Bab 5: Langkah Terlarang

Dito duduk di sofa teras rumah, mencoba menenangkan diri setelah mondar-mandir mencari siapa yang tadi memotret secara diam-diam. Pelipisnya mulai berdenyut, kepalanya pening. Pilihan ada di depan mata: meninggalkan Yasmin dengan masalahnya atau bertindak lebih jauh untuk membantunya. Dito memijat pelipisnya, berharap ada jawaban yang muncul.

Dari dalam rumah, Yasmin keluar dengan langkah gontai.

"Mungkin, aku memang harus kembali pada Mas Arya, Bang. Setidaknya agar orang-orang di sekitarku tidak merasa terganggu lagi," ucapnya pelan sambil menghampiri pot anggrek ungu yang menggantung di sudut teras. Jarinya terulur, memetik kelopak bunga yang layu, lalu mencium aromanya perlahan.

Tatapan Yasmin kosong, seolah melihat kehidupan yang sekarat di kelopak anggrek itu.

"Aku cuma perlu bersabar lagi menghadapi Mas Arya. Mungkin memang sudah takdirku punya suami yang hanya di atas kertas," katanya dengan suara yang bergetar, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Dito. Kepiluan dan keputusasaan terpancar jelas dari matanya yang enggan menatap lurus ke depan.

Dito mendengarnya dengan hati yang mencelos. Ada banyak luka yang Yasmin simpan rapat-rapat, terlalu dalam untuk sekadar diukur dengan kata-kata. Ia bertanya dalam hati, apakah dirinya sanggup menyembuhkan luka itu?

Yasmin menghapus sudut matanya yang basah, mengelap hidungnya dengan lengan baju.

"Bang, bolehkah aku minta tolong sekali lagi?" Tatapannya berpindah ke arah Dito, mengharapkan jawaban yang tak perlu verbal.

Dito hanya mengangguk. Rasanya seperti ada beban berat yang menimpa dadanya.

"Antar aku ke rumah Mas Arya. Aku harus menyelesaikan semuanya."

"Yas, apa kamu yakin?"

"Mas Arya tidak akan menyakiti aku, asal aku diam dan patuh," ucapnya, lebih mirip seseorang yang sudah menyerah pada nasib daripada menemukan keberanian. "Aku hanya perlu menutup mata, mulut, dan telinga."

Hening. Keduanya terjebak dalam pikiran masing-masing. Dito tak tahu harus berkata apa. Sebagai orang luar, tak sepantasnya ia mencampuri lebih dalam urusan rumah tangga Yasmin, tapi mengabaikan Yasmin juga terasa tak benar.

Yasmin hendak masuk ke dalam ketika suara deru mobil mendekat. Sebuah Pajero silver berhenti di halaman rumah yang tak berpagar. Seorang lelaki dengan pakaian serba hitam turun dari kemudi, berjalan membuka pintu belakang. Dari situ, tampak kaki jenjang seorang pria keluar dengan sepatu mengkilap dan pakaian mahal.

Sosok pria paruh baya itu tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapi. Baskoro, sang paman yang ternyata adalah dalang dari semua ini, sosok yang biasa Yasmin panggil dengan penuh hormat.

Yasmin berlari ke arahnya, memeluknya erat. Baskoro membalas pelukan itu dengan penuh kehangatan, seolah benar-benar menyayangi Yasmin.

"Terima kasih, Nak Dito, sudah menolong keponakan saya," katanya setelah mereka duduk di ruang tamu. Ia mengelus kepala Yasmin, seolah menenangkan seorang anak kecil yang baru mengalami mimpi buruk.

"Tak apa, Pak," jawab Dito dengan senyum sopan yang dipaksakan. "Saya kebetulan lewat dan menemukan Yasmin dalam keadaan takut. Sebagai manusia, kita harus saling menolong, bukan begitu?" Baskoro mengangguk, senyumnya tipis tapi tak sepenuhnya tulus.

“Jika boleh tahu, bagaimana Bapak bisa menemukan Yasmin di sini?” tanya Dito, mencoba mengorek informasi.

“Yasmin yang memberitahu saya. Dia bilang dia baik-baik saja di sini, tapi perasaan saya tak tenang, makanya saya datang menjemput,” jelas Baskoro sambil tersenyum, meski sedikit tegang.

“Semoga Yasmin bisa tenang kalau berada bersama keluarga yang benar-benar menyayanginya,” komentar Dito, sedikit menyindir. Baskoro tertawa kecil, meski ada perubahan halus di wajahnya yang tak luput dari pengamatan Dito.

“Oh, tentu. Yasmin sudah seperti anak saya sendiri,” jawabnya dengan nada yakin. Ia merangkul bahu Yasmin dan mencium keningnya lembut, seolah menenangkan gadis itu dari rasa takut yang terus menghantui.

Melihat adegan itu, dada Dito mendidih. Ia tak tahu kenapa, tapi rasanya ia tak suka melihat Yasmin diperlakukan seperti itu. Dito menggeleng cepat, mencoba menyingkirkan pikiran aneh itu.

“Nak Dito kenapa? Sakit kepala?” tanya Baskoro dengan nada prihatin.

“Tidak apa-apa, Pak. Saya hanya mengantuk,” jawab Dito asal, menghindari tatapan mereka berdua.

“Kalau begitu, istirahatlah."

"Iya, terima kasih perhatiannya."

Lalu Yasmin menyela untuk berpamitan, "Terima kasih banyak atas bantuannya, Bang. Aku pulang dulu, ya."

"Iya, tidak perlu berterima kasih. Aku senang bisa membantu."

"Kalau begitu, gantilah bajumu. Kau bahkan memakai daster yang terlihat kebesaran di badanmu," ucap Baskoro pada Yasmin.

"Iya, Paman. Aku ke kamar dulu."

Baskoro mengangguk, kemudian Yasmin beranjak.

Tak ada percakapan apapun antara Dito dan Baskoro saat menunggu Yasmin selesai berganti pakaian.

Hingga tak lama kemudian Yasmin keluar dengan penampilan yang sudah rapi.

***

Setelah mereka pergi, Dito duduk sendirian di ruang tamu yang kini sepi. Ketenangan yang sempat dinikmatinya selama bertahun-tahun seolah lenyap sejak Yasmin muncul dalam hidupnya. Ia mengambil kartu nama yang diberikan Baskoro tadi dan membacanya pelan.

‘Baskoro Suherman Adijaya, Pemilik Adijaya Group,’ tertera di sana. Sebuah perusahaan properti besar yang cukup terkenal. Dito menggenggam kartu itu erat, bibirnya menyeringai.

Rencananya sudah jelas. Ia akan menyelidiki siapa Baskoro sebenarnya, dan Yasmin takkan dibiarkannya terluka lagi.

.

.