"Bagaimana jika antar aku ke tempat meeting itu, Noel!" pinta Sarita. Imanuel terdiam, pria itu seakan masih berpikir apakah ini sudah waktunya untuk membawa majikannya. Selama ini dia masih menunggu kabar dari Sagara mengenai kedatangan Sarita ke tujuan yang oleh mereka. Imanuel beberapa kali melihat jam di pergelangan tangannya. "Apa yang membuatmu seakan berpikir, Nuel?" tanya Sarita. "Tidak ada, hanya ingin memastikan saja saat ini jam berapa," jawab Imanuel. "Baiklah, bawa aku ke meeting itu!"Imanuel tidak bisa berbuat lebih, dengan terpaksa dia menuruti apa yang diinginkan oleh Sarita. Perlahan mobil yang dikemudikan oleh Imanuel pun melaju dengan kecepatan sedang. Hal ini bermaksud agar di tidak datang lebih awal dan pas meeting itu selesai. Apa yang sudah direncanakan oleh Imanuel pun sesuai dengan keadaan yang ada. Kedatangan Imanuel dan Sarita bertepatan meeting Sagara selesai. Saat Sarita melihat Sagara, dia segera turun dan berlari menuju ke tempat pria itu berdiri d
"Selamat ulang tahun, Bunda!"Semua keluar dari persembunyian dan Alifian membawa kue tart hasil hiasan mereka. Sarita termangu, wanita itu berdiri kaku tanpa senyum. Alifian mendekati bundanya yang masih berdiri menatapnya dengan bulir bening mulai jatuh dikedua pipi. Sarita perlahan jongkok agar bisa menatap wajah putranya. Alifian tersenyum, dia menyodorkan kue tart tersebut. "Ditiup dulu lalu panjatkan doa, Bunda!" kata Alifian dengan nada rendah. Sarita pun mengikuti apa yang dikatakan oleh putranya. Dengan lembut diterima kue dan meletakkan pada meja ruang tamu. Aulia menyodorkan pisau dan piring kecil juga ada garpu untuk tempat potongan roti. Sarita menerima dengan senyuman. "Terima kasih, Aul!" Aulia tersenyum dan mengangguk, lalu Marni ikut keluar membuat senyum wanita itu seketika menguap. Ada rasa haru dan keterkejutan yang tidak bisa ditutup lagi. "Simbok!" panggil Sarita dengan nada rendah. Wanita tua itu mengangguk dan tersenyum lebar. Tidak hanya Marni yang hadi
Sarita membeliakkan kedua matanya, dia masih tidak percaya dengan apa yang terlihat. Hatinya berdesir melihat sepasang cincin nikahnya dulu. "Bukankah milikku sudah aku jual, bagaimana bisa? Apakah ini sekedar duplikasi?" cerca Sarita dengan nada lirih. Bagaskara masih bisa mendengar apa yang terucap oleh bibir mantan istrinya itu. Namun, bibirnya masih bungkam. Dia tidak ingin menjawab apa pun, tetapi yang dia inginkan adalah ungkapan cinta yang keluar ikhlas dari wanita itu. "Bisakah kita ulang kisah yang retak itu, Sarita?" tanya Bagaskara. Sarita masih diam, otaknya mulai terkontaminasi oleh alunan kisah lam yang sudah usang tetapi begitu membekas. Kepalanya menggeleng menolak kisah itu, kisah yang penuh luka hingga trauma menyapa relung kalbu. "Aku belum mampu untuk ulang kisah lama itu, Mas. Maafkan!" ucap Sarita lirih. "Aku tidak memaksa tetapi ijinkan aku berjuang untuk cintamu dan kasih Alifianku!" pinta Bagaskara lembut. Sarita tidak bisa menatap manik biru milik mant
"Apa yang kalian debatkan!" suara Sagara menghentikan semua perbincangan. Mereka segera melanjutkan kegiatannya masing-masing. Alifian masih mengekor langkah Sagara hingga ke dapur membuat dahi bibi berkerut menatap pria kecil itu. "Kok Aden ikut ke dapur. Emang lagi perlu apa?" tanya bibi. "Eh!" kata Alifian sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Alif tadi hanya ikuti Paman Saga, Bi. Tetapi mumpung sudah di dapur, bolehlah aku dibikinkan jus alpukat dua gelas, Bi!" pinta Alifian. Sagara yang mendengar permintaan ponakannya menjadi bertanya dalam hati. Jus alpokat dua gelas, emang untuk siapa. Namun, pertanyaan itu hanya terucap dalam otaknya tanpa keluar. Bibi mengangguk dan segera memproses permintaan majikan kecilnya. Dua gelas, menurut bibi minuman itu akan dipersembahkan untuk Sarita. Bibi sangat paham sikap bocah itu dalam memberikan perhatian. "Ini Den Alif, jus sudah jadi. Hendak dibawa kemana? Biar bibi bantu," kata Bibi. Alifian tersenyum dan menggelengkan kep
Setelah semua sudah berkumpul, Marni memulai acara yang dia inginkan jauh hari sebelum tanggal kelahiran putrinya. Wanita tua itu menatap satu per satu sosok yang dia rindu. Ternyata selama dua bulan jauh dari mereka semua rasa itu menyapa relung hatinya. "Terima kasih nenek ucapkan pada kalian yang menyempatkan hadir penuhi rasa kangenku. Sungguh dua bulan jauh dari kalian membuatku merindu, terutama pada Alifian," ungkap Marni menjeda kalimatnya. "Sengaja aku memilih tanggal ini. ""Nenek!" panggil Alifian sendu. "Kami juga merindu padamu, Nek!" lanjut Alifian. Marni mengusap punggung tangan mungil yang kebetulan duduk Alifian dekat dengannya. "Suatu hari nanti ajal pasti datang kepadaku, jadi aku mohon makamkan jasadku dekat dengan Alinsky. Dia lah yang memberi keluarga ini, hingga di akhir usiaku kini tidak sendiri," ungkap Marni. "Mbok / Nenek!" panggil Sarita dan Alifian bersamaan. Yang lain hanya menatap sendu pada wanita tua tersebut. Marni masih banyak berpesan pada lai
Jika Sarita mencoba membuka hati untuk yang lain, sebaliknya dengan Bagaskara. Pria maskulin keturunan Pakistan itu tidak bisa melupakan bayang wanitanya. Sarita telah memenuhi seluruh jiwa dan raganya bahkan relung hati yang dulu dingin kini mulai menghangat. "Bagaimana caraku untuk dapatkan hati perempuan itu, bukan hanya belahan jiwa tetapi sekarang melebihi semua keindahan duniaku. Apalagi benihku sekarang sudah tumbuh menjadi pria kecil yang tampan," ujar Bagaskara sambil mengemudi meninggalkan rumah Sarita. Pria itu semakin dilema, satu sisi dia sedang menjalankan pertunangan dengan Ni Luh Ayu yang tidak kalah cantik dan pesonanya daripada Sarita. Kedua wanita matang ini membuat kepala Bagaskara pening. "Apa yang aku lakukan dengan pertunangan ini? Harta dan cintanya bisa aku permainkan, tetapi tubuh ini tidak bereaksi sedikitpun," decak Bagaskara. Jari jemarinya mencengkeram setir bundar untuk meredakan semua rasa yang membelenggu jiwa dan pikirnya. Bagaskara begitu terteka
Rachel melihat arah yang ditunjuk oleh sahabatnya dan memang benar apa yang dikatakan oleh Ni Luh. Sarita berjalan dengan anggun menuju ke kursi paling depan dan di sampingnya berdiri sosok wanita jagoan. "Apa selalu bersama wanita setengah pria itu? E eh, tunggu mana pria dingin yang selalu bersamanya?" cerca Rachel pada Ni Luh. "Mana kau tahu, bukankah kamu lebih mengenal daripada aku, Chel. Bahkan kalian pernah satu kota di negeri orang," kilah Ni Luh. Rachel hanya nyengir, sejujurnya dia merindukan sosok Sagara yang dingin. Namun, apalah daya tangannya tidak bisa meraih bayang pria tersebut. Entah terbuat dari apa hatinya, begitu sulit untuk membawa dalam peluknya. "Mungkin dia tidak hadir karena diwakilkan dengan perempuan udik, buang tenaga," ujar Ni Luh. Rachel masih menatap pintu masuk, dia berharap ada sosok yang diinginkan masuk dan datang menghampirinya. Namun, hingga acara mulai tidak terlihat batang hidungnya. Rachel mendengus lirih, ada kecewa menelusup relung hatin
Sarita bergeming, dia masih berdiri terpaku mendengar apa yang disampaikan oleh satpam sekolah. Hal yang sangat tidak dia inginkan sudah terjadi lima menit yang lalu. Keadaan Sarita yang masih diam terpaku membuat Aulia haris turun dari mobil dan menyadarkan majikannya itu. "Nyonya!" Aulia menepuk lembut lengan kanan Sarita untuk mengembalikan kesadaran. Dan apa yang dilakukan oleh Aulia membawa hasil. Sarita seketika tergagap kaget dan kesadarannya kembali, kedua matanya langsung menatap Aulia. "Bagaimana ini bisa terjadi, Aul? Sekali lagi kita keduluan," kata Sarita dengan nada sesal. "Memangnya apa yang terjadi, Nyonya? Apakah Alifian sudah dijemput?" cerca Aulia. Sarita terdiam, dia melangkah menuju ke mobilnya terparkir. Tanpa banyak kata wanita itu langsung masuk dan duduk di tempatnya semula. Aulia yang ditinggal akhirnya memilih mengekor langkah majikannya dan duduk di balik kemudi. Untuk sesaat Aulia menatap sendu wajah Sarita yang kusut dan air mata sudah membayang sea
Sarita terbangun masih dalam pelukan Sagara, bahkan sinar mentari pagi sudah menyapa lembut kulitnya. Dia sedikit terkejut saat ujung kakinya tersentuh oleh buih air. "Dimana aku?""Sudah bangun? Lihatlah, sinar jingga menghiasi langit timur!"Sarita bangkit dari posisinya, dia berdiri menatap sinar jingga sambil merentangkan kedua lengannya. Dadanya terlihat naik perlahan menandakan sedang menghirup udara. Sagara ikut berdiri dan berjalan mengikis jarak, lalu dipeluknya tubuh Sarita dan berbisik, "Bagaimana dengan tawaranku semalam, Sayang?"Sagara meletakkan kepalanya pada ceruk lerer Sarita dan mulai menghidu aroma yang sudah membuatnya candu. Telapak tangan Sarita pun bergerak mengusap kepala Sagara. Wanita itu menyunggar surai rambut sang lelaki, kemudian menekannya lembut. Sarita merasa nyaman dengan setiap sentuhan Sagara, tetapi sisi hatinya yang lain masih enggan untuk menyambut cinta yang ditawarkan. "Akankah kau selalu ada untukku?" tanya Sarita lembut. Tidak ada jawaba
Di antaranya bukti keterlibatan Madam Anne atas kematian Alinsky Waluyo. Meskipun dari hasil pemeriksaan, Alinsky dinyatakan meninggal karena kecelakaan tunggal.Akan tetapi, pada fakta yang ditemukan, Alinsky meninggal karena luka parah yang dideritanya setelah kecelakaan yang dialaminya, dan yang lebih mengejutkan ternyata kecelakaan tersebut dipicu karena rem blong sebab tali rem mobil Alinsky telah dipotong. Tidak hanya itu saha, Madam Anne bahkan memerintahkan seseorang untuk membuat sebuah rekaman palsu yang menceritakan bahwa Alinsky pergi dari rumah Pradipta dengan seorang pria. Kemudian dengan segala tipu daya dan rayuan, Madam Anne pun mendekati Pradipta yang tengah terluka dan kehilangan Alinsky serta calon anak yang masih berada di kandungan Alinsky untuk selamanya. Pradipta yang merasa kecewa dengan sikap Alinsky pun perlahan mulai termakan omongan Madam Anne muda dan bersedia menikahi Madam Anne beberapa bulan setelah kepergian Alinsky yang tanpa kabar tersebut.Yang
Sarita terdiam, wanita itu menatap pada Sagara begitu juga sebaliknya. Hanya Alifian yang terlihat asyik sendiri tanpa beban. Kemudian dia beranjak meninggalkan kedua orang dewasa menuju ke teras rumah. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang guna memastikan apakah keduanya sudah berjalan. Namun, hingga kaki kecil sampai di ambang pintu kedua orang dewasa belum juga terlihat membuat Alifian berteriak memanggil bundanya. "Sebaiknya kita antar dulu putra kamu itu, Sari. Setelahnya baru ke butik bahas lebih lanjut," kata Sagara sambil meraih jemari Sarita dan menautkan pada jemarinya. Sarita terdiam mengikuti semua pergerakan Sagara wanita itu sama sekali tidak menolak ataupun menghindar. Hingga sampai di depan Alifian pun tautan jemari mereka tidak terlepas. "Masuklah bersama Alif di belakang, Sari!"Sarita segera masuk menyusul putranya dan duduk di samping Alifian. Pria kecil menatap bundanya sekilas lalu berpaling ke samping melihat jalanan yang mulai padat. Mobil berjalan perlaha
Tangan kanan Sagara mengepal erat, sebuah bogem mentah sudah hendak dihadiahkannya untuk Bagaskara. Namun, diurungkan karena ada jemari lentik yang menghentikan niatan tersebut. Sagara memalingkan wajah ke samping. Tampak pemilik jari tersebut menggelengkan kepala sambil menyuguhkan senyum lembut yang mampu melelehkan hatinya. Emosi Sagara seketika menguap begitu saja, sementara Bagaskara semakin merasa geram karena mantan istri malah memberikan senyum terbaik pada laki-laki selain dirinya. Gelap mata! Itu yang dirasakan Bagaskara saat ini. Penuh emosi, Bagas menarik bahu pria yang lima tahun lebih tua tersebut. Giginya gemeretuk, rahangnya mengencang, mata pun sudah memerah, dan detik berikutnya ... Bugh! Bagas meninju rahang Sagara yang langsung terhuyung. Sungguh beruntung, pengendalian keseimbangan pria itu cukup baik sehingga dia tidak sampai terjatuh hanya sedikit oleng saja. Sagara ingin membalas Bagas, tetapi Sarita dengan cepat menarik tangan Sagara. Sambil memberikan s
Aknat dan Bagas refleks saling bertukar pandang saat mendengar pertanyaan hakim ketua. Apa maksud hakim ketua dengan mempermainkan? Kenapa lelaki jelang senja itu bisa berkata demikian? Jangan-jangan .... Didorong oleh rasa penasaran, Aknat pun bermaksud kembali maju untuk memeriksa ulang apakah ada kesalahan yang tidak disengajanya saat menyerahkan bukti ketidakberesan Sarita sebagai ibu. Akan tetapi, baru saja mengangkat tubuhnya dari kursi, ketua majelis hakim yang terhormat sudah mengangkat tangan -- melarangnya untuk maju. Akhirnya, dengan penuh kebingungan, Aknat menuruti perintah ketua majelis sidang. Sambil bertanya-tanya, Aknat menatap hakim ketua dan Bagaskara bergantian. Pemuda itu bahkan hanya bisa mengedikkan bahu ketika Bagaskara menanyakan hal tersebut padanya. Ketua majelis hakim yang terhormat masih menatap Aknat dan Bagaskara dengan tatapan tajam penuh kemarahan. Pria yang sudah berprofesi menjadi hakim selama dua puluh tahun tersebut merasa terhina. "Apa maksud
Keesokkan paginya tidak jauh dari sebuah rumah mewah bercat putih, tampak sebuah city car berwarna hitam. Pengemudi city car tersebut tampak serius mengamati rumah mewah yang dijaga ketat oleh seorang petugas keamanan. "Aku harus bisa masuk ke rumah itu untuk mencari berkas-berkas penting yang mereka sebutkan kemarin. Hanya saja bagaimana ya caranya?"Pemuda tersebut memutar otaknya -- mencari cara agar dia bisa masuk ke dalam rumah mewah dan menjalankan misinya tanpa ketahuan oleh penghuni rumah. Dia pun memeriksa seluruh penjuru mobilnya. Elfrada mengobrak-abrik seluruh isi dashboard mobil dan menemukan dua buah benda yang diyakini bisa membantu meloloskan niatnya masuk ke dalam rumah target. Dengan keyakinan penuh, lelaki tersebut mempersiapkan diri. Setelah semua siap, dia kembali mengawasi rumah mewah yang hanya selisih dua rumah dari tempatnya. Beberapa menit kemudian, tampaklah sebuah mobil mewah dan elegan berwarna silver metalik keluar dari halaman rumah tersebut. Dengan
Pria muda berkaca mata hitam itu segera meluncur pergi dari depan rumah Bagaskara, dengan kecepatan tinggi pemuda tersebut memacu kendaraan roda empat yang dikemudikannya. Di tengah perjalanan pria itu menelepon seseorang, "Bos, tadi saya sempat mencuri dengar pembicaraan antara Bagaskara, istrinya, dan kedua pengacara mereka melalui sebuah penyadap. Saya mendengar mereka mempunyai sebuah bukti yang akan bisa dipakai menekan dan mengalahkan Nyonya Sarita di pengadilan.""Bukti apa dan siapa yang membawa bukti tersebut?" tanya lawan bicara pria muda yang ditugaskan menjadi kata-kata tersebut. "Saya masih belum mendapatkan informasi bukti seperti apa yang dimaksud, hanya saja saya tahu siapa yang sudah menyimpan bukti tersebut." Info pemuda tersebut sambil terus mengemudikan kendaraan roda empatnya. Sementara itu, di tempat lain lawan bicara pria muda tersebut tampak sedang memikirkan strategi apa yang akan diambilnya untuk menghancurkan Bagaskara dan istrinya, Ni Luh. Sosok tersebu
"Tenang, Tuan Bagas. Bersantailah sedikit, tidak perlu seemosi itu. Saya hanya bertanya saja pada Anda. Apakah Anda yakin dengan keinginan Anda mengenai hak asuh anak?" Ulang Aknat pada Bagaskara yang menatapnya lekat dan tajam."Apa perlu saya ulang jawaban saya agar Anda yakin pada apa yang menjadi keinginan saya?" Kini giliran Bagaskara membalik pertanyaan Aknat. Nada suaranya rendah dan dalam, terlihat sekali jika dia sedang menahan amarah pada pemuda yang duduk di samping Ni Luh.Mendengar jawaban Bagaskara yang begitu penuh kemarahan yang tertahan, Ni Luh mengerutkan dahinya. Wanita itu merasa sedikit aneh dengan sikap suaminya ketika mendengar pertanyaan Aknat.Ni Luh mengamati manik tegas suaminya lekat-lekat. Dia merasa penasaran dengan jawaban dan sikap Bagaskara selanjutnya. Sementara itu, sikap Aknat tampak berbanding terbalik dengan Bagaskara yang tampak begitu emosi.Pria matang yang dikenalkan dengan nama Arswendo merasa tidak enak melihat situasi yang mulai tidak kondu
Saat hendak menikmati madu alami pintu dibuka oleh pelayan dengan membawa makanan yang sesuai pesanan juga dua orang tamu. Bagas dan Ni Luh segera memperbaiki cara duduknya. "Silakan saja dilanjut, kami dengan sabar menunggu, Tuan dan Nyonya!" ujar Aknat pengacara pribadi Ni Luh. "Kau jangan bikin malu, Nat. Usiamu masih jauh," dengus Ni Luh. Aknat hanya mengulas senyum tipis, lalu mengambil duduk di depan Ni Luh sedangkan pria yang berusia matang ikut duduk di samping Aknat. Ni Luh menatap suaminya penuh tanya. Bagaskara tersenyum dan mempersilakan kedua tamunya untuk menyantap menu yang ada. Menu sederhana tetapi mewah. "Silakan makan, Tuan Berdua!""Apakah tidak lebih baik kita saling kenal dulu, Kak!" Pinta Ni Luh. "Saya Bagaskara sebagai suami dari Ibu Ni Luh Ayu. Ini pengacara saya, Bapak Arswendo!" ujar Bagaskara. Bagas mengenalkan diri dan pengacaranya pada pria muda di depan istrinya. Aknat yang sejak tadi terlihat santai segera menerima uluran tangan Bagas dengan itika