Bara hanya menatap datar temannya yang bernama Agus itu. Menceritakan masalah keluarga bukanlah kebiasaanya. Meski Agus teman yang bisa dipercaya, namun saat ini ia tidak bisa bercerita mengenai istrinya.
"Sepetinya memang takdir itu tidak bisa dicegah, Gus." Bara akhirnya menjawab.
"Kenapa sih? Emang kenapa sama istri lu?" Agus semakin penasaran.
"Istri gue terlalu Solehah untuk gue yang bajingan," ucap Bara dengan lirih. Lagi, Agus tertawa terbahak.
"Bentar, bentar. Jadi, lu nikah sama ustadzah?" Agus terus saja meledek Bara.
"Nggak ustadzah juga, pokonya gitu deh, istri gue tuh apa-apa bawa dalil."
"Pantes, lu kusut banget. Eh tapi, harusnya lu bersyukur dong, bisa dapet mutiara gitu. Cewek-cewek begitu kan inceran para akhi," ucap Agus.
"Gue bukan akhi, gue Bara nggak pake batu!" jawab Bara kesal.
Berbicara dengan Agus, membuat Bara semakin pusing karena terus saja mendapat ledekan darinya. Minuman yang masih tersegel yang berada di sampingnya tak sempat ia buka. Dengan cepat ia kembali pergi meninggalkan Agus yang masih terus saja tertawa. Ia heran apanya yang lucu, padahal saat ini ia sedang dilanda kegelisahan. Entah kegelisahan macam apa yang ia rasakan.
***
"Abang dari mana aja, baru pulang?" tanya Shamita. Sorot matanya jelas bukan kemarahan, tapi rasa cemas. Bagaimanpun suaminya itu pergi dalam keadaan marah. Dan kini pulang hampir larut malam.
"Bukan urusan kamu," ucap Bara datar. Pria berambut sedikit keriting itu pergi begitu saja melewati Shamita yang masih berdiri di tempatnya.
"Bang, aku istrimu. Aku berhak tau apapun yang kamu lakukan." Dengan langkah yang cepat Shamita terus saja mengekori langkah Bara. Namun Bara tak menggubris ucapan istrinya itu.
"Aku mau tidur! Tolong jangan ganggu aku!" ucap Bara saat ia telah sampai di kamarnya.
"Bang, aku minta maaf jika ada ucapan aku yang menyinggung perasanmu. Tapi, sebagai seorang istri aku berhak tau bagaimana kegiatan suamiku," ucap Shamita lembut.
Bara yang sudah membaringkan tubuhnya, masih dengan jelas mendengar ucapan istrinya. Namun, sifat keras kepalanya membuat ia enggan membalas ucapan istrinya itu. Ia lebih memilih tidur dengan bantal yang menutupi telinganya.
Untuk kesekian kalinya Shamita menghela napas dengan kasar. Entah akan sampai kapan Bara akan selalu berprilaku seperrti ini. Pantas saja orang tuanya selalu saja mengatakan sudah tidak sanggup mendidik Bara. Karena memang tak mudah merubah tabiat buruk seseorang, jika tidak ada niat sedikitpun dari orang itu untuk berubah.
Dengan gontai Shamita melangkahkan kakinya keluar dari kamar yang seharusnya menjadi tempat terjadinya sesuatu yang jika dilakukan mendapat pahala. Namun nyatanya, jika bukan dirinya yang tidur sendirian. Pasti Bara yang akan menguasai kamar itu.
Hari sudah begitu malam, jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, namun mata Shamita enggan terpejam. Pikirannya bercabang ke segala arah. Semenjak menikah, ia memang tak lagi memikirkan esok hari mau makan apa, tapi jauh lebih menyedihkan dari itu. Shamita harus selalu memutar cara agar suaminya minimal mau menjalankan solat. Terlebih ia juga sempat kepikiran Irham, mantan kekasih yang sudah 2 Minggu ini tak tau kabarnya seperti apa.
Dalam kegundahan hatinya wanita berbadan kurus itu hanya bisa mengadu kepada Rabbnya.
"Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku serahkan semua hidup dan matiku kepadaMu. Engkau yang Maha Mebulak-balikan hati manusia. Tolong hadapkanlah hati suamiku kepada kebaikan. Jika ada satu saja kebaikan di diri suamiku, makan tolong tunjukkanlah ya Allah. Sungguh Engkau Maha Tahu dari sesuatu yang tidak aku ketahui."
Dalam doa yang panjang itu terselip harapan agar Allah mau mengabulkan semua doa-doa yang dipanjatkan Shamita. Karena hanya doa itu yang Shamita punya. Hanya Tuhan tempatnya mengadu.
***
Pagi ini Shamita memasak sarapan nasi goreng seafood. Masakan itu ia dapatkan resepnya dari hasil menonton video memasak terlebih dahulu di internet. Dengan cekatan ia memasak, berharap masakan itu bisa menjadikan suaminya lebih berlaku lembut dan mau memaafkan kesalahan tempo hari. Meskipun itu tidak pantas disebut kesalahan, namun mau tidak mau ia harus mengalah, demi selamatnya sebuah rumah tangga.
Harum masakan menguar di semua sudut dapur yang jaraknya tak jauh dari kamar yang saat ini ditempati Bara. Shamita sibuk menata hasil masakannya di piring keramik, sedangkan Bara yang sedang tertidur pulas terpaksa terbangun karena mencium masakan yang begitu harum memanjakan hidung.
"Bang, Bang Bara. Bangun, Bang, udah siang," ucap Shamita di depan pintu kamarnya. Ia tak berani masuk meski itu kamar sendiri.
Dengan malas Bara membuka pintu, dengan mata masih menyipit ia melihat seseorang yang begitu cantik tepat di hadapanya. Dengan cepat Bara mengucek matanya, untuk memastikan jika ia tidak sedang bermimpi melihat bidadari.
"Siapa kamu?" tanya Bara. Ia sama sekali tak mengenali seorang wanita yang ada di hadapanya.
Shamita nampak bingung, ia melihat ke sekeliling takutnya ada orang lain selain dirinya yang sedang berada di rumahnya.
"Abang nanya sama siapa?" tanya Shamita memastikan.
"Kamu! Memangnya ada orang lain selain kamu. Kamu itu siapa?"Bara semakin tehentak medapati Shamita malah balik bertanya.
"Ya Allah Bang, aku istrimu. Shamita, Bang."
Mendengar jawaban Shamita, dengan Spontan Bara mencubit pipinya sendiri. Dan, ternyata rasanya sakit.
"Kamu, kenapa kamu tidak memakai penutup kepala?"
"Hijab, Bang. Maaf, Bang, kenapa memangnya? Bukankah halal membuka hijab di depan suami?"tanya Shamita. Rambutnya yang panjang tergerai indah hingga sepinggang.
"Aku tidak suka! Pakai lagi hijabmu itu!" Hampir saja Bara kalang kabut mendapati istrinya yang begitu cantik tanpa hijab. Namun ia masih bisa menahan gejolak kelelakiannya. Bagaimanapun dirinya belum bisa mencintai Shamita.
"Aku akan memakainya lagi, Bang. Tapi, kamu mandi dulu ya, abis itu sarapan. Aku udah siapakan masakan spesial untuk kamu." Setalah itu Shamita gegas pergi meninggalkan Bara yang masih saja tak percaya. Jika wanita yang dilihat adalah istrinya.
Shamita sudah duduk di meja makan dengan hijab yang sudah kembali menutupi kepalanya. Dalam hatinya ia meringis, kenapa Bara begitu tak menyukainya membuka hijab di depannya. Padahal tujuannya itu untuk menyenangkan hati suaminya.
"Lain kali jangan pernah membuka hijab di hadapanku jika bukan aku yang menyuruhmu, kamu mengerti?"
Bara yang baru saja selesai mandi dan menghampiri Shamita yang sudah lebih dulu duduk di kursi makan, memberikan peringatan kepada istrinya. Entah apa alasannya, padahal Shamita begitu cantik dengan atau tidak dengan memakai hijab.
"Iya, Bang." Hanya itu ucapan yang keluar dari Shamita. Hatinya merasa perih. Karena suaminya selalu saja menyalahkan setiap tindakan yang ia lakukan. Padahal apa yang ia lakukan tak sepenuhnya salah.
Dengan lahap, Bara memakan nasi goreng yang sudah Shamita siapkan dari tadi.
"Akh! Tolong air, aku minta air!" Bara tiba-tiba saja memegang lehernya sendiri dengan kuat.
"Bang? Abang kenapa?" Dengan cepat Shamita mengambikan air minum untuk suaminya.
"Kamu kasih apa di makanan ini?" tanya Bara.
"Aku kasih udang Bang, kan ini namanya nasi goreng seafood,"jawab Shamita apa adanya.
"Apa?"
"Apa?"Bara berteriak menanggapi jawaban Shamita. Tenggorokannya terasa panas karena ia sangat alergi udang. Sedikit saja terlambat minum, entah apa yang akan terjadi."Kenapa Bang? Kenapa Abang marah?" Shamita nampak ketakutan. Untuk kali ini ia tidak tau letak salahnya apa."Kamu hampir saja membunuhku!"Ucapan Bara membuat Shamita tekejut, ia bahkan tidak tau letak salahnya di mana, tapi suaminya dengan mudah mengatakan jika ia hendak membunuhnya. Sungguh tuduhan paling keji yang pernah Shamita terima dalam hidupnya."Maksud Abang apa? Bagaimana mungkin aku berniat membunuh suamiku sendiri?" Shamita tak kuasa menahan tangisnya."Aku alergi udang! Kenapa hal seperti itu saja kamu tidak tau!" Jawaban Bara semakin membuat Shamita shock, jelas ini sebuah kesalahan. Seharusnya memang ia bertanya dulu hal apa saja yang tidak disukai suaminya. Namun ia telah teledor, untung saja Bara masih bisa terselamatkan."Maafkan aku, Bang. Sungguh aku tidak tau jika Abang alergi udang." Ucapan maaf
"Abang mau apa? Apapun akan aku lakukan, asal Abang tulus memaafkan aku." Shamita berbalik, di tatapnya wajah suaminya itu dengan dalam.Bara hanya diam mendengar ucapan istrinya. Tak berniat menjawab apalagi marah. Padahal ia ingin sekali melihat perlakuan lebih dari Shamita. Namun mulutnya seperti kelu meski hanya mengucap satu kalimat. Tatapan dalam yang diberikan Shamita membuat ia ragu untuk meminta lebih."Pergilah, aku mau istirahat."Hanya itu yang akhirnya terucap dari mulut Bara. Tatapan itu membuat jantung Bara berdetak lebih keras.***Istri mana yang tak sakit saat keberadaanya sama sekali tak dibutuhkan? Meski sudah berusaha agar tak lagi menangis. Shamita tetaplah gadis rapuh yang hatinya mudah sekali terluka.Dilihatnya sekali lagi wajah suami yang kini sudah memejamkan mata itu sebelum ia benar-benar keluar dari kamar. Rasa bersalah itu terus saja datang kala ia mengingat kejadian tadi pagi."Maafkan aku, Bang," ucapnya lirih hampir tak terdengar.Dengan langkah yang
Shamita menyeka air matanya dengan tangan, melihat Bara yang sudah kembali bersikap dingin, baginya adalah kabar baik. Karena artinya rasa sakitnya sudah sedikit berkurang."Abang mau apa mencari aku?" tanya Shamita ragu. Rasanya sedikit aneh saat Bara lebih memilih memanggilnya dibanding kedua orang tuanya."Kamu lupa statusmu itu apa?""Istri, tapi sayang belum pernah di sentuh," celetuk Shamita. Tangannya segera menutup mulutnya karena baru sadar jika ia salah bicara.Bara terkekeh pelan, "Jadi, mau disentuh?"Wajah Shamita bersemu merah, nampak sekali jika ia merasa malu atas godaan yang diberi oleh Bara. Sementara senyum Bara mengembang saat istrinya terlihat malu.Hati Shamita sedikit menghangat saat Bara mengajaknya bercanda. Suatu hal yang sangat mustahil dilakukan Bara, jika Bara dalam kondisi sehat.Sementara Bu Sindi dan Pak Indra nampak tersenyum di balik jendela, merasa bersyukur jika Bara saat ini sudah sedikit menunjukkan perubahan sikap yang lebih baik."Bu Shamita, bi
Semua mata menatap kepada Bara yang tiba-tiba saja menyelesaikan kegiatan sarapanya dengan cepat. Apalagi Shamita yang begitu heran, padahal Bara hanya diajak makan bersama keluarganya. Apa yang salah akan hal itu?"Bu, Pak, aku lihat Bang Bara dulu ya." Sebagai istri, Shamita merasakan perasaan yang tidak baik dalam diri Bara. Ia memang tak pernah tau masalah apa yang telah terjadi antara suaminya dan keluarganya. Bu Sindi mengangguk tanda mengerti. Ia lupa jika Bara sedikit ada masalah dengan kakak-kakaknya.Shamita mencoba mendatangi Bara ke dalam kamar. Ternyata suaminya itu sedang berdiri menatap jendela dengan tatapan yang entah kemana."Bang," panggil Shamita lembut. Bara menengok tapi ia kembali menatap ke arah jendela lagi."Kalau ada masalah, Abang boleh kok cerita," sambung Shamita."Kamu tidak perlu tau masalahku, tolong jangan ikut campur." Suara Bara datar, tapi begitu menohok di hati Shamita yang rapuh.Bahkan cara ia peduli saja, tak direspon baik oleh pria berstatus
Setelah kepulangan kedua mertuanya, Shamita kembali ke rutinitas biasa. Cucian kotor sudah menunggunya untuk segera dicuci, begitupun lantai yang berdebu sudah menunggu agar segera dibersihkan.Begitulah kehidupan ia saat ini, jika dibilang mebosankan mungkin iya. Tapi sejatinya seorang istri memang tak lepas dari pekerjaan rumah. Semua itu akan bernilai pahala jika kita ikhlas melakukanya.Tubuh kurus itu entah kenapa akhir-akhir ini terasa mudah lelah. Shamita mendudukkan tubuhnya di atas ayunan kayu yang berada di belakang rumah. Sembari meluruskan otot-otot yang terkuras karena pekerjaan yang begitu banyak, sesekali ia bermain ponselnya. Betapa terkejutnya ia saat ada pesan masuk dari seseorang yang sangat ia kenal. Tapi saat ini hampir saja ia lupakan.Ya, pesan itu dari Irham—mantan kekasih Shamita. Hampir saja Shamita lupa jika ia pernah menjalin hubungan dengannya. Selepas menikah dengan Bara, dirinya memang sengaja tak pernah lagi menghubungi Irham. Selain agar Irham tak lagi
Shamita duduk termenung, ditatapnya ponsel yang berada di tangannya. Pikirannya masih bergulat antara membalas atau tidak pesan dari Irham. Hatinya mengajak, tapi otaknya menolak.Andai saja saat ini Shamita bukan istri dari Bara, sudah pasti pesan itu langsung dibalasnya. Bagaimanapun ia juga merindukan sosok Irham yang selalu ada disaat kondisi terburuknya."Sedang apa kamu?" Suara Bara tiba-tiba membuyarkan lamunan Shamita."Abang? Sejak kapan di situ?" tanya Shamita gugup."Kalau ada orang nanya itu dijawab.""Maaf Bang. Aku hanya sedang menikmati udara segar aja di sini. Abang butuh sesuatu?" Shamita bangkit dari duduknya."Bikinin aku kopi! Inget gulanya nggak usah banyak-banyak. Kopi satu sendok, gula satu sendok.""B-baik Bang."Shamita bergegas membuatkan kopi pesanan Bara. Hatinya menghangat karena baru kali ini Bara berucap sedikit lembut saat menyuruhnya.***Setelah mendengar pernikahan Shamita, Irham seolah malas untuk melakukan sesuatu. Hatinya hancur menyisakan kepinga
"Bang, apa artinya kamu sudah suka sama aku?" Ucapan Shamita membuat Bara sedikit terkekeh, menampakkan gigi putihnya yang tersusun rapih."Maaf, aku salah ngomong, Bang." Shamita merasa malu, nyatanya pikirannya tak selaras dengan perbuatan Bara."Semua butuh waktu, tapi akan aku pastikan jika aku akan berusaha untuk itu.""Jangan memaksa Bang, aku tau itu tidaklah mudah."Shamita terpaksa harus menelan pil pahit, mungkin memang terlalu terburu-buru untuk dia menyimpulkan perasaan Bara hanya karena tindakan lembutnya."Malam ini, aku mau kamu ya." Bara semakin intens menatap wajah Shamita yang mungkin saat ini sudah terlihat seperti udang rebus."Mau apa, Bang?" tanya Shamita dengan polosnya. Tanpa jawaban lagi, pria bermata coklat gelap itu meraup wajah Shamita. Menjalankan kewajiban yang selama ini tak pernah dilaksanakan antara kedua sejoli itu. Cinta yang belum tumbuh bisa saja akan datang setelah kejadian malam ini.Tak pernah terbayangkan oleh Shamita jika dirinya akan menjad
KISML 12Bara duduk di bangku yang sudah tersedia untuk menunggu pasien diperiksa. Kegelisahan itu jelas nyata, khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk kepada Shamita, membuat pria beralis tebal itu tak tenang.Selang beberapa saat seorang suster keluar. Segera Bara bangkit menghampiri suster."Sus bagaimana dengan istri saya?" tanya Bara."Oh, anda suami dari pasien yang bernama Shamita?"Bara mengangguk."Anda sudah boleh menemui pasien.""Kalau boleh tau, istri saya sakit apa Sus?""Istri anda hanya mengalami asam lambung, tapi jika dibiarkan akan berbahaya, beruntung anda cepat membawanya ke sini."Ada sedikit kelegaan di hati Bara, kecemasan yang ia rasa beruntung bisa terjawab dengan informasi suster.Bara mendatangi ruangan di mana Shamita berada. Dengan langkah pelan, pria dengan rambut ikal itu menghampiri Shamita yang masih terkulai lemas."Bang Bara," ucap Shamita dengan lirih."Bagimana? Udah mendingan?" tanya Bara lembut. Matanya sedikit gugup melihat senyum Shamita yang
"Hey, will you marry me?" Tiba-tiba saja Irham membungkukkan badannya.Tangan Jihan sontak menutup mulutnya. Ya, ia terkejut."Jihan, jadilah istriku dan menikahlah denganku." Ucapan Irham selanjutnya membuat riuh sorak pengunjung taman memberikan tepukan penyangga. Terdengar suara riuh itu meneriakkam agar Jihan mau menerima lamaran Irham."Mas," ucap Jihan lirih. Antara bahagia dan tidak percaya jika Irham bisa melakukan hal seromantis ini."Terima ! Terima !" Suara itu berasal dari orang-orsng yang menyaksikan momen indah dua sejoli itu. Sementara Irham masih dengan posisinya berjongkok menunggu jawaban dari Jihan sembari mengulurkan sebuah kotak cincin berisikan cincin sederhana.Wanita cantik itu tersenyum, lalu mengangguk yakin. Ia menerima lamaran Irham dengan keyakinan yang besar.Grep!"Terima kasih," ucap Irham sembari memeluk Jihan. Lagi-lagi Jihan terkejut. Irham yang dingin, bisa-bisanya tanpa malu memeluk Jihan dalam keramaian."Mas, banyak orang loh," ucap Jihan sedikit
"Apa yang harus aku katakan jika aku serius dengan niatku?" Ucapan Irham membuat Jihan menghentikan akitifitasnya sementara. Jujur dalam hatinya ia senang mendapati Irham berbicara seserius itu. Tapi, tetap saja rasa percaya itu belum ada. Terlebih salama ini sikap Irham tak pernah menunjukkan gelagat jika ia mencintai Jihan."Mas, ada baiknya bicara hal seperti ini jangan di waktu jam kerja," sungut Jihan kesal."Oh baiklah, selepas kerja kita bicarakan ini lagi," ucap Irham tanpa beban.Entah kenapa sikap Irham jauh sekali berbeda dengan sikapnya dulu terhadap Shamita. Dia lebih cuek bahkan cara bicaranya lebih kasar dibanding dengan Shamita dulu yang lembut dan penuh kasih sayang. Ternyata patah hati bisa merubah hal apapun termasuk sikap seseorang.***Bara merasa tak tenang saat dirinya bekerja, meski ia sudah menitipkan istrinya kepada ibunya, tetap saja rasa khawatir itu ada. Meninggalkan istri yang tengah sakit keras membuat ia tak nyaman dalam bekerja. Pikirannya tentu saja
Bu Sindi terlihat shock mendengar jawaban dari Shamita. Tak pernah terbayangkan jika menantunya itu menderita penyakit yang berat."Kamu bercanda kan, sayang?" Bu Sindi masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar."Bu, tenang ya. Semua masih bisa diobati, Mas Bara hanya khawatir jika meninggalkan aku seorang diri di rumah," jawab Shamita."Bagaimana bisa tenang, itu penyakit berbahaya, Mita. Kenapa Ibu baru tahu? Katakan! Sejak kapan kamu sakit?"Bibir pucat Shamita tersenyum, betapa dirinya beruntung mendapati mertua yang begitu baik dan perhatian. Jauh sekali dengan bayangan mertua jahat yang sering ia baca di novel."Bu, aku tidak tahu tepatnya berapa lama. Hanya saja baru terdeteksi sebulan ini.""Astagfirullah Mita, terus gimana kata dokter?"Shamita diam. Hatinya bergejolak saat pertanyaan itu terucap dari mertuanya. Bukan tak mampu menjawab, hanya saja perkataan dokter mengenai dirinya akan sulit mendapatkan anak, menjadikan momok yang menyakitkan untuk ia ingat."Dokter bil
Sementara di sudut kota Kuala Lumpur. Seorang pria tetunduk lesu meratapi nasibnya yang kini sudah jauh dari kata beruntung. Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itu ungkapan yang pantas disematkan untuk Irham.Niat hati ingin melupakan Shamita ternyata tak semudah pergi dari negara asalnya Indonesia. Meski saat ini ia masih bisa bekerja dengan kondisi kaki yang sudah tidak lagi normal. Pikirannya tetap saja masih tertuju kepada sang mantan kekasih."Mas, makanan sudah aku taro di meja ya," ucap Jihan. Ia adalah teman baru Irham di tempatnya bekerja. Pertemuan yang tidak sengaja tempo hari membuat mereka akhirnya berteman."Hem," jawab Irham. Pikiran yang selalu saja tertuju kepada Shamita membuat dia selalu acuh dengan perhatian orang-orang yang di sekelilingnya."Mas Irham kenapa? Sakit?" tanya Jihan, tangannya refleks menyentuh dahi Irham."Aku nggak apa-apa," jawab Irham lemah."Mas, kamu cerita dong. Kenapa?" Jihan yang diam-diam menyimpan rasa terhadap Irham merasa begitu khawat
Shamita terdiam, melihat Bara yang sibuk sendiri mengurusnya, membuat dia memiliki ide yang mungkin akan membuat suaminya itu murka."Mas," panggil Shamita lagi."Iya, apa?""Bagaimana kalau kamu menikah lagi?"Deg!Dahi Bara mengerenyit kembali, rasanya istrinya ini sudah terlalu banyak bicara hal aneh semenjak ia sakit. Ingin marah, tapi istrinya tidaklah bersalah. Tapi ucapanya sudah sangat di luar batas."Apa yang kamu bicarakan? Apa menurutmu itu hal yang lucu?" tanya Bara dingin.Shamita terkesiap mendapati Bara menjawabnya dengan nada yang begitu dingin. Jelas sekali jika suaminya itu tengah marah."Bukan begitu, Mas. Aku merasa … aku sudah tidak mampu membahagiakan kamu, Mas. Tolong, jangan berpikir buruk. Ini, demi kebaikan kamu." Suara Shamita bergetar. Dirinya juga tidak menyangka jika ucapan itu bisa keluar begitu saja dari mulutnya."Mita, kenapa dengan kamu? Apa aku selama ini meminta sesuatu yang memberatkan kamu? Apa selama ini aku kurang memperhatikan kamu? Sungguh ak
"Mas, aku bukan sakit lambung. Aku … terkena kanker rahim stadium 1."Bagai dihantam deburan ombak yang besar, mata Bara membelakak penuh mendengar ucapan wanita yang kini menjadi istrinya itu. Tak percaya, Bara dengan cepat menggelengkan kepalanya."Jangan bercanda, Sayang. Ini sama sekali tidak lucu." Bara mencoba menangkis pikiran buruknya."Aku serius Mas," ucap Shamita datar."Tidak, tidak mungkin. Kamu itu cuma sakit perut, tidak mungkin ada hal-hal semacam itu. Jangan bercanda!" Bara masih menyangkal. Bukan tak percaya, tepatnya Bara terlalu takut jika hal itu benar terjadi"Mas! Aku memang sakit, jangan seperti ini tolong." Suara Shamita meninggi, dia sudah menduga jika Bara pasti tidak akan percaya. Apalagi saat ini cinta Bara begitu besar.Bara tertunduk lesu, jiwanya terguncang. Tidak pernah terbayangkan jika istrinya saat ini tengah sakit keras."T-tapi, bagaimana bisa?" Suara Bara terbata."Mas, ini takdir aku. Aku pun tidak tahu kenapa bisa penyakit ini menghampiri aku."
"Mas, bagaimana jika aku tak mampu memberikan kamu anak?"Shamita menggigit bibir bawahnya, takut sekali jawaban Bara akan menyakitinya.Namun Bara malah terkekeh pelan."Kamu ngomong apa? Kenapa tiba-tiba berucap seperti itu?" Bara masih tidak mengerti dengan pertanyaan yang diucap istrinya."Mas. Aku serius. Kamu tinggal jawab, bagaimana jika hal itu terjadi. Semisal, aku punya penyakit atau karena memang takdir tak mengizinkan aku untuk hamil. Itu misal loh Mas, aku cuma pengen tahu jawaban kamu."Bara terkesiap melihat Shamita memandang dirinya setajam itu."Hemm, gimana ya?" Bara menekan-nekan dagunya seolah benar-benar sedang berpikir."Mas, jangan bercanda bisa kan."Melihat istrinya yang menggemaskan, Bara langsung meraih tangan Shamita."Shamita Nur Maulida, tidak dipungkiri aku rindu riuh suara anak-anak di rumah ini. Lima tahun sudah kita berumah tangga, tapi nyatanya Allah belum mengizinkan kita untuk mengemban amanah besar itu. Lantas jika memang belum waktunya, apa aku h
"Kenapa Dok? Aku sakit apa?"Melihat dokter tak kunjung menjawab membuat Shamita kembali bertanya."Maaf sebelumnya, mungkin ini akan mengejutkan anda. Tapi … di bagian rahim anda terdapat kanker," jelas dokter.Bak dihujami batu besar, jantung Shamita seolah dipaksa berhenti saat itu juga. Tak pernah terbayangkan jika rasa sakit yang diderita saat ini bukanlah penyakit sakit perut biasa. Dada sesak seolah sulit untuk bernapas."Dokter pasti bercanda?" ucap Shamita tak percaya. Padahal seorang dokter mana mungkin bercanda mengenai penyakit pasien."Saya mengerti perasaan anda, tapi semua belum berakhir. Kita masih bisa berikhtiar dan berdoa. Kanker masih stadium satu, dan kita bisa melakukan pengobatan dengan radioterapi atau kemoterapi. Tapi, sayangnya efek dari pengobatan itu akan menyebabkan anda sulit untuk hamil."Baru saja hati Shamita sedikit lega dengan ucapan dokter dengan sebuah pengobatan, tapi dirinya harus kembali tertampar dengan kenyataan pahit oleh kalimat dokter yang
"Bohong?"Ucapan Shamita membuat Bara bingung. Pasalnya, selama ini Shamita selalu jujur dengan apapun itu."Iya, Mas. Pria yang kita temui di toko, dia adalah—" Shamita menjeda ucapanya. Mencoba mengatur napasnya agar tenang."Siapa? Kamu kenal dia?" tanya Bara penasaran."Tapi, Mas janji jangan marah.""Iyaa, aku nggak akan marah.""Dia … mantan aku Mas," ucap Shamita sembari menggigit bibir dalamnya."Oh." Suara Bara melemah. "Pantas saja dia melihat kamu nggak ngedip gitu." Bara terkekeh.Shamita terkejut melihat ekspresi suaminya itu, ternyata jauh dari pemikirannya. Dia kira, Bara akan marah. Tapi ternyata Bara menanggapinya dengan santai."Kamu nggak marah, Mas?" tanya Shamita ragu.Bara meraih wajah Shamita. "Untuk apa aku marah, dia itu masa lalu kamu. Sedangkan aku masa depan kamu. Dia hanya memiliki kamu di masa lalu, sedangkan aku bisa memiliki kamu selamanya."Pipi Shamita bersemu merah, baru kali ini dia mendapat kata-kata seromantis itu dari Bara. Padahal dia sudah ser