PERMINTAAN KECIL RAFA Arini mencium puncak kepala anaknya dengan perasaan yang tak menentu. Permintaan Rafa benar-benar membuat bibirnya berat sekali beralasan. Ditatapnya mata bening Rafa yang menatapnya penuh harap. Arini kembali mengembuskan napasnya yang berat.Dia tak tahu harus beralasan seperti apa. Tak mungkin terang-terangan langsung menolak anak itu.“Ma, kata Devano seru sekali tidur bertiga dengan Papa dan mamanya. Seru sekali, Ma. Rafa ingin tahu bagaimana rasanya. ”Arini merasa tenggorokannya tercekat. Setelah kepergian ibu mertuanya yang seringkali menanyakan keturunan, kini Rafa yang justru menginginkan hal yang juga di luar dugaan.“Kita tunggu Papa enggak sibuk ya, Sayang? Bahkan dia lelah sekali sampai ketiduran seperti itu. Rafa paham maksud Mama ‘kan?”Arini berharap sekali anaknya mengerti permintaannya. Perlahan-lahan anak laki-laki dengan pipi yang mulai menggembul itu mengangguk. Hal itu membuat senyum manis di wajah Arini terbit. Wanita itu memeluk anaknya
PESANArini bercengkerama dengan Mbok Karti di dapur. Kedua wanita itu ngobrol panjang lebar membahas kebaikan Bu Ningrum semasa hidupnya. Keduanya memiliki porsi kehilangan masing-masing, meski rasa sakit di antara keduanya sama-sama membuat mereka terpukul.“Bahkan Ibu pernah memberikan Mas Yovan mie instan selama seharian penuh. Waktu itu sayur-sayuran yang diambil dari para petani busuk. Mobil yang dia sewa terjebak macet saat mengirim sayur-sayuran itu ke kota. Bukan untung malah buntung. Petani nggak mau tahu, mereka tahunya barang mereka dibeli. Alhasil Ibu harus nombok,” ucap Mbok Karti sambil tangan keriputnya menyusut air mata yang menggenang di sudut mata tuanya.“Mas Yovan itu susah sekali makan, Mbak. Ibu seringkali kewalahan menghadapi dia yang susah sekali masuk makanan ke dalam mulutnya. Rasanya hampir mau menangis tiap kali membujuk dia untuk membuka mulut.”Arini yang baru mengenal mertuanya selama kurang lebih tiga tahun saja sudah merasa kehilangan sekali, apalagi
MAAF YOVAN“Itu Mama,” ucap Rafa sambil menunjuk kea rah pintu kamar dimana Arini berdiri saat ini. Matanya menatap kedua laki-laki beda usia di depannya dengan raut penuh kebingungan. Bantal yang terletak tidak beraturan, selimut yang sudah tergeletak di atas lantai, dan sprei yang bahkan sudah terlepas dari tempatnya.“Seru, Ma. Rafa dan Papa sedang war,” lanjut anak itu tanpa raut bersalah sedikit pun. Begitu pula Yovan. Senyum di wajahnya menunjukkan seolah apa yang mereka lakukan terhadap tempat tidur Arini tak membuatnya khawatir sedikit pun.“Sini, Ma.” Rafa menarik tangan ibunya hingga wanita itu pasrah duduk di kasur yang sama dengan keduanya. “Papa jago sekali main perang bantal.”“Rafa, sudah jam Sembilan. Kita tidur. Besok tidak ada yang bangun kesiangan dan ketinggalan sholat subuh,” ucap Arini tegas. Dia melirik ke arah Yovan. Dia butuh laki-laki itu untuk mempertegas perintahnya pada Rafa.“Betul, kamu pipis dulu, Jagoan! Besok kita war lagi sebelum tidur.” Tawa keduany
PERMINTAAN YOVAN Rasanya lega sekali pasca Yovan meminta maaf pada wanita itu. Yovan sadar sekali apa yang dia lakukan pada Arini sungguh kekanakan. Bahkan dia tak menghargai jerih payah wanita itu demi menghidangkan makanan untuknya. Rasa bersalahnya kian memuncak saat Arini memperlihatkan wajah yang begitu kecewa. Biasanya Arini pandai sekali menyimpan apa yang dia rasakan sebenarnya.“Rin?” Yovan menyebut nama istrinya. Arini segera menutup matanya. Dia sudah tak bisa menanggapi apapun lagi perkataan Yovan. Dia takut sekali laki-laki itu akan dengan mudah menebak bagaimana perasaan wanita itu sebenarnya.“Aku tahu kau belum tidur.”Arini diam. Dia tidak ingin terpancing dengan kalimat Yovan sama sekali. Dia takut terjebak lebih dalam pada perasaan yang tak jelas muaranya. Bahkan perpisahan yang mungkin sekali akan terjadi membuatnya tak ingin bermain-main dengan hatinya sendiri.Dia lebih suka mengingat-ingat bayangan pertemuan pertamanya dengan Yovan. Laki-laki angkuh itu bahkan
PENYESALAN SIA-SIAYuda mengembuskan napas kasar setelah membaca postingan di salah satu grup alumni. Lelaki itu akhirnya meletakkan ponsel dan memijit kening perlahan. Dia melirik jam di ponsel, masih ada lima belas menit lagi sampai waktu istirahat selesai.Lelaki berkemeja biru itu melirik setumpuk dokumen di hadapannya. Sudah hampir dua bulan dia bekerja lagi sebagai staff bagian HRD di salah satu perusahaan temannya saat kuliah. Waktu reuni kemarin, Yuda akhirnya menceritakan dia yang sedang mencari pekerjaan. Namun, karena dia mendapat paklaring dengan catatan buruk dari perusahaan sebelumnya, Yuda harus memulai semua dari bawah lagi.Rino, teman Yuda itu tahu kemampuan Yuda. Namun, melihat catatan di paklaring dia tidak bisa memberi rekomendasi tinggi. Yuda akhirnya menerima pekerjaan itu, walau gajinya jauh dari sebelumnya dia tidak keberatan. Daripada terus menganggur, pikirnya. Lagi pula, kalau dia bisa menunjukkan kinerja dengan baik, nanti juga karirnya akan menanjak denga
SAAT GUNUNG ES MENCAIR “Mama cantik.”Arini tidak bisa menyembunyikan senyum saat Rafa berkali-kali memujinya saat di meja makan. Dia memang tampil berbeda hari. Arini mengenakan kebaya seragam dengan para Ibu-ibu PKK binaannya di rumah yang lama dulu.Yovan ikut terkekeh melihat wajah Arini yang bersemu merah. Hari ini, istrinya itu akan mendapat penghargaan dari Pak Camat sebagai wanita yang berhasil membangun perekonomian Ibu-ibu PKK di daerahnya sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan rumah tangga.Enam bulan Arini terjun langsung untuk membina Ibu-ibu di perumahan Bu Ningrum, tempat usahanya dulu. Setelah dirasa sudah bisa diitnggal, Arini hampir tidak pernah kesana lagi. Kecuali kalau Ibu-ibu itu minta diberikan penjelasan atas kendala yang mereka hadapi.Seminggu lalu, Arini terkejut saat mendapat surat undangan untuk menghadiri pemberian penghargaan di kantor kecamatan. Setelah menelpon Bu Lesi, Bu RT yang dulu meminta Arini membina Ibu-ibu PKK di tempat mereka, barulah dia
PERLAKUAN MANIS Tanpa sengaja Arini melihat suaminya yang sedang membuka galeri foto di ponselnya. Arini yang berjalan membelakangi sofa tempat suaminya duduk menangkap hal yang tak biasa itu. Setelahnya jangan ditanya. Jantung Arini berdegup keras hingga membuat wajahnya memanas seketika. Arini segera berlalu ke meja makan. Sop kimlo yang hari ini dia masak sudah tercium aromanya hingga ke berbagai sudut ruangan besar itu. Tangannya cekatan menata piring meski pikirannya melayang ke berbagai arah. Bayangan saat Yovan tengah memperbesar foto dirinya yang tersenyum di ponsel milik laki-laki itu membuat Arini sudah sekali menahan senyum. Rasanya ada sesuatu yang meledak di dalam dadanya. Apalagi mengingat hubungan mereka akhir-akhir ini. Hubungan yang semula dingin bak es itu kini perlahan mencair. Kebiasaan tidur bertiga pun berlanjut ke malam-malam berikutnya. Arini yang sebelumnya sulit sekali memejamkan mata saat laki-laki itu berada satu tempat tidur dengannya kini pun sudah ta
Arini menatap anaknya yang kagum melihat pemandangan kota yang berada di bawah sana. Kerlap-kerlip lampu dari berbagai sudut membuat matanya yang baru melihat keindahan itu tampak begitu terpesona. Lampu-lampu mobil bersambungan seperti lidah api yang tak berjeda di jalanan yang ramai itu. Binar kebahagiaan itu mudah sekali dilihat dari wajah Rafa. Arini terharu dengan kejutan yang diberikan oleh suaminya. Wanita itu menoleh ke arah sang suami yang entah dari kapan melihat ke arah wajah keduanya secara bergantian. Wajah Arini dengan riasan natural cukup memukau ditempa cahaya temaram dari lampu tiap sudut kafe yang terletak di rooftop sebuah pusat perbelanjaan ternama kota itu.“Terima kasih, Mas.” Arini mengucapkan kalimat itu dengan sungguh-sungguh. Wanita dengan gaun tanpa lengan berwarna hijau botol yang dipadukan dengan blazer warna senada itu terlihat amat memukau di mata Yovan. Laki-laki itu sangat menikmati keindangan ciptaan Tuhan yang ada di depan matanya. Bahkan riasan s
“Mama, senyum! Lihat kemari!” ucap Rafa sambil melambaikan tangan ke arah ibunya. Sebuah buket raksasa berisi foto-foto ibunya dihadiahkan anak laki-laki itu pada Arini. Wanita itu pun memeluk buketnya meski sedikit kepayahan. Berbagai karangan bunga berisi ucapan selamat untuk para wisudawan menghiasi setiap sudut halaman auditorium yang digunakan untuk acara wisuda kali ini.Senyum Arini mengembang sempurna. Suaminya berhasil menegakkan kepala wanita yang sempat kehilangan seluruh kepercayaan dirinya. Yovan pun terlihat amat puas dengan hasil kerjanya membujuk wanita itu. Senyuman menawan laki-laki itu membuat Arini merasa begitu dicintai laki-laki pemilik hidung mancung itu.“Papa ambil posisi di sebelah Mama. Jangan lupa Mama dipeluk!”Arahan dari Rafa membuat Arini dan Yovan tertawa. Mereka takjub sekali dengan perubahan pada diri Rafa. Apalagi setelah dia diberitahu bahwa adiknya akan lahir dalam hitungan hari. Dia makin menunjukkan sikap protektifnya pada sang ibu.“Sekarang Pa
Tentang Bahagia Arini memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin. Kebaya berwarna hijau sage dengan kain batik yang membelit tubuh bagian bawahnya tak membuat dirinya berpuas diri. Matanya berkaca-kaca saat berkali-kali memutar dirinya di depan cermin. Kehamilannya di usia sembilan bulan ini membuat berat tubuhnya melonjak drastis. Pipinya membulat sempurna, belum lagi dagu yang seolah berjumlah dua hingga membuat dia kesusahan mengenakan kerudung untuk menutupi mahkotanya.Arini menjatuhkan dirinya di atas tepian kasur. Acara wisuda yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi tiba-tiba membuat dirinya meragu. Penampilannya yang dia nilai akan menjadi bahan tertawaan banyak orang membuat Arini hampir menyerah untuk mempersiapkan diri. Sebuah ketukan ringan dari arah pintu membuat kepalanya menoleh.“Loh, belum siap juga? Kita harus datang di gedung satu jam lagi. Kenapa toga pun belum kamu pakai?” Suara suaminya membuat Arini makin tak bisa menahan laju air matanya. Make up natural
“Diminum, Bu.” Arini meletakkan es jeruk dan setoples kue kering. Wanita itu langsung duduk di sofa yang kosong. Dia tersenyum tipis saat melihat sejak tadi tangan Ratna terus-terusan memegang tanga Rafa.“Terima kasih.” Ratna mengambil gelas dan meminumnya beberapa tegukan. Rasa asam, manis dan segar memenuhi mulut Ratna. Minuman itu cocok sekali dinikmati saat hari cerah seperti siang ini. “Sudah berapa bulan?” Ratna memperhatikan perut Arini yang mulai menyembul.“Masuk lima.” Arini refleks mengelus perut. “Apa yang mau dibicarakan, Bu? Tidak biasanya Ibu pergi sendirian. Jarak rumah kesini lumayan jauh.” Arini memperhatikan wajah Ratna yang sejak tadi tampak mendung. Mata wanita tua itu dipenuhi kabut seakan menyimpan kesedihan yang tak berujung.“Ibu mau minta maaf ….” Ucapan Ratna terpotong karena tangis. Mantan mertua Arini mendadak terisak kencang. Dia tidak bisa mengendalikan air mata saat mengingat perlakuan buruknya pada Arini dulu. “Ibu mau minta maaf atas semua kesalahan
“Jadi, nanti perut Mama akan membesar ya, Ma? Terus Adik bayinya keluar dari mana?”Arini menarik napas panjang. Rafa memang banyak bertanya setelah mengetahui kalau di perutnya ada bayi. Anak lelaki itu sangat senang sekaligus juga penasaran. Berbagai pertanyaan dia lontarkan. Pertanyaan yang kadang membuat Arini harus memutar otak dengan keras agar bisa menjawab sesuai dengan umur dan pemahaman anaknya.“Manusia akan melalui tiga alam selama hidup. Pertama, alam dunia, tempat kita saat ini. Kedua, alam barzah, tempat kita menanti hari kiamat tiba. Ketiga, alam akhirat, tempat kita mempertanggungjawabkan semua perbuatan.” Arini menjawab setelah cukup lama terdiam. “Sudah dapat pelajaran di sekolah ‘kan tentang alam-alam ini?” Arini mengelus kepala Rafa pelan.Rafa mengangguk pelan. Anak itu ingat kata guru agamanya, kalau anak nakal, nanti dia akan mendapat balasan di akhirat. Kalau mencuri tangannya akan dipotong berkali-kali. Sebaliknya, kalau dia menjadi anak rajin dan senang memb
IRI “Mas, sudah kubilang percuma kita kemari. Memang Tuhan itu belum ngasih karena dia lihat Mas Yuda belum mampu menafkahi anak kita nantinya, jadi dia lebih milih buat nunda. Kok kamu jadi maksa-maksa gini? Buang-buang waktu tahu nggak?”Diandra mendekap kedua tangannya. Baru saja dia dan Yuda sampai di sebuah klinik kandungan yang direkomendasikan salah seorang temannya. Klinik yang saat Diandra melihat list harga konsultasi dan tindakan yang dilakukan cukup membuat matanya melotot tak percaya. Rasanya sayang sekali uang sebesar itu digunakan untuk hal tidak penting seperti ini.“Mas. Mending uangnya buat liburan atau memanjakan diri di spa seharian. Paling tidak untuk senang-senang dari pada ngendon di rumah seharian. Bukan nggak mungkin gara-gara stress di rumah yang membuatku susah hamil begini!”Yuda hampir membentak istrinya jika tak menyadari posisi mereka saat ini. Rasanya telinganya gatal mendengar istrinya berbicara kasar seolah ibunyalah penyebab dia belum juga diberi ke
KECEMASAN ARINI Arini meremas tangan suaminya. Laki-laki itu tersenyum. Setelah perdebatan panjang akhirnya Arini bersedia ke klinik yang sudah direkomendasikan dokter Wisnu saat Yovan menanyakan dokter kandungan yang bagus untuk istrinya. Sebenarnya bisa saja dia membawa Arini ke klinik yang dulu selalu dia datangi bersama Raline saat istri pertamanya itu hamil.Tetapi dia mengurungkan hal tersebut demi menjaga perasaan istrinya. Pasti Arini akan merasa tak nyaman karena menganggap Yovan sengaja membawa dirinya ke tempat dimana kenangannya bersama Raline sebagian besar terekam di sana. “Mas?”“Ya?” Senyum di bibir Yovan belum juga pudar. Bayangan tentang detik-detik pertama istrinya memberikan benda yang dia angsurkan sebelumnya membuat laki-laki itu tak bisa kehilangan kebahagiannya. Arini menunjukkan trip dua pada benda yang dibeli suaminya melalui layanan aplikasi belanja online itu. Yovan yang sebelumnya berdiri menyederkan tubuhnya di tembok depan itu hampir melompat kegiranga
TEST PACKMata Yovan kembali menyipit. Dia tak tahu apa yang terjadi dengan istrinya saat ini. Yang dia lakukan langsung beranjak ke kamar mereka di lantai dua. Dia kehilangan daya saat melihat istrinya bermuram hingga tak berani sama sekali dia mendebatnya. Laki-laki itu pun merasa mati langkah saat hari liburnya justru bertepatan dengan jadwal Rafa di rumah Yuda.Laki-laki itu bahkan ingin sekali melarang anaknya pergi ke rumah ayah kandungnya jika tak ingat hal itu akan membuat suasana sejuk yang tercipta dengan laki-laki itu akan kembali memanas dan tentu akan berdampak pada hubungan mereka. Apalagi Yuda sudah menjanjikan anaknya melakukan kegiatan yang sama lagi seperti saat itu. Memancing di danau dan membakar ikan di tepian yang membuat bibir mungil Rafa tak henti-hentinya bercerita aktivitas yang menyenangkan itu.Baru saja hendak memakai kaos berwarna merah miliknya, Arini yang tiba-tiba masuk mencegah laki-laki itu.“Jangan yang itu, Mas. Warna itu merusak pandangan mataku.
SIKAP ANEH ARINIArini duduk di atas sofa ruang belakang. Tatapannya tertuju ke arah luar jendela dimana pohon palem yang berderet rapi di halaman terlihat meliuk-liuk diterpa angin. Hujan yang turun membuat pepohonan di luar sana tampak segar. Aroma petrikor yang berasal dari tanah kering yang tersiram air hujan terasa sekali di indra penciuman Arini.Tetapi kali ini reaksi yang dirasakan Arini terasa lain. Tidak seperti biasanya saat hatinya bersorak menikmati aroma khas yang keluar saat awal-awal hujan turun. Arini bahkan beranjak dari posisi duduknya saat ini demi menutup jendela berharap bau khas itu segera menghilang secepatnya.“Kucari-cari kenapa justru di sini?”Suara suaminya membuat Arini tersentak. Beberapa saat kemudian dia membetulkan anak rambut yang berkeliaran bebas di dahinya. Keheningan rumah itu membuat mood Arini mudah sekali memburuk. Suaminya itu langsung mengambil posisi berhimpitan dengannya. Aneh, seketika Arini menggeser tubuhnya hingga menambah jarak di ant
“Mama!” Rafa berteriak senang saat mobil Yovan memasuki halaman. Bocah laki-laki itu langsung berlari saat Arini keluar dari mobil. “Kangen.” Rafa tertawa-tawa saat Arini memeluknya erat-erat. Dia semakin terkekeh geli saat Arini menciumi wajahnya bertubi-tubi.“Papa.” Rafa langsung menyalami Yovan setelah berhasil lepas dari pelukan Arini. Dia mengangguk senang saat Yovan dengan mudah mengangkat tubuhnya.Disini, Yuda mengeluh pelan melihat keharmonisan keluarga di hadapannya. Rafa tampak sangat senang digendong Yovan. Sementara Arini menggandeng tangan Yovan dengan sebelah tangan menenteng paper bag biru. Keluarga kecil yang terlihat sangat harmonis. Siapapun pasti akan mengira kalau Rafa adalah anak Arini dan Yovan.“Assalamualaikum, Mas.”“Waalaikumussalam.” Lamunan Yuda terhenti mendengar salam Arini. Dia langsung berdiri dan membalas jabat tangan Arini dan Yovan. “Masuk dulu. Mama dan Diandra sedang keluar. Mama mertua mau mengadakan hajatan jadi mereka bantu-bantu.”“Kami dilua