Aku mencerna kata-katanya, teringat saat ada pemutihan sertifikat dan aku meminta agar sertifikat itu atas nama Sherly. Aku tidak akan pernah menyangka efeknya akan begini, siapa yang tahu kalau rumah di jual oleh istrinya sendiri! Berarti kemarin aku ke Bali emang sudah bagian dari rencananya?Supaya kami pergi dan dia bebas bertransaksi jual beli rumah ini?! Argh! Kenapa aku bisa kecolongan seperti ini!“Sherly sialan!“Aku membanting ponselku sendiri ke tembok, tidak kupedulikan lagi sekarang bentuknya seperti apa. Aku segera melangkah keluar. Aku harus ketemu Sherly! Dia pasti bersembunyi tidak jauh dari sini!“SHERLY!!!““SHERLY! KELUAR KAU!“ “Pram kenapa teriak-teriak begini sih, Hah! Malu dilihat tetangga!“ sungut Ibu menghentikan langkahku.“Bu! Rumah ini sudah dijual sama Sherly, Bu!““APAAAAAA!??“ “Pak, tolong bayar tagihan saya dulu,” rengek pak sopir menarik lenganku.Aku menoleh dengan mata melotot. Tidak mengerti kah dengan kondisiku saat ini? Hanya uang kecil kini k
BUGH!Kutinju pipi salah satu tukang diantaranya. Aku masuk menyusuri setiap ruangan termasuk kamar mandi. Kosong!Semua kudapati kosong. Tidak ada selembar baju pun tersisa. Bagaimana nasibku besok?Sungguh Sherly wanita durhaka!“Emas! Emas ... Emasku di mana, Pram!?“ tanya Ibu yang ikut masuk dengan suara histeris.Aku menoleh dengan tatapan lesu. Aku menggeleng ke arahnya. Percuma, nasibnya sudah tidak sama lagi mulai sekarang. Sudah menjadi gembel!Aku yakin pasti sebentar lagi Clara akan meninggalkanku.“Pram, tas Ibu? Pokoknya cari sampai ketemu, Pram. Ibu tidak mau semua barang Ibu hilang! Cepat telepon Sherly, Pram!“ teriaknya sembari hilir mudik tidak karuan.“Pram! Kenapa isi kardusnya cuma punya Bapak, Pram. Di mana yang lainnya, Pram!“ Tidak lama ibu berteriak lagi.Aku melangkah keluar, bahkan langkahku sudah sampai lahan belakang namun masih kosong.Aku membuka cover mobil dengan perasaan tidak menentu.Sekarang mana ini kuncinya?!Aku langsung menendang ban roda mobil
POV Ibu mertua.Aku syok bukan main, bahkan aku sendiri tidak bisa menggambarkan seperti apa kemarahanku saat ini. Bagaimana mungkin semua hilang dalam sekejap. Bahkan rumah ini, rumah satu-satunya yang aku wariskan ke Pram hilang begitu saja. Bagaimana aku tinggal sekarang, ke mana kaki ini melangkah?Aku berjanji dengan diri ini, kalau sampai ketemu Sherly sudah kupastikan tidak kubiarkan lolos begitu saja. Akan kupastikan dia membayar mahal apa yang ia perbuat!Emosiku masih menggelora, lihatlah dalam keadaan seperti ini, Bapak masih terlihat linglung. Tidak ada niatan untuk menenangkanku atau apalah. Ia hanya sibuk dengan ponselnya. Aku segera ke dapur. Aku harus mencari sesuatu untuk melampiaskan emosi ini.Kuraih piring yang masih bertengger di lemari. Lalu ...PRANG! Aku membantingnya ...PRANG! PRANG!Sampai habis.Pecahan beling berserakan di depanku. Argh! Kulihat Bapak masuk ke rumah,Aku pun membuntutinya untuk melihat apa yang akan dilakukan. Tidak lama ia memunguti
Aku terhenyak, 6 tahun katanya. Bahkan ia berkhianat sebelum Pram menikah?Aku menggeleng, menangis lalu memukul dada bidangnya berulangkali. “Kamu jahat, Pak!“ desisku sembari menangis meronta-ronta. Tidak aku pedulikan aku di mana. Para tetangga dan para tukang sepertinya sedang menatap kami. Aku tidak peduli!Aku terus memukul dadanya. Kuluapkan rasa kecewaku. Kenapa Tuhan memberi ujian yang sangat berat?Aku tidak ingin kehilangan Bapak. Diusiaku saat ini sungguh sangat memalukan bila bercerai.“Sudah, Bu! Malu dilihat banyak orang!“ bisik Bapak dengan menekankan suaranya, tangannya menahan tanganku. “Bapak, kenapa bisa tega begitu!“ lirihku tak tinggal diam.“Tega gimana, bahkan, Ibu secara terang-terangan mendukung Pram untuk menikah lagi dan selalu membuly Sherly karena hanya wanita biasa. Harusnya Ibu adil dan menerima kalau diperlakukan sama Kalau ditinggal nikah lagi.“Aku menggeleng, tidak terima dengan apa yang dia ucapkan. Aku hanya ingin membuat Pram bahagia, itu saja
Bab 27. POV Clara.Aku berdiri di depan rumah calon Suamiku yang sudah bukan miliknya lagi, rasanya ingin aku pergi darinya. Tapi hati ini sangat terenyuh melihat Pram teriak histeris. Tatapannya nyalang tapi terlihat ada guratan kesedihannya.Aku berpikir ulang, toh sebelum ini aku terbiasa menjalani kehidupan yang serba pas. Bila aku pergi, ke mana? Siapa yang mau menampung wanita yang sudah punya anak sebelum menikah. Bahkan untuk kembali ke kampung halaman saja aku sudah tidak punya muka. Ah, jika teringat masalalu ingin sekali aku mengumpat.Semua ini gara-gara Galang! mantan pacar yang bodoh. Hanya ingin enaknya sendiri, aku tidak boleh KB dan maunya dikeluarkannya di dalam.Setelah tahu aku hamil dia angkat tangan bahkan menyuruhku aborsi. Tentu saja itu tidak akan kulakukan. Sebejatnya aku, aku tidak akan berani melenyapkan nyawa dalam kandungan.Lalu karena keinginan kita yang berbeda, ia pergi begitu saja dan memblokir semua yang berhubungan denganku. Mau tidak mau akhirny
Ah mungkinkah blokiranku sudah dibuka? Segera aku tekan untuk mengirimi permintaan pertemanan. Segera aku mengirimi pesan untuknya.Mengabari kelahiran Amira. Aku berbohong kepadanya bahwa Amira adalah anaknya.Tidak menyangka responnya sangat antusias dan langsung membalas pesanku. Ia mengatakan ingin memboyongku beserta anaknya.Hari yang dijanjikan tiba, dengan perasaan yang tidak menentu aku menanti kehadirannya, akupun sudah mempersiapkan surat pengunduran diri. Siang itu Pram datang bersama ibunya, perasaanku bercampur antara takut dan cemas. Biasanya akan melabrak atau pun mencaci, dan siapa sangka sifatnya jauh dari perkiraanku.Ibunya menerimaku, dia selalu membicarakan menantunya. Tentu saja membicarakan kejelekannya, akhirnya perjuanganku usai. Amira sudah punya Bapak, dan akupun sebentar lagi akan menjadi bagian dari keluarganya. Lepaslah penderitaanku.Di hari pertama aku membuka pintu rumahnya, mataku tertuju dengan wanita yang bernama Sherly. Dia mempunyai wajah canti
“Clara! Jangan membantah!““Bu. Yang berhak mengambil emas ini hanya ibunya, yaitu Clara, Bu.““Halah. Kuaduin Pram nanti biar gak jadi nikahin, Kamu,” ancamnya dengan menuding ke arahku.Bisa-bisanya mengancam seperti itu. Aku pun diam, tidak merespon pun tidak memberikan apa yang dipintanya.Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, melihat ibu yang terus menggerutu membuat mata ini sepet rasanya. Tidak lama mobil yang ditumpangi Pram sudah terlihat di ujung jalan. Ibu yang melihat itu pun langsung menyambut dengan sedikit berlari di mana putranya memarkirkan mobil itu.“Mana Bapak, Pram?“ Suara ibu masih terdengar olehku, ibu antusias mendatangi Pram yang hendak turun dari mobilnya, lalu ia melongok ke dalam, mungkin untuk mencari suaminya itu. Duh kasihan sekali nasibnya.“Bu, bapak berpesan kalau isterinya berkenan akan menjemput, Ibu. Kalau tidak mungkin dia akan mengunjungi kita dan terpaksa menceraikan, Ibu,” jawab Pram.Aku melihat mimik ibu yang berubah langsung, bahkan bib
POV SherlyAku menatap fokus ke layar ponsel yang sedang memutar video yang dibagikan Lewat group oleh salah satu tetangga. Kedua mata ini menelisik apa yang ada di dalam video ini bagaimana histerisnya mereka. Bahkan terlihat jelas Mas Pram keluar rumah dengan teriak-teriak memanggil namaku. Aku berada di sini mas Pram. Di rumah tetanggamu sendiri yang kamu tidak tahu.Bahkan, mobil yang aku pakai pun di simpan rapi di dalam garansi yang paling dalam dan aku disuruh memakai mobil Tante untuk menyamarkan dari penglihatan mereka ketika aku keluar masuk dari rumah ini.Video berakhir hanya sampai Bapak sama mas Pram ke mana aku tidak tahu. Suara ibu juga tidak terdengar jelas. Tapi yang pastinya Bapak membawa kardus, mungkin pakaiannya.“Pembalasanku belum usai hanya sampai sini. Akan aku lakukan sampai kalian benar-benar putus asa untuk menjalani hidup.Tidak kubiarkan kehidupan kalian akan baik baik saja.Dulu aku kasih hati namun kalian merogoh sampai jantung. Inikan akhir yang kal
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!