Riri berjalan menuju pintu keluar, ia tak menghampiri Bayu karena itu hanya akan menambah masalah yang rumit. Ia tak mau terbawa oleh permasalahan antara Bayu dan Riri, Riri meninggalkan semuanya. Dari kejauhan sosok mata mengamati Riri sejak tadi, Riri mengambil ponsel dari dalam tas selempangnya. Lalu mengotak-atik dan kembali memasukkan kembali ponsel itu, tak lama sebuah mobil berhenti tepat di depannya, kaca mobil terbuka, seseorang menyembul dan tersenyum."Taksi mbak?" tanyanya."Dimas," kejut Riri.Dimas tersenyum, dia yakin Riri pasti terkejut. "Ayo naik, mau kemana?" "Mau pulang, lagi nunggu taksi online kok." "Ayo bareng aja, jangan khawatir di belakang ada adik sepupuku anaknya paman Yudi." Seolah paham Riri pasti tak mau hanya sekedar berdua, lalu di pintu di belakang kacanya terbuka muncul sosok anak kecil berusia sekitar sepuluh tahunan. "Hay, tante." Riri membalas sapaan dan lambaian anak itu. Cukup lama berpikir akhirnya Riri naik juga dan menghubungi pengemudi
Galih sudah menunggu dengan gelisah, dilirik jam di tangannya sudah pukul delapan lebih lima belas menit tapi Laras belum terlihat, suasana cafe di lantai atas yang sudah dihias sedemikian rupa sungguh sangat indah, meja dihias sedemikian cantik ditambah dua kursi yang berhadapan, iringan musik menambah kesan romantis malam itu yang sengaja disiapkan oleh Galih untuk menyambut kedatangan Laras. Galih mulai gelisah sudah hampir satu jam masih belum ada tanda-tanda kedatangan Laras, hatinya mulai gusar dan tak enak. Awalnya sungguh sangat percaya diri tapi kini perlahan luntur dan memudar semua perasaan itu, Galih harus mengubur semua rasanya, mungkin memang Laras tak pernah mencintainya, selama ini perempuan itu hanya sekedar baik biasa saja yang salah diartikan oleh Galih. "Mas, bereskan saja semuanya." Galih memerintahkan pada pelayan yang sejak tadi berdiri tak jauh dari tempat Galih duduk, pelayan yang siap membantu dan melayani Galih pun dengan sigap segera membereskan meja se
"Cie cie cie … calon manten," ledek Dimas saat datang ke cafe milik Laras. "Apaan sih, gak lucu tahu. Ayo duduk," ajak Laras.Dimas pun mengikuti Laras kemudian mereka duduk di sebuah meja, sejak ada disini Dimas langganan datang ke cafe Laras karena memang tak ada lagi teman Dimas yang bisa diajak ngobrol apalagi ngobrolin Riri. "Gimana acara semalam sukses?" tanya Dimas."Ya gitulah, tapi aku lagi deg-degan malam ini mau dikenalin ke keluarganya.""Masa? Kok aku lihat biasa aja, masih buka kan ini cafe, gak keliatan grogi lho." "Ya diaturlah, biar tetap profesional meski cafe punya sendiri. Udah ah gak usah bahas aku deh, mending bahas kamu. Kemarin kamu satu mobil dengan Riri?" tanya Laras. Dimas hanya mengangguk raut wajahnya menampakan kesedihan dan sedikit rasa kecewa, Laras mengamati wajah itu hingga dia mencurigai sesuatu."Ada apa? Dia baik-baik saja akan?" tanya Laras lagi.Dimas menghela nafas berat, ia pun sebetulnya tak tahu apa yang terjadi pada Riri selepas ia menga
Pertemuan dua keluarga akan segera digelar, Laras akan segera melepas masa lajangnya tadi malam dia menghadiri undangan Galih, dia mengajak Laras bertemu keluarganya, diperkenalkan pada kedua orang tuanya, tentu saja ada orang tua Riri juga disana. Laras tak terlalu canggung, tapi tetap saja dia merasa berdebar saat harus hanya duduk dengan calon ibu mertuanya."Dia sahabat anakku, dek," ucap Ibunya Riri. "Walah, nanti jadi saudara ya." Laras hanya tersenyum saja, lalu banyak hal yang diobrolkan sesekali Laras ikut mengobrol tapi lebih banyak diam mungkin karena masih canggung. Lalu saat semua berbaur, Laras duduk sendiri tak ada Riri padahal semua keluarga besarnya nyaris hadir. Tiba-tiba ibunya Riri datang menghampiri Laras , meminta izin untuk duduk bersama Laras. Tanpa sungkan Laras mengizinkannya, ibunya Riri sudah dia nggap seperti ibunya sendiri jadi sudah tak canggung."Gimana usaha cafe kamu?""Alhamdulillah, tante.""Syukurlah, ayah dan ibumu sehat?" "Sehat tante, Riri ti
"Mau kemana mas?" Rianti menghadang Bayu yang tengah mengemas pakaiannya, Bayu tak menggubris pertanyaan istrinya itu, ia terus membereskan pakaian lalu bergegas pergi, Rianti dengan segera menghalangi Bayu di depan pintu. "Mas, kamu mau kemana? Kamu masih sakit. Kondisimu belum pulih," cecar Rianti."Aku mau mencari istriku." "Mas, aku ini istrimu mas. Tak cukupkan membuktikan beberapa hari ini aku melayanimu sedemikian rupa, bahkan kamu sendiri anak kita itu mirip aku. Kamu lupa siapa istrimu tapi kamu gak lupa anak kamu, pekerjaan kamu, apa jangan-jangan kamu sengaja melupakan aku iya, mas?" Bayu berusaha tetap tenang, sebenarnya ia sudah tak mau bersandiwara lagi. Beberapa hari ini Rianti sudah cukup tersiksa karena Bayu bersikap dingin, acuh dan tak memperdulikan Rianti, setiap malam Bayu harus menahan sedih ketika melihat Rianti tertidur dengan Keysa, anaknya itu. Banyak perubahan yang dirasakan Bayu selama ia berpura-pura tak menganggap Rianti sebagai istrinya. Tapi entah k
"Berhenti atau aku ambil paksa?" ancam Bayu pada Rianti."Nggak, kamu harus percaya sama aku." "Oke, aku percaya. Aku percaya sama kamu," teriak Bayu membuat Rianti mengerem kendaraannya hingga mobil yang dibawanya berhenti. "Biar aku yang menyetir." Tanpa kata mereka berganti posisi, lalu sesaat suasana pun kembali hening. Rianti hanya tertunduk, Bayu mengemudikan kendaraannya membawa kembali menuju arah rumah. Rianti yang melihat hal itu terkejut."Mas, mau kemana?" tanya Rianti."Kita pulang dan berangkat.""Tapi mas, kamu harus tahu sesuatu dulu." Bayu kembali menepikan mobilnya dan membuat Rianti kembali terkejut. Bayu mengalihkan pandangannya penuh ke arah Rianti. "Kalau kamu memang tak sungguh-sungguh dengan ucapanmu tadi, ikut denganku dan kita akan menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis di tempat aku bertugas."Rianti bergeming, terdiam mendengar kalimat perintah itu. Kepalanya masih tertunduk tak berani sedikit pun menatap lelaki yang sudah dengan sabar menemani
"Jika memang kamu benar istriku, ikut aku pergi sekarang juga."Rianti tak berkutik, ia tak bisa melawan. Kini memang mungkin sudah saatnya Rianti ikut dengan suaminya itu, berada di dekatnya menemani Bayu dalam menjalankan tugasnya agar tenang tak banyak pikiran. "Izinkan aku ke makam nenek dulu," lirih Rianti. Bayu menghela nafas, dia kira Rianti akan izin apa ternyata ingin mengunjungi makam neneknya. Bayu pun mengangguk lalu mengulas senyum dan meraih tangan Rianti lalu memeluknya. "Kenapa mas tega melakukan ini?" "Agar mas tahu sejauh mana kamu sudah mendapat hasil dari pengobatan itu,” jawab Bayu sembari mengusap rambut Rianti yang tergerai panjang.Rianti menengadahkan kepalanya menatap lelaki itu, lelaki yang sejak menikah tak pernah ia tatap penuh cinta, sama sekali Rianti tak pernah menganggap lelaki itu sebagai orang yang sangat berarti. Ia ingat betul bagaimana sikapnya sesaat setelah pesta pernikahan digelar, bayangannya menerawang jauh ke masa yang telah dilaluinya.
“Maaf yah, saya perlu bicara dulu dengan Riri.”Ardi menoleh ke arah Riri dan seakan mengerti Riri pun mengangguk, lalu mereka pergi setelah mendapat izin dari orang tua Riri. selagi mereka pergi, orang tua Riri berjalan-jalan di dalam rumah anak mereka. “Dek, bukankah kamu sudah mencabut gugatan itu?” tanya Ardi.Riri menghela nafasnya yang terasa berat. Semalam memang ia menghubungi Galih untuk kembali mengajukan gugatan cerai yang pernah ia tarik lagi, karena hubungannya dengan Ardi sudah membaik tapi entah kenapa semalam Riri memutuskan untuk melanjutkan kembali gugatan itu karena ternyata sulit bagi Riri kembali percaya pada Ardi dan perempuan itu. Riri sudah mengikhlaskan Ardi untuk terus bersama dengan sahabatnya itu.“Mas, aku sudah mengikhlaskan jika mas pada akhirnya memilih MBak Rianti, maka aku lebih dulu kembali mengajukan gugatan itu.”“Astaghfirullah, sayang. Kamu yang meminta mas menyelesaikan semuanya, kamu beri mas ruang dan waktu untuk berbicara dengan Rianti hingg
"Mbak Rianti."Rianti menoleh ke sumber suara, Lita sudah berdiri tak jauh darinya membawa kantong belanjaan penuh dengan sayuran. Rianti tersenyum. "Ibu ada, Lita?" tanya Rianti. "Ada mbak, ayo masuk."Lita mengajak Rianti masuk, ada yang berbeda kini Lita jauh lebih ramah pada Rianti. Rianti pun menanyakan hal itu, Lita hanya tersenyum dan mengatakan jika semua sudah selesai, ia tak mau mengungkit lagi yang sudah berlalu. Rianti lega mendengar hal itu, hingga dia merasa semua keputusannya hari ini adalah hal yang paling tepat. Lita memanggil ibu, sementara Rianti menunggu di kursi tamu. Tak lama ibu datang dan menyapa Rianti dengan ramah, pelukan hangat yang selalu Rianti rindukan dari seorang ibu bisa didapat dari ibu Ardi. Cukup lama berpelukan, mereka terlepas ketika Lita datang membawa minum. "Bu, ini ada sedikit oleh-oleh untuk ibu dan Lita. Saya kemarin bersama Dani ke Bali," ucap Rianti. "Walah, repot-repot. Makasih ya, nak.""Wah, mbak dari Bali. Keren ya kalau orang ka
"Saya turut prihatin dengan kepergian bapak, saya tak sempat datang saat itu karena memang tengah di luar negeri. Lalu setelah pulang saya berziarah dan bermaksud mendatangi ibu tapi tak ada katanya sudah pindah. Akhirnya saya pun menunda keinginan bertemu saya dengan Dani." Rianti menatap nanar dengan senyum tipis pada lelaki yang duduk di depannya. Usianya tak jauh berbeda dengan dirinya, memang Pak Joko itu pantasnya jadi ayahnya bukan jadi suaminya. Farel terus bercerita tentang kehidupannya, dari pertemuannya dengan Pak Joko hingga bisa sesukses sekarang, Farel merasa perlu membalas semua kebaikan Pak Joko, kini beliau sudah tak ada maka Farel akan membalasnya pada Dani dan juga Rianti. Setelah sekian lama ngobrol, Rianti dan Dani memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan mencari tempat wisata lainnya. Farel menawarkan diri untuk mengantar tapi Rianti menolak, ia tetap kuat dalam tujuannya. Kedatangannya kesini bersama Farel untuk menikmati waktu berdua saja dengan Dani tanpa
Rianti hanya mengaktifkan ponselnya saat Dani tertidur di siang hari ataupun malam hari, ini adalah hari kedua dia ada di pulau Dewata ini bersama Dani. Setia waktu Rianti merasakan setiap detiknya bersama Dani, ada wajah yang tak pernah Rianti perhatikan hingga dalam hati terkecilnya sesuatu yang hangat menjalar mengisi setiap ruang yang hampa selama ini. Saat Dani tertidur pulas, Rianti menatap wajah itu mirip sekali dengan lelaki tua yang menikahinya. Lelaki yang seharusnya menjadi ayahnya, bukan suaminya. Tapi lelaki itu mencintainya dengan sepenuh hati, memanjakannya hingga Rianti merasa beruntung memilikinya meski seluruh dunia mencemoohnya. Bayangan hidup bersama Papa Dani, membuat Rianti tersenyum sendiri, betapa hidupnya saat itu sungguh bahagia, punya harta yang berlimpah, suami yang penyayang dan ibu yang selama ini hilang mendadak datang begitu ramah menyapa. Hari Rianti kembali terisi di dengan cinta hingga dia bisa menerima kabar kembalinya Ardi dan Riri. Tapi duka ke
"Ambillah waktu untuk jauh dari segala rutinitas seharian anda, Bu Rianti. Nikmati kebersamaan bersama putra anda, jangan sampai ada waktu yang terabaikan, jauhkan gadget dan lingkungan sosial media. Tak perlu lama tiga hari saja, tatap lekat setiap anak anda tengah terlelap dan tersenyum rasakan dan tanyakan pada diri anda apakah anda rela melihat semua itu sirna."Rianti terdiam mendengar ucapan Dokter Inggit, orang yang sudah beberapa Minggu ini menjadi teman ceritanya. Bukan hanya menjadi seorang dokter, Rianti seolah menemukan teman bercerita untuk dia mengungkapkan apapun yang dialaminya. Ya, selama ini Rianti perlu itu. Tak ada orang yang bisa dipercaya Rianti untuk dia menumpahkan semua keluh kesahnya. Sejak dulu apapun yang dirasakannya selalu disembunyikan dari banyak orang, bahkan sedekat apapun dengan Ardi ada banyak hal yang tak diungkap oleh Rianti pada Ardi. "Apakah itu bisa menyembuhkan saya, dok?" tanya Rianti. "Bukan hanya sembuh tapi tangki cinta anda akan kembal
"Iya, ma. Aku keliru, aku pikir semua akan selesai jika Mas Ardi menikahi Rianti, kesakitan hati yang dialami Rianti akan hilang dan semua akan baik-baik saja. Aku akan hidup tenang, tidak merasa bersalah lagi."Mama tersenyum, lalu melepas genggaman tangan, menghela napas beranjak dari duduknya perlahan berjalan menuju jendela. "Riri, jangan terlalu membayangkan segala sesuatu semudah itu. Pikirkan lagi, berapa kali kamu selalu kecewa dan sakit hati saat Ardi dulu lebih mementingkan Rianti, saat dulu dia tak menganggap hati kamu sakit, sekarang dia sudah berubah jauh lebih baik dan kamu merasakan itu hingga kamu pun memutuskan untuk menerimanya kembali. Butuh waktu berapa lama untuk bisa menerima dia kembali. Pikirkan itu, jangan asal mengambil keputusan yang akhirnya kamu justru terperosok lebih dalam dan lebih parah dari sebelumnya."Riri tertunduk, ia seolah menyadari semua telah keliru. Mama terus berbicara hingga membuat Riri sadar akan keputusan yang mendadak hadir, lalu terin
"Mama."Riri terkejut dengan kedatangan sang Mama ke tokonya, sudah lama mereka tak bertemu. Dua perempuan itu berpelukan dan melepas rindu yang sudah menggunung, sejak Riri kembali menikah dengan Ardi lalu memutuskan tinggal di kampungnya Ardi menjalankan usaha berdua, Mama menjadi orang yang paling mendukung meski tak selalu hadir, sesekali selalu datang menjenguk tapi sudah hampir dua bulan ini Mama absen datang karena sibuk menemani Papa mengurus proyeknya dan satu bulan kemarin Mama tinggal di rumah Mas Raka membantu Mbak Wulan mengurus bayinya. Dan di situlah terakhir mereka bertemu, saat selamatan tujuh hari kelahiran anak kedua Mas Raka dan Mbak Wulan setelah itu mereka belum bertemu lagi.Riri langsung mengajak mama masuk ke ruangan kerjanya, menyerahkan toko ke pegawai dan meminta pegawai menyiapkan beberapa potong kue untuk tamu istimewanya itu. Sesampainya di ruang kerja, Riri dan mamanya duduk berbarengan, menjatuhkan bobot tubuhnya, Riri menyandarkan kepalanya di pundak
"Aku dengar kata Narti, pengasuh Dani bilang Mbak Rianti sudah mulai pergi konsultasi ke psikiater, saran Mama sepertinya dipertimbangkan dan dilakukan olehnya.""Baguslah, semoga dia segera sembuh dari luka lama dan traumanya itu. Agar hidupnya lebih baik," ucap Ardi ketika mendengar kabar soal Rianti dari Riri.Sejak Dani sakit dan mulai mengerti kondisi Rianti, Riri yang memang hatinya baik selalu memantau kondisi keduanya lewat Narti, pengasuh Dani. Dari dia Riri mendapat banyak informasi soal Rianti, permintaannya untuk Ardi menikahi Rianti dipatahkan oleh Ardi dan mamanya, bahkan Lita pun turut berkomentar. "Mbak, mbak jangan mudah terlena dan tergoda. Hati-hati mbak, dia bisa saja justru menyingkirkan mbak nantinya," ucap Lita kala itu. Tidak ada yang mendukungnya, hingga Riri memilih jalan lain untuk membantu Rianti agar sembuh. Dalam ingatannya mungkin Rianti akan cepat sadar jika ada Ardi di dekatnya, tapi tidak menurut Ardi itu bukan sebuah solusi. Sejak dulu Ardi memang
Dani sudah membaik dan sudah diperbolehkan pulang, Rianti duduk termenung di kursi besar dalam kamarnya, semua yang terjadi akhir-akhir ini membuatnya banyak berpikir yang selama ini tak pernah ia pikirkan. Ingatannya selalu melayang pada kenangan saat ia ngobrol dengan Ibunya Ardi, tak pernah menyangka Ibu itu menyuruhnya pergi ke psikiater dan memeriksakan kondisi kejiwaannya. Kilasan peristiwa masa lalu Rianti panggil kembali hingga ia seperti sedang menonton tayangan film, perlahan ia mengerang mengepalkan tangannya, lalu tiba-tiba menangis, tersenyum sendiri, bahkan tertawa sendiri. Bayangan kelam akan kehidupan remaja yang tak seindah remaja lainnya membuat Rianti tumbuh menjadi sosok yang berbeda pula dengan remaja lainnya. Rianti menikmati semua potongan kisah itu, ia menjalaninya sendiri ya sendiri sejak kedua orang tuanya sudah tak peduli lagi dengan kehidupannya, sejak mereka memilih mencari kebahagiaan masing-masing dari pada kebahagiaan anaknya sendiri, keegoisan kedua
"Aku tuh heran aja sama Mbak Riri, masih mau ngurusin Mbak Rianti padahal dia udah jahat banget dari dulu sama mbak?" tanya Lita. "Itulah kenapa ibu kagum dan selalu jatuh hati sama mbak mu ini, nak. Bukan untuk menyamakan karena bagaimana pun kalian berbeda lahir dari keluarga yang beda. Ardi sama Rudi aja yang lahir dari rahim ibu, beda wataknya," sela ibu. Lita tersenyum, sementara Riri masih terdiam. Pikirannya seolah belum berada di sini bersama raganya, sepulangnya menjenguk Dani dari rumah sakit membuat Riri terpikir sesuatu. "Mbak, ada apa sih?" tanya Lita menyenggol tubuh Riri hingga Riri terperanjat. "Ada apa nak?" tanya ibu. Riri menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan dan mengusap wajah. "Bu, kalau aku minta Mas Ardi untuk menikahi Mbak Rianti, gimana ya?""Apa?!" Lita dan ibunya Ardi kompak mengeluarkan kata itu menunjukan keterkejutan yang hebat setelah mendengar ucapan Riri. Siapapun yang mendengarnya tentu tak akan pernah menyangka jika Riri punya