Hmm...
”Hi, selamat datang. Masuklah, kami semua sudah menunggumu.” Nauri menjadi orang pertama yang berdiri spontan dan tampak terkejut. Matanya melebar, bibirnya bergetar dan tampak sangat gugup. Andre sedikit menarik tangannya agar kembali duduk. Perbuatannya bisa membuat orang berpikir bahwa dia sedang menunjukkan kekaguman yang berlebihan. Sikap yang bisa saja membuat seseorang tersanjung atau tersinggung. Namun Nauri menolak dan terus memandang ke arah pria yang baru masuk ke ruangan. Memang dia tampan dan sikap Nauri mengakomodir semua pengakuan tentang hal itu. Nauri masih mencoba menyapa pria itu walau dia terkepung dalam kegugupan. Seolah menyapa pria itu menjadi hal yang harus dia lakukan. Penting dan sekarang! “Tara, bagaimana kau bisa berada di sini?” “Apa aku mengenalmu?” Tara balik bertanya. “Oh, maaf, Tuan Tara. Aku Nauri. Salah satu model dari Singapura. Waktu itu kita pernah berjumpa dalam sebuah private party.” Mata Tara memindai Nauri dari atas ke bawah. Dia mencob
”Apa maksudmu? Taruhan ini aadalah antara aku dan Peter.” Aku melihat sengit karena Andre membuat Tara harus berhenti berbicara. Aku yakin, Tara sudah memutuskan sesuatu untuk memberi Peter pelajaran. “Kau benar. Tapi, yang gunakan untuk taruhan adala hotelku, Adina. Kau mungkin lupa itu. Dan aku ingin semua taruhan ini dibatalkan.” “Apa?!” Aku, Tara dan Peter berteriak bersamaan. Wajah Tara tampak tenang setelah sebuah kejutan. Sementara Peter terlihat sangat lega. Bagaimana tidak, dia nyaris kehilangan setengah bisnisnya hanya karena sebuah taruhan konyol itu. Taruhan yang dia mulai untuk merendahkanku di depan semua orang. Sebuah taruhan yang digunakan Peter untuk membuktikan bahwa posisi seorang yang renda bisa ditebak dengan mudah. Seolah dunia dalam genggamannya. Dia percaya bahwa instict bisnisnya tidak pernah salah dalam menilai seseorang. Hingga akhirnya dia kehilangan semua kepercayaan itu. Kata-kata Andre membuatku kecewa. Aku sudah memenangkan taruhanku dan meletakkan
”Kau punya hubungan dengan Adina?” Nauri melebarkan matanya ke arah Andre. “Aku punya hubungan dengan semua orang,” jawab Andre tenang. “Tunggu! Kita perlu penjelasan dalam hal ini.” Nauri melebarkan mata. “Saya pun menunggu penjelasan, Nyonya Andre.” Wajah Nauri tertekuk karena panggilan itu. Mungkin sebenarnya Nauri tidak menginginkan panggilan itu. Atau setidaknya tidak oleh Tara. Ada sebuah keinginan dalam diri Nauri untuk memenangkan hati Tara. Itu terlihat jelas di wajahnya. Beberapa kali aku melihat Nauri mencuri pandang pada Tara. Pertemuan sebelumnya yang terjadi di Singapura tampaknya sangat berkesan bagi Nauri. Tapi, sama sekali tidak untuk Tara. Terbukti bahwa Nauri bisa mengingat Tara dengan jelas tapi Tara sama sekali tidak bisa mengingat Nauri. Entahlah. Tatapan tajam Tara bergeser dari Nauri kepada Andre. “Orang-orangku sudah memberikan laporan tentang kedekatan kalian. Dengar, Andre, bagaimana pun aku tidak akan mengijinkan seseorang menyakiti Adina. Dia sudah c
“Aku… Aku rasa tidak sekarang. Bukankah ini terlalu rumit? Saat Nauri bahkan masih berstatus sebagai istrimu.” “Ini hanya masalah waktu dan hukum dua negara. Kami sudah lama berpisah.” “Tetap saja secara legal semua aturan masih berlaku.” “Baiklah, aku akan menyelesaikan perceraian ini segera. Setidaknya berikan aku jawaban. Apakah kau bisa mencintaiku?” Suasana berubah menjadi lucu dalam benakku. Ini seperti cerita anak SMA yang sedang menunggu pernyataan dan jawaban atas cinta. Tentu saja aku tidak lagi lugu. Nyaris tiga puluh tahun. Itu bukan usia muda untuk sekedar bahagia dan berbunga dengan cinta. Usia memang sekedar angka, tapi itu juga sebuah pemikiran. Bukan lagi sebuah kata-kata manis, tapi juga hal yang realistis. Mengulik lagi apa tujuan yang sebenarnya dan akan dibawa ke mana untuk siapa. Ini penting untuk menentukan apakah dia orang yang kuinginkan atau sekedar kukagumi. Jika satu pelajaran tidak cukup dalam hidup, maka hidup akan memberimu pelajarn berikutnya. Begi
“Apakah Nadine lupa menyalakan lampu sebelum dia pergi kerja?” tanyaku melihat ke arah rumah besar itu. “Tidak mungkin. Bukankah Nadine selalu berangkat kerja malam hari?” Andre melepaskan sitbelt dan mematikan mesin mobil. Wajahnya tegang. Bukan hanya dia tapi juga aku. Kami merasakan sesuatu yang ganjil. Ini bahkan lebih sepi dari biasanya. “Tetap di belakangku. Aku akan memeriksa ke dalam rumah. Terdengar suara tv menyala. Apakah Nadine ada di dalam rumah?” Andre menepiskan tangan memberiku kode agar berjalan di belakangnya. “Gelap-gelapan?” aku meragukan pertanyaan Andre. Perlahan Andre mendekati pintu rumah Nadine dan mendorong kenop pintu. Tidak terkunci! Lalu membukanya perlahan. Suara televisi semakin jelas terdengar. Cahaya dari layar perlahan menyambut bayangan kami yang mulai melangkah ke dalam rumah. Mata Andre menyipit dan meminta ke seluruh ruangan. Dia mencoba untuk menemukan sesuatu. Sampai kemudian matanya berhenti pada sebuah sofa yang menghaap televisi. Dari
“Salah? Di mana salahnya? Apakah kau tidak ingin memiliki anak lagi?” “Ini adalah tujuan yang salah dalam memulai sebuah hubungan. Anak adalah sisi lain anugrah Tuhan yang bisa saja kita dapatkan atau tidak. Jika tujuan suatu pernikahan semata karena keturunan, maka ketika itu tidak tercapai, kita berdua akan sakit.” Andre terdiam. Wajahnya menunjukkan sesuatu yang dia tidak setuju. Ketika dia bersiap membuka mulut untuk melakukan penyanggahan, pintu ruang UGD terbuka. Dia terpaksa menelan lagi kata-kata yang sudah berada di ujung lidahnya. Tampaknya kami perlu berbicara banyak tentang hal ini nanti. Seorang pria paruh baya muncul di ambang pintu. Dia menggunakan jas putih dan sebuah masker. Seorang wanita dengan baju putih dan sebuah papan berisi dokumen di tangannya, mengikuti Sang dokter. Mereka berdiri dan melihat beberapa orang yang kebetulan ada di sekitar kami. Lalu matanya berhenti ketika menemukan aku dan Andre. “Apa kalian berdua keluarga pasien atas nama Nadine?” tanya
“Hey! Nadine, jangan menangis. Kenapa?” tanyaku melangkah bergegas. Bagaimana senyum dalam tangisan muncul di wajah Nadine ketika dia terbaring lemah di atas tempat tidur berwarna putih. Tembok yang mengelilingi berwarna senada. Lalu selang yang terhubung ke tubuhnya dan itu dua. Aroma obat khas rumah sakit yang selalu berhasil membangkitkan ketegangan. Entah untuk siapa dan untuk menutupi apa senyum itu Nadine sajikan. Aku yakin, dia tahu bahwa kami sudah tahu. Setelah sekian purnama, akhirnya kenyataan tidak pernah berhasil untuk disembunyikan. Ini menjengkelkan, ini menyebalkan dan ini menyedihkan. Langkahku semakin dekat. Andre berdiri dan berhenti. Dia tidak mengikutiku ke dalam ruangan. “Sebaiknya aku tinggalkan kalian berdua untuk berbincang. Aku ada di luar ruangan jika kau membutuhkanku.” Aku melampai tanpa menoleh. Mataku sibuk memindai wajah Nadine. Berharap senyum di wajahnya adalah kejujuran. Lalu terdengar suara pintu di tutup. Setelah menggeser kursi agar lebih deka
“Dia yang selalu ada dan setia. Dia orang yang bisa menerima semua keadaanku.” Sorot mata Nadine memperlihatkan rasa bangga. Juga bahagia. “Tanpa syarat?” “Tanpa Syarat. Darinya aku belajar tentang cinta. Dan… rasa sakit untuk setia.” “Omong kosong!” Kali ini aku marah. Entah bagaimana gadis modern dengan logo kebebasan yang ada di depanku ini berubah menjadi gadis bodoh yang tidak memiliki akal sehat. Sejak kapan setia menimbulkan rasa sakit? Aku pernah melewatinya. Ketika setia menjadi rasa sakit, maka itu adalah tentang kesalahan dirimu sendiri. Wujud nyata dan manifestasi dari sebuah setia harusnya adalah bahagia. Jika kemudian yang didapati adalah luka, mungkinkah itu salah dalam membingkai kata? Nadine mulai terlihat konyol. Selama ini dia adalah wanita paling realistis yang kukenal. Dia menjadi sangat tidak masuk akal dengan ucapannya. Tampaknya rasa bahagia yang memenuhi Nadine ketika mengingat sosok itu, membuatnya luput melihat kemarahanku. Dia tersenyum dan melanjutkan