kuusap tangan Nita yang dingin karena ketakutan, berusaha menguatkan bahwa semua akan baik-baik saja.
"Angel, apa semua omonganmu bisa di percaya?" tanyaku.
"Tentu, Mbak! Mbak bisa pegang kata-kataku."
Aku mengangguk mengerti, tak ada raut kebohongan di matanya. Apa aku harus kerja sama dengan dia agar dapat membongkar kebusukan Ratini.
"Aku mau menawarkan kerja sama denganmu, apa kamu mau?" aku menatap tajam pada sorot mata Angel.
"Kerja sama? Kerja sama bagaimana?" dia membenarkan posisi duduknya.
"Ya, aku minta bantuan kamu untuk mengungkap siapa Ratini dan Hendi!" terlihat ada sorot ragu pada mata Angel.
"Bagaimana?" tanyaku lagi.
"Bu-bukan aku tak mau tapi... Mereka bukan orang yang gampang di tangkap, mereka itu seperti belut, licin tubuhnya untuk menangkap basah."
<"Jangan fitnah kalau tak ada bukti!" Ratini juga berkata dengan lantang, sungguh benar-benar sudah di luar batas.Mungkin kini saatnya aku untuk mengungkap siapa Ratini!"Apa yang dikatakan Dik Nita aku sependapat," ucapku masih dengan nada santai.Terlihat Abi kaget dengan apa yang baru saja aku katakan."Aku sangat ragu dengan anak yang di kandung Ratini itu anaknya Abi, bukankah Dik Ratini itu di jual oleh Hendi yang tak lain adalah suaminya sendiri!"Abi lebih terlihat kaget lagi, sepintas menatap Ratini tak percaya kemudian kembali menatapku."U-Umi... Jangan bercanda!" suara Abi sedikit bergetar, Ratini masih terdiam tanpa suara."Semua yang dikatakan Umi benar adanya, Bi. Umi sebaiknya bongkar semua kebusukan dia!" Nita begitu mengebu-gebu."Iya, Bi. Ratini memang
"Kemana kira-kira Abi, Umi?" tanya Nita dengan nada panik."Entahlah, Dik! Umi sendiri bingung, lebih baik kita ketuk lagi." kucoba lagi untuk mengetuk pintu. Namun tetap nihil."Umi, Dik Nita!" dari belakang suara itu memanggil."Abi!" kami langsung berlari mendekat menuju dimana Abi berdiri."A-abi dari mana? Kami khawatir sekali! Terlebih dari tadi kita tak menemukan Abi!" ucapku."Abi dari post satpam Umi, karena tadi pagi kesini tak ada orang dan pulang dari kantor kesini lagi masih juga tak ada. Kata post satpam didepan sana Ratini keluar malam lalu, bersama beberapa mobil lain!""Maksud Abi, Ratini pergi di jemput orang?" tanyaku penasaran."Iya, menurut penuturan satpam beberapa malam rumah ini dijadikan ajang pesta! Entahlah untuk malam ini. Makanya Abi sengaja menunggu, siapa tahu mereka
"Bi! Pelan-pelan bawa mobilnya!" pekikku yang merasakan jika Abi membawa mobil dengan ugal-ugalan."Iya, Mi! Abi sudah tak sabar ingin secepatnya sampai.""Istighfar, Bi!"Aku terus saja menasehati Abi yang masih melajukan mobilnya dengan cepat, hanya dapat terus berdo'a agar tak sampai terjadi hal yang tak diinginkan. Akhirnya perasaanku sedikit lega ketika mobil memasuki pintu masuk perumahan Gema Resident.Abi menghentikan mobil, menurunkan kaca kemudian sejenak berbicara pada satpam penjaga."Baik, Terima kasih!"Abi kembali menutup kaca kemudian langsung menuju kerumah berlantai dua.Abi turun untuk membuka gerbang, tak ada mobil Hendi di sana, apa Ratini pulang sendiri. Pintu di ketuk dengan keras oleh Abi. Aku hanya dapat melihatnya, menunggu pintu di buka."Abi, Umi!" ucap Ratini begitu
Rasanya begitu sepi rumah ini di tinggal oleh Nita, biasanya rumah sedikit hidup dengan kehadirannya terlebih ketika masih ada Ratini. Pertengkaran demi pertengkaran yang mereka buat justru membuat suasana rumah ini terlihat ramai. Ups! Kenapa aku justru merindukan saat seperti itu, sungguh sudah tidak waras nih aku!"Lebih baik aku main sama Juna saja!" pekikku kemudian."Juna!" panggilku ketika memasuki kamarnya."Dia baru saja tidur, Umi." Mirna yang tengah membereskan kamar Juna menjawab. Kumonyongkan bibirku, kalau sudah begini terpaksa aku lebih memilih masuk kamar dan membaca kitab, kadang juga baca novel karya Bunda Asma Nadia. Husst... Jangan bilang-bilang ya!"Umi, Dik Nita!" teriak Abi ketika baru saja pulang dari kantor, terlihat dua paperbag berukuran kecil tengah Abi pegang."Abi sudah pulang?" ucapku sambil mencium takzim tangannya.
"Tapi, Dik, kenapa? Apa kamu tak bahagia menjadi istri Abi? Apa Umi pernah menyakitimu?" tanyaku beruntun karena terlalu panik mendengar kabar bahwa Nita minta cerai.Diam, tak ada jawaban di sana."Dik! Dik Nita?" aku memanggilnya karena dia masih diam."Dik! Jawab Dik? Kamu masih di situ kan?""Iya, Umi. Aku masih di sini.""Kalau memang kamu mau, Umi akan cabut semua perjanjian pra nikah dulu. Dik Nita akan sepenuhnya jadi madu Umi tanpa syarat apapun. Dik Nita boleh lepas kontrasepsinya dan juga boleh hamil. Memberi adik buat Juna juga.""Tak perlu begitu, Umi. Aku sudah fikifkan masak-masak.""Terus apa alasannya nanti sama Abi kalau kamu tiba-tiba minta cerai!""Entahlah, Umi. Aku harap Umi dapat memikirkan jalan yang terbaik agar Abi dapat menceraikanku."Waduh! Nita
"Eh, Umi Sepuh! Nggak papa kok, Mi! Ini temen Salma aja di telfon nggak diangkat-angkat takutnya dia sedang dalam keadaan gawat darurat!" ucapku berbohong, semoga Umi Sepuh tak curiga."Oh! Pantes wajahmu panik begitu, semoga temanmu itu tak kenapa-kenapa!""Iya, Mi....""Oh, ya, kamu pernah mau cerita tentang masalalu Nita sama Umi, boleh dong kalau sekarang saja? Umi penasaran banget tentang dia!" kali ini ucapan Umi membuat aku tak berkutik. Aduh! Bagaimana ini, apa aku cerita sekarang saja.Kring...Tiba-tiba Hpku berdering, kulihat nama Mila. Alhamdulillah, akhirnya."Sebentar ya, Umi. Salma angkat telfon dulu." Umi mengangguk, aku mulai menjauh dengan Umi Sepuh. Aku sangat yakin Mila akan mengabarkan sesuatu yang akan membantuku menyelesaikan masalah."Assalamualaikum, Hallo, Mil. Bagaimana?
"Apa yang akan kamu katakan, Usman?" cetus Umi Sepuh, "Kamu mau mengatakan tentang Nita kan? Tentang perjanjian Nita dengan Salma. Tentang kenapa Nita sampai Salma bayar untuk menjadi istrimu!"Seketika mata Abi membulat, seolah kaget dengan apa yang baru saja Umi Sepuh katakan."U-Umi Sepuh sudah tahu?" Abi bertanya dengan tergagap."Ya! Kenapa? masih mau menyalahkan Salma!"Abi terdiam, entah apa yang bergelayut dalam pikirannya. Untung saja aku sudah ceritakan semuanya terlebih dahulu pada Umi Sepuh.©©©©Kemarin...Tok... Tok...."Umi Sepuh memanggil Salma?""Iya, Sal. Masuklah!"Akupun segera masuk dan duduk tepat di sisinya, di sofa ruangan bekas kantor Abah Said.&nb
"Dimana si Hendi! Di telfon ngga aktif juga? Bikes banget, mana aku bawa koper sebesar ini lagi!" gerutuku ketika keluar dari Gema Resident. Kalau ada Hendi di sini tak mungkin aku seperti ini. Si@l! umpatku."Awas saja kau bandot Usman. Hartamu pasti akan jatuh ketanganku, aku tinggal tunggu saja kapan waktunya tiba. Membuat Salma yang sombong dan sok alim itu mati kutu!" aku tersenyum sinis, dengan ekor mata kelirik pada bangunan berlantai dua yang baru saja aku tinggalkan.Tin... Tin....Aku terkaget ketika taxi online pesananku sudah tiba di tempat, segera sopir turun untuk membantuku memasukan koper besar kebagasi."Aku pastikan tujuh bulan lagi akan datang menemui mereka dan mengejutkan tentang apa yang akan aku berikan padanya!" aku kembali terngiang tentang bagaimana membuat sebuah perjanjian yang akan membuat aku mendapatkan k