“Buka pintunya, Perempuan mandul!“ teriak Ibu mertuaku dari luar.
Sejenak aku memejamkan kedua mata ini mendengar ungkapan yang begitu menusuk hati.
Kuatur napas ini naik turun. Setelah terasa netral gegas aku tinggalkan aktivitas dari mencuci dan langsung berlari menuju ke pintu yang masih terkunci. Tiga hari yang lalu, suamiku dan Ibu Mertua pergi ke Depok tanpa mengajakku. Katanya saudara yang aku tidak tahu ada yang sakit.
Dengan langkah tergopoh-gopoh aku berjalan keluar dengan sesekali tangan ini meraih baju daster yang aku pakai untuk mengeringkan kedua tangan ini.
Kubuka pintu dengan sangat cepat, aku tahu sedikit terlambat saja, Ibu mertuaku pasti akan mengamuk yang tidak karuan.
Mataku membulat sempurna tatkala melihat pemandangan yang berbeda di depan pintu, Bu Mertua dengan muka masam sedang menatapku sembari menggendong seorang bayi dan lalu dengan cepat kualihkan pandanganku ke mas Pram yang nampak cuek sedang menenteng tas besar yang menurutku tas asing.
Kupandanginya mereka bergantian, hanya terlihat mereka berdua. Keningku menyernyit penuh tanda tanya.
“Bukannya Salim! Malah bengong!“ sentak Ibu mertua yang sontak membuatku tergagap.
Dengan refleks aku langsung meraih tangan ibu dan mencium takzim punggung tangannya lalu bergantian mencium punggung tangannya Mas Pram.
Setelahnya, tatapanku kembali ke arah mereka, belum sempat mulut ini berucap. Ibu mertua langsung menoyor bahuku.
“Heh! Perempuan mandul! Cepat ambil bayi ini! Gantian, Ibu capek!“ suruhnya dengan muka tak enak dipandang.
“Bu, Sherly punya nama, Bu. Sherly Ananda.“ Kutekankan nama panjangku. Aku tidak peduli tatapan yang menghina, mulutnya mencebik, gemas sekali tangan ini untuk menangkup bibir tebal itu.
“Ya, ya, ya, aku tahu namamu. Tapi nama yang cocok untukmu hanya sebutan mandul!“ ujarnya.
“Itu bayi siapa, Bu?“ tanyaku mengalihkan pembicaraan yang hanya akan menyakitkan hati. Rasa curiga kini menguasai diriku, mungkinkah ibu mertua dan suami bersengkongkol mencuri bayi itu dari ibu kandungnya?
Kalau iya begitu kejamnya mereka.
“Setidaknya bukan bayi kamu, lagian mana mungkin bisa punya bayi kalau kamu aja mandul.“ Terus saja ibu mertua melayangkan kata-kata yang begitu tajam, tidak sadarkah dengan kekurangan anak semata wayangnya?
“Terus, Bu. Terus aja, sebut mandul!“ desisku yang keluar begitu saja.
“Tidak sopan, Kamu ya! Emang benar, Anakku salah pilih memperistri, Kamu!“ teriaknya dengan mata melotot tidak terima.
“Bu, jangan begitu! Sherly kan sudah berusaha, sudah ya, jangan sinis sama dia, kasihan,” lirih Mas Pram yang seakan membela diriku padahal kenyataannya sedang menutupi aibnya sendiri.
“Lain kali ajari istrimu sopan santun, Pram!“ tuntutnya ke anak kesayangan.
“Ya.“ Mas Pram menjawab dengan enggan dan langsung masuk begitu saja meninggalkan kami.
“nih! Gendong! Tangan ibu pegel daritadi nggendong,” suruhnya sembari menyodorkan bayi yang digendong ke arahku.
“Gak maulah, Bu.“ Sengaja aku menunda dan tidak meraih anak itu. Biarkan saja emosinya semakin memuncak ke ubun-ubun. Tau rasa! Salah sendiri ditanya gak dijawab-jawab. Rasa gemas ingin menggendong ku sembunyikan rapat-rapat, setidaknya menahan beberapa saat.
“PRAM!“ teriaknya menggelegar memenuhi ruangan.
Tanganku bersedekap dengan mulut mencebik. Kuhitung mundur 1 sampai 5, sebentar lagi drama akan dimulai lagi.
Selalu begitu, ibunya akan akting dan bertingkah seperti orang yang paling menyedihkan di depan anaknya, sedangkan Mas Pram akan melotot ke arahku dengan gigi yang mengatup rapat.
“Ada apa sih, Bu? Berisik sekali, aku mau tidur, Bu. Capek,” keluh Mass Pram sesampainya di depan Ibunya.
“Lihat! Wanita ular ini! Kurang ajar sekali tidak mau membantu ibu, suruh gendong bayi ini sebentar saja tidak mau!“ sarkasnya dengan jari menuding-nuding ke arahku.
Aku memandangi mereka dengan jengah, tadi mandul sekarang wanita ular. Nanti apa lagi?
“Sher!“ ucap Mas Pram penuh penekanan dan tanpa memandangku. Aku tahu ekspresi itu, dia sedang menahan marah.
Benar saja, drama itu terjadi lagi.
Tak ingin memperpanjang masalah. Aku langsung meraih bayi itu dengan sangat hati-hati. Sungguh bayinya begitu mungil sekali. Tak terasa air mataku mengalir begitu saja. Jujur aku sangat mendambakan suasana seperti ini, tapi itu sepertinya tidak mungkin terjadi.
Aku lalu mengusap pipiku dengan tangan satunya. Mas Pram pun sudah kembali lagi ke kamar.
“Senang kan? Ya sudah aku mau mandi, istirahat. Capek dari perjalanan. Mulai sekarang kamu yang mengasuhnya ya!“ suruhnya dengan enteng sekali.
“Tapi, Bu. Maaf, Sherly tidak bisa. Sebentar lagi Sherly sibuk apalagi sudah terlanjur tanda tangan kontrak.“
“Halah! Alasan saja, Kamu, kemarin aja gak sibuk, sekarang sibuk! Mau nipu Ibu, Kamu?!“
“Nipu bagaimana sih, Bu?“
“La itu, katanya sibuk. Kontrak apa sih yang ditandatangani? Ngada-ngada aja,” cebiknya.
“Itu, Bu. Tanda tangan kerjasama. Jadi aku akan bikin konten tentang produknya dan si pemilik memberi bayaran sesuai dengan harga yang disepakati,” terangku.
“Halah, lagakmu itu lho kayak orang penting, sok ngartis. Muka aja yang sedikit cantik tapi sayang, mandul!“
Aku menghela napas dan menggeleng ke arah perempuan yang pernah mengandung suamiku itu. Memang aku yang salah, aku tidak pernah memberi tahu tentang siapa aku di dunia Maya.
Asal engkau tahu saja, Bu. Akunku sudah centang biru. Teringat perjuanganku bikin vlog yang jungkir balik di dunia make up. Bahkan saat buat video engkau selalu menyindirku dengan kata-kata yang pedas.
Aku sengaja tidak memberitahumu tentang pencapaianku, aku tahu engkau dikasih tahu pun bakal percuma, hanya ada nyinyir yang bersemayam dalam dirimu.
“Maaf, Bu. Bukannya berlagak, tapi memang kenyataannya ada yang mengajak kerjasama dan itu sangat membuatku senang.“
“Kamu gak minta ijin sama Ibu?“ cecarnya dengan muka menegang.
“Harus ya, Bu?“
“Heh, ingat! Kamu itu numpang di sini, jadi Jangan songong! Jadi apapun itu, Kamu wajib lapor!“ gertak ibu mertuaku.
“Maaf, Bu. Tapi sebelumnya sudah ijin Mas Pram dulu dan katanya boleh,”ungkapku.
“Batalkan saja! Itu apa kontraknya! Ibu tidak setuju!“ suruhnya dengan tangan bersedekap.
Keningku seketika berkerut. Ada-ada saja. Giliran duitnya habis mengeluh.
“Mana bisa begitu, Bu. Sherly sudah terlanjur tanda tangan dan itu gak bisa dibatalkan sepihak, apalagi barang endorse dalam masa pengiriman. Lagian bayi ini milik siapa, Bu? Kenapa harus Sherly yang direpotkan?“
Ibu mertuaku hanya bergeming. Sungguh demi apa aku harus seperti ini. Perjuangan mencapai centang biru di I*******m itu tidaklah mudah. Sekarang sudah tinggal menunggu tawaran demi tawaran untuk kerjasama, mana mungkin diabaikan begitu saja. Jatuh bangun aku membangunnya.
Sekian detik Ibu mertua tak menjawab, hanya gerakan mulutnya yang mencebik, nyinyir ke arahku. Aneh.
Tinggal menjawab apa adanya apa susahnya sih?
Tidak lama Ibu mertua langsung pergi begitu saja. Kuamati gerakannya yang menuju ke kamar.
Aku mendesah, menggeleng dengan penuh ketidakpastian.
Lebih baik aku susul saja mas Pram ke kamar. Semoga saja belum tidur.
Dengan sedikit kesusahan, aku membuka handle pintu dengan siku tangan.
Aku masuk dan menutup kembali pintu itu dengan mendorong menggunakan kaki.
Aku melangkah pelan menuju ranjang, dengan sangat hati-hati aku menghenyakkan bokong ini ke pinggir ranjang.
“Mas? Sudah tidurkah?“ tanyaku dengan menggoyangkan badannya dengan tangan satunya.
“Hm.“ Mas Pram hanya menggeliat dan merubah posisi tidurnya.
“Mas, bangun dong! Perasaanku gelisah daritadi,” rajukku masih mencoba menggoyangkan tubuhnya.
“Ada apa sih, Dek,” lirihnya tanpa berniat untuk beranjak.
“Mas, anak siapa bayi ini?“
“Kamu rawat sajalah, lumayankan bisa ngerasain seperti seorang Ibu,” jawabnya masih diposisi sama. Enggan beranjak.
“Tapi, Mas. Sherly sebentar lagi sudah sibuk banget, saya juga sudah membayar tidak murah untuk tukang foto.“
Mas Pram kini berbalik. Menatapku.
“Sherly Sayangku. Aku mohon sebagai suamimu. Tidak perlu menjadi model apalah itu. Kamu cukup rawat anak ini! Bisa ya?“
“Tapi, Mas. Maaf. Aku juga perlu tahu siapa pemilik bayi ini.“
“Sebenarnya bayi ini dikasih dari saudaranya saudara Ibu, Dek. Beliau janda yang amit-amit tidak mampu merawat bayi ini. Jadinya kami dengan senang hati menerima. Semoga kita bisa dilebihkan rejeki ya untuk ke depannya.“
“Kenapa gak dirawat sama keluarga si janda itu saja, lagian bayi sekecil ini apa sudah disapih?“
Jujur aku bukanlah perempuan malaikat seperti di sinetron kebanyakan. Yang pasti akan menerima anak yang tanpa tau asal muasalnya.
Aku memikirkan banyak hal.
Bagaimana nanti dengan sifat bawaannya?
Apakah kedepannya aku akan selalu iklas merawatnya?
Bagaimana jika suatu saat nanti ibu itu akan mengambil anaknya ketika aku sedang sayang-sayangnya?
Ah, membayangkan saja sudah menyakitkan.
“Sayang! Please! Aku capek dan ijinkan aku istirahat. Tanyanya besok lagi, Ya!“
“Mas, kenapa kalian melimpahkan bayi ini kepadaku, kalau memang tak sanggup merawat, kenapa tidak dititipkan ke panti asuhan saja, Mas.“ Kini suaraku sudah meninggi. Tak habis pikir aku dengan jalan pikiran mereka.
“Kamu harusnya bersukur, Sayang. Sudah tidak perlu repot-repot kita mencari anak untuk diadopsi. Kamu bisa ngerasain jadi ibu. Cobalah untuk sadar,”jawabnya dengan muka merajuk.
“Heyyy, sadar? Apa, Mas lupa siapa yang mandul di sini? Kenapa malah seakan menuduhku?“ Aku tidak habis pikir dengan lelaki di depanku. Dulunya dia selalu memohon untuk merahasiakan aibnya. Tapi kenapa sekarang malah bisa pongah seperti ini?
Mas Pram akhirnya beranjak, kini dia duduk di depanku.
“Sayang, maaf ya. Maaf kalau perkataanku tadi menyakitimu. Tapi jujur dalam hati Mas. Ada keraguan tentang hasil periksa dari Dokter,” ungkapnya dengan membelai bayi yang aku gendong.
Aku meneguk ludah. Suara Mas Pram begitu lembut tapi serasa menusuk dalam dada. Sudut netraku menghangat.
“Tapi, Mas. Kita periksa tidak cuma satu Dokter lho. Banyak, Mas! Kenapa bisa begini sih?“ tanyaku lagi untuk mengingatkan.
“Alah, itu akal-akalan Dokter aja, Sayang, biar laku obatnya.“
“Tapi, Mas—“
Belum sempat meneruskan kataku mulut ini sudah ditutup oleh jemari Mas Pram.
“Sudah ya, jangan dibahas lagi, Mas capek, Dek.“
Hatiku masih gondok atas kesimpulan Mas Pram
Belum sempat uneg-unegku keluar semua, Perutku merasakan ada sesuatu yang mengalir dan terasa hangat disertai tangisan bayi yang aku gendong.
Aku meraba daerah pantat, dan astaga!
Bayi ini ngompol.
Aku yang belum pernah memegang bayi tentu saja kebingungan, cara dan bagaimana menggantikan popok. Alhasil aku harus membangunkan Ibu Mertuaku.
Gegas aku beranjak dan meninggalkan mas Pram menuju ke kamar dimana ibu mertuaku tidur.
“Bu, dedek ngompol, Sherly tidak tau cara menggantikan popok!“ teriakku sembari mengetuk pintu berkali-kali.
Tidak lama pintu itu dibuka oleh empunya.
“Apaan sih, menganggu saja! Dedek itu tad i dipakein Pampers, mana mungkin bisa bocor!“
“La ini, bajuku basah. Air darimana kalau bukan dari dedek. Apalagi baunya Pesing.“
Ibu mertuaku langsung mengecek dan benar saja setelahnya dia langsung mengusap telapak tangannya ke bagian bedong yang lain. Pasti basah kena ompol.
Ibu mertua langsung mengambil dedek dari gendonganku dan menaruhnya di ranjang yang sudah dialasi lebih dulu.
“Begini kalau mau mengganti popok, aku ajari! Kamu perhatikan baik-baik. Ini masang Pampersnya miring, jadi bocor. Tapi besok-besok tak usah memakai Pampers, ganti aja dengan pakaian popok biar irit pengeluaran,” ungkap Ibu mertuaku sambil mempraktekkan memakaikan popok.
“Aku penasaran, Bu. Kok bisa teganya di Ibu memberikan anaknya begitu saja. Kalau masalah ekonomi, kenapa gak coba usaha jualan online gitu. Kan bisa sih jadi reseller jadi gak perlu modal. Atau apalah, kenapa cepat sekali putus asanya. Gak kasian apa padahal bayi segini harusnya masih asi Eksklusif,” protesku panjang lebar.
“Kamu itu jangan banyak omong, pokoknya kamu di sini beres-beres rumah, masak dan asuh ini bayi!“
“Bu! Aku ini bukan babu! Sebentar lagi aku bakal punya kesibukan. Tolong jangan dipersulit!“
Ibu mertuaku menatapku dengan tajam seakan mau menguliti hidup-hidup. Aku mencoba menahan diri untuk tak gentar demi sebuah impian.
Ya impian mempunyai tabungan yang banyak tanpa sepengetahuan suami pun mertua.
Lucu sekali aku disuruh mengasuh tapi tidak tau ibunya yang mana.
Baiklah aku ikuti caramu, Bu!
POV Pram.Perasaanku mulai tidak tenang, tidak seperti sebelumnya. Tentu saja setelah aku pergi dari Depok bersama Ibu. Di sana aku menemui Clara mantan pacarku yang sebelumnya telah menghubungiku untuk meminta tolong merawat bayinya. Yang katanya itu bayi adalah anakku.Sebelumnya aku mencoba menjelaskan dengan sangat pelan dan hati-hati ke Ibu. Aku berkata bahwa yang tidak sengaja bertemu dan pernah melakukan hubungan terlarang saat pergi keluar kota dengan mantanku dan ternyata membuahkan hasil. Kukira respon Ibu akan memarahiku dan mengucapkan sumpah serapah, ternyata itu hanya perkiraanku saja. Ibuku malah yang berantusias untuk segera ke Depok dan menemui Clara juga bayinya.Sekarang aku harus tetap menjaga hati ini untuk tetap mencintai Sherly meskipun sedikit kecewa, apalagi membayangkan betapa capeknya harus bolak-balik periksa ke dokter dan harus menahan malu saat hasilnya yang tidak subur adalah aku.Buktinya aku melakukan hubungan dan ternyata hamil. Tentu saja sekarang
POV SherlyMas, bayi ini kembalikan ke ibunya saja,” usulku ketika sudah berada di kamar dengan menggendong bayi dan duduk di samping Mas Pram.“Dek, emang kamu gak ingin ngerasain jadi ibu? Ini kesempatan kamu untuk menjadi ibu tanpa harus mengandung,” ucapnya tanpa menoleh ke arahku dan masih sibuk bermain dengan ponselnya.“Tapi, Mas. Aku sudah menyanggupi menerima barang endorse dan juga sudah terlanjur kerjasama sama photograper dan sudah bayar uang muka.““Lagian, kenapa kamu gak ijin dulu sama aku kalau mau melakukan hal begituan,” katanya masih tak menghiraukanku.“Mas, tolonglah, bukannya kemarin mas gak ngelarang saat aku bikin konten dan mengaploudnya? Kenapa saat sudah seperti ini, Mas menyalahkanku?“ Aku menghela napas, rasanya begitu sesak di dalam sini. Perjuanganku untuk mencapai centang biru itu tidaklah mudah. Aku yang membuat konten tutorial make up-nya juga membutuhkan banyak modal. Ketika fondution, lipstik, dan alat lainnya habis itu juga harus membeli itupun tid
POV SherlyAku terbangun di tengah malam saat mendengar tangisan yang menyentakkan tidurku.Amira menangis semakin menjadi. Membuat seisi rumah ikut bangun. Aku bergegas keluar kamar hendak mencari susu dan temannya.“Heh, anak nangis itu dibuatkan susu!“ sentak Ibu mertuaku mengagetkan saat aku kebingungan mencari susu di dapur.Belum sempat menjawab, Ibu mertua melewatiku dengan sedikit menyentakkan kakinya. Ia mengambil susu dan botol yang masih berada di dalam tas besar. “Pantas sampe sekarang, kamu belum dikasih anak. Anak nangis malah bengong! Dasar tidak becus!“ desisnya dengan sesekali menatapku dengan sinis. Kuhela napas ini, pedas sekali mulut Ibu yang melahirkan suamiku itu. Aku tidak bengong, daritadi memutari dapur dan ruang tamu untuk mencari susu. Karena tak ada seorangpun yang memberi tahuku dimana letak susu sebelumnya.Aku mendekat untuk melihat cara Ibu membuat susu. Tak kuhiraukan ocehannya. Aku hanya bisa cara membuat susu tapi tidak dengan takarannya.“Melek! L
"Assalamualaikum!“ disaat itu pula ada seseorang yang datang.Aku menelan saliva dan tetap memandang ke Ibu mertua.ibu mertuaku langsung bergegas ke arah pintu.Kupandanginya ia saat keluar dan bercakap dengan begitu ramah. Dahiku mengernyit siapa gerangan tamu di balik pintu itu?Perlahan kaki ini melangkah, Rasa penasaranku membimbing untuk menghampiri mereka.Kupandangi wanita itu dari atas ke bawah. Pakaiannya begitu ketat sekali, mau apa ke sini? Habis dari club apa bagaimana sih itu?Duh, mau bertanya langsung kok kayaknya gak sopan.Wanita itu menyodorkan tangannya ke arahku dan tersenyum begitu ramah. Aku ikut tersenyum dan membalas salamnya.Bersamaan itu, ponselku berdering berulangkali, terpaksa aku meninggalkan mereka dan mengambil ponselku yang tertinggal di meja dapur.“Assalamualaikum, Mas?“ jawabku setelah mengetahui siapa penelepon itu.“Waalaikumsalam, Dek. Mas mau tanya? Mbaknya sudah datang?“ jawab Mas Pram dari seberang telepon.“Mbak?“ Keningku berkerut sembari
Hatiku berdesir saat melihat keakraban mereka. Ramah sekali Ibu melayani si Embaknya layak seperti teman yang baru bertemu.Ya Allah, semoga saja kehadirannya menjadikan rumah tangga ini lebih baik. Aku bermunajat dalam hatii, lalu berjalan keluar.“Ini, Mbak, minumnya,” tawarku dengan meletakkan gelas di depannya.“Makasih, Bu,” jawabnya dengan senyuman ramah.“Sama-sama. Owh ya, nanti kamar untukmu tidur, Kamu beresin sendiri ya, nanti Aku kasih Sprei yang baru.““Baik, Bu.“Aku melirik ke arah Ibu mertua. Tumben hanya diam? Baguslah, setidaknya tidak menurunkan harga diri di depan pembantu baru ini.“Mau diantar sekarang apa nanti saja?““Em, terserah, Ibu.““Owh ya, maaf sebelumnya. Di sini ada dua lelaki yang bukan mahrammu, aku harap, Kamu ubah cara berpakaianmu yang lebih sopan, ya.““Em, baik, Bu.““Punya tidak bajunya? Jangan-jangan semua terbuka begitu?“ tanyaku dengan menatap lekat ke arahnya. Entah kenapa saat berbicara dengannya hawanya sensitif melulu.“Rata-rata seperti
Mata ini terus memindai wanita yang sedang duduk menunduk di depanku. Apakah aku terlihat bodoh sekali? Sampai mereka begitu menyusun rencana tidak rapi blas. Seharusnya biar kelihatan alami, setidaknya diubah dulu kek cara berpakaiannya. Ya minimal berpakaian seperti emang dari desa. Kan juga bukan melalui agensi. Harusnya emang kurang pengalaman dan baru mau bekerja. Okelah, aku akan tetap pura-pura tidak tahu dan mengikuti rencana mereka. Bukankah manis sekali saat mendengarkan tukang bohong ngarang cerita. “Owh ya, Kamu sudah dikasih tau belum sama Ibu tugasnya ngapain saja di sini?“ tanyaku ke arah si Clara.Setelah sekian menit hanya ada hembusan napas, akhirnya aku mulai mengobrol kembali.“Belum, Bu.““Kamu tahu kan, posisi kamu di sini hanya pembantu? Bukan baby sitter? Itu artinya kalau Pembantu itu mengerjakan semua pekerjaan rumah juga membantu mengasuh bayi yang ada di rumah ini, sedangkan untuk baby sitter itu kusus memegang bayi dan kebutuhan bayi, hanya itu. Kamu pah
POV ClaraAku bangun lebih pagi untuk hari ini, dimana hari yang ditentukan Mas Pram untuk datang ke rumahnya. Aku sudah mengurus semua pekerjaan termasuk surat resign dan juga sudah berpamitan dengan penjaga rumah rusun.Hati ini bahagia sekali, sebentar lagi aku akan menjadi nyonya, emang benar dugaanku, Pram itu sampai sekarang masih bodoh. Maunya dibohongi.Ah sudahlah, aku sekarang harus dandan secantik mungkin demi terlihat lebih cantik daripada istri Pram itu.Aku tebak Istrinya itu pasti akan tunduk sama aku. Nanti akan kubuat dia mau melakukan apapun yang aku suruh, gak apa-apa lah, berakting dulu jadi pembantu.Selisih hari aku akan balikkan semua itu. Bahkan lebih kejam. Apalagi Pram sepertinya sudah bosen dengan istrinya itu. Kalau tidak mana mungkin dia mau kesini dan mengasuh bayiku tanpa curiga.Nanti pasti Pram akan mendukungku penuh. Lihat saja permainan seorang Clara Inggrid.Ada untungnya juga Amira lahir selamat. Amira hebat dari Janin. Berupaya aku minum obat pen
Pesan pun terkirim, tidak menunggu lama pesan itu langsung dibaca Pram dan langsung ada kode sedang mengetik. [Jangan lupa, kita harus tetap berpura-pura tidak mengenal dan, Kamu akting sebagai pembantu dan harus nurut sama Sherly. Ini semua demi kebaikan semua] Aku mendecak kesal saat membaca pesan yang dikirim Pram. Mau tidak mau aku harus menuruti ucapannya demi sebuah tujuan. Tidak lama laju mobil mulai pelan. “Non, tolong dicek lagi, apakah rumah ini sesuai tujuan, Non. Kalau dilihat dari nomor yang tertulis di samping pagar memang benar adanya,” ucap Pak Sopir sambil menurunkan kaca jendela mobil. Aku menoleh dan tidak sadar mulut ini membulat sempurna, bagaimana tidak. Yang kukira megah bertingkat tinggi dan ada beberapa patung di depan sebagai penghias seperti di film-film itu ternyata hanya terjadi di anganku saja. Aku pun pasrah keluar mobil setelah membayar sejumlah tagihan. Cukup lama kaki ini masih berdiri di depan gerbang meskipun mobil sudah meninggalkanku. Rumah
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!