Terhitung tiga hari sudah Yasmin berada di rumah Dito. Jika hari biasanya Dito menginap di rumah temannya, hari ini lelaki jangkung itu terpaksa tidur di rumah karena mendadak pinggangnya terasa sakit. Yasmin pun tak merasa keberatan, toh dirinya tidak tidur dalam satu kamar yang sama.
Saat Dito membuka pintu kamar, ia terkejut mendapati Yasmin berdiri tepat di depan pintu. Penampilan wanita itu berbeda dari biasanya. Wajahnya terlihat segar, auranya cerah, dan pakaiannya rapi—seperti seseorang yang bersiap pergi. "Abang sudah bangun?" sapanya dengan lembut sambil tersenyum manis. Dito mengerutkan dahi, lalu bertanya, "Iya, kamu sudah rapi. Mau ke mana?" "Aku pikir, nggak baik kalau aku terus-terusan ngerepotin Abang. Lagipula, kita bukan mahram. Mungkin sudah saatnya aku pergi," jawabnya tenang, meskipun ada nada getir yang terselip di sana. Dito menghela napas panjang. "Memangnya kamu mau pergi ke mana? Bukankah saat ini cuma aku yang bisa kamu andalkan? Apa kamu lupa kejadian kemarin?" Yasmin menggeleng, kali ini suaranya lebih keras. "Aku nggak akan lupa, Bang. Nggak akan pernah!" Matanya menatap kosong ke depan, sementara tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Setelah hening beberapa saat, Yasmin melanjutkan dengan suara yang lebih tenang. "Aku masih punya paman. Adik tiri almarhum papa. Dia cukup baik, Bang. Mungkin aku akan ke sana." Dito hanya mampu menjawab pelan, "Oh." Keduanya terdiam. Dito hanya menatapnya tanpa kata, sementara Yasmin tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. "Baiklah, Bang, kalau begitu aku pamit. Terima kasih atas semua kebaikan Abang. Semoga Abang bahagia dan sehat selalu," ucap Yasmin sambil tersenyum tipis. "Oh ya, aku juga sudah masak," tambahnya, mencoba terdengar santai. Dito merasa dadanya sesak. "Biar aku antar," ucapnya cepat. Ia tak tahu apa yang mendorongnya untuk mengatakan itu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya enggan membiarkan Yasmin pergi begitu saja. Namun Yasmin hanya menggeleng pelan dan melangkah pergi. --- Tiga bulan kemudian ... Tiga bulan berlalu sejak kepergian Yasmin. Selama itu, kehidupan Dito berjalan monoton. Ia tak pernah lagi mendengar kabar tentang wanita itu. Pekerjaan kotor yang dulu dilakukannya sudah ia tinggalkan. Uang dari kasus Yasmin cukup untuk menopang hidupnya beberapa bulan, meski hanya untuk makan dan tidur saja. Hari ini, Dito berniat memeriksakan kesehatannya di rumah sakit. Ia sudah lama menyadari bahwa tubuhnya tidak sehat. Masalah pada ginjalnya memaksanya untuk rutin mengonsumsi obat, meskipun ia tahu efeknya membuat tubuhnya semakin lemah. Setelah memarkir motor, Dito berjalan menuju poli klinik tempat ia mengambil nomor antrean. Sambil menunggu namanya dipanggil, ia tak sengaja melihat sosok wanita yang menyerupai Yasmin memasuki ruangan dokter. Pandangannya terhenti pada tulisan di atas pintu: Poli Kandungan. "Yasmin?" gumamnya lirih, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu bukan ilusi. Tapi jika benar itu Yasmin, apa yang dilakukannya di sini? Setelah selesai mengambil obat, Dito kembali melihat wanita yang mirip Yasmin. Kali ini, wanita itu berjalan bersama seorang pria dengan pakaian kasual namun rapi. Keduanya tampak akrab, bahkan senyuman Yasmin terlihat begitu tulus. Rasa penasaran mendorong Dito untuk mengikuti mereka. Ia terus mengawasi dari kejauhan hingga mereka menuju parkiran. Tepat saat Yasmin hendak masuk ke mobil bersama pria itu, seorang pria paruh baya muncul dari arah yang berlawanan. Deg. Wajah pria paruh baya itu membuat dada Dito terasa sesak. Ia mengenali pria itu—orang yang dulu menyuruhnya untuk menculik Yasmin. Tapi bagaimana bisa Yasmin sekarang bersama orang itu? Dengan hati yang bergejolak, Dito tetap mengikuti mereka. Ia mengamati dari kejauhan hingga mobil yang mereka tumpangi memasuki sebuah kompleks perumahan mewah. Dito mencoba masuk, tetapi dihalangi oleh palang pintu dan satpam yang berjaga. Tak ada cara lain selain berbalik dan menunggu waktu yang tepat. --- Malam harinya, Dito kembali ke kompleks perumahan tersebut. Ia hanya berdiri di pinggir jalan, mengawasi dari jauh tanpa tujuan jelas. Rasanya seperti ada sesuatu yang memaksanya untuk tetap di sana. Setelah hampir dua jam menunggu tanpa hasil, Dito memutuskan untuk pergi. Namun, saat hendak menyalakan motor, suara teriakan membuatnya terhenti. "Tolong ... tolong, Bang! Jangan pergi!" Suara itu membuat Dito berbalik. Di kejauhan, ia melihat sosok wanita berlari ke arahnya. "Tolong aku, Bang!" Dito membeku. Wajah wanita itu semakin jelas. "Yasmin?" bisiknya terkejut. Yasmin pun tak kalah terkejut. Seketika ia terisak saat berada di hadapan Dito. Tanpa berkata-kata, ia memeluk pria itu erat, tubuhnya bergetar hebat. --- Di sebuah kafe, Yasmin duduk di depan Dito. Kentang goreng dan dua gelas jus menemani mereka, meski terlihat keduanya seperti tak bernafsu untuk memakannya.. "Abang mau tanya sesuatu, Yas?" ucap Dito memecahkan keheningan. "Boleh, Bang." "Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau tampak ketakutan?" tanyanya hati-hati. Yasmin terdiam menunduk. "Tak apa, Yas. Aku tak akan memaksamu." Wanita berhijab kopi susu itu mendongak, menatap Dito. Matanya sedikit basah, pandangannya sayu. Dito bisa merasakan beban yang sedang dipikulnya. "Bang, kemarin aku lihat Abang di rumah sakit. Apa Abang ngikutin aku?" tanya Yasmin tiba-tiba, mengalihkan topik. "Enggak. Aku cuma kebetulan lihat kamu masuk ke poli kandungan. Yas, kamu hamil?" Pertanyaan itu akhirnya meluncur begitu saja dari mulut Dito. Ekspresi Yasmin berubah terkejut. "Nggak, Bang. Aku cuma diperiksa," jawabnya ragu sambil mengaduk jus jeruk. "Kalau aku cerita, Abang percaya nggak?" lanjutnya bertanya. "Asal kamu nggak bohong." "Apa Abang bisa dipercaya?" "Kenapa nggak?" "Karena aku nggak punya uang buat bayar Abang." Dito tercekat. "Maksudmu?" "Aku sudah tahu, Bang," suaranya bergetar. "Aku lihat Abang nerima uang dari seseorang." Deg. Rasanya hati Dito tertohok. "Aku nggak tahu siapa yang menyuruh Abang. Aku cuma yakin ini semua sudah direncanakan, 'kan, Bang?" Pemuda tampan dengan rahang tegas itu tak bisa berkata apa-apa. Yasmin sudah tahu semuanya. "Jadi, kamu tahu siapa yang menculikmu?" tanya Dito lirih. Yasmin mengangkat bahu. "Nggak mau cari tahu, Bang. Aku takut kecewa lagi. Cepat atau lambat pasti terbongkar." Wanita cantik dengan bulu lentik alami itu tersenyum getir. Mendengar ucapannya, Dito hanya bisa termenung, merasa bersalah. "Oh iya, bukankah kamu bicara tentang masa depan tadi?" tanya Dito teringat lelaki yang bersama Yasmin di rumah sakit. "Bang Dito lucu." Yasmin justru terkekeh, tak menjawab pertanyaan Dito. "Bukankah Abang tahu aku dibuang suami? Masa depanku jelas bukan bersamanya." Dito terdiam, masih bingung dengan semua ini. . .Yasmin tampak ragu sebelum akhirnya bersuara. “Jadi ….” Kalimatnya menggantung di udara, menarik perhatian Dito. “Namanya Reyhan. Reyhan Permana Adijaya. Dia anak dari pamanku. Apa Bang Dito kira dia kekasihku?” lanjutnya sambil menatap lurus ke wajah tampan Dito. Lelaki itu pun merasa gugup, tak siap dengan pertanyaan itu. “Eh, hmmm, ti-tidak, bukan begitu maksudku,” sahutnya, mencoba mengelak. Ia menggaruk alisnya yang tak gatal, sebuah kebiasaan yang muncul saat gugup. Ia seharusnya tahu Yasmin bukanlah tipe wanita yang mudah jatuh hati, apalagi setelah semua yang dia lalui. Meski begitu, rasa penasaran tetap menghantui pikirannya. “Maaf, Yas, aku hanya merasa aneh waktu melihatmu di poli kandungan. Aku pikir kamu …” Dito menghentikan ucapannya, menelan kalimat yang hendak mengungkapkan kecurigaannya soal Yasmin. Ia tak ingin mempermalukan wanita itu atau membuatnya merasa semakin terpojok. Yasmin mengangkat alis, menunggu kelanjutan penjelasan lawan bicaranya. “Pikir aku apa,
Dito duduk di sofa teras rumah, mencoba menenangkan diri setelah mondar-mandir mencari siapa yang tadi memotret secara diam-diam. Pelipisnya mulai berdenyut, kepalanya pening. Pilihan ada di depan mata: meninggalkan Yasmin dengan masalahnya atau bertindak lebih jauh untuk membantunya. Dito memijat pelipisnya, berharap ada jawaban yang muncul.Dari dalam rumah, Yasmin keluar dengan langkah gontai. "Mungkin, aku memang harus kembali pada Mas Arya, Bang. Setidaknya agar orang-orang di sekitarku tidak merasa terganggu lagi," ucapnya pelan sambil menghampiri pot anggrek ungu yang menggantung di sudut teras. Jarinya terulur, memetik kelopak bunga yang layu, lalu mencium aromanya perlahan.Tatapan Yasmin kosong, seolah melihat kehidupan yang sekarat di kelopak anggrek itu. "Aku cuma perlu bersabar lagi menghadapi Mas Arya. Mungkin memang sudah takdirku punya suami yang hanya di atas kertas," katanya dengan suara yang bergetar, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Dito. Kepiluan dan
"Apa kau sedang mengancamku anak muda?" ucap Baskoro dengan tatapan meremehkan. "Siapalah saya ini, Pak, sampai berani mengancam pemilik perusahaan Adijaya Group. Bukankah sudah saya katakan, kalau saya meminta pekerjaan, Pak Baskoro yang terhormat," ucap Dito santai. Benar. Hari ini Dito memutuskan untuk datang ke perusahaan Baskoro setelah beberapa hari belakangan sibuk mencari bukti dan informasi tentang Baskoro dan Yasmin. Dibantu beberapa sahabat, akhirnya Dito berhasil menemukan fakta yang sungguh diluar dugaan."Saya akui kamu pemuda yang pemberani. Kau bahkan belum tahu dengan siapa kau berhadapan sekarang. Apa kau tidak takut salah lawan?""Dalam kamus saya tidak ada kata takut. Yang ng ada hanya saya harus mendapatkan apa yang saya inginkan, apapun caranya! Jadi, saya harap anda mau bekerjasama dengan saya." Masih dengan nada tenang, Dito mencoba bernegosiasi."Memangnya, apa keuntungan bagi saya kalau bersedia membantumu?" Dengan punggung yang bersandar di kursi, Baskoro
Sesuai perintah, Dito berdiri di ruang tamu, menunggu Arya. Posisinya sengaja memilih tempat agar ia bisa mengintip ke arah meja makan. Dari situ, ia bisa melihat bagaimana Arya memperlakukan Yasmin, meski hanya sedikit.Tak berselang lama, Arya turun. Namun, ada yang membuat Dito sungguh tak habis pikir.Arya turun bersama seorang wanita yang bergelayut manja di tangannya. Tanpa merasa bersalah pada Yasmin, kedua manusia itu duduk lalu menyantap sarapan tanpa mempedulikan Yasmin yang entah kenapa masih setia berdiri di samping meja makan. 'Kenapa Yasmin tak ikut duduk atau pergi saja dari sana? Apa Arya yang menyuruhnya?' batin Dito bergejolak. Tangannya terasa gatal, ingin sekali menghadiahi Arya sebuah bogeman. Jika tak ingat misi, mungkin suami Yasmin itu sudah habis di tangan Dito. Bahkan pemuda itu tak peduli jika nantinya harus masuk penjara sekalipun. Namun, ia sungguh tak bisa berbuat banyak. Dia hanya mampu mengepalkan tangan sambil mengalihkan pandangan ke arah luar agar
Dito menelan saliva yang mengganjal di tenggorokan. Sungguh, berada di posisi ini membuatnya tak nyaman. Arya masih tetap memindai wajahnya, lalu turun ke bawah sampai ke ujung kaki, naik ke atas hingga ujung rambutnya."Benar, kamu orang yang diutus Paman Baskoro?" ucap Arya masih memperhatikan."Benar, Tuan!" jawab Dito menunduk, berharap sedikit menutupi wajahnya."Cih! Rendah sekali seleranya." Arya berdecih menghina sosok di depannya, kemudian berlalu menuju mobilnya. Dito sendiri masih sibuk mengamati penampilannya yang dibilang rendahan oleh Arya. Semua biasa saja baginya. Memakai celana training yang biasa ia pakai untuk tidur dipadukan dengan atasan kemeja pendek warna biru muda. Sedang sendalnya ia memakai selop warna putih. Rasanya memang sungguh tidak ada yang aneh.Setelah mobil Arya berlalu, Dito mengusap dadanya yang begitu lega karena penyamarannya berhasil. Kemudian ia masuk ke dalam rumah hendak mencari Yasmin untuk menanyakan hal apa yang harus ia kerjakan. Di sis
"Karena ...." Dito menjeda ucapannya. Dia ragu apakah Yasmin akan percaya jika dirinya menceritakan yang sebenarnya tentang Baskoro? Yang dia takutkan adalah jika Yasmin justru menjauhinya karena salah paham, telah menjelek-jelekkan pamannya."Sudahlah. Cepat antar aku ke sana. Kau dibayar untuk itu, bukan?" perintah Yasmin.Alih-alih mengerjakan perintah wanita di sebelahnya, Dito malah membelokkan mobilnya ke arah yang berbeda. Yasmin tentu hafal jika jalan itu bukanlah jalan menuju kantor pamannya."Kita mau ke mana? Ini jelas bukan jalan yang benar.""Kita perlu bicara.""Sudah sejak tadi kita bicara, Bang. Mau apalagi?"Pemuda tampan berambut gondrong sebahu itu tak menyahuti lagi. Dia fokus pada jalan serta sibuk memilih tempat yang cocok untuk mereka berdua berbicara penting."Bang Dito jangan macam-macam ya, sama aku!" ucap Yasmin waspada.Lagi-lagi Dito tak mengeluarkan suaranya. Barulah setelah sampai pada sebuah danau yang indah, Dito bersuara. Itupun hanya ajakan untuk tur
"Halo. Datangi rumahnya dan hancurkan semua barang-barangnya. Saya ingin dia menjadi gembel!" perintahnya pada seseorang melalui sambungan telepon."Siap, Bos." Tanpa banyak bertanya, orang di seberang sana sudah tahu apa yang diinginkan bosnya.Arya tersenyum sinis. Membayangkan hidup seorang Dito yang akan berantakan karena berani mencampuri urusannya.Sementara anak buahnya yang berjumlah dua orang mulai bergerak mendatangi bangunan minimalis satu lantai yang sudah Dito tempati bertahun-tahun, untuk mengobrak-abrik isinya.Tak ada firasat apapun yang Dito rasakan. Pemuda itu masih asyik bermain-main dengan Yasmin. Kali ini mereka sedang mencoba permainan dance arcade yang berhasil membuat Yasmin tertawa lepas."Bang Dito curang. Aku bahkan belum pernah bermain ini sebelumnya, kenapa Abang cepat sekali narinya. Harusnya Abang ngalah." Yasmin protes karena kakinya tak selincah Dito."Apanya yang curang? Abang mainnya biasa aja. Kamu aja yang lelet.""Enak aja bilang aku lelet, Abang
"Mas, boleh aku tanya sesuatu?" Bella memberanikan diri bertanya setelah pergulatan panas mereka selesai. Setelah mengenakan pakaian yang lengkap, wanita itu mendekati Arya yang juga kini sudah kembali rapi."Apa?" sahut Arya yang sedang menyisir rambutnya sambil berdiri di depan meja rias."Kenapa kau masih saja menyebut nama 'Yasmin' setiap kali kita berhubungan? Aku ...""Sudah kukatakan, jangan ikut campur urusanku. Kau harus sadar dengan posisimu, Bella," tegas Arya menyela ucapan teman tidurnya."Tapi mau sampai kapan, Mas? Aku capek seperti ini terus. Aku juga ingin dicintai sama kamu. Aku ingin kamu menyebut namaku saat mencapai puncak kenikmatan bersamaku. Kau melakukannya bersamaku, Mas, bukan wanita menjijkkan itu!""Stop, Bella! Jangan melewati batasmu!" Arya melempar sisir yang ia pegang dengan kasar ke arah Bella. Beruntung tidak mengenai kepalanya."Tapi, Mas --""Dengar! Kita sudah sepakat dari awal. Kau hanya teman tidurku, tidak lebih!" bisik Arya penuh penekanan."T
"Mas, boleh aku tanya sesuatu?" Bella memberanikan diri bertanya setelah pergulatan panas mereka selesai. Setelah mengenakan pakaian yang lengkap, wanita itu mendekati Arya yang juga kini sudah kembali rapi."Apa?" sahut Arya yang sedang menyisir rambutnya sambil berdiri di depan meja rias."Kenapa kau masih saja menyebut nama 'Yasmin' setiap kali kita berhubungan? Aku ...""Sudah kukatakan, jangan ikut campur urusanku. Kau harus sadar dengan posisimu, Bella," tegas Arya menyela ucapan teman tidurnya."Tapi mau sampai kapan, Mas? Aku capek seperti ini terus. Aku juga ingin dicintai sama kamu. Aku ingin kamu menyebut namaku saat mencapai puncak kenikmatan bersamaku. Kau melakukannya bersamaku, Mas, bukan wanita menjijkkan itu!""Stop, Bella! Jangan melewati batasmu!" Arya melempar sisir yang ia pegang dengan kasar ke arah Bella. Beruntung tidak mengenai kepalanya."Tapi, Mas --""Dengar! Kita sudah sepakat dari awal. Kau hanya teman tidurku, tidak lebih!" bisik Arya penuh penekanan."T
"Halo. Datangi rumahnya dan hancurkan semua barang-barangnya. Saya ingin dia menjadi gembel!" perintahnya pada seseorang melalui sambungan telepon."Siap, Bos." Tanpa banyak bertanya, orang di seberang sana sudah tahu apa yang diinginkan bosnya.Arya tersenyum sinis. Membayangkan hidup seorang Dito yang akan berantakan karena berani mencampuri urusannya.Sementara anak buahnya yang berjumlah dua orang mulai bergerak mendatangi bangunan minimalis satu lantai yang sudah Dito tempati bertahun-tahun, untuk mengobrak-abrik isinya.Tak ada firasat apapun yang Dito rasakan. Pemuda itu masih asyik bermain-main dengan Yasmin. Kali ini mereka sedang mencoba permainan dance arcade yang berhasil membuat Yasmin tertawa lepas."Bang Dito curang. Aku bahkan belum pernah bermain ini sebelumnya, kenapa Abang cepat sekali narinya. Harusnya Abang ngalah." Yasmin protes karena kakinya tak selincah Dito."Apanya yang curang? Abang mainnya biasa aja. Kamu aja yang lelet.""Enak aja bilang aku lelet, Abang
"Karena ...." Dito menjeda ucapannya. Dia ragu apakah Yasmin akan percaya jika dirinya menceritakan yang sebenarnya tentang Baskoro? Yang dia takutkan adalah jika Yasmin justru menjauhinya karena salah paham, telah menjelek-jelekkan pamannya."Sudahlah. Cepat antar aku ke sana. Kau dibayar untuk itu, bukan?" perintah Yasmin.Alih-alih mengerjakan perintah wanita di sebelahnya, Dito malah membelokkan mobilnya ke arah yang berbeda. Yasmin tentu hafal jika jalan itu bukanlah jalan menuju kantor pamannya."Kita mau ke mana? Ini jelas bukan jalan yang benar.""Kita perlu bicara.""Sudah sejak tadi kita bicara, Bang. Mau apalagi?"Pemuda tampan berambut gondrong sebahu itu tak menyahuti lagi. Dia fokus pada jalan serta sibuk memilih tempat yang cocok untuk mereka berdua berbicara penting."Bang Dito jangan macam-macam ya, sama aku!" ucap Yasmin waspada.Lagi-lagi Dito tak mengeluarkan suaranya. Barulah setelah sampai pada sebuah danau yang indah, Dito bersuara. Itupun hanya ajakan untuk tur
Dito menelan saliva yang mengganjal di tenggorokan. Sungguh, berada di posisi ini membuatnya tak nyaman. Arya masih tetap memindai wajahnya, lalu turun ke bawah sampai ke ujung kaki, naik ke atas hingga ujung rambutnya."Benar, kamu orang yang diutus Paman Baskoro?" ucap Arya masih memperhatikan."Benar, Tuan!" jawab Dito menunduk, berharap sedikit menutupi wajahnya."Cih! Rendah sekali seleranya." Arya berdecih menghina sosok di depannya, kemudian berlalu menuju mobilnya. Dito sendiri masih sibuk mengamati penampilannya yang dibilang rendahan oleh Arya. Semua biasa saja baginya. Memakai celana training yang biasa ia pakai untuk tidur dipadukan dengan atasan kemeja pendek warna biru muda. Sedang sendalnya ia memakai selop warna putih. Rasanya memang sungguh tidak ada yang aneh.Setelah mobil Arya berlalu, Dito mengusap dadanya yang begitu lega karena penyamarannya berhasil. Kemudian ia masuk ke dalam rumah hendak mencari Yasmin untuk menanyakan hal apa yang harus ia kerjakan. Di sis
Sesuai perintah, Dito berdiri di ruang tamu, menunggu Arya. Posisinya sengaja memilih tempat agar ia bisa mengintip ke arah meja makan. Dari situ, ia bisa melihat bagaimana Arya memperlakukan Yasmin, meski hanya sedikit.Tak berselang lama, Arya turun. Namun, ada yang membuat Dito sungguh tak habis pikir.Arya turun bersama seorang wanita yang bergelayut manja di tangannya. Tanpa merasa bersalah pada Yasmin, kedua manusia itu duduk lalu menyantap sarapan tanpa mempedulikan Yasmin yang entah kenapa masih setia berdiri di samping meja makan. 'Kenapa Yasmin tak ikut duduk atau pergi saja dari sana? Apa Arya yang menyuruhnya?' batin Dito bergejolak. Tangannya terasa gatal, ingin sekali menghadiahi Arya sebuah bogeman. Jika tak ingat misi, mungkin suami Yasmin itu sudah habis di tangan Dito. Bahkan pemuda itu tak peduli jika nantinya harus masuk penjara sekalipun. Namun, ia sungguh tak bisa berbuat banyak. Dia hanya mampu mengepalkan tangan sambil mengalihkan pandangan ke arah luar agar
"Apa kau sedang mengancamku anak muda?" ucap Baskoro dengan tatapan meremehkan. "Siapalah saya ini, Pak, sampai berani mengancam pemilik perusahaan Adijaya Group. Bukankah sudah saya katakan, kalau saya meminta pekerjaan, Pak Baskoro yang terhormat," ucap Dito santai. Benar. Hari ini Dito memutuskan untuk datang ke perusahaan Baskoro setelah beberapa hari belakangan sibuk mencari bukti dan informasi tentang Baskoro dan Yasmin. Dibantu beberapa sahabat, akhirnya Dito berhasil menemukan fakta yang sungguh diluar dugaan."Saya akui kamu pemuda yang pemberani. Kau bahkan belum tahu dengan siapa kau berhadapan sekarang. Apa kau tidak takut salah lawan?""Dalam kamus saya tidak ada kata takut. Yang ng ada hanya saya harus mendapatkan apa yang saya inginkan, apapun caranya! Jadi, saya harap anda mau bekerjasama dengan saya." Masih dengan nada tenang, Dito mencoba bernegosiasi."Memangnya, apa keuntungan bagi saya kalau bersedia membantumu?" Dengan punggung yang bersandar di kursi, Baskoro
Dito duduk di sofa teras rumah, mencoba menenangkan diri setelah mondar-mandir mencari siapa yang tadi memotret secara diam-diam. Pelipisnya mulai berdenyut, kepalanya pening. Pilihan ada di depan mata: meninggalkan Yasmin dengan masalahnya atau bertindak lebih jauh untuk membantunya. Dito memijat pelipisnya, berharap ada jawaban yang muncul.Dari dalam rumah, Yasmin keluar dengan langkah gontai. "Mungkin, aku memang harus kembali pada Mas Arya, Bang. Setidaknya agar orang-orang di sekitarku tidak merasa terganggu lagi," ucapnya pelan sambil menghampiri pot anggrek ungu yang menggantung di sudut teras. Jarinya terulur, memetik kelopak bunga yang layu, lalu mencium aromanya perlahan.Tatapan Yasmin kosong, seolah melihat kehidupan yang sekarat di kelopak anggrek itu. "Aku cuma perlu bersabar lagi menghadapi Mas Arya. Mungkin memang sudah takdirku punya suami yang hanya di atas kertas," katanya dengan suara yang bergetar, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Dito. Kepiluan dan
Yasmin tampak ragu sebelum akhirnya bersuara. “Jadi ….” Kalimatnya menggantung di udara, menarik perhatian Dito. “Namanya Reyhan. Reyhan Permana Adijaya. Dia anak dari pamanku. Apa Bang Dito kira dia kekasihku?” lanjutnya sambil menatap lurus ke wajah tampan Dito. Lelaki itu pun merasa gugup, tak siap dengan pertanyaan itu. “Eh, hmmm, ti-tidak, bukan begitu maksudku,” sahutnya, mencoba mengelak. Ia menggaruk alisnya yang tak gatal, sebuah kebiasaan yang muncul saat gugup. Ia seharusnya tahu Yasmin bukanlah tipe wanita yang mudah jatuh hati, apalagi setelah semua yang dia lalui. Meski begitu, rasa penasaran tetap menghantui pikirannya. “Maaf, Yas, aku hanya merasa aneh waktu melihatmu di poli kandungan. Aku pikir kamu …” Dito menghentikan ucapannya, menelan kalimat yang hendak mengungkapkan kecurigaannya soal Yasmin. Ia tak ingin mempermalukan wanita itu atau membuatnya merasa semakin terpojok. Yasmin mengangkat alis, menunggu kelanjutan penjelasan lawan bicaranya. “Pikir aku apa,
Terhitung tiga hari sudah Yasmin berada di rumah Dito. Jika hari biasanya Dito menginap di rumah temannya, hari ini lelaki jangkung itu terpaksa tidur di rumah karena mendadak pinggangnya terasa sakit. Yasmin pun tak merasa keberatan, toh dirinya tidak tidur dalam satu kamar yang sama.Saat Dito membuka pintu kamar, ia terkejut mendapati Yasmin berdiri tepat di depan pintu. Penampilan wanita itu berbeda dari biasanya. Wajahnya terlihat segar, auranya cerah, dan pakaiannya rapi—seperti seseorang yang bersiap pergi."Abang sudah bangun?" sapanya dengan lembut sambil tersenyum manis.Dito mengerutkan dahi, lalu bertanya, "Iya, kamu sudah rapi. Mau ke mana?""Aku pikir, nggak baik kalau aku terus-terusan ngerepotin Abang. Lagipula, kita bukan mahram. Mungkin sudah saatnya aku pergi," jawabnya tenang, meskipun ada nada getir yang terselip di sana.Dito menghela napas panjang. "Memangnya kamu mau pergi ke mana? Bukankah saat ini cuma aku yang bisa kamu andalkan? Apa kamu lupa kejadian kemar