PoV Nita
"Valen... Tambah lagi dong!" pintaku.
"Kamu ini, iuran berapa tadi buat beli minuman ini?" bukannya memberi dia malah bertanya.
Aku memang jarang ikut iuran, karena aku tak punya uang. Orang tuaku jarang memberiku uang terlebih setelah mereka tahu aku ikut-ikutan dengan grup anak muda yang khas dengan baju hitam dan rompang ramping, rambut di tata keatas dan banyak tindikan di sana sini.
"Kasih saja lah, dia kan perempuan! Bisa kita gunakan kalau dia... " ucap Riko yang terkenal sangar tapi termasuk paling kaya diantara kami.
Akhirnya Valen mengalah bahkan memberiku banyak minuman hingga membuat aku mabuk dan tak sadarkan diri, bangun tertidur pakaianku entah sudah terlepas dan ada lima laki-laki yang telah berada di sampingku dengan posisi tertidur pula.
Sejak saat itu, aku resmi menjadi bagian dar
Aku masih tak menyangka jika Umi Sepuh ternyata punya pikiran sejauh itu. Aku lega, setidaknya Umi Sepuh ternyata tak percaya begitu saja dengan Ratini, juga tak mudah terperangkap dalam permainannya."Duduklah, Sal! Banyak yang ingin Umi tanyakan."Aku menuruti perintah Umi Sepuh dengan duduk di depannya. Ruangan yang mungkin lebih mirip kantor dengan kursi putar meja dan kursi lagi. Dipojokan sana ada sofa yang tertata rapi.Sejenak Umi masih berdiam, aku cukup deg-degan dengan apa yang akan Umi bicarakan. Walau semua aku tak bersalah di sini, tetap saja berbicara dengan orang yang di hormati menimbulkan sensasi berdebar juga."Umi tahu, pasti sebenarnya sedikit banyak kamu tahu tentang Ratini! Karena aku yakin kamu orang yang paling penasaran dengannya sebelum Umi?"Deg!Kata-kata Umi tak meleset, seolah dia tahu segalan
Kini aku salah tingkah, bingung harus berkata apa setelah tadi keceplosan mengatakan itu."Salma? Jawab Umi! Apa maksudmu tadi?" Umi masih menyelidik."Bu-kan apa-apa, Umi. Tadi aku cuma salah bicara. Ayolah, Umi sekarang lebih baik kita kerumah mereka! Aku nggak mau Nita kenapa-kenapa! Pliss.... " rengekku pada Umi."Benar apa yang kamu katakan, Sal? Kamu sedang tak berbohong kan?" Umi tak penyerah, dia terus saja mengintrograsiku. Duh... Bagaimana ini?"Umi, nanti kapan-kapan Salma cerita ya! Untuk kali ini kita fokus saja pada Ratini dulu." aku berusaha membujuk Umi Sepuh agar tak menanyakan tentang kata-kata tadi, aku takut Umi Sepuh tahu masa lalu Nita sebelum benar-benar yakin bahwa Nita telah berubah.Akhirnya Umi kembali memilih duduk, manatap layar televisi kembali."Masih belum saatnya kita kesana! Tujuan awalku untuk m
"Ada apa, Umi?" tanya Mirna yang melihat aku terduduk lemas. Aku masih bergeming, pandanganku kosong, entah apa yang sedang berkecambuk dipikiranku."Umi Sepuh... Umi Sepuh!" hanya kata itu yang dapat aku sampaikan karena tak kuat untuk melanjutkan kata-kataku.Mirna membantuku berdiri, aku didudukan pada tepi ranjang. Mengambilkan air minum yang memang sudah tersedia di kamar Juna. Seketika aku tersadar dan langsung berjalan keluar untuk segera menuju rumah sakit."Ya Allah... Lindungi Umi Sepuh, semoga dia tak kenapa-kenapa!" do'aku terus menerus sepanjang perjalanan.Sampai di Rumah sakit, Abi, Nita sudah ada di sana tapi tanpa Ratini, kemana wanita liar itu? Pikirku."Umi...!" Nita langsung berhambur memelukku, dia seperti ketakutan.Kuusap lembut jilbabnya kemudian membawanya duduk, Abi masih terlihat mondar-mandir, mu
Aku larut dalam pikiranku sendiri, memang semua yang dikatakan Abi benar adanya. Rumah ini penuh masalah, Rumah tangga kami terus terombang-ambing dalam kalutnya lautan problema. Ah! Apakah ini cobaan untuk keluarga hamba ya Allah?"Umi!" panggil Abi membuyarkan lamunanku."I-iya, Bi?""Maafkan Abi ya, belum bisa memberi keluarga yang sakinah mawaddah warokmahh." Abi memegang bahuku.Aku tak mampu menjawab, hanya tatapan lurus yang jauh kesana. Abi... Tahukah kalau semua masalah ini timbul karena kehadiran Ratini! Gumam dalam hati.Sejurus kemudian aku tersenyum, "Abi... Kapan Umi Sepuh diterbangkan ke Taiwan untuk masa pemulihan?"Aku sengaja mengubah topik agar tak terus larut dalam duka atas semua yang terjadi."Esok hari, Mi. Do'akan semuanya lancar ya, Mi!""Tentu saja! U
kuusap tangan Nita yang dingin karena ketakutan, berusaha menguatkan bahwa semua akan baik-baik saja."Angel, apa semua omonganmu bisa di percaya?" tanyaku."Tentu, Mbak! Mbak bisa pegang kata-kataku."Aku mengangguk mengerti, tak ada raut kebohongan di matanya. Apa aku harus kerja sama dengan dia agar dapat membongkar kebusukan Ratini."Aku mau menawarkan kerja sama denganmu, apa kamu mau?" aku menatap tajam pada sorot mata Angel."Kerja sama? Kerja sama bagaimana?" dia membenarkan posisi duduknya."Ya, aku minta bantuan kamu untuk mengungkap siapa Ratini dan Hendi!" terlihat ada sorot ragu pada mata Angel."Bagaimana?" tanyaku lagi."Bu-bukan aku tak mau tapi... Mereka bukan orang yang gampang di tangkap, mereka itu seperti belut, licin tubuhnya untuk menangkap basah."
"Jangan fitnah kalau tak ada bukti!" Ratini juga berkata dengan lantang, sungguh benar-benar sudah di luar batas.Mungkin kini saatnya aku untuk mengungkap siapa Ratini!"Apa yang dikatakan Dik Nita aku sependapat," ucapku masih dengan nada santai.Terlihat Abi kaget dengan apa yang baru saja aku katakan."Aku sangat ragu dengan anak yang di kandung Ratini itu anaknya Abi, bukankah Dik Ratini itu di jual oleh Hendi yang tak lain adalah suaminya sendiri!"Abi lebih terlihat kaget lagi, sepintas menatap Ratini tak percaya kemudian kembali menatapku."U-Umi... Jangan bercanda!" suara Abi sedikit bergetar, Ratini masih terdiam tanpa suara."Semua yang dikatakan Umi benar adanya, Bi. Umi sebaiknya bongkar semua kebusukan dia!" Nita begitu mengebu-gebu."Iya, Bi. Ratini memang
"Kemana kira-kira Abi, Umi?" tanya Nita dengan nada panik."Entahlah, Dik! Umi sendiri bingung, lebih baik kita ketuk lagi." kucoba lagi untuk mengetuk pintu. Namun tetap nihil."Umi, Dik Nita!" dari belakang suara itu memanggil."Abi!" kami langsung berlari mendekat menuju dimana Abi berdiri."A-abi dari mana? Kami khawatir sekali! Terlebih dari tadi kita tak menemukan Abi!" ucapku."Abi dari post satpam Umi, karena tadi pagi kesini tak ada orang dan pulang dari kantor kesini lagi masih juga tak ada. Kata post satpam didepan sana Ratini keluar malam lalu, bersama beberapa mobil lain!""Maksud Abi, Ratini pergi di jemput orang?" tanyaku penasaran."Iya, menurut penuturan satpam beberapa malam rumah ini dijadikan ajang pesta! Entahlah untuk malam ini. Makanya Abi sengaja menunggu, siapa tahu mereka
"Bi! Pelan-pelan bawa mobilnya!" pekikku yang merasakan jika Abi membawa mobil dengan ugal-ugalan."Iya, Mi! Abi sudah tak sabar ingin secepatnya sampai.""Istighfar, Bi!"Aku terus saja menasehati Abi yang masih melajukan mobilnya dengan cepat, hanya dapat terus berdo'a agar tak sampai terjadi hal yang tak diinginkan. Akhirnya perasaanku sedikit lega ketika mobil memasuki pintu masuk perumahan Gema Resident.Abi menghentikan mobil, menurunkan kaca kemudian sejenak berbicara pada satpam penjaga."Baik, Terima kasih!"Abi kembali menutup kaca kemudian langsung menuju kerumah berlantai dua.Abi turun untuk membuka gerbang, tak ada mobil Hendi di sana, apa Ratini pulang sendiri. Pintu di ketuk dengan keras oleh Abi. Aku hanya dapat melihatnya, menunggu pintu di buka."Abi, Umi!" ucap Ratini begitu
Kami melangkah menuju mushala rumah sakit, Umi Sepuh terus saja mengandeng tanganku tanpa terlepas."Kita akan berdo'a disana, meminta pada sang pencipta agar Usman baik-baik saja!" Umi Sepuh berkata yang aku jawab dengan anggukan saja.Setelah salat dan berdo'a, Umi Sepuh membalikan badannya. Dia menatapku sendu."Apa kamu menyesal telah menikah dengan anakku, Sal?" tanya Umi Sepuh tiba-tiba.Aku menggelengkan kepala, "tidak sama sekali, Umi. Salma yakin semua yang terjadi pada Salma adalah garis tuhan yang telah tertuliskan bahkan sebelum Salma lahir.""Selama ini Usman tak pernah memberimu kebahagian, mungkin semua inilah karmanya. Aku sendiri begitu sedih dengan semua ini, apalagi kamu yang telah tersakiti.""Sedih itu manusiawi, Umi. Namun bukan berarti menyesal dan merutuki nasib. Salma ikhlas menjalani semua ini."
Abi berhenti sejenak, melihat di mana tengah berdiri Ratini dan Hendi. Sedangkan Umi Sepuh terlihat duduk dengan tatapan sendu.Ada apa lagi ini? Batinku. Abi melangkah dengan pelan. Mendekat pada Umi Sepuh yang tengah terduduk."Akhirnya Abi pulang juga! Hai... Mba, gimana kabarnya?" Ratini berbasa basi menanyaiku. Aku sangat yakin jika mereka berdua ada maksud tertentu."Mau apa kamu kesini?" cetus Abi dengan tatapan tak suka.Ratini justru tersenyum, dia seolah sedang mengejek dengan pertanyaan Abi."Senang ya... Sekarang jadi istri satu-satunya Abi Usman sang Sultan!" Ratini berjalan mengitariku. Apa maunya?"Katakan, ada apa kalian datang kesini!" kali ini aku bersuara sedikit lantang."Duh...duh.... Sepertinya dua pasang suami istri ini sudah tak sabar untuk berganti nasib!" Dengan sombong R
Dengan rasa berdebar aku masih terus memandang pada mobil Abi yang baru datang, karena memang semua kaca yang hitam membuat kami tak tahu apakah Abi sendiri atau orang lain.Pak Sobri keluar lebih dulu dari sisi kemudi. Kalau Pak Sobri saja sudah boleh pulang berarti?Pak Sobri membuka pintu sisi belakang, dari samping ada Bagus yang keluar dan belakang Bagus Abi-lah yang menampakan wajahnya."Umi sepuh!" pekiku melihat wanita yang baru saja pintunya dibukakan oleh Pak Sobri.Aku langsung berlari mendekat, rasa haruku tak dapat kutahan lagi."Umi Sepuh baik-baik saja?" tanyaku khawatir pada wanita itu.Dia tersenyum, "aku baik-baik saja, Sal.""Syukurlah, Umi. Salma sangat khawatir.""Tentulah seperti itu, orang yang sudah menganggap Umi sebagai orang tuanya pasti akan sangat mengkh
"Sudah... Ayo kita pergi mengantar Ami dulu, nanti kita bicarakan setelah pulang!" Abi kali ini berkata tenang. Mungkin hanya menutupi saja, aku yakin dia sedang tak baik-baik saja.Aku mengangguk dan keluar, semua sudah siap untuk pergi mengantar Ami kepembaringan terakhir. Bahkan Abi meminta untuk mengantikan orang yang telah siap menopang keranda Ami.Aku dipapah Bik Sani yang juga tak surut tangisnya mengantar kepergian Ami. Sungguh aku tak kuat melihat Ami untuk terakhir kalinya. Saat tubuh Ami dimasukan keliang lahat, aku kembali tergugu, rasanya sesak sekali melihat orang yang telah merawatku dari kecil kini pergi untuk selamanya. Belum lagi aku sempat membalas jasa-jasanya.Abah terlihat tegar, walau aku tahu dia juga sangat kehilangan Ami. Karena selama ini dialah yang telah menemani hari-harinya. Sedangkan aku? Anak satu-satunya jauh darinya. Hingga kadang mereka mengeluh kesepian. Ya Allahhh.
Aku terbengong ketika Abi mengatakan bahwa kemarin sempat bersitegang merebutkan Nita. Kenapa Abi tak mengatakannya? Apakah ini yang membuat Abi semarah itu padaku, hingga merasa aku tak patut di maafkan! Aku menatap satu persatu dari Mila, Nita sampai Abi. Tak terkecuali Bagus. Mereka hanya terdiam dan lebih banyak mengangguk ketika Abi berkata."Sekarang kalau kamu tak percaya, tanyakan saja pada istriku yang merencanakan semua ini jika sungguh aku tak tahu apa-apa!" Abi menatapku."Maaf, Abi! Aku juga minta maaf, kemarin aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai abdi negara dan melindungi Nita yang notabennya masih di bawah umur. Jadi saat aku ketahui bahwa Nita sudah menikah di usianya yang masih belum genap 17 tahun, kami melakukan investigasi."Jadi Bagus ini seorang polisi? Pantas saja tubuh dia begitu atletis."Sekali lagi maafkanku, Bi! Yang menyeret kedalam rana hukum."
Aku berusaha bersikap biasa, Abi masih diam. Tak ada banyak kata seperti biasa, bahkan dia memilih menghindar dariku. Mungkin saja dia masih kecewa atas apa yang telah aku lakukan. Terlebih tenyata Nita memang sudah benar-benar bercerai, aku tahu karena Nita memberitahuku lewat sambungan telfon."Sal! Usman akan pergi keluar kota, coba kamu ikutlah!" perintah Umi Sepuh saat kami makan malam.Kutatap Abi yang masih sibuk makan tanpa terganggu dengan apa yang baru saja disampaikan Umi Sepuh."Tapi, Umi... Salma tak ingin jauh dengan Juna dalam waktu lama. Lagian takut juga menganggu Abi." aku tertunduk, masih ada rasa segan pada Abi."Usman!" kali ini Umi Sepuh beralih pada Abi."Iya, Umi.""Ajaklah istrimu untuk liburan, honeymoon kedua mungkin!""Nanti saja, Umi. Aku pergi untuk urusan bisnis, kalau sampai na
"Dimana si Hendi! Di telfon ngga aktif juga? Bikes banget, mana aku bawa koper sebesar ini lagi!" gerutuku ketika keluar dari Gema Resident. Kalau ada Hendi di sini tak mungkin aku seperti ini. Si@l! umpatku."Awas saja kau bandot Usman. Hartamu pasti akan jatuh ketanganku, aku tinggal tunggu saja kapan waktunya tiba. Membuat Salma yang sombong dan sok alim itu mati kutu!" aku tersenyum sinis, dengan ekor mata kelirik pada bangunan berlantai dua yang baru saja aku tinggalkan.Tin... Tin....Aku terkaget ketika taxi online pesananku sudah tiba di tempat, segera sopir turun untuk membantuku memasukan koper besar kebagasi."Aku pastikan tujuh bulan lagi akan datang menemui mereka dan mengejutkan tentang apa yang akan aku berikan padanya!" aku kembali terngiang tentang bagaimana membuat sebuah perjanjian yang akan membuat aku mendapatkan k
"Apa yang akan kamu katakan, Usman?" cetus Umi Sepuh, "Kamu mau mengatakan tentang Nita kan? Tentang perjanjian Nita dengan Salma. Tentang kenapa Nita sampai Salma bayar untuk menjadi istrimu!"Seketika mata Abi membulat, seolah kaget dengan apa yang baru saja Umi Sepuh katakan."U-Umi Sepuh sudah tahu?" Abi bertanya dengan tergagap."Ya! Kenapa? masih mau menyalahkan Salma!"Abi terdiam, entah apa yang bergelayut dalam pikirannya. Untung saja aku sudah ceritakan semuanya terlebih dahulu pada Umi Sepuh.©©©©Kemarin...Tok... Tok...."Umi Sepuh memanggil Salma?""Iya, Sal. Masuklah!"Akupun segera masuk dan duduk tepat di sisinya, di sofa ruangan bekas kantor Abah Said.&nb
"Eh, Umi Sepuh! Nggak papa kok, Mi! Ini temen Salma aja di telfon nggak diangkat-angkat takutnya dia sedang dalam keadaan gawat darurat!" ucapku berbohong, semoga Umi Sepuh tak curiga."Oh! Pantes wajahmu panik begitu, semoga temanmu itu tak kenapa-kenapa!""Iya, Mi....""Oh, ya, kamu pernah mau cerita tentang masalalu Nita sama Umi, boleh dong kalau sekarang saja? Umi penasaran banget tentang dia!" kali ini ucapan Umi membuat aku tak berkutik. Aduh! Bagaimana ini, apa aku cerita sekarang saja.Kring...Tiba-tiba Hpku berdering, kulihat nama Mila. Alhamdulillah, akhirnya."Sebentar ya, Umi. Salma angkat telfon dulu." Umi mengangguk, aku mulai menjauh dengan Umi Sepuh. Aku sangat yakin Mila akan mengabarkan sesuatu yang akan membantuku menyelesaikan masalah."Assalamualaikum, Hallo, Mil. Bagaimana?