Rachel melihat arah yang ditunjuk oleh sahabatnya dan memang benar apa yang dikatakan oleh Ni Luh. Sarita berjalan dengan anggun menuju ke kursi paling depan dan di sampingnya berdiri sosok wanita jagoan. "Apa selalu bersama wanita setengah pria itu? E eh, tunggu mana pria dingin yang selalu bersamanya?" cerca Rachel pada Ni Luh. "Mana kau tahu, bukankah kamu lebih mengenal daripada aku, Chel. Bahkan kalian pernah satu kota di negeri orang," kilah Ni Luh. Rachel hanya nyengir, sejujurnya dia merindukan sosok Sagara yang dingin. Namun, apalah daya tangannya tidak bisa meraih bayang pria tersebut. Entah terbuat dari apa hatinya, begitu sulit untuk membawa dalam peluknya. "Mungkin dia tidak hadir karena diwakilkan dengan perempuan udik, buang tenaga," ujar Ni Luh. Rachel masih menatap pintu masuk, dia berharap ada sosok yang diinginkan masuk dan datang menghampirinya. Namun, hingga acara mulai tidak terlihat batang hidungnya. Rachel mendengus lirih, ada kecewa menelusup relung hatin
Sarita bergeming, dia masih berdiri terpaku mendengar apa yang disampaikan oleh satpam sekolah. Hal yang sangat tidak dia inginkan sudah terjadi lima menit yang lalu. Keadaan Sarita yang masih diam terpaku membuat Aulia haris turun dari mobil dan menyadarkan majikannya itu. "Nyonya!" Aulia menepuk lembut lengan kanan Sarita untuk mengembalikan kesadaran. Dan apa yang dilakukan oleh Aulia membawa hasil. Sarita seketika tergagap kaget dan kesadarannya kembali, kedua matanya langsung menatap Aulia. "Bagaimana ini bisa terjadi, Aul? Sekali lagi kita keduluan," kata Sarita dengan nada sesal. "Memangnya apa yang terjadi, Nyonya? Apakah Alifian sudah dijemput?" cerca Aulia. Sarita terdiam, dia melangkah menuju ke mobilnya terparkir. Tanpa banyak kata wanita itu langsung masuk dan duduk di tempatnya semula. Aulia yang ditinggal akhirnya memilih mengekor langkah majikannya dan duduk di balik kemudi. Untuk sesaat Aulia menatap sendu wajah Sarita yang kusut dan air mata sudah membayang sea
"Alifian tidak apa, Bund. Jika nenek Anne itu ada mungkin akan lebih seru, tetapi ayah belum mengenalkan Alif dengan orang tuanya," tutur Alifian. "Apakah tidak apa jika aku kenalkan dengan mama, Sarita?" tanya Bagaskara yang sudah duduk di samping Alifian. "Jangan, bawa segera pergi putraku, Mas! Aku tidak mau terjadi sesuatu padanya," kata Sarita penuh permohonan. Dilayar terlihat jika Alifian mengerucutkan bibirnya membuat Sarita menggelengkan kepala tanda perintahnya bersifat mutlak. Lalu Alifian terlihat merajuk pada Bagaskara. "Maafkan ayah, Nak. Bunda kamu sepertinya tidak setuju jika kamu menginap di sini meski cuma satu malam," kata Bagaskara lembut. "Bunda, boleh yaa!" pinta Alifian sambil menunjukkan wajah penuh harap. Sarita diam, dia tidak rela jika putranya terlalu lama bersama sang mantan. Namun, sedikitpun dia tidak bisa mencegah inginnya Alifian. Sarita menghempaskan napas kasar nan panjang. "Bagaimana, Bund, boleh Yaaa!"Kembali Sarita menarik napas panjang, d
Aulia masih bergeming memghadapi wanita tua tanpa dia sadari Sarita melangkah mendekat. Kedua bola matanya membeliak tidak percaya saat sosok tua itu berdiri di depan Aulia. " Nenek, dengan siapa Anda berkunjung?" tanya Sarita lembut. "Sendiri, memangnya tidak boleh?""Aul, apakah kamu kenal nenek ini? Dia adalah Neneknya Sagara," ungkap Sarita. "Mengapa harus kau sebut nama cunguk itu, Sarita. Apa kamu lupa?" Sarita tersenyum menatap lembut nenek sepupunya itu. Nenek Sharmila Arnold, adik kandung kakeknya Sarita. Aulia semakin bingung, dia merasa tidak pernah bertemu sosok di depannya itu tetapi dia begitu mudahnya mengenali namanya. "Aku tidak pernah melihat nenek ini, Nyah.""Nyah lagi, berulang kali panggil aku kakak atau apa gitu. Aku paling tidak suka kau panggil Nyah atau Nyonya, Aul. Ingat hal itu!" decak Sarita. Sharmila makin tidak paham dengan pola pikir cucu sepupu yang baru dia jumpai akhir-akhir ini. Sharmila memilih meninggalkan kedua wanita muda, dia berjalan men
"Hehe, sejujurnya saya sedang meeting penting tadi itu, Nek. Beruntung yang datang ke pelelangan1 tender adalah Sarita," kata Sagara berharap neneknya mengerti. "Kamu datang ke pelelangan itu, Sayang?" tanya Sharmila lembut. "Iya, Nek. Sempat adu argument tadi itu cuma aku ngalah saja daripada malu," ungkap Sarita. "Dengan siapa?""Ni Luh Ayu dan Rachel Luxthor, Nek," balas Sarita. Dahi Sharmila mengerut, dia seperti kenal nama belakang wanita itu. Cuma ingatannya sedikit terluka sehingga tidak bisa ingat. Tatapi wajah yang dia tunjukkan pada Sarita tadi begitu membekas dalam otaknya. "Apa hubungannya kedua wanita itu?" tanya Sharmila. "Sepertinya hanya rekan bisnis saja, Nek!""Apa kamu yakin, Sari?"Sarita terdiam, meski dia tahu bahwa Ni Luh adalah tunangan Bagaskara tetapi dia tidak ingin membuka rahasia itu di depan Sharmila. Hanya ketenangan yang dia inginkan. "Bagaimana dengan gambar yang nenek tunjukkan tadi?"Sarita mengingat wajah dalam gambar. Lalu dia mengulas senyu
Sarita masih terdiam, wanita itu tenggelam dalam lamunannya setelah menutup teleponnya. Sharmila yang melihat perubahan mimik wajah ponakannya membuatnya angkat dagu pada Sagara. "Suara siapa di akhir tadi, Sari?" tanya Sagara. Sarita terdiam, kepalanya mendongak pada saudara sepupunya itu lalu mengangguk pelan. Sagara menebak suara terakhir itu milik Anne hingga senyum sinis terbit pada wajahnya yang dingin"Sudah, kamu harus percaya jika wanita busuk itu tidak akan menjangkau Alifian selama ada Bagaskara di sisi," ujar Sagara. "Semoga saja.""Jika terjadi sesuatu pada Alifianku selama dengan ayah biologisnya maka jangan halangi aku untuk hancurkan wanita itu!" geram Sharmila Sarita tersenyum, lalu berkata, "Nenek pulang ikut siapa?"Sharmila melihat pada cucunya, lalu menatap lagi pada Sarita. Wanita tua itu terlihat bingung ingin pulang dengan siapa. Maksud hati pulang ke Indo inginkan bertemu dengan Alifian, tetapi inginnya musnah tatkala pria kecil itu lebih memilih bersama a
"Lalu kita akan pergi kemana, Ayah?" tanya Alifian. Bagaskara terus berjalan sambil menggendong putranya tersebut. Sementara Anne berteriak agar keduanya berhenti dan menunggu dia. "Sialan juga itu anak, aku ibunya yang melahirkan dia ke dunia tidak dipedulikan," geram Anne sambil berkacak pinggang. Namun, semua tidak dipedulikan oleh Bagaskara. Pria itu terus berjalan bahkan dengan langkah panjang hingga tidak butuh waktu lama sudah sampai di depan mobil. Namun, Anne masih terus mengikuti langkahnya. "Alif masuk dulu dan duduk manis!" kata Bagaskara. Setelah yakin putranya duduk dengan nyaman barulah Bagaskara berdiri menatap Anne yang berjalan menuju ke arahnya. Bagaskara menunggu hingga ibunya sampai tepat di depannya. "Apa yang Mama inginkan? Jangan suruh aku untuk menjauh dari sosok masa lalu," kata Bagaskara saat Anne sudah berdiri di depannya. "Mama tidak menyuruh kamu untuk itu, hanya saja kau harus tahu Ni Luh sedang menunggu jawaban darimu!" "Bukankah semua sudah aku
Lama Bagaskara diam, pria itu mencoba mencari kata yang mudah diterima oleh pria kecil seusia Alifian. Ingin berkata jujur tetapi sisi hati yang lain seakan menolak. "Ayah, apakah selama ini nama bundaku sudah tergantikan dengan wanita yang disebut namanya oleh Madam Anne?" Bagaskara seketika tersadar dari lamunannya, sungguh sakit hatinya kala mendengar putranya menyebut ibunya dengan nama kebesarannya. Ini yang membuat pria dewasa itu segera inginkan Alifian menjadi putranya secara hukum negara. "Tidak ada nama wanita lainnya, hanya satu nama yaitu Sarita Waluyo. Hanya itu, Sayang!""Jika Ayah saja hanya ada nama bunda, lalu mengapa hati bunda susah sekali untuk menerima Ayah kembali? Apakah sesakit itu saat Ayah bersama bunda?" Cerca Alifian. "Bagaimana bisa sedewasa ini pola pikir yang kamu miliki, Nak? Apa seperti ini ajaran bunda kamu?""Bukan bunda yang ajari, melainkan tangis bundalah yang selalu membuat Alif bertanya-tanya," balas Alifian. "Tangis, memangnya bunda kamu s
Sarita terbangun masih dalam pelukan Sagara, bahkan sinar mentari pagi sudah menyapa lembut kulitnya. Dia sedikit terkejut saat ujung kakinya tersentuh oleh buih air. "Dimana aku?""Sudah bangun? Lihatlah, sinar jingga menghiasi langit timur!"Sarita bangkit dari posisinya, dia berdiri menatap sinar jingga sambil merentangkan kedua lengannya. Dadanya terlihat naik perlahan menandakan sedang menghirup udara. Sagara ikut berdiri dan berjalan mengikis jarak, lalu dipeluknya tubuh Sarita dan berbisik, "Bagaimana dengan tawaranku semalam, Sayang?"Sagara meletakkan kepalanya pada ceruk lerer Sarita dan mulai menghidu aroma yang sudah membuatnya candu. Telapak tangan Sarita pun bergerak mengusap kepala Sagara. Wanita itu menyunggar surai rambut sang lelaki, kemudian menekannya lembut. Sarita merasa nyaman dengan setiap sentuhan Sagara, tetapi sisi hatinya yang lain masih enggan untuk menyambut cinta yang ditawarkan. "Akankah kau selalu ada untukku?" tanya Sarita lembut. Tidak ada jawaba
Di antaranya bukti keterlibatan Madam Anne atas kematian Alinsky Waluyo. Meskipun dari hasil pemeriksaan, Alinsky dinyatakan meninggal karena kecelakaan tunggal.Akan tetapi, pada fakta yang ditemukan, Alinsky meninggal karena luka parah yang dideritanya setelah kecelakaan yang dialaminya, dan yang lebih mengejutkan ternyata kecelakaan tersebut dipicu karena rem blong sebab tali rem mobil Alinsky telah dipotong. Tidak hanya itu saha, Madam Anne bahkan memerintahkan seseorang untuk membuat sebuah rekaman palsu yang menceritakan bahwa Alinsky pergi dari rumah Pradipta dengan seorang pria. Kemudian dengan segala tipu daya dan rayuan, Madam Anne pun mendekati Pradipta yang tengah terluka dan kehilangan Alinsky serta calon anak yang masih berada di kandungan Alinsky untuk selamanya. Pradipta yang merasa kecewa dengan sikap Alinsky pun perlahan mulai termakan omongan Madam Anne muda dan bersedia menikahi Madam Anne beberapa bulan setelah kepergian Alinsky yang tanpa kabar tersebut.Yang
Sarita terdiam, wanita itu menatap pada Sagara begitu juga sebaliknya. Hanya Alifian yang terlihat asyik sendiri tanpa beban. Kemudian dia beranjak meninggalkan kedua orang dewasa menuju ke teras rumah. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang guna memastikan apakah keduanya sudah berjalan. Namun, hingga kaki kecil sampai di ambang pintu kedua orang dewasa belum juga terlihat membuat Alifian berteriak memanggil bundanya. "Sebaiknya kita antar dulu putra kamu itu, Sari. Setelahnya baru ke butik bahas lebih lanjut," kata Sagara sambil meraih jemari Sarita dan menautkan pada jemarinya. Sarita terdiam mengikuti semua pergerakan Sagara wanita itu sama sekali tidak menolak ataupun menghindar. Hingga sampai di depan Alifian pun tautan jemari mereka tidak terlepas. "Masuklah bersama Alif di belakang, Sari!"Sarita segera masuk menyusul putranya dan duduk di samping Alifian. Pria kecil menatap bundanya sekilas lalu berpaling ke samping melihat jalanan yang mulai padat. Mobil berjalan perlaha
Tangan kanan Sagara mengepal erat, sebuah bogem mentah sudah hendak dihadiahkannya untuk Bagaskara. Namun, diurungkan karena ada jemari lentik yang menghentikan niatan tersebut. Sagara memalingkan wajah ke samping. Tampak pemilik jari tersebut menggelengkan kepala sambil menyuguhkan senyum lembut yang mampu melelehkan hatinya. Emosi Sagara seketika menguap begitu saja, sementara Bagaskara semakin merasa geram karena mantan istri malah memberikan senyum terbaik pada laki-laki selain dirinya. Gelap mata! Itu yang dirasakan Bagaskara saat ini. Penuh emosi, Bagas menarik bahu pria yang lima tahun lebih tua tersebut. Giginya gemeretuk, rahangnya mengencang, mata pun sudah memerah, dan detik berikutnya ... Bugh! Bagas meninju rahang Sagara yang langsung terhuyung. Sungguh beruntung, pengendalian keseimbangan pria itu cukup baik sehingga dia tidak sampai terjatuh hanya sedikit oleng saja. Sagara ingin membalas Bagas, tetapi Sarita dengan cepat menarik tangan Sagara. Sambil memberikan s
Aknat dan Bagas refleks saling bertukar pandang saat mendengar pertanyaan hakim ketua. Apa maksud hakim ketua dengan mempermainkan? Kenapa lelaki jelang senja itu bisa berkata demikian? Jangan-jangan .... Didorong oleh rasa penasaran, Aknat pun bermaksud kembali maju untuk memeriksa ulang apakah ada kesalahan yang tidak disengajanya saat menyerahkan bukti ketidakberesan Sarita sebagai ibu. Akan tetapi, baru saja mengangkat tubuhnya dari kursi, ketua majelis hakim yang terhormat sudah mengangkat tangan -- melarangnya untuk maju. Akhirnya, dengan penuh kebingungan, Aknat menuruti perintah ketua majelis sidang. Sambil bertanya-tanya, Aknat menatap hakim ketua dan Bagaskara bergantian. Pemuda itu bahkan hanya bisa mengedikkan bahu ketika Bagaskara menanyakan hal tersebut padanya. Ketua majelis hakim yang terhormat masih menatap Aknat dan Bagaskara dengan tatapan tajam penuh kemarahan. Pria yang sudah berprofesi menjadi hakim selama dua puluh tahun tersebut merasa terhina. "Apa maksud
Keesokkan paginya tidak jauh dari sebuah rumah mewah bercat putih, tampak sebuah city car berwarna hitam. Pengemudi city car tersebut tampak serius mengamati rumah mewah yang dijaga ketat oleh seorang petugas keamanan. "Aku harus bisa masuk ke rumah itu untuk mencari berkas-berkas penting yang mereka sebutkan kemarin. Hanya saja bagaimana ya caranya?"Pemuda tersebut memutar otaknya -- mencari cara agar dia bisa masuk ke dalam rumah mewah dan menjalankan misinya tanpa ketahuan oleh penghuni rumah. Dia pun memeriksa seluruh penjuru mobilnya. Elfrada mengobrak-abrik seluruh isi dashboard mobil dan menemukan dua buah benda yang diyakini bisa membantu meloloskan niatnya masuk ke dalam rumah target. Dengan keyakinan penuh, lelaki tersebut mempersiapkan diri. Setelah semua siap, dia kembali mengawasi rumah mewah yang hanya selisih dua rumah dari tempatnya. Beberapa menit kemudian, tampaklah sebuah mobil mewah dan elegan berwarna silver metalik keluar dari halaman rumah tersebut. Dengan
Pria muda berkaca mata hitam itu segera meluncur pergi dari depan rumah Bagaskara, dengan kecepatan tinggi pemuda tersebut memacu kendaraan roda empat yang dikemudikannya. Di tengah perjalanan pria itu menelepon seseorang, "Bos, tadi saya sempat mencuri dengar pembicaraan antara Bagaskara, istrinya, dan kedua pengacara mereka melalui sebuah penyadap. Saya mendengar mereka mempunyai sebuah bukti yang akan bisa dipakai menekan dan mengalahkan Nyonya Sarita di pengadilan.""Bukti apa dan siapa yang membawa bukti tersebut?" tanya lawan bicara pria muda yang ditugaskan menjadi kata-kata tersebut. "Saya masih belum mendapatkan informasi bukti seperti apa yang dimaksud, hanya saja saya tahu siapa yang sudah menyimpan bukti tersebut." Info pemuda tersebut sambil terus mengemudikan kendaraan roda empatnya. Sementara itu, di tempat lain lawan bicara pria muda tersebut tampak sedang memikirkan strategi apa yang akan diambilnya untuk menghancurkan Bagaskara dan istrinya, Ni Luh. Sosok tersebu
"Tenang, Tuan Bagas. Bersantailah sedikit, tidak perlu seemosi itu. Saya hanya bertanya saja pada Anda. Apakah Anda yakin dengan keinginan Anda mengenai hak asuh anak?" Ulang Aknat pada Bagaskara yang menatapnya lekat dan tajam."Apa perlu saya ulang jawaban saya agar Anda yakin pada apa yang menjadi keinginan saya?" Kini giliran Bagaskara membalik pertanyaan Aknat. Nada suaranya rendah dan dalam, terlihat sekali jika dia sedang menahan amarah pada pemuda yang duduk di samping Ni Luh.Mendengar jawaban Bagaskara yang begitu penuh kemarahan yang tertahan, Ni Luh mengerutkan dahinya. Wanita itu merasa sedikit aneh dengan sikap suaminya ketika mendengar pertanyaan Aknat.Ni Luh mengamati manik tegas suaminya lekat-lekat. Dia merasa penasaran dengan jawaban dan sikap Bagaskara selanjutnya. Sementara itu, sikap Aknat tampak berbanding terbalik dengan Bagaskara yang tampak begitu emosi.Pria matang yang dikenalkan dengan nama Arswendo merasa tidak enak melihat situasi yang mulai tidak kondu
Saat hendak menikmati madu alami pintu dibuka oleh pelayan dengan membawa makanan yang sesuai pesanan juga dua orang tamu. Bagas dan Ni Luh segera memperbaiki cara duduknya. "Silakan saja dilanjut, kami dengan sabar menunggu, Tuan dan Nyonya!" ujar Aknat pengacara pribadi Ni Luh. "Kau jangan bikin malu, Nat. Usiamu masih jauh," dengus Ni Luh. Aknat hanya mengulas senyum tipis, lalu mengambil duduk di depan Ni Luh sedangkan pria yang berusia matang ikut duduk di samping Aknat. Ni Luh menatap suaminya penuh tanya. Bagaskara tersenyum dan mempersilakan kedua tamunya untuk menyantap menu yang ada. Menu sederhana tetapi mewah. "Silakan makan, Tuan Berdua!""Apakah tidak lebih baik kita saling kenal dulu, Kak!" Pinta Ni Luh. "Saya Bagaskara sebagai suami dari Ibu Ni Luh Ayu. Ini pengacara saya, Bapak Arswendo!" ujar Bagaskara. Bagas mengenalkan diri dan pengacaranya pada pria muda di depan istrinya. Aknat yang sejak tadi terlihat santai segera menerima uluran tangan Bagas dengan itika