"Apa?"
Bara berteriak menanggapi jawaban Shamita. Tenggorokannya terasa panas karena ia sangat alergi udang. Sedikit saja terlambat minum, entah apa yang akan terjadi.
"Kenapa Bang? Kenapa Abang marah?" Shamita nampak ketakutan. Untuk kali ini ia tidak tau letak salahnya apa.
"Kamu hampir saja membunuhku!"
Ucapan Bara membuat Shamita tekejut, ia bahkan tidak tau letak salahnya di mana, tapi suaminya dengan mudah mengatakan jika ia hendak membunuhnya. Sungguh tuduhan paling keji yang pernah Shamita terima dalam hidupnya.
"Maksud Abang apa? Bagaimana mungkin aku berniat membunuh suamiku sendiri?" Shamita tak kuasa menahan tangisnya.
"Aku alergi udang! Kenapa hal seperti itu saja kamu tidak tau!" Jawaban Bara semakin membuat Shamita shock, jelas ini sebuah kesalahan. Seharusnya memang ia bertanya dulu hal apa saja yang tidak disukai suaminya. Namun ia telah teledor, untung saja Bara masih bisa terselamatkan.
"Maafkan aku, Bang. Sungguh aku tidak tau jika Abang alergi udang." Ucapan maaf Shamita sama sekali tak didengar oleh Bara, pria itu justru pergi meninggalkan istrinya yang masih menangis.
Bara memilih kembali ke kamarnya, mencoba menghilangkan rasa sakit yang masih tersisa dengan beristirahat.
"Dasar istri menyusahkan!" Bara bergumam memaki istrinya.
"Bang, tolong buka Bang!" Suara istrinya kembali terdengar dari balik pintu.
"Ada apa? Apa belum cukup kamu sudah membuatku hampir mati?" Dengan terpaksa Bara membuka pintu.
"Bang, kamu baik-baik saja kan, Bang? Tolong maafkan aku. Aku benar-benar tidak tau." Ucapan maaf itu terus saja keluar dari mulut Shamita. Ia memang selalu begitu, ketika bersalah ia tak akan pernah tenang jika belum mendapatkan maaf dari orang yang sudah ia sakiti.
"Udahlah, kamu terlalu berisik! Aku mau tidur lagi, jadi tolong jangan ganggu!" Bara kembali masuk dengan sedikit membanting pintu. Sepertinya alerginya masih bisa tertolong dengan banyak minum air putih. Terlihat dari ia tak lagi merasakan sakit.
Meski sedikit lega, karena tidak terjadi hal buruk dengan suaminya. Shamita tetap saja masih merasa bersalah.
Masakan spesial yang ia buat dengan ketulusan, nyatanya malah membuat masalah baru. Shamita menatap makanan yang ia masak dengan miris, masakan yang menurutnya lezat itu terpaksa tak termakan oleh suaminya.
Dengan langkah yang lesu, ia membereskan sisa makanan yang sama sekali belum tersentuh. Makanan sisa bekas suaminya, ia makan dengan gamang.
Di mangkuk kaca berisi nasi goreng itu mungkin masih cukup dimakan untuk 3 orang lagi. Pikirannya tertuju kepada neneknya yang menyukai udang. Namun karena usianya yang sudah senja, ia tak boleh lagi makan makanan laut. Shamita berpikir, akan diapakan nasi goreng yang masih tersisa ini.
Waktu masih sangat pagi, untuk orang-orang memulai pekerjaanya. Shamita akhirnya membungkus nasi goreng sisa itu dengan kertas nasi. Ia teringat teman-teman kerjanya di toko, dengan cepat ia bergegas menaiki motor matic milik Bara untuk menuju toko tempat dulu ia bekerja.
"Fitri, Dian, Dimas!" Teriak Shamita saat ia mendapati teman-temanya baru saja sampai di depan toko yang belum buka. Dengan cepat ia turun dari motornya.
"Shamita," ucap Fitri.
"Kalian apa kabar?" tanya Shamita.
"Kita baik ko, kamu tumben ke sini? Ehm … beda ya sekarang udah jadi nyonya Bara," ledek Dian.
"Aku sering ko kesini, cuma kadang kalian sibuk," kilah Shamita. Ia merasa sedikit tak nyaman dengan panggilan nyonya Bara.
"Ngomong-ngomong mau ngapain kamu ke sini, Ta?" tanya Dimas.
"Oh, ini aku bawa nasi goreng seafood buatan aku sendiri, rasanya dijamin enak. Kalian nggak ada yang alergi ikan laut kan?" Shamita menyodorkan kantong plastik berisi 3 bungkus nasi goreng kepada Dimas.
"Wah, kebtulan banget aku belum sarapan," ucap Dimas.
"Iya aku juga, sama," timpal Dian.
"Terima kasih ya, Ta," ucap Fitri.
"Iya sama-sama. Yaudah aku pulang dulu ya, kalian makan aja dulu."
"Buru-buru banget, Ta," sahut Dimas.
"Maaf ya, aku masih ada urusan."
Shamita sebenarnya sangat rindu berkumpul dengan teman-teman kerjanya itu. Namun ia takut jika terlalu lama di sini, teman-temanya akan memperhatikan matanya yang sedikit sembab karena terlalu banyak menangis.
Teman-teman Shamita memang sudah tau jika ia telah menikah dengan Bara, namun mereka sangat menghargai Shamita dengan tidak banyak bertanya kenapa ia bisa menikah dengan Bara.
"Yaudah deh, kita ngerti ko," balas Fitri. Fitri memang teman paling dewasa di antara mereka. Umurnya 3 tahun di atas Shamita, namun ia belum juga menemui pasangan hidupnya.
Setelah berpamitan dengan ketiga temannya, Shamita kembali memacu motornya dengan kecepatan sedang. Ilmu mengendarai motor ia dapatkan dari Irham, ternyata memang sangat berguna bisa mengendarai motor sendiri saat tidak ada orang yang bisa dimintai bantuan.
Shamita kembali lagi ke rumah, dari luar nampak rumah ini tidak terlalu besar, namun tak juga kecil, sedang saja. Meskipun begitu, rumah ini jauh sekali perbedaanya dengan rumah Shamita yang ditempati dengan neneknya. Dalam hatinya ia merasa bersyukur, karena dengan dinikahi Bara, hidupnya sedikit terangkat.
Kakinya ia langkahkan dengan hati-hati. Takut sekali jika Bara sudah bangun. Wanita dengan lesung pipi itu, merasa lega karena Bara belum bangun. Ia coba masuk ke dalam kamar yang saat ini ditempati Bara. Ternyata pintunya tidak terkunci.
Bara tidur dengan pulasnya seolah tanpa beban, wajah tampan dan jambang tipis yang memenuhi wajahnya menambah gagah dirinya. Dalam hati Shamita selalu saja menyelipkan tanya, kenapa takdir bisa membawanya menikah dengan pria yang sama sekali tak ia cintai.
"Bang. Maafkan aku,"ucap Shamita dengan lirih tepat di samping Bara. Bulir bening itu kembali menetes saat ia menatap dengan lekat suaminya itu. Hampir saja keteledoran yang ia lakukan menghilangkan nyawa suaminya. Beruntung Allah masih menyelamatkannya.
"Shamita, sedang apa kamu di sini?" Bara terbangun, ia kaget mendapati istrinya sedang duduk di tepi ranjang.
"Abang, udah bangun? Bagaimana keadaanya Bang? Aku cemas memikirkan keadaan Abang." Shamita dengan cepat mengusap pipinya yang basah. Ia tak ingin terus-terusan dimarahi karena terlalu sering menangis.
"Sejak kapan kamu di sini?" Bara beringsut mengganti posisinya menjadi menyender kepada dipan.
"Baru saja, Bang. Maaf jika kehadiran aku mengganggu tidur Abang," jawab Shamita. Wajahnya terus saja menunduk.
"Apa kamu menangis lagi?" Dengan lekat Bara menngamati mata Shamita yang sedikit sembab.
"Tidak, Bang. Aku, cuma khawatir Abang kenapa-napa."
"Aku udah mendingan, lain kali bertanyalah jika mau memberikanku makanan."
"Alhamdulillah. Iya Bang, aku minta maaf. Yaudah aku keluar dulu."
"Apa hanya menangis caramu mengkhawatirkan seseorang?" Baru saja Shamita membalikkan tubuhnya, suara Bara terdengar lagi. Langkah Shamita terhenti untuk beberapa detik.
"Abang mau apa? Apapun akan aku lakukan asal Abang tulus memaafkan aku."
Shamita berbalik, di tatapnya wajah suaminya itu dengan dalam.
***
"Abang mau apa? Apapun akan aku lakukan, asal Abang tulus memaafkan aku." Shamita berbalik, di tatapnya wajah suaminya itu dengan dalam.Bara hanya diam mendengar ucapan istrinya. Tak berniat menjawab apalagi marah. Padahal ia ingin sekali melihat perlakuan lebih dari Shamita. Namun mulutnya seperti kelu meski hanya mengucap satu kalimat. Tatapan dalam yang diberikan Shamita membuat ia ragu untuk meminta lebih."Pergilah, aku mau istirahat."Hanya itu yang akhirnya terucap dari mulut Bara. Tatapan itu membuat jantung Bara berdetak lebih keras.***Istri mana yang tak sakit saat keberadaanya sama sekali tak dibutuhkan? Meski sudah berusaha agar tak lagi menangis. Shamita tetaplah gadis rapuh yang hatinya mudah sekali terluka.Dilihatnya sekali lagi wajah suami yang kini sudah memejamkan mata itu sebelum ia benar-benar keluar dari kamar. Rasa bersalah itu terus saja datang kala ia mengingat kejadian tadi pagi."Maafkan aku, Bang," ucapnya lirih hampir tak terdengar.Dengan langkah yang
Shamita menyeka air matanya dengan tangan, melihat Bara yang sudah kembali bersikap dingin, baginya adalah kabar baik. Karena artinya rasa sakitnya sudah sedikit berkurang."Abang mau apa mencari aku?" tanya Shamita ragu. Rasanya sedikit aneh saat Bara lebih memilih memanggilnya dibanding kedua orang tuanya."Kamu lupa statusmu itu apa?""Istri, tapi sayang belum pernah di sentuh," celetuk Shamita. Tangannya segera menutup mulutnya karena baru sadar jika ia salah bicara.Bara terkekeh pelan, "Jadi, mau disentuh?"Wajah Shamita bersemu merah, nampak sekali jika ia merasa malu atas godaan yang diberi oleh Bara. Sementara senyum Bara mengembang saat istrinya terlihat malu.Hati Shamita sedikit menghangat saat Bara mengajaknya bercanda. Suatu hal yang sangat mustahil dilakukan Bara, jika Bara dalam kondisi sehat.Sementara Bu Sindi dan Pak Indra nampak tersenyum di balik jendela, merasa bersyukur jika Bara saat ini sudah sedikit menunjukkan perubahan sikap yang lebih baik."Bu Shamita, bi
Semua mata menatap kepada Bara yang tiba-tiba saja menyelesaikan kegiatan sarapanya dengan cepat. Apalagi Shamita yang begitu heran, padahal Bara hanya diajak makan bersama keluarganya. Apa yang salah akan hal itu?"Bu, Pak, aku lihat Bang Bara dulu ya." Sebagai istri, Shamita merasakan perasaan yang tidak baik dalam diri Bara. Ia memang tak pernah tau masalah apa yang telah terjadi antara suaminya dan keluarganya. Bu Sindi mengangguk tanda mengerti. Ia lupa jika Bara sedikit ada masalah dengan kakak-kakaknya.Shamita mencoba mendatangi Bara ke dalam kamar. Ternyata suaminya itu sedang berdiri menatap jendela dengan tatapan yang entah kemana."Bang," panggil Shamita lembut. Bara menengok tapi ia kembali menatap ke arah jendela lagi."Kalau ada masalah, Abang boleh kok cerita," sambung Shamita."Kamu tidak perlu tau masalahku, tolong jangan ikut campur." Suara Bara datar, tapi begitu menohok di hati Shamita yang rapuh.Bahkan cara ia peduli saja, tak direspon baik oleh pria berstatus
Setelah kepulangan kedua mertuanya, Shamita kembali ke rutinitas biasa. Cucian kotor sudah menunggunya untuk segera dicuci, begitupun lantai yang berdebu sudah menunggu agar segera dibersihkan.Begitulah kehidupan ia saat ini, jika dibilang mebosankan mungkin iya. Tapi sejatinya seorang istri memang tak lepas dari pekerjaan rumah. Semua itu akan bernilai pahala jika kita ikhlas melakukanya.Tubuh kurus itu entah kenapa akhir-akhir ini terasa mudah lelah. Shamita mendudukkan tubuhnya di atas ayunan kayu yang berada di belakang rumah. Sembari meluruskan otot-otot yang terkuras karena pekerjaan yang begitu banyak, sesekali ia bermain ponselnya. Betapa terkejutnya ia saat ada pesan masuk dari seseorang yang sangat ia kenal. Tapi saat ini hampir saja ia lupakan.Ya, pesan itu dari Irham—mantan kekasih Shamita. Hampir saja Shamita lupa jika ia pernah menjalin hubungan dengannya. Selepas menikah dengan Bara, dirinya memang sengaja tak pernah lagi menghubungi Irham. Selain agar Irham tak lagi
Shamita duduk termenung, ditatapnya ponsel yang berada di tangannya. Pikirannya masih bergulat antara membalas atau tidak pesan dari Irham. Hatinya mengajak, tapi otaknya menolak.Andai saja saat ini Shamita bukan istri dari Bara, sudah pasti pesan itu langsung dibalasnya. Bagaimanapun ia juga merindukan sosok Irham yang selalu ada disaat kondisi terburuknya."Sedang apa kamu?" Suara Bara tiba-tiba membuyarkan lamunan Shamita."Abang? Sejak kapan di situ?" tanya Shamita gugup."Kalau ada orang nanya itu dijawab.""Maaf Bang. Aku hanya sedang menikmati udara segar aja di sini. Abang butuh sesuatu?" Shamita bangkit dari duduknya."Bikinin aku kopi! Inget gulanya nggak usah banyak-banyak. Kopi satu sendok, gula satu sendok.""B-baik Bang."Shamita bergegas membuatkan kopi pesanan Bara. Hatinya menghangat karena baru kali ini Bara berucap sedikit lembut saat menyuruhnya.***Setelah mendengar pernikahan Shamita, Irham seolah malas untuk melakukan sesuatu. Hatinya hancur menyisakan kepinga
"Bang, apa artinya kamu sudah suka sama aku?" Ucapan Shamita membuat Bara sedikit terkekeh, menampakkan gigi putihnya yang tersusun rapih."Maaf, aku salah ngomong, Bang." Shamita merasa malu, nyatanya pikirannya tak selaras dengan perbuatan Bara."Semua butuh waktu, tapi akan aku pastikan jika aku akan berusaha untuk itu.""Jangan memaksa Bang, aku tau itu tidaklah mudah."Shamita terpaksa harus menelan pil pahit, mungkin memang terlalu terburu-buru untuk dia menyimpulkan perasaan Bara hanya karena tindakan lembutnya."Malam ini, aku mau kamu ya." Bara semakin intens menatap wajah Shamita yang mungkin saat ini sudah terlihat seperti udang rebus."Mau apa, Bang?" tanya Shamita dengan polosnya. Tanpa jawaban lagi, pria bermata coklat gelap itu meraup wajah Shamita. Menjalankan kewajiban yang selama ini tak pernah dilaksanakan antara kedua sejoli itu. Cinta yang belum tumbuh bisa saja akan datang setelah kejadian malam ini.Tak pernah terbayangkan oleh Shamita jika dirinya akan menjad
KISML 12Bara duduk di bangku yang sudah tersedia untuk menunggu pasien diperiksa. Kegelisahan itu jelas nyata, khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk kepada Shamita, membuat pria beralis tebal itu tak tenang.Selang beberapa saat seorang suster keluar. Segera Bara bangkit menghampiri suster."Sus bagaimana dengan istri saya?" tanya Bara."Oh, anda suami dari pasien yang bernama Shamita?"Bara mengangguk."Anda sudah boleh menemui pasien.""Kalau boleh tau, istri saya sakit apa Sus?""Istri anda hanya mengalami asam lambung, tapi jika dibiarkan akan berbahaya, beruntung anda cepat membawanya ke sini."Ada sedikit kelegaan di hati Bara, kecemasan yang ia rasa beruntung bisa terjawab dengan informasi suster.Bara mendatangi ruangan di mana Shamita berada. Dengan langkah pelan, pria dengan rambut ikal itu menghampiri Shamita yang masih terkulai lemas."Bang Bara," ucap Shamita dengan lirih."Bagimana? Udah mendingan?" tanya Bara lembut. Matanya sedikit gugup melihat senyum Shamita yang
Bara merasa Shamita perlu tahu alasan kenapa dia bisa terjerumus di lubang maksiat itu. Semua berawal dari sikap ayahnya yang keras kepala, yang mengharuskan semua anaknya menjadi apa yang dia mau."Dulu, aku nggak akur sama Bapak. Bukan tanpa alasan, aku hanya tidak suka dengan cara Bapak mendidikku," ucap Bara pelan."Cara Bapak? Memangnya gimana cara Bapak? Aku lihat, Bapak baik kok, hampir nggak pernah marah," ucap Shamita berasumsi. Ya, selama ini Shamita mengenal Pak Indra adalah sosok pemimpin yang ramah dan juga tidak pernah marah terhadap karyawannya selama dia bekerja."Ya … untuk sebagian orang yang tidak tahu karakter Bapak yang sesungguhnya, pasti orang itu akan menilai jika beliau adalah orang baik dengan banyak kebaikan yang dia lakukan.""Lantas? Apa yang membuat Abang tidak suka dengan cara Bapak?""Bapak terlalu memasakan kehendak, aku menyukai musik. Tapi, kata Bapak, hobi aku itu hanya membuang waktu aku saja. Aku keras kepala, karena bagiku tidak ada yang bisa men
"Hey, will you marry me?" Tiba-tiba saja Irham membungkukkan badannya.Tangan Jihan sontak menutup mulutnya. Ya, ia terkejut."Jihan, jadilah istriku dan menikahlah denganku." Ucapan Irham selanjutnya membuat riuh sorak pengunjung taman memberikan tepukan penyangga. Terdengar suara riuh itu meneriakkam agar Jihan mau menerima lamaran Irham."Mas," ucap Jihan lirih. Antara bahagia dan tidak percaya jika Irham bisa melakukan hal seromantis ini."Terima ! Terima !" Suara itu berasal dari orang-orsng yang menyaksikan momen indah dua sejoli itu. Sementara Irham masih dengan posisinya berjongkok menunggu jawaban dari Jihan sembari mengulurkan sebuah kotak cincin berisikan cincin sederhana.Wanita cantik itu tersenyum, lalu mengangguk yakin. Ia menerima lamaran Irham dengan keyakinan yang besar.Grep!"Terima kasih," ucap Irham sembari memeluk Jihan. Lagi-lagi Jihan terkejut. Irham yang dingin, bisa-bisanya tanpa malu memeluk Jihan dalam keramaian."Mas, banyak orang loh," ucap Jihan sedikit
"Apa yang harus aku katakan jika aku serius dengan niatku?" Ucapan Irham membuat Jihan menghentikan akitifitasnya sementara. Jujur dalam hatinya ia senang mendapati Irham berbicara seserius itu. Tapi, tetap saja rasa percaya itu belum ada. Terlebih salama ini sikap Irham tak pernah menunjukkan gelagat jika ia mencintai Jihan."Mas, ada baiknya bicara hal seperti ini jangan di waktu jam kerja," sungut Jihan kesal."Oh baiklah, selepas kerja kita bicarakan ini lagi," ucap Irham tanpa beban.Entah kenapa sikap Irham jauh sekali berbeda dengan sikapnya dulu terhadap Shamita. Dia lebih cuek bahkan cara bicaranya lebih kasar dibanding dengan Shamita dulu yang lembut dan penuh kasih sayang. Ternyata patah hati bisa merubah hal apapun termasuk sikap seseorang.***Bara merasa tak tenang saat dirinya bekerja, meski ia sudah menitipkan istrinya kepada ibunya, tetap saja rasa khawatir itu ada. Meninggalkan istri yang tengah sakit keras membuat ia tak nyaman dalam bekerja. Pikirannya tentu saja
Bu Sindi terlihat shock mendengar jawaban dari Shamita. Tak pernah terbayangkan jika menantunya itu menderita penyakit yang berat."Kamu bercanda kan, sayang?" Bu Sindi masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar."Bu, tenang ya. Semua masih bisa diobati, Mas Bara hanya khawatir jika meninggalkan aku seorang diri di rumah," jawab Shamita."Bagaimana bisa tenang, itu penyakit berbahaya, Mita. Kenapa Ibu baru tahu? Katakan! Sejak kapan kamu sakit?"Bibir pucat Shamita tersenyum, betapa dirinya beruntung mendapati mertua yang begitu baik dan perhatian. Jauh sekali dengan bayangan mertua jahat yang sering ia baca di novel."Bu, aku tidak tahu tepatnya berapa lama. Hanya saja baru terdeteksi sebulan ini.""Astagfirullah Mita, terus gimana kata dokter?"Shamita diam. Hatinya bergejolak saat pertanyaan itu terucap dari mertuanya. Bukan tak mampu menjawab, hanya saja perkataan dokter mengenai dirinya akan sulit mendapatkan anak, menjadikan momok yang menyakitkan untuk ia ingat."Dokter bil
Sementara di sudut kota Kuala Lumpur. Seorang pria tetunduk lesu meratapi nasibnya yang kini sudah jauh dari kata beruntung. Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itu ungkapan yang pantas disematkan untuk Irham.Niat hati ingin melupakan Shamita ternyata tak semudah pergi dari negara asalnya Indonesia. Meski saat ini ia masih bisa bekerja dengan kondisi kaki yang sudah tidak lagi normal. Pikirannya tetap saja masih tertuju kepada sang mantan kekasih."Mas, makanan sudah aku taro di meja ya," ucap Jihan. Ia adalah teman baru Irham di tempatnya bekerja. Pertemuan yang tidak sengaja tempo hari membuat mereka akhirnya berteman."Hem," jawab Irham. Pikiran yang selalu saja tertuju kepada Shamita membuat dia selalu acuh dengan perhatian orang-orang yang di sekelilingnya."Mas Irham kenapa? Sakit?" tanya Jihan, tangannya refleks menyentuh dahi Irham."Aku nggak apa-apa," jawab Irham lemah."Mas, kamu cerita dong. Kenapa?" Jihan yang diam-diam menyimpan rasa terhadap Irham merasa begitu khawat
Shamita terdiam, melihat Bara yang sibuk sendiri mengurusnya, membuat dia memiliki ide yang mungkin akan membuat suaminya itu murka."Mas," panggil Shamita lagi."Iya, apa?""Bagaimana kalau kamu menikah lagi?"Deg!Dahi Bara mengerenyit kembali, rasanya istrinya ini sudah terlalu banyak bicara hal aneh semenjak ia sakit. Ingin marah, tapi istrinya tidaklah bersalah. Tapi ucapanya sudah sangat di luar batas."Apa yang kamu bicarakan? Apa menurutmu itu hal yang lucu?" tanya Bara dingin.Shamita terkesiap mendapati Bara menjawabnya dengan nada yang begitu dingin. Jelas sekali jika suaminya itu tengah marah."Bukan begitu, Mas. Aku merasa … aku sudah tidak mampu membahagiakan kamu, Mas. Tolong, jangan berpikir buruk. Ini, demi kebaikan kamu." Suara Shamita bergetar. Dirinya juga tidak menyangka jika ucapan itu bisa keluar begitu saja dari mulutnya."Mita, kenapa dengan kamu? Apa aku selama ini meminta sesuatu yang memberatkan kamu? Apa selama ini aku kurang memperhatikan kamu? Sungguh ak
"Mas, aku bukan sakit lambung. Aku … terkena kanker rahim stadium 1."Bagai dihantam deburan ombak yang besar, mata Bara membelakak penuh mendengar ucapan wanita yang kini menjadi istrinya itu. Tak percaya, Bara dengan cepat menggelengkan kepalanya."Jangan bercanda, Sayang. Ini sama sekali tidak lucu." Bara mencoba menangkis pikiran buruknya."Aku serius Mas," ucap Shamita datar."Tidak, tidak mungkin. Kamu itu cuma sakit perut, tidak mungkin ada hal-hal semacam itu. Jangan bercanda!" Bara masih menyangkal. Bukan tak percaya, tepatnya Bara terlalu takut jika hal itu benar terjadi"Mas! Aku memang sakit, jangan seperti ini tolong." Suara Shamita meninggi, dia sudah menduga jika Bara pasti tidak akan percaya. Apalagi saat ini cinta Bara begitu besar.Bara tertunduk lesu, jiwanya terguncang. Tidak pernah terbayangkan jika istrinya saat ini tengah sakit keras."T-tapi, bagaimana bisa?" Suara Bara terbata."Mas, ini takdir aku. Aku pun tidak tahu kenapa bisa penyakit ini menghampiri aku."
"Mas, bagaimana jika aku tak mampu memberikan kamu anak?"Shamita menggigit bibir bawahnya, takut sekali jawaban Bara akan menyakitinya.Namun Bara malah terkekeh pelan."Kamu ngomong apa? Kenapa tiba-tiba berucap seperti itu?" Bara masih tidak mengerti dengan pertanyaan yang diucap istrinya."Mas. Aku serius. Kamu tinggal jawab, bagaimana jika hal itu terjadi. Semisal, aku punya penyakit atau karena memang takdir tak mengizinkan aku untuk hamil. Itu misal loh Mas, aku cuma pengen tahu jawaban kamu."Bara terkesiap melihat Shamita memandang dirinya setajam itu."Hemm, gimana ya?" Bara menekan-nekan dagunya seolah benar-benar sedang berpikir."Mas, jangan bercanda bisa kan."Melihat istrinya yang menggemaskan, Bara langsung meraih tangan Shamita."Shamita Nur Maulida, tidak dipungkiri aku rindu riuh suara anak-anak di rumah ini. Lima tahun sudah kita berumah tangga, tapi nyatanya Allah belum mengizinkan kita untuk mengemban amanah besar itu. Lantas jika memang belum waktunya, apa aku h
"Kenapa Dok? Aku sakit apa?"Melihat dokter tak kunjung menjawab membuat Shamita kembali bertanya."Maaf sebelumnya, mungkin ini akan mengejutkan anda. Tapi … di bagian rahim anda terdapat kanker," jelas dokter.Bak dihujami batu besar, jantung Shamita seolah dipaksa berhenti saat itu juga. Tak pernah terbayangkan jika rasa sakit yang diderita saat ini bukanlah penyakit sakit perut biasa. Dada sesak seolah sulit untuk bernapas."Dokter pasti bercanda?" ucap Shamita tak percaya. Padahal seorang dokter mana mungkin bercanda mengenai penyakit pasien."Saya mengerti perasaan anda, tapi semua belum berakhir. Kita masih bisa berikhtiar dan berdoa. Kanker masih stadium satu, dan kita bisa melakukan pengobatan dengan radioterapi atau kemoterapi. Tapi, sayangnya efek dari pengobatan itu akan menyebabkan anda sulit untuk hamil."Baru saja hati Shamita sedikit lega dengan ucapan dokter dengan sebuah pengobatan, tapi dirinya harus kembali tertampar dengan kenyataan pahit oleh kalimat dokter yang
"Bohong?"Ucapan Shamita membuat Bara bingung. Pasalnya, selama ini Shamita selalu jujur dengan apapun itu."Iya, Mas. Pria yang kita temui di toko, dia adalah—" Shamita menjeda ucapanya. Mencoba mengatur napasnya agar tenang."Siapa? Kamu kenal dia?" tanya Bara penasaran."Tapi, Mas janji jangan marah.""Iyaa, aku nggak akan marah.""Dia … mantan aku Mas," ucap Shamita sembari menggigit bibir dalamnya."Oh." Suara Bara melemah. "Pantas saja dia melihat kamu nggak ngedip gitu." Bara terkekeh.Shamita terkejut melihat ekspresi suaminya itu, ternyata jauh dari pemikirannya. Dia kira, Bara akan marah. Tapi ternyata Bara menanggapinya dengan santai."Kamu nggak marah, Mas?" tanya Shamita ragu.Bara meraih wajah Shamita. "Untuk apa aku marah, dia itu masa lalu kamu. Sedangkan aku masa depan kamu. Dia hanya memiliki kamu di masa lalu, sedangkan aku bisa memiliki kamu selamanya."Pipi Shamita bersemu merah, baru kali ini dia mendapat kata-kata seromantis itu dari Bara. Padahal dia sudah ser