POV Sherly
Aku terbangun di tengah malam saat mendengar tangisan yang menyentakkan tidurku.
Amira menangis semakin menjadi. Membuat seisi rumah ikut bangun. Aku bergegas keluar kamar hendak mencari susu dan temannya.
“Heh, anak nangis itu dibuatkan susu!“ sentak Ibu mertuaku mengagetkan saat aku kebingungan mencari susu di dapur.
Belum sempat menjawab, Ibu mertua melewatiku dengan sedikit menyentakkan kakinya. Ia mengambil susu dan botol yang masih berada di dalam tas besar.
“Pantas sampe sekarang, kamu belum dikasih anak. Anak nangis malah bengong! Dasar tidak becus!“ desisnya dengan sesekali menatapku dengan sinis.
Kuhela napas ini, pedas sekali mulut Ibu yang melahirkan suamiku itu. Aku tidak bengong, daritadi memutari dapur dan ruang tamu untuk mencari susu. Karena tak ada seorangpun yang memberi tahuku dimana letak susu sebelumnya.
Aku mendekat untuk melihat cara Ibu membuat susu. Tak kuhiraukan ocehannya. Aku hanya bisa cara membuat susu tapi tidak dengan takarannya.
“Melek! Lihat ini!“ Masih dengan suara kasar ia menuangkan susu dalam botol, baru air panas selanjutnya.
Aku mengernyit, kenapa beda sekali cara membuat dengan Tanteku dulu, saat membuat, air panas yang sudah dicampur dengan air dingin setelahnya baru susu. Kenapa ini terbalik?
“Bu, bukannya air dulu ya sebelum susu?“ tanyaku memastikan dengan nada yang sangat pelan.
Ibu mertua langsung menoleh ke arahku dengan mata melotot.
“Kamu mau mengajariku? Hah! Lihat itu suamimu! Dia itu anakku, aku pasti paham apalagi hanya membuat susu!“ sentaknya tidak terima.
Aku tersenyum kecut menanggapi, kubiarkan saja Ibu melanjutkan membuat susu dengan caranya, mungkin besok aku akan tanya Tante cara yang benar gimana,
Apalagi suara tangisan Amira sampai saat ini masih terdengar semakin melengking.
“Nih! Kasih ke Amira! Awas saja kalau masih menangis!“ suruh Ibu mertua menyodorkan sebotol susu. Lalu ia meninggalkanku dan kembali ke kamarnya.
Aku menghela napas, lalu berjalan cepat menghampiri Amira. Kusodorkan botol susu ke bibir mungilnya, lucu sekali saat bibir itu menyedot botol dengan begitu cepat.
Kupandangi wajahnya begitu lekat masih dengan tangan yang memegangi botol. Aku dibuat tersenyum sendiri melihatnya. Kurasa aku mulai menyayangi Amira.
Kulirik Mas Pram yang masih pulas tidurnya bahkan mendengkur, kuakui wajah dan tubuhnya begitu tampan dan sangat menawan. Alisnya yang hampir menyatu dengan bulu lebatnya semakin terlihat menggoda. Aku terlalu mengaguminya dan aku bangga memiliki, tidak peduli dia tidak bisa memuaskanku di ranjang. Toh, selama aku diam orang lain tak akan tahu.
Namun saat melihat Amira, ada sedikit rasa hati yang iri andaikan dia keluar dari rahimku. Mungkin rasa bahagia akan berlipat-lipat daripada ini. Tapi itu tak mungkin lagi. Mas Pram sudah divonis mandul.
Aku menghela napas panjang. Tidak terasa hari sudah hampir pagi. Rasa kantuk mulai menghampiri. Kurebahkan badan di samping Amira.
***
“Dek! Bangun, udah siang ini!“ sayup-sayup aku mendengar suara Mas Pram bersamaan ia menggoyang badanku.
Aku menggeliat, dan membuka perlahan kelopak mataku.
Aku membalikkan badan menghadap Mas Pram.
Saat mata ini menatap celana kerja yang sudah terpasang di kaki Mas Pram. Aku langsung membeliak dan bergegas bangun.
Ah kesiangan!
Aku menoleh ke arah Amira sebelum keluar kamar. Masih pulas dengan badan telentang. Aku langsung keluar kamar dan benar saja. Ibu mertuaku sudah duduk di kursi tamu dengan tangan bersedekap.
Ibu mertua melotot tajam ke arahku, ia beranjak dan sekarang tepat berdiri di depanku.
“Lihat jam berapa ini,” ucap Ibu mertua penuh penekanan sambil menunjuk jam tangan yang menempel di lengannya.
Aku menghiraukan dan berjalan ke dapur.
“Bapak sama Pram makan apa kalau kamu bangun jam segini, Hah!“ cecarnya mengikutiku dari belakang.
Aku berhenti dan menoleh ke arah Ibu mertua.
“Ibulah yang masak!“
“Kamu mulai berani merintahku? Ingat! Kamu di sini itu numpang!“
“Maaf, Bu. Tapi baru kali ini aku kesiangan, itupun karena tadi malam sempat begadang,” lirihku.
Lebih baik aku mengalah, mau bagaimana pun aku tetap kalah kalau bertengkar sama beliau.
“Awas saja kalau jadi kebiasaan! Sudah mandul, pemalas pula!“
Aku membeliak, bukankah Mas Pram sudah memberikan surat dari dokter hasil periksa waktu lalu ke Ibu. Kenapa ini malah masih saja menyalahkan aku siapa yang mandul.
Ataukah jangan-jangan?
Lebih baik aku tanyakan saja ke Mas Pram.
“Heh! Mau kemana kamu!“ sentak Ibu mertua saat melihat aku berbalik menuju kamar.
“Mau menghampiri mas Pram, Bu.“
“Buat apa? Cepat sini lekas masak!“ suruhnya.
“Biar Mas Pram beli sarapan dekat kantornya aja, Bu.“
Aku tahu ini sudah jam mepet sekali, meskipun masak pun tak akan terkejar. Aku ingin memberi tahu Mas Pram untuk makan diluar sekalian tanya tentang surat dari dokter itu.
“Terus bapak sama Ibu makan apa?“
Aku mendengkus, lalu berbalik ke arah dapur. Terlalu banyak tuntutan tinggal di sini. Padahal rumah ini sebagian dibangun oleh orang tuaku. Seharusnya yang numpang bukanlah aku. Melainkan mertuaku.
Kukeluarkan beberapa telur dan sayur bayam dari kulkas. Dadar telur dan buat sop bayam adalah jalan ninjaku saat malas memasak.
“Masak apa ini!“ Ibu mertua meraih bayam dan membanting begitu saja. Aku menepis tangannya dan memungut bayam itu. Sungguh, Ibu mertua dengan usai setengah abad yang sudah menganggur selalu menginginkan ada daging tiap menu perhari.
Padahal bapak mertua juga hanya pengangguran saja.
Semua dilimpahkan ke Mas Pram. Bahkan tabungan seratus ribu pun belum terkumpul sampai saat ini. Aku menggeleng melihat tingkah ibu yang semakin kelewatan. Mana mungkin tiap hari ada daging, bisa tekor bandar.
“Bu, yang penting kita bisa makan,” ucapku pelan. Bukan maksud menggurui namun di jaman yang serba mahal kita harus pintar mengelola uang bukan. Kurasa SOP bayam dan telur tidak terlalu buruk.
“Aku hanya ingin makan enak di usia tuaku. Aku sudah cukup menghabiskan waktuku dengan makan seadanya karena membiayai Pram!“
Lagi-lagi, anaknya sebagai tameng untuk memeras dan menuntut keinginannya harus terpenuhi.
Apa emang begitu seorang Ibu?
Kurasa tidak. Ibuku selalu menyayangiku bahkan tak menuntut apa-apa.
“Minyak lagi mahal, Bu. Kita harus hemat,” ucapku lagi.
“Kamu aja yang gak pinter ngelola uang!“ sungutnya.
Ku memutar bola mataku dengan malas, andaikan bukan mertua, sudah kucabik-cabik mulut itu. Bahkan untuk membeli baju baru saja aku harus bersabar menunggu hari lebaran, demi cukupnya kebutuhan sekeluarga. Keluarga besar lagi.
“
“PAKEEETTTTT!“
Aku langsung bergegas keluar ke arah suara. Senyumanku mengembang. Barang endorse sudah datang dan sebentar lagi aku bakal punya pemasukan murni hasil sendiri.
“Dasar! Menantu biadab! Bagaimana tidak habis uang anakku, kamu boros begitu!“ umpat Ibu mertua yang tiba-tiba sudah berada di belakangku.
Aku langsung menerima paket itu dengan perasaan malu, tukang paket masih berdiri dengan paket di tangannya.
Aku langsung meraih paket agar tukang paketnya segera pergi.
Kepalaku menoleh ke samping, kulihat tetanggaku sedang mengintip ke arahku. Aku langsung berbalik, menatap ke arah Ibu mertua yang masih berkacak pinggang.
“Ini gratis, Bu,” ungkapku dan langsung masuk ke dalam.
“Tunggu! Aku harus lihat apa isi paket itu! Jangan harap aku percaya ucapanmu! Mana ada barang gratisan!“ ucapnya langsung merangsek kasar paket yang kupegang.
Aku menganga dibuatnya, ya ampun punya Mertua kenapa begini amat!
“Ada apa ini ribut-ribut?“ tanya Mas Pram yang sudah rapi dengan tas jinjingnya.
“Itu, Ibu merebut dan langsung membuka paketku.“ Kuadukan saja tingkahnya, biar kena marah, tau rasa.
“Cuma dibuka aja sih! Biarin lah, Dek. Ya sudah Mas berangkat kerja dulu ya,” pamitnya dengan menyodorkan tangannya agar aku mencium punggungnya seperti biasa.
Dengan muka cemberut, aku langsung meraih dan menciumnya. Rupanya seperti itu hanyalah hal sepele menurut Mas Pram.
Padahal bagiku tidak. Itu sudah termasuk bagian yang tidak beradab, seharusnya menghormati si pemilik barang, dan kurasa Ibu mertua sudah tidak memiliki adab lagi.
Aku lihat Ibu Mertua yang masih sibuk membuka sampul paket. Terlihat sangat kesusahan saat melepas solasi besar yang mengelilingi. Kubiarkan saja biar kuku-kukunya sakit.
Setelah berhasil, dia langsung mengeluarkan isinya. Sebuah gamis dengan lengan balon berwarna hitam. Aku melihatnya, tanpa sadar mulut ini tersenyum kecil dan mengucap syukur.
Setidaknya tanpa mengeluarkan uang sepeserpun aku bisa mendapatkan baju ganti juga nanti masih ada komisi.
Ya Allah. Memang hasil tidak pernah mengkhianati usaha.
Dengan mulut mencebik ia meremas-remas dan melempar baju itu ke arahku.
“Dasar, menantu kurang ajar! Katanya suruh hemat, eh sendirinya beli baju,” desisnya langsung masuk.
Aku meraih bajunya dan menatap miris, kondisinya sekarang terlihat kusut sekali. Padahal belum sempat aku membuat konten untuk ini.
Empat tahun sudah berjalan tapi kenapa rasa kesalku semakin bertambah, apalagi melihat tingkah Ibu Mertua yang semakin menjadi-jadi. Belum Bapaknya yang hanya bisanya pergi mancing dan pulang malam. Tentu saja aku yang kerepotan karena harus terjaga untuk membuka pintu.
Aku gegas masuk ke dalam, saat samar-samar terdengar tangisan. Mungkin Amira sudah bangun.
“Kamu itu kenapa,sih. Mbok jadi menantu itu yang gesit, pintar kayak menantunya si Ani itu. Sudah mandul! Ah, andaikan dulu Pram nurut ibu. Pasti gak nyesel!“ sembur Ibu mertua yang sudah menggendong Amira.
Nyesel? Bagaimana mungkin, Mas Pram tidak pernah mengeluh tentangku. Ah, tapi saat mendengar itu kenapa rasanya menyakitkan sekali.
“Emang Mas Pram pernah bilang nyesel ke ibu?“
“Kamu aja yang gak tau!“
Aku menghela napas. Kurasa itu hanya akal-akalan Ibu Mertua saja. Sudah sangat hapal betul saat pertama melangkah ke rumah ini, rumah yang dulunya masih berdinding bambu. Namun Ibu mertua selalu melihat aku sebelah mata. Entahlah alasan apa yang membuat seperti itu.
Melihat Amira yang sudah diam dipelukan Ibu mertua, aku berbalik arah hendak mencuci pakaian yang sudah menumpuk di bak mesin cuci. Kebetulan mesin cucinya juga rusak. Terpaksa aku harus menguceknya.
“Heh, mau ke mana, Kamu!“ sentaknya menghentikan langkahku.
Aku menoleh, menghela napas lagi, sabarrr.
“Mau nyuci, Bu. Cucian sudah banyak.“
“Enggak! Ni Amira bawa! Aku lapar daritadi belum sarapan!“
Aku mendengkus menghampiri Ibu mertua dan mengambil Amira. Jujur, rasa sayang sudah hadir di lubuk hati ini. Namun saat kehadirannya mengganggu aktivitas dan pekerjaanku rasanya rasa dongkol yang aku sembunyikan ikut tersentil. Mungkinkah seperti beban?
Sebenarnya siapa Ibu Amira? Kenapa dengan mudahnya memberikan Begitu saja bayi ke orang lain?
Rasa penasaran masih terus menghantuiku. Kuberanikan diri ini untuk bertanya ke Ibu.
“Bu, bayi ini kembalikan saja. Lagian juga aku tidak tau ibunya yang mana.“
Bu mertua yang sedang melangkah keluar kamar menghentikan langkahnya, lalu menoleh padaku. Tatapannya begitu tajam.
“Sherly, baru sehari bayi ini di sini, kamu sudah meminta mengembalikan? Jangan buat Ibu marah berkali-kali. Sudah Ibu gak mau tau. Pokoknya bayi ini tetap di sini sampai besar! Kamu di sini bukan siapa-siapa. Jadi jangan kebanyakan protes!“
Ibu, kenapa setiap kalimat yang kamu ucapkan selalu menoreh luka pada hati ini, aku sudah berusaha semampunya untuk membuat bahagia. Bahkan aku rela melakukan semua pekerjaan rumah seorang diri demi baktinya seorang menantu yang ingin dianggap seperti anaknya sendiri.
Hanya itu, Bu. Aku tak pernah menuntut apa-apa. Aku hanya ingin dianggap di keluarga ini, lirihku.
Tak terasa bulir mataku berjatuhan bahkan mengenai rambut halus kepala Amira. Kutatap wajahnya yang begitu menggemaskan. Ia menggeliat. Sepertinya minta ditimang-timang.
Kuusap air mata ini, sudah bukan waktunya untuk bersedih. Pekerjaan banyak sedang menanti di depan. Di tambah sekarang untuk membuat Video yang akan ditampilkan di reel I*******m nantinya.
Bukan saatnya aku meratapi kehidupan rumah tangga yang seperti ini. Sekarang waktunya untuk mencari uang banyak, dan tentunya menyisakan tabungan pribadi tanpa sepengetahuan siapapun.
Amira kuletakkan dalam ember besar. Kualasi dengan selimut tebal. Kugeser persis ke depan pintu kamar mandi.
Kuraih sikat gigi agar buat mainan untuknya.
Setelah beres, dengan sigap aku mengucek satu per satu, dan sesekali aku menoleh ke arah Amira yang masih asik bermain mengangkat sikat gigi. Untungnya dia belum bisa merangkak jadi bisa aku sambi melakukan pekerjaan.
Setelah selesai membilas, aku berjongkok di depan Amira. Otakku memutar mencari ide. Mau digimanakan lagi Amira biar aku bisa menjemur.
Lebih baik aku kasih dulu ke Ibu. Mungkin udah selesai makan.
Aku raih tubuh mungil itu dan kuletakkan dalam pelukan. Kuhampiri Ibu Mertua yang rupanya sedang ngedumel sendiri.
“Makan sama telur! Bisa-bisa umurku tidak panjang!“ desisnya saat tau aku sudah berada di dekatnya.
“Amin.“
Aku mendelik saat satu kata itu mudah sekali terlontar. Ya ampun! Semoga saja beliau tidak mendengar jawabanku.
Plak!
Aku terhuyung dan hampir saja Amira terlepas dari pelukanku. Untung saja tanganku mampu menopang tubuh ini. Perih sekali pipi ini mendapat tamparan.
Aku menatap lama ke wajah Ibu mertua, wajahnya merah padam dan melotot ke arahku. Tanpa takut aku tak mengedipkan mata.
“Assalamualaikum!“ disaat itu pula ada seseorang yang datang.
Aku menelan slavina dan tetap memandang ke Ibu mertua.
ibu mertuaku langsung bergegas ke arah pintu.
Kupandanginya ia saat keluar dan bercakap dengan begitu ramah. Dahiku mengernyit siapa gerangan tamu di balik pintu itu?
Perlahan kaki ini melangkah, Rasa penasaranku membimbing untuk menghampiri mereka.
"Assalamualaikum!“ disaat itu pula ada seseorang yang datang.Aku menelan saliva dan tetap memandang ke Ibu mertua.ibu mertuaku langsung bergegas ke arah pintu.Kupandanginya ia saat keluar dan bercakap dengan begitu ramah. Dahiku mengernyit siapa gerangan tamu di balik pintu itu?Perlahan kaki ini melangkah, Rasa penasaranku membimbing untuk menghampiri mereka.Kupandangi wanita itu dari atas ke bawah. Pakaiannya begitu ketat sekali, mau apa ke sini? Habis dari club apa bagaimana sih itu?Duh, mau bertanya langsung kok kayaknya gak sopan.Wanita itu menyodorkan tangannya ke arahku dan tersenyum begitu ramah. Aku ikut tersenyum dan membalas salamnya.Bersamaan itu, ponselku berdering berulangkali, terpaksa aku meninggalkan mereka dan mengambil ponselku yang tertinggal di meja dapur.“Assalamualaikum, Mas?“ jawabku setelah mengetahui siapa penelepon itu.“Waalaikumsalam, Dek. Mas mau tanya? Mbaknya sudah datang?“ jawab Mas Pram dari seberang telepon.“Mbak?“ Keningku berkerut sembari
Hatiku berdesir saat melihat keakraban mereka. Ramah sekali Ibu melayani si Embaknya layak seperti teman yang baru bertemu.Ya Allah, semoga saja kehadirannya menjadikan rumah tangga ini lebih baik. Aku bermunajat dalam hatii, lalu berjalan keluar.“Ini, Mbak, minumnya,” tawarku dengan meletakkan gelas di depannya.“Makasih, Bu,” jawabnya dengan senyuman ramah.“Sama-sama. Owh ya, nanti kamar untukmu tidur, Kamu beresin sendiri ya, nanti Aku kasih Sprei yang baru.““Baik, Bu.“Aku melirik ke arah Ibu mertua. Tumben hanya diam? Baguslah, setidaknya tidak menurunkan harga diri di depan pembantu baru ini.“Mau diantar sekarang apa nanti saja?““Em, terserah, Ibu.““Owh ya, maaf sebelumnya. Di sini ada dua lelaki yang bukan mahrammu, aku harap, Kamu ubah cara berpakaianmu yang lebih sopan, ya.““Em, baik, Bu.““Punya tidak bajunya? Jangan-jangan semua terbuka begitu?“ tanyaku dengan menatap lekat ke arahnya. Entah kenapa saat berbicara dengannya hawanya sensitif melulu.“Rata-rata seperti
Mata ini terus memindai wanita yang sedang duduk menunduk di depanku. Apakah aku terlihat bodoh sekali? Sampai mereka begitu menyusun rencana tidak rapi blas. Seharusnya biar kelihatan alami, setidaknya diubah dulu kek cara berpakaiannya. Ya minimal berpakaian seperti emang dari desa. Kan juga bukan melalui agensi. Harusnya emang kurang pengalaman dan baru mau bekerja. Okelah, aku akan tetap pura-pura tidak tahu dan mengikuti rencana mereka. Bukankah manis sekali saat mendengarkan tukang bohong ngarang cerita. “Owh ya, Kamu sudah dikasih tau belum sama Ibu tugasnya ngapain saja di sini?“ tanyaku ke arah si Clara.Setelah sekian menit hanya ada hembusan napas, akhirnya aku mulai mengobrol kembali.“Belum, Bu.““Kamu tahu kan, posisi kamu di sini hanya pembantu? Bukan baby sitter? Itu artinya kalau Pembantu itu mengerjakan semua pekerjaan rumah juga membantu mengasuh bayi yang ada di rumah ini, sedangkan untuk baby sitter itu kusus memegang bayi dan kebutuhan bayi, hanya itu. Kamu pah
POV ClaraAku bangun lebih pagi untuk hari ini, dimana hari yang ditentukan Mas Pram untuk datang ke rumahnya. Aku sudah mengurus semua pekerjaan termasuk surat resign dan juga sudah berpamitan dengan penjaga rumah rusun.Hati ini bahagia sekali, sebentar lagi aku akan menjadi nyonya, emang benar dugaanku, Pram itu sampai sekarang masih bodoh. Maunya dibohongi.Ah sudahlah, aku sekarang harus dandan secantik mungkin demi terlihat lebih cantik daripada istri Pram itu.Aku tebak Istrinya itu pasti akan tunduk sama aku. Nanti akan kubuat dia mau melakukan apapun yang aku suruh, gak apa-apa lah, berakting dulu jadi pembantu.Selisih hari aku akan balikkan semua itu. Bahkan lebih kejam. Apalagi Pram sepertinya sudah bosen dengan istrinya itu. Kalau tidak mana mungkin dia mau kesini dan mengasuh bayiku tanpa curiga.Nanti pasti Pram akan mendukungku penuh. Lihat saja permainan seorang Clara Inggrid.Ada untungnya juga Amira lahir selamat. Amira hebat dari Janin. Berupaya aku minum obat pen
Pesan pun terkirim, tidak menunggu lama pesan itu langsung dibaca Pram dan langsung ada kode sedang mengetik. [Jangan lupa, kita harus tetap berpura-pura tidak mengenal dan, Kamu akting sebagai pembantu dan harus nurut sama Sherly. Ini semua demi kebaikan semua] Aku mendecak kesal saat membaca pesan yang dikirim Pram. Mau tidak mau aku harus menuruti ucapannya demi sebuah tujuan. Tidak lama laju mobil mulai pelan. “Non, tolong dicek lagi, apakah rumah ini sesuai tujuan, Non. Kalau dilihat dari nomor yang tertulis di samping pagar memang benar adanya,” ucap Pak Sopir sambil menurunkan kaca jendela mobil. Aku menoleh dan tidak sadar mulut ini membulat sempurna, bagaimana tidak. Yang kukira megah bertingkat tinggi dan ada beberapa patung di depan sebagai penghias seperti di film-film itu ternyata hanya terjadi di anganku saja. Aku pun pasrah keluar mobil setelah membayar sejumlah tagihan. Cukup lama kaki ini masih berdiri di depan gerbang meskipun mobil sudah meninggalkanku. Rumah
Aku menghempaskan ranjang dan mengibaskan dengan tanganku. Rasanya emosiku melebihi rasa capek karena perjalanan. Belum sempat duduk wanita itu sudah datang lagi ke sini.“Ini spreinya, dan ini beberapa baju untukmu silahkan pakai gratis, hanya sementara di sini saja. Juga ini kertas jadwal silahkan dibaca, ini rincian setelah, Kamu bangun dan sebelum, Kamu tidur! Aku harap jam 5 sudah bangun,“ ucapnya sembari meletakkan setumpuk barang ke ranjang.Lalu meninggalkan aku begitu saja.Aku langsung mengambilnya, membuka lembar demi lembar baju untuk melihat seperti apa modelnya.Kurang ajar sekali dia memberikan model baju tua seperti ini. Baju kurung, daster dan stelan baju warna pink tua. Fuck!Kubanting baju-baju itu ke lantai dasar, tidak peduli baju itu mengenai debu. Biar!Sialan, rupanya dia mulai mengibarkan bendera nyata ke arahku!Aku langsung meraih kertas yang ikut terjatuh ke lantai.Bola mataku membulat sempurna lagi saat mengetahui jadwal apa yang tertulis. Gila! Bahkan a
POV Sherly Video yang dikirim Ratih masuk juga ke ponselku, aku tidak sabar langsung klik tombol putar. Bola mataku membulat sempurna menyaksikan videonya tanpa berkedip. Bahkan satu putaran pun tidak puas, kuputar lagi untuk memastikan. Aku tersenyum kecil dengan pikiran menerawang. Tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada Ratih yang sudah berbaik hati mengirimkan video penting.Aku bersenandung ria dan mengambil handuk untuk mandi, Dari pagi sudah melakukan pekerjaan berat. Sekarang waktunya untuk membersihkan diri. Kulirik sebentar ke dinding, sudah jam 6 sore, tumben Mas Pram belum pulang. Kulanjutkan langkah ini ke kamar mandi dengan memijit lengan. Pikiranku sudah berkelana dengan rencana demi rencana, satu modal sudah aku dapatkan. Tinggal nanti aku ketemu sama ibu Mertua, semoga saja lancar jaya. 5 menit sudah berlalu, aku segera memakai baju dan mengusap badan ini dengan lotion, tidak sabar ingin segera menghampiri ibu. Dengan langkah sedikit elegan aku keluar kamar, k
"Jangan!“ “Terus gimana, Ibu?““Baiklah,” lirihnya pelan dengan mencebik. Benar tebakanku Ibu pasti akan memilih harga dirinya. Alhamdulillah, setidaknya kedepan Ibu tidak bisa semena-mena lagi, aku sedikit tersenyum lalu berbalik meninggalkan Ibu. “Awas kalau tersebar! Ibu tidak tinggal diam!“ desisnya meneriakiku.Aku menoleh dan tersenyum ke arahnya sembari mengangguk lalu berjalan lagi.“Terimakasih, Ratih,” gumamku. Kuusap layar ponsel dan mengetik sesuatu untuk Ratih.[Ratih, Aku minta tolong Video tetap disimpan di sana ya, jangan dihapus juga jangan disebar. Terimakasih sebelumnya, ya]Tidak lama pesan dibalas olehnya. Aku tersenyum membacanya. Alhamdulillah aman untuk kedepannya untuk jaga-jaga.[Oke, sama-sama]Hari semakin larut, Mas Pram juga tak kunjung pulang. Tumben sekali. Aku mendesah dan merogoh ponsel dari saku daster yang lagi kupakai.Kutekan layar ponsel dan mencari kontak Suamiku. Setelahnya kupencet tombol panggilan.“Hallo, Mas. Kok tumben belum pulang?“
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!