujarku kesal. “Aku tidak menyuruhmu untuk menyamai langkahku. Kau bisa berjalan
”Aku….” Sial! Aku merasa seperti tikus kecil yang sedang masuk dalam perangkap seseorang. Tidak ada jalan keluar! “Kau mau mengakuinya atau kau mau aku yang mengatakan padamu? Membukamu di sini?” Apakah aku terlalu lama melamun dalam lamunan? Sehingga aku bahkan tidak sadar jika Andre sudah berdiri di belakangku. Dia membungkuk dan wajahnya tepat di samping wajahku. Kulit pipiku bahkan bisa merasakan hangat nafas yang keluar dari tenggorkannya. Andai aku menoleh sedikit saja, hidungku pasti bersentuhan dengan hidungnya. Aku bisa merasakan bahwa ada senyum sinis di wajah Andre. Mataku menatap lurus ke depan. Mengalihkan pikiran bahwa aku gugup. Dengan pertanyaannya dan juga dengan sikapnya. Tuhan! Ini terlalu dekat! Beberapa detik aku terlempar jauh dari kenyataan untuk kemudian kembali dengan pikiran bingung. Ok, waktunya mengatur nafas! Tarik… hembuskan dan... tetap tenang. Bukankah ini hanya gertakan? Andre mungkin tidak akan membicarakan sesuatu yang aku pikirkan. “Apa… apa mak
”Jika kau berniat seperti itu, maka sejak beberapa bulan lalu, Summer hotel pasti sudah tenggelam ke dasar bumi.” Andre memaksa membenarkan pendapatnya. Aku melipat kedua tangan di dada. Semoga ini cukup menguatkan diriku sendiri. Jantungku berlompatan di dalam sana demi berhadapan dengan pesona Andre. Apakah pria ini telah mengisi sesuatu dalam diriku yang kosong setelah kepergian Fattan? Ini bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Tunggu! Aku tidak boleh tergesa menarik kesimpulan. Aku butuh waktu dan ini bukan tujuanku datang ke Bali. Bertemu Andre hanyalah sebuah kebetulan yang menarikku dari lubang kesedihan. Bukan untuk masuk ke lubang lainnya. Walau aku tidak bisa memungkiri fakta bahwa Andre sangatlah, menarik! Ketika kami berdiri berhadapan, mungkin saat itu sebenarnya aku bahkan tidak bernafas. “Aku akan pergi. Aku tidak bisa tinggal pada sesuatu yang masih berada di masa lau. Namun sebelum itu, masih ada satu hal yang harus kita bereskan,” tegasku. “Siapa yang tertinggal di
”Duduklah dengan tenang, Tuan Peter,” ujarku pada Peter ketika kami berada di ruang VVIP restaurant milik Orchid Hotel. “Terima kasih, Nyonya Adina. Aku harus minta maaf padamu atas….” “Tunggu! Kita belum akan membicarakan apa pun sampai semua orang yang harus hadir datang ke ruangan ini.” Peter menelan lagi kata-kata yang nyaris meluncur dari mulutnya. Pria berwajah Tionghoa dengan tubuh tambun itu mendadak diam. Sebelum gala dinner para pengusaha pariwisata di Bali, aku sengaja mengundangnya untuk makan malam. Undangan yang tentu tidak akan Peter terima dengan senang hati. Kekalahn sudah di depan mata. Ini akan jadi penyesalan terparah dalam hidup Peter. Di mana dia mempertaruhkan setengah saham perusahaannya hanya untuk menyatakan kebodohanku. Sekarang, di sini Peter akan berhadapan dengan kekalahannya sendiri. Bahwa kekuatan alam dan keajaiban tidak bisa begitu saja dia remehkan. Pria ini beberapa kali mencoba menghubungiku setelah laporan keuangan Summer Hotel di publish seca
”Hi, selamat datang. Masuklah, kami semua sudah menunggumu.” Nauri menjadi orang pertama yang berdiri spontan dan tampak terkejut. Matanya melebar, bibirnya bergetar dan tampak sangat gugup. Andre sedikit menarik tangannya agar kembali duduk. Perbuatannya bisa membuat orang berpikir bahwa dia sedang menunjukkan kekaguman yang berlebihan. Sikap yang bisa saja membuat seseorang tersanjung atau tersinggung. Namun Nauri menolak dan terus memandang ke arah pria yang baru masuk ke ruangan. Memang dia tampan dan sikap Nauri mengakomodir semua pengakuan tentang hal itu. Nauri masih mencoba menyapa pria itu walau dia terkepung dalam kegugupan. Seolah menyapa pria itu menjadi hal yang harus dia lakukan. Penting dan sekarang! “Tara, bagaimana kau bisa berada di sini?” “Apa aku mengenalmu?” Tara balik bertanya. “Oh, maaf, Tuan Tara. Aku Nauri. Salah satu model dari Singapura. Waktu itu kita pernah berjumpa dalam sebuah private party.” Mata Tara memindai Nauri dari atas ke bawah. Dia mencob
”Apa maksudmu? Taruhan ini aadalah antara aku dan Peter.” Aku melihat sengit karena Andre membuat Tara harus berhenti berbicara. Aku yakin, Tara sudah memutuskan sesuatu untuk memberi Peter pelajaran. “Kau benar. Tapi, yang gunakan untuk taruhan adala hotelku, Adina. Kau mungkin lupa itu. Dan aku ingin semua taruhan ini dibatalkan.” “Apa?!” Aku, Tara dan Peter berteriak bersamaan. Wajah Tara tampak tenang setelah sebuah kejutan. Sementara Peter terlihat sangat lega. Bagaimana tidak, dia nyaris kehilangan setengah bisnisnya hanya karena sebuah taruhan konyol itu. Taruhan yang dia mulai untuk merendahkanku di depan semua orang. Sebuah taruhan yang digunakan Peter untuk membuktikan bahwa posisi seorang yang renda bisa ditebak dengan mudah. Seolah dunia dalam genggamannya. Dia percaya bahwa instict bisnisnya tidak pernah salah dalam menilai seseorang. Hingga akhirnya dia kehilangan semua kepercayaan itu. Kata-kata Andre membuatku kecewa. Aku sudah memenangkan taruhanku dan meletakkan
”Kau punya hubungan dengan Adina?” Nauri melebarkan matanya ke arah Andre. “Aku punya hubungan dengan semua orang,” jawab Andre tenang. “Tunggu! Kita perlu penjelasan dalam hal ini.” Nauri melebarkan mata. “Saya pun menunggu penjelasan, Nyonya Andre.” Wajah Nauri tertekuk karena panggilan itu. Mungkin sebenarnya Nauri tidak menginginkan panggilan itu. Atau setidaknya tidak oleh Tara. Ada sebuah keinginan dalam diri Nauri untuk memenangkan hati Tara. Itu terlihat jelas di wajahnya. Beberapa kali aku melihat Nauri mencuri pandang pada Tara. Pertemuan sebelumnya yang terjadi di Singapura tampaknya sangat berkesan bagi Nauri. Tapi, sama sekali tidak untuk Tara. Terbukti bahwa Nauri bisa mengingat Tara dengan jelas tapi Tara sama sekali tidak bisa mengingat Nauri. Entahlah. Tatapan tajam Tara bergeser dari Nauri kepada Andre. “Orang-orangku sudah memberikan laporan tentang kedekatan kalian. Dengar, Andre, bagaimana pun aku tidak akan mengijinkan seseorang menyakiti Adina. Dia sudah c
“Aku… Aku rasa tidak sekarang. Bukankah ini terlalu rumit? Saat Nauri bahkan masih berstatus sebagai istrimu.” “Ini hanya masalah waktu dan hukum dua negara. Kami sudah lama berpisah.” “Tetap saja secara legal semua aturan masih berlaku.” “Baiklah, aku akan menyelesaikan perceraian ini segera. Setidaknya berikan aku jawaban. Apakah kau bisa mencintaiku?” Suasana berubah menjadi lucu dalam benakku. Ini seperti cerita anak SMA yang sedang menunggu pernyataan dan jawaban atas cinta. Tentu saja aku tidak lagi lugu. Nyaris tiga puluh tahun. Itu bukan usia muda untuk sekedar bahagia dan berbunga dengan cinta. Usia memang sekedar angka, tapi itu juga sebuah pemikiran. Bukan lagi sebuah kata-kata manis, tapi juga hal yang realistis. Mengulik lagi apa tujuan yang sebenarnya dan akan dibawa ke mana untuk siapa. Ini penting untuk menentukan apakah dia orang yang kuinginkan atau sekedar kukagumi. Jika satu pelajaran tidak cukup dalam hidup, maka hidup akan memberimu pelajarn berikutnya. Begi
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil