POV Sherly
Mas, bayi ini kembalikan ke ibunya saja,” usulku ketika sudah berada di kamar dengan menggendong bayi dan duduk di samping Mas Pram.
“Dek, emang kamu gak ingin ngerasain jadi ibu? Ini kesempatan kamu untuk menjadi ibu tanpa harus mengandung,” ucapnya tanpa menoleh ke arahku dan masih sibuk bermain dengan ponselnya.
“Tapi, Mas. Aku sudah menyanggupi menerima barang endorse dan juga sudah terlanjur kerjasama sama photograper dan sudah bayar uang muka.“
“Lagian, kenapa kamu gak ijin dulu sama aku kalau mau melakukan hal begituan,” katanya masih tak menghiraukanku.
“Mas, tolonglah, bukannya kemarin mas gak ngelarang saat aku bikin konten dan mengaploudnya? Kenapa saat sudah seperti ini, Mas menyalahkanku?“ Aku menghela napas, rasanya begitu sesak di dalam sini. Perjuanganku untuk mencapai centang biru itu tidaklah mudah. Aku yang membuat konten tutorial make up-nya juga membutuhkan banyak modal. Ketika fondution, lipstik, dan alat lainnya habis itu juga harus membeli itupun tidak gratis.
“Ya sudahlah, emang gak bisa, Kamu sambi momong?“
“Mana bisa, Mas. Anaknya ditaruh mana saat aku bikin konten? Lagian aku bayar photografer itu tidak murah, Mas. Hitungannya per menit. Tidak mungkin saat bikin konten aku sambi momong.“
“Ya sudah, Endorsenya dibatalin saja!“ Dengan entengnya lelaki yang bergelar suami itu menyuruhku untuk membatalkan.
“Mas!“ Aku melotot memandang Mas Pram yang masih asyik dengan ponselnya.
Aku bangun dan merebut ponsel yang berada di genggamannya. Sudah tidak tahan lagi menahan emosi.
Kutatap tajam Mas Pram yang hendak merebut ponselnya kembali.
“Mas, kalau istri sedang berbicara itu dengarkan!“
“Sudah! Lagian juga sudah aku jawab! Kurang apa! Siniin ponselnya!“
“Tidak! Mas harus kembalikan bayi ini ke ibunya! Aku tidak mau merawat!“ ucapku sambil menyodorkan bayi itu tepat di depan Mas Pram.
“Sombong sekali kamu, kamu itu hanya isteri yang hanya jadi benalu, harusnya kamu nurut sama suami!“
“Benalu katamu? Aku di sini sudah layaknya babu, Mas. Di sini aku yang masak, mencuci dan membersihkan semua yang ada di rumah ini termasuk milik orang tua mu!
Aku selalu bersabar saat orang tuamu selalu mengejek dan mengatakan mandul dan sekarang kamu menyebutku benalu, Mas?“
“Ya emang seperti itu, bukankah wajar seorang Istri itu melakukan tugas ibu rumah tangga! Kenapa kamu mengeluh? Bukankah benar kamu hanya benalu?“
“Benalu menurutmu itu apa, Mas!“
Aku mencoba menahan air mataku yang sudah mengembun hendak keluar.
“Orang yang hanya merepotkan saja!“
“Merepotkan? Aku sama babu itu malah lebih baik babu. Babu dapat bayaran! Lalu aku? Kapan, Mas ngasih uang lebih untuk perawatan aku? Aku bikin konten saja dari tabunganku, Mas. Gak ada sepeserpun uangmu,” desisku tidak terima.
Aku membanting ponsel mas Pram ke ranjang. Emosiku sudah menguap saja. Kutatap bayi yang aku gendong dengan napas memburu, kalau bukan karena hati nurani. Sudah kulempar saja bayi ini, semenjak kedatangannya, Mas Pram mulai berbicara kasar dan tidak berbahasa lembut.
Mas Pram dengan gesit mengambil ponselnya. “Ponsel ini mahal! Kamu gak mampu untuk menggantinya kalau rusak!“ hardiknya sambil melotot ke arahku.
Luruhlah sudah pertahananku, air mataku sudah mulai tumpah berdesakan.
Badanku bergetar, dengan pelan aku menaruh bayinya ke ranjang. Ia menangis begitu keras.
Aku hanya menatapnya tanpa ingin menyentuhnya kembali. Demi apa aku harus kerepotan mengasuh bayi itu.
Bahkan suamiku kini mulai berani membentakku.
Aku yang tidak biasa dibentak pun tidak bisa menyembunyikan rasa ketakutan dari dalam. Takut tiba-tiba ditampar.
Kulihat Mas Pram dengan lembut meraih dan menggendong bayinya. Ia menimang-nimang penuh kasih sayang layaknya seperti seorang ayah dengan anaknya.
Ia membawa keluar kamar. Mungkin saja untuk meredakan tangis sang bayi.
Sekarang tinggal aku sendiri di kamar. Aku terisak mengingat ucapan kasar dari Mas Pram, Mas Pram sudah seperti orang lain tak selembut seperti sebelumnya.
Aku bertahan dalam rumah tangga ini karena kelembutan dan kasih sayang dari Mas Pram. Selebihnya hanya menyakitkan hati yang tak perlu diingat.
Tapi kini semua sudah berubah, sudah tidak ada lagi yang perlu dipertahankan. Semua sudah jelas di depan mata. Kasih sayang Mas Pram untukku sudah sirna. Mertuaku juga tak menyayangiku selayaknya aku menyayangi mereka.
Kulihat Mas Pram masuk kembali ke kamar beserta bayi dalam gendongan. Sudah tidak terdengar lagi suara tangisan. Aku mencoba mengacuhkan kedatangannya dan berpura-pura memainkan ponselku.
“Sayang! Maafin Mas sudah berucap kasar tadi, Mas kilaf, mungkin Mas kecapekan gara-gara perjalanan jauh,” ucapnya dengan memegang bahuku dari belakang.
Aku bergeming, ada binar bahagia dalam lubuk hatiku, ternyata semua ini hanya pikiran buruk semata. Mungkin benar saja karena kecapekan ia berucap seperti tadi.
Semoga saja!
Aku menoleh perlahan, belum berani menatap ke arah Mas Pram. Kutundukkan wajahku. Aku akui juga sudah berucap dengan nada tinggi tadi.
“Yang, tolong rawat bayi ini, aku ingin merasakan jadi Bapak. Kubawa bayi ini agar keluarga kita lengkap, Sayang,” ucapnya lembut kembali.
“Mas, aku hanya mengeluhkan dengan keadaanku, Mas. Aku sudah terlanjur terima tawaran Endorse, Mas. Itu gak mungkin dibatalkan apalagi sudah proses kirim ke sini,” jelasku dengan perlahan.
“Sayang, coba kamu pikirkan. Ibadah lho mengasuh anak itu, lagian masalah duit kan Mas masih bekerja, kurasa cukup untuk kehidupan kita.“
“Iya, Mas. Tapi Ibu yang selalu mengeluh! Duit kurang terus, lagian di komplek ini banyak sekali undangan dan sumbangan,kita perlu tabungan,Mas.“
“Hm, terus gimana dong?“ tanyanya dengan mengedikkan bahu.
“Gimana kalau bayi ini kita sewa baby sitter,Mas?“ usulku.
“Mana bisa begitu, nanti yang buat bayarnya pake uang apa. Kita begini saja belum punya tabungan,” keluhnya.
“Lagian, sudah tau hidup pas-pasan. Pake gaya segala mau rawat bayi,” protesku. Jujur hati ini masih terasa berat menerima bayi itu.
“Kita bantu janda kan nanti dapat pahala, Yang. Di dunia ini gak ada yang sia-sia. Semua pasti ada timbal baliknya, anggap aja kita sedang beramal.“
“Loh, asuh bayi itu gak sembarang asal beramal, Mas. Di akhirat nanti semua ada pertanggungjawaban. Mas sanggup? Belum biaya juga tenaga. Itu harus dipikir berulangkali lho, Mas,” jelasku dengan sedikit penekanan.
“Iya, Dek. Mas tahu. Jangan terlalu banyak dipikir ya, jalani saja, anggap aja ini adalah anak sendiri. Nanti bisa iklas juga mudah ngejalaninnya,” jawabnya dengan mengelus punggungku.
Aku menatap lekat ke arah Mas Pram. Kurasa semua ini terasa ganjil dan tiba-tiba, kenapa aku tidak diajak berunding sebelum membawa bayi ini. Pasti dibalik semua ini ada rahasia terselubung.
Aku tahu, Apalagi watak Ibu yang tak mudah beramal begitu saja.
Aku harus cari tahu!
Bila nanti kamu ketahuan melakukan kecurangan, awas saja kamu,Mas. Aku akan hancurkan semua milikmu.
.
POV SherlyAku terbangun di tengah malam saat mendengar tangisan yang menyentakkan tidurku.Amira menangis semakin menjadi. Membuat seisi rumah ikut bangun. Aku bergegas keluar kamar hendak mencari susu dan temannya.“Heh, anak nangis itu dibuatkan susu!“ sentak Ibu mertuaku mengagetkan saat aku kebingungan mencari susu di dapur.Belum sempat menjawab, Ibu mertua melewatiku dengan sedikit menyentakkan kakinya. Ia mengambil susu dan botol yang masih berada di dalam tas besar. “Pantas sampe sekarang, kamu belum dikasih anak. Anak nangis malah bengong! Dasar tidak becus!“ desisnya dengan sesekali menatapku dengan sinis. Kuhela napas ini, pedas sekali mulut Ibu yang melahirkan suamiku itu. Aku tidak bengong, daritadi memutari dapur dan ruang tamu untuk mencari susu. Karena tak ada seorangpun yang memberi tahuku dimana letak susu sebelumnya.Aku mendekat untuk melihat cara Ibu membuat susu. Tak kuhiraukan ocehannya. Aku hanya bisa cara membuat susu tapi tidak dengan takarannya.“Melek! L
"Assalamualaikum!“ disaat itu pula ada seseorang yang datang.Aku menelan saliva dan tetap memandang ke Ibu mertua.ibu mertuaku langsung bergegas ke arah pintu.Kupandanginya ia saat keluar dan bercakap dengan begitu ramah. Dahiku mengernyit siapa gerangan tamu di balik pintu itu?Perlahan kaki ini melangkah, Rasa penasaranku membimbing untuk menghampiri mereka.Kupandangi wanita itu dari atas ke bawah. Pakaiannya begitu ketat sekali, mau apa ke sini? Habis dari club apa bagaimana sih itu?Duh, mau bertanya langsung kok kayaknya gak sopan.Wanita itu menyodorkan tangannya ke arahku dan tersenyum begitu ramah. Aku ikut tersenyum dan membalas salamnya.Bersamaan itu, ponselku berdering berulangkali, terpaksa aku meninggalkan mereka dan mengambil ponselku yang tertinggal di meja dapur.“Assalamualaikum, Mas?“ jawabku setelah mengetahui siapa penelepon itu.“Waalaikumsalam, Dek. Mas mau tanya? Mbaknya sudah datang?“ jawab Mas Pram dari seberang telepon.“Mbak?“ Keningku berkerut sembari
Hatiku berdesir saat melihat keakraban mereka. Ramah sekali Ibu melayani si Embaknya layak seperti teman yang baru bertemu.Ya Allah, semoga saja kehadirannya menjadikan rumah tangga ini lebih baik. Aku bermunajat dalam hatii, lalu berjalan keluar.“Ini, Mbak, minumnya,” tawarku dengan meletakkan gelas di depannya.“Makasih, Bu,” jawabnya dengan senyuman ramah.“Sama-sama. Owh ya, nanti kamar untukmu tidur, Kamu beresin sendiri ya, nanti Aku kasih Sprei yang baru.““Baik, Bu.“Aku melirik ke arah Ibu mertua. Tumben hanya diam? Baguslah, setidaknya tidak menurunkan harga diri di depan pembantu baru ini.“Mau diantar sekarang apa nanti saja?““Em, terserah, Ibu.““Owh ya, maaf sebelumnya. Di sini ada dua lelaki yang bukan mahrammu, aku harap, Kamu ubah cara berpakaianmu yang lebih sopan, ya.““Em, baik, Bu.““Punya tidak bajunya? Jangan-jangan semua terbuka begitu?“ tanyaku dengan menatap lekat ke arahnya. Entah kenapa saat berbicara dengannya hawanya sensitif melulu.“Rata-rata seperti
Mata ini terus memindai wanita yang sedang duduk menunduk di depanku. Apakah aku terlihat bodoh sekali? Sampai mereka begitu menyusun rencana tidak rapi blas. Seharusnya biar kelihatan alami, setidaknya diubah dulu kek cara berpakaiannya. Ya minimal berpakaian seperti emang dari desa. Kan juga bukan melalui agensi. Harusnya emang kurang pengalaman dan baru mau bekerja. Okelah, aku akan tetap pura-pura tidak tahu dan mengikuti rencana mereka. Bukankah manis sekali saat mendengarkan tukang bohong ngarang cerita. “Owh ya, Kamu sudah dikasih tau belum sama Ibu tugasnya ngapain saja di sini?“ tanyaku ke arah si Clara.Setelah sekian menit hanya ada hembusan napas, akhirnya aku mulai mengobrol kembali.“Belum, Bu.““Kamu tahu kan, posisi kamu di sini hanya pembantu? Bukan baby sitter? Itu artinya kalau Pembantu itu mengerjakan semua pekerjaan rumah juga membantu mengasuh bayi yang ada di rumah ini, sedangkan untuk baby sitter itu kusus memegang bayi dan kebutuhan bayi, hanya itu. Kamu pah
POV ClaraAku bangun lebih pagi untuk hari ini, dimana hari yang ditentukan Mas Pram untuk datang ke rumahnya. Aku sudah mengurus semua pekerjaan termasuk surat resign dan juga sudah berpamitan dengan penjaga rumah rusun.Hati ini bahagia sekali, sebentar lagi aku akan menjadi nyonya, emang benar dugaanku, Pram itu sampai sekarang masih bodoh. Maunya dibohongi.Ah sudahlah, aku sekarang harus dandan secantik mungkin demi terlihat lebih cantik daripada istri Pram itu.Aku tebak Istrinya itu pasti akan tunduk sama aku. Nanti akan kubuat dia mau melakukan apapun yang aku suruh, gak apa-apa lah, berakting dulu jadi pembantu.Selisih hari aku akan balikkan semua itu. Bahkan lebih kejam. Apalagi Pram sepertinya sudah bosen dengan istrinya itu. Kalau tidak mana mungkin dia mau kesini dan mengasuh bayiku tanpa curiga.Nanti pasti Pram akan mendukungku penuh. Lihat saja permainan seorang Clara Inggrid.Ada untungnya juga Amira lahir selamat. Amira hebat dari Janin. Berupaya aku minum obat pen
Pesan pun terkirim, tidak menunggu lama pesan itu langsung dibaca Pram dan langsung ada kode sedang mengetik. [Jangan lupa, kita harus tetap berpura-pura tidak mengenal dan, Kamu akting sebagai pembantu dan harus nurut sama Sherly. Ini semua demi kebaikan semua] Aku mendecak kesal saat membaca pesan yang dikirim Pram. Mau tidak mau aku harus menuruti ucapannya demi sebuah tujuan. Tidak lama laju mobil mulai pelan. “Non, tolong dicek lagi, apakah rumah ini sesuai tujuan, Non. Kalau dilihat dari nomor yang tertulis di samping pagar memang benar adanya,” ucap Pak Sopir sambil menurunkan kaca jendela mobil. Aku menoleh dan tidak sadar mulut ini membulat sempurna, bagaimana tidak. Yang kukira megah bertingkat tinggi dan ada beberapa patung di depan sebagai penghias seperti di film-film itu ternyata hanya terjadi di anganku saja. Aku pun pasrah keluar mobil setelah membayar sejumlah tagihan. Cukup lama kaki ini masih berdiri di depan gerbang meskipun mobil sudah meninggalkanku. Rumah
Aku menghempaskan ranjang dan mengibaskan dengan tanganku. Rasanya emosiku melebihi rasa capek karena perjalanan. Belum sempat duduk wanita itu sudah datang lagi ke sini.“Ini spreinya, dan ini beberapa baju untukmu silahkan pakai gratis, hanya sementara di sini saja. Juga ini kertas jadwal silahkan dibaca, ini rincian setelah, Kamu bangun dan sebelum, Kamu tidur! Aku harap jam 5 sudah bangun,“ ucapnya sembari meletakkan setumpuk barang ke ranjang.Lalu meninggalkan aku begitu saja.Aku langsung mengambilnya, membuka lembar demi lembar baju untuk melihat seperti apa modelnya.Kurang ajar sekali dia memberikan model baju tua seperti ini. Baju kurung, daster dan stelan baju warna pink tua. Fuck!Kubanting baju-baju itu ke lantai dasar, tidak peduli baju itu mengenai debu. Biar!Sialan, rupanya dia mulai mengibarkan bendera nyata ke arahku!Aku langsung meraih kertas yang ikut terjatuh ke lantai.Bola mataku membulat sempurna lagi saat mengetahui jadwal apa yang tertulis. Gila! Bahkan a
POV Sherly Video yang dikirim Ratih masuk juga ke ponselku, aku tidak sabar langsung klik tombol putar. Bola mataku membulat sempurna menyaksikan videonya tanpa berkedip. Bahkan satu putaran pun tidak puas, kuputar lagi untuk memastikan. Aku tersenyum kecil dengan pikiran menerawang. Tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada Ratih yang sudah berbaik hati mengirimkan video penting.Aku bersenandung ria dan mengambil handuk untuk mandi, Dari pagi sudah melakukan pekerjaan berat. Sekarang waktunya untuk membersihkan diri. Kulirik sebentar ke dinding, sudah jam 6 sore, tumben Mas Pram belum pulang. Kulanjutkan langkah ini ke kamar mandi dengan memijit lengan. Pikiranku sudah berkelana dengan rencana demi rencana, satu modal sudah aku dapatkan. Tinggal nanti aku ketemu sama ibu Mertua, semoga saja lancar jaya. 5 menit sudah berlalu, aku segera memakai baju dan mengusap badan ini dengan lotion, tidak sabar ingin segera menghampiri ibu. Dengan langkah sedikit elegan aku keluar kamar, k
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!