"Jadi Riri membatalkan pengajuannya?""Belum sih, hanya minta ditangguhkan dulu. Katanya hubungan dengan Ardi sudah membaik, berharap semoga baik sih selamanya." "Aku gak yakin," ucap Laras. "Sutss… Gak boleh gitu, berdoa yang baik saja. Apalagi untuk orang terdekat, kalau aku sih menyambut baik kabar ini sebagai kuasa hukum yang menangani kasus perceraian justru keberhasilan itu terasa nikmat ketika mereka tak jadi bercerai. Lagian untuk kasus Riri ini sebetulnya masih benar-benar bisa diselesaikan secara kekeluargaan saja tau kesepakatan keduanya. Kamu bisa sarankan Riri untuk duduk bertiga atau berempat, dua pasang suami istri itu saling mengungkapkan isi hatinya sebetulnya bagaimana keadaan mereka masing-masing lalu saling mengikhlaskan, selesai.""Oh ya, terlepas dari itu ada yang mau aku tanyakan." Laras menatap kedua mata Galih, keduanya saling menatap dan entah kenapa kini perasaan Laras yang berbeda. Lalu segera ia menundukkan pandangannya, memainkan jarinya. Sebetulnya p
Laras menatap bingkisan itu, semalaman dia tak bisa tidur memikirkan apa yang harus diputuskannya, menelisik jauh ke dalam hatinya jujur saja ia memang kagum pada sosok Galih, sejak ia bertemu pertama kali setelah sekian purnama tak pernah bertemu. Terakhir bertemu di acara nikahan Riri itu pun hanya sebatas melihat saja. Lalu mereka terjalin dan akhirnya entah sejak kapan benih-benih cinta itu mulai hadir hingga tumbuh menjadi bunga cinta yang merekah indah tapi selalu Laras tutupi.Bak cinta yang terbalas, Galih pun merasakannya. Cinta tak bertepuk sebelah tangan, satu sisi bahagia satu sisi lagi Laras merasa takut untuk melangkah. Menyaksikan sendiri perjalanan pernikahan sahabatnya yang dimulai dengan hubungan singkat sungguh membuat Laras menjadi sedikit trauma akan hal ini. Ya memang Galih dan Ardi adalah dua orang yang berbeda tapi entahlah, Laras merasa sangat takut melangkah.Laras masih berkecamuk dalam rasa yang tak bisa ditebak dengan pasti. Malam nanti bagaimanapun harus
"Aku akan menikah, Dim."Kalimat itu mendadak hadir kembali di telinga Dimas, kalimat yang berhasil menghancurkan hati Dimas. Betapa tidak, diam-diam Dimas menyimpan perasaan lebih pada teman kerjanya itu. Sejak pertemuan pertamanya saat mereka sama-sama karyawan baru di perusahaan itu merasa satu rasa saja, sama-sama karyawan baru biasa serasa memiliki satu kesamaan perasaan. Bersama Delapan karyawan baru lainnya termasuk Laras di dalamnya mereka bahu membahu menguatkan mental agar siap bekerja disana. Namun dari delapan karyawan baru, beberapa kali Dimas dan Riri terlibat dalam satu proyek hingga membuat mereka selalu bersama. Dari kebersamaan itulah entah kapan mulai hadir rasa itu menyelimuti hati Dimas tapi tak sanggup ia ungkapkan karena banyak pertimbangan dan ketakutan melihat sikap Riri yang tampak biasa saja, akhirnya urung diungkapkan hingga Riri pun menikah. Di hari bahagia Riri, dia datang dengan tenang dan senyum sumringah, tak terlihat jika dia tengah kecewa atau mena
"Lalu apakah kamu juga memikirkan perasaan aku dan perasaan Mas Bayu ketika kamu malah lebih dekat dengan suamiku malah berharap dia menikahimu? Dimana hati nuranimu?" tekan Riri. Seketika Rianti membisu, ucapan Riri membungkam Rianti hingga tak berkutik. "Kenapa? Kaget?" Rianti masih terdiam, Riri tersenyum menang sungguh ia tak bermaksud untuk membuat Rianti membungkam semua keluar begitu saja. "Mbak, selama ini aku diam. Hampir dua tahun aku diam, mbak bersikap seolah-olah mbak itu istri pertama dan aku istri kedua, mbak itu selalu merasa paling memiliki Mas Ardi, mbak tak pernah sedikit pun memikirkan perasaan aku, aku diam seolah aku ini kalian anggap bodoh. Aku gak pernah tahu apa isi hati mbak sebenarnya sama aku atau sama Mas Ardi, tapi yang jelas yang aku tahu dari sorot mata mbak ada rasa yang tak terbalas."Riri menghela nafasnya, sementara Rianti masih terdiam menunduk. "Mbak, kalau beralasan karena memiliki luka pengasuhan masa lalu yang membuat mbak bersikap over pr
Riri berjalan menuju pintu keluar, ia tak menghampiri Bayu karena itu hanya akan menambah masalah yang rumit. Ia tak mau terbawa oleh permasalahan antara Bayu dan Riri, Riri meninggalkan semuanya. Dari kejauhan sosok mata mengamati Riri sejak tadi, Riri mengambil ponsel dari dalam tas selempangnya. Lalu mengotak-atik dan kembali memasukkan kembali ponsel itu, tak lama sebuah mobil berhenti tepat di depannya, kaca mobil terbuka, seseorang menyembul dan tersenyum."Taksi mbak?" tanyanya."Dimas," kejut Riri.Dimas tersenyum, dia yakin Riri pasti terkejut. "Ayo naik, mau kemana?" "Mau pulang, lagi nunggu taksi online kok." "Ayo bareng aja, jangan khawatir di belakang ada adik sepupuku anaknya paman Yudi." Seolah paham Riri pasti tak mau hanya sekedar berdua, lalu di pintu di belakang kacanya terbuka muncul sosok anak kecil berusia sekitar sepuluh tahunan. "Hay, tante." Riri membalas sapaan dan lambaian anak itu. Cukup lama berpikir akhirnya Riri naik juga dan menghubungi pengemudi
Galih sudah menunggu dengan gelisah, dilirik jam di tangannya sudah pukul delapan lebih lima belas menit tapi Laras belum terlihat, suasana cafe di lantai atas yang sudah dihias sedemikian rupa sungguh sangat indah, meja dihias sedemikian cantik ditambah dua kursi yang berhadapan, iringan musik menambah kesan romantis malam itu yang sengaja disiapkan oleh Galih untuk menyambut kedatangan Laras. Galih mulai gelisah sudah hampir satu jam masih belum ada tanda-tanda kedatangan Laras, hatinya mulai gusar dan tak enak. Awalnya sungguh sangat percaya diri tapi kini perlahan luntur dan memudar semua perasaan itu, Galih harus mengubur semua rasanya, mungkin memang Laras tak pernah mencintainya, selama ini perempuan itu hanya sekedar baik biasa saja yang salah diartikan oleh Galih. "Mas, bereskan saja semuanya." Galih memerintahkan pada pelayan yang sejak tadi berdiri tak jauh dari tempat Galih duduk, pelayan yang siap membantu dan melayani Galih pun dengan sigap segera membereskan meja se
"Cie cie cie … calon manten," ledek Dimas saat datang ke cafe milik Laras. "Apaan sih, gak lucu tahu. Ayo duduk," ajak Laras.Dimas pun mengikuti Laras kemudian mereka duduk di sebuah meja, sejak ada disini Dimas langganan datang ke cafe Laras karena memang tak ada lagi teman Dimas yang bisa diajak ngobrol apalagi ngobrolin Riri. "Gimana acara semalam sukses?" tanya Dimas."Ya gitulah, tapi aku lagi deg-degan malam ini mau dikenalin ke keluarganya.""Masa? Kok aku lihat biasa aja, masih buka kan ini cafe, gak keliatan grogi lho." "Ya diaturlah, biar tetap profesional meski cafe punya sendiri. Udah ah gak usah bahas aku deh, mending bahas kamu. Kemarin kamu satu mobil dengan Riri?" tanya Laras. Dimas hanya mengangguk raut wajahnya menampakan kesedihan dan sedikit rasa kecewa, Laras mengamati wajah itu hingga dia mencurigai sesuatu."Ada apa? Dia baik-baik saja akan?" tanya Laras lagi.Dimas menghela nafas berat, ia pun sebetulnya tak tahu apa yang terjadi pada Riri selepas ia menga
Pertemuan dua keluarga akan segera digelar, Laras akan segera melepas masa lajangnya tadi malam dia menghadiri undangan Galih, dia mengajak Laras bertemu keluarganya, diperkenalkan pada kedua orang tuanya, tentu saja ada orang tua Riri juga disana. Laras tak terlalu canggung, tapi tetap saja dia merasa berdebar saat harus hanya duduk dengan calon ibu mertuanya."Dia sahabat anakku, dek," ucap Ibunya Riri. "Walah, nanti jadi saudara ya." Laras hanya tersenyum saja, lalu banyak hal yang diobrolkan sesekali Laras ikut mengobrol tapi lebih banyak diam mungkin karena masih canggung. Lalu saat semua berbaur, Laras duduk sendiri tak ada Riri padahal semua keluarga besarnya nyaris hadir. Tiba-tiba ibunya Riri datang menghampiri Laras , meminta izin untuk duduk bersama Laras. Tanpa sungkan Laras mengizinkannya, ibunya Riri sudah dia nggap seperti ibunya sendiri jadi sudah tak canggung."Gimana usaha cafe kamu?""Alhamdulillah, tante.""Syukurlah, ayah dan ibumu sehat?" "Sehat tante, Riri ti
"Mbak Rianti."Rianti menoleh ke sumber suara, Lita sudah berdiri tak jauh darinya membawa kantong belanjaan penuh dengan sayuran. Rianti tersenyum. "Ibu ada, Lita?" tanya Rianti. "Ada mbak, ayo masuk."Lita mengajak Rianti masuk, ada yang berbeda kini Lita jauh lebih ramah pada Rianti. Rianti pun menanyakan hal itu, Lita hanya tersenyum dan mengatakan jika semua sudah selesai, ia tak mau mengungkit lagi yang sudah berlalu. Rianti lega mendengar hal itu, hingga dia merasa semua keputusannya hari ini adalah hal yang paling tepat. Lita memanggil ibu, sementara Rianti menunggu di kursi tamu. Tak lama ibu datang dan menyapa Rianti dengan ramah, pelukan hangat yang selalu Rianti rindukan dari seorang ibu bisa didapat dari ibu Ardi. Cukup lama berpelukan, mereka terlepas ketika Lita datang membawa minum. "Bu, ini ada sedikit oleh-oleh untuk ibu dan Lita. Saya kemarin bersama Dani ke Bali," ucap Rianti. "Walah, repot-repot. Makasih ya, nak.""Wah, mbak dari Bali. Keren ya kalau orang ka
"Saya turut prihatin dengan kepergian bapak, saya tak sempat datang saat itu karena memang tengah di luar negeri. Lalu setelah pulang saya berziarah dan bermaksud mendatangi ibu tapi tak ada katanya sudah pindah. Akhirnya saya pun menunda keinginan bertemu saya dengan Dani." Rianti menatap nanar dengan senyum tipis pada lelaki yang duduk di depannya. Usianya tak jauh berbeda dengan dirinya, memang Pak Joko itu pantasnya jadi ayahnya bukan jadi suaminya. Farel terus bercerita tentang kehidupannya, dari pertemuannya dengan Pak Joko hingga bisa sesukses sekarang, Farel merasa perlu membalas semua kebaikan Pak Joko, kini beliau sudah tak ada maka Farel akan membalasnya pada Dani dan juga Rianti. Setelah sekian lama ngobrol, Rianti dan Dani memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan mencari tempat wisata lainnya. Farel menawarkan diri untuk mengantar tapi Rianti menolak, ia tetap kuat dalam tujuannya. Kedatangannya kesini bersama Farel untuk menikmati waktu berdua saja dengan Dani tanpa
Rianti hanya mengaktifkan ponselnya saat Dani tertidur di siang hari ataupun malam hari, ini adalah hari kedua dia ada di pulau Dewata ini bersama Dani. Setia waktu Rianti merasakan setiap detiknya bersama Dani, ada wajah yang tak pernah Rianti perhatikan hingga dalam hati terkecilnya sesuatu yang hangat menjalar mengisi setiap ruang yang hampa selama ini. Saat Dani tertidur pulas, Rianti menatap wajah itu mirip sekali dengan lelaki tua yang menikahinya. Lelaki yang seharusnya menjadi ayahnya, bukan suaminya. Tapi lelaki itu mencintainya dengan sepenuh hati, memanjakannya hingga Rianti merasa beruntung memilikinya meski seluruh dunia mencemoohnya. Bayangan hidup bersama Papa Dani, membuat Rianti tersenyum sendiri, betapa hidupnya saat itu sungguh bahagia, punya harta yang berlimpah, suami yang penyayang dan ibu yang selama ini hilang mendadak datang begitu ramah menyapa. Hari Rianti kembali terisi di dengan cinta hingga dia bisa menerima kabar kembalinya Ardi dan Riri. Tapi duka ke
"Ambillah waktu untuk jauh dari segala rutinitas seharian anda, Bu Rianti. Nikmati kebersamaan bersama putra anda, jangan sampai ada waktu yang terabaikan, jauhkan gadget dan lingkungan sosial media. Tak perlu lama tiga hari saja, tatap lekat setiap anak anda tengah terlelap dan tersenyum rasakan dan tanyakan pada diri anda apakah anda rela melihat semua itu sirna."Rianti terdiam mendengar ucapan Dokter Inggit, orang yang sudah beberapa Minggu ini menjadi teman ceritanya. Bukan hanya menjadi seorang dokter, Rianti seolah menemukan teman bercerita untuk dia mengungkapkan apapun yang dialaminya. Ya, selama ini Rianti perlu itu. Tak ada orang yang bisa dipercaya Rianti untuk dia menumpahkan semua keluh kesahnya. Sejak dulu apapun yang dirasakannya selalu disembunyikan dari banyak orang, bahkan sedekat apapun dengan Ardi ada banyak hal yang tak diungkap oleh Rianti pada Ardi. "Apakah itu bisa menyembuhkan saya, dok?" tanya Rianti. "Bukan hanya sembuh tapi tangki cinta anda akan kembal
"Iya, ma. Aku keliru, aku pikir semua akan selesai jika Mas Ardi menikahi Rianti, kesakitan hati yang dialami Rianti akan hilang dan semua akan baik-baik saja. Aku akan hidup tenang, tidak merasa bersalah lagi."Mama tersenyum, lalu melepas genggaman tangan, menghela napas beranjak dari duduknya perlahan berjalan menuju jendela. "Riri, jangan terlalu membayangkan segala sesuatu semudah itu. Pikirkan lagi, berapa kali kamu selalu kecewa dan sakit hati saat Ardi dulu lebih mementingkan Rianti, saat dulu dia tak menganggap hati kamu sakit, sekarang dia sudah berubah jauh lebih baik dan kamu merasakan itu hingga kamu pun memutuskan untuk menerimanya kembali. Butuh waktu berapa lama untuk bisa menerima dia kembali. Pikirkan itu, jangan asal mengambil keputusan yang akhirnya kamu justru terperosok lebih dalam dan lebih parah dari sebelumnya."Riri tertunduk, ia seolah menyadari semua telah keliru. Mama terus berbicara hingga membuat Riri sadar akan keputusan yang mendadak hadir, lalu terin
"Mama."Riri terkejut dengan kedatangan sang Mama ke tokonya, sudah lama mereka tak bertemu. Dua perempuan itu berpelukan dan melepas rindu yang sudah menggunung, sejak Riri kembali menikah dengan Ardi lalu memutuskan tinggal di kampungnya Ardi menjalankan usaha berdua, Mama menjadi orang yang paling mendukung meski tak selalu hadir, sesekali selalu datang menjenguk tapi sudah hampir dua bulan ini Mama absen datang karena sibuk menemani Papa mengurus proyeknya dan satu bulan kemarin Mama tinggal di rumah Mas Raka membantu Mbak Wulan mengurus bayinya. Dan di situlah terakhir mereka bertemu, saat selamatan tujuh hari kelahiran anak kedua Mas Raka dan Mbak Wulan setelah itu mereka belum bertemu lagi.Riri langsung mengajak mama masuk ke ruangan kerjanya, menyerahkan toko ke pegawai dan meminta pegawai menyiapkan beberapa potong kue untuk tamu istimewanya itu. Sesampainya di ruang kerja, Riri dan mamanya duduk berbarengan, menjatuhkan bobot tubuhnya, Riri menyandarkan kepalanya di pundak
"Aku dengar kata Narti, pengasuh Dani bilang Mbak Rianti sudah mulai pergi konsultasi ke psikiater, saran Mama sepertinya dipertimbangkan dan dilakukan olehnya.""Baguslah, semoga dia segera sembuh dari luka lama dan traumanya itu. Agar hidupnya lebih baik," ucap Ardi ketika mendengar kabar soal Rianti dari Riri.Sejak Dani sakit dan mulai mengerti kondisi Rianti, Riri yang memang hatinya baik selalu memantau kondisi keduanya lewat Narti, pengasuh Dani. Dari dia Riri mendapat banyak informasi soal Rianti, permintaannya untuk Ardi menikahi Rianti dipatahkan oleh Ardi dan mamanya, bahkan Lita pun turut berkomentar. "Mbak, mbak jangan mudah terlena dan tergoda. Hati-hati mbak, dia bisa saja justru menyingkirkan mbak nantinya," ucap Lita kala itu. Tidak ada yang mendukungnya, hingga Riri memilih jalan lain untuk membantu Rianti agar sembuh. Dalam ingatannya mungkin Rianti akan cepat sadar jika ada Ardi di dekatnya, tapi tidak menurut Ardi itu bukan sebuah solusi. Sejak dulu Ardi memang
Dani sudah membaik dan sudah diperbolehkan pulang, Rianti duduk termenung di kursi besar dalam kamarnya, semua yang terjadi akhir-akhir ini membuatnya banyak berpikir yang selama ini tak pernah ia pikirkan. Ingatannya selalu melayang pada kenangan saat ia ngobrol dengan Ibunya Ardi, tak pernah menyangka Ibu itu menyuruhnya pergi ke psikiater dan memeriksakan kondisi kejiwaannya. Kilasan peristiwa masa lalu Rianti panggil kembali hingga ia seperti sedang menonton tayangan film, perlahan ia mengerang mengepalkan tangannya, lalu tiba-tiba menangis, tersenyum sendiri, bahkan tertawa sendiri. Bayangan kelam akan kehidupan remaja yang tak seindah remaja lainnya membuat Rianti tumbuh menjadi sosok yang berbeda pula dengan remaja lainnya. Rianti menikmati semua potongan kisah itu, ia menjalaninya sendiri ya sendiri sejak kedua orang tuanya sudah tak peduli lagi dengan kehidupannya, sejak mereka memilih mencari kebahagiaan masing-masing dari pada kebahagiaan anaknya sendiri, keegoisan kedua
"Aku tuh heran aja sama Mbak Riri, masih mau ngurusin Mbak Rianti padahal dia udah jahat banget dari dulu sama mbak?" tanya Lita. "Itulah kenapa ibu kagum dan selalu jatuh hati sama mbak mu ini, nak. Bukan untuk menyamakan karena bagaimana pun kalian berbeda lahir dari keluarga yang beda. Ardi sama Rudi aja yang lahir dari rahim ibu, beda wataknya," sela ibu. Lita tersenyum, sementara Riri masih terdiam. Pikirannya seolah belum berada di sini bersama raganya, sepulangnya menjenguk Dani dari rumah sakit membuat Riri terpikir sesuatu. "Mbak, ada apa sih?" tanya Lita menyenggol tubuh Riri hingga Riri terperanjat. "Ada apa nak?" tanya ibu. Riri menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan dan mengusap wajah. "Bu, kalau aku minta Mas Ardi untuk menikahi Mbak Rianti, gimana ya?""Apa?!" Lita dan ibunya Ardi kompak mengeluarkan kata itu menunjukan keterkejutan yang hebat setelah mendengar ucapan Riri. Siapapun yang mendengarnya tentu tak akan pernah menyangka jika Riri punya