Jin Tangan Seribu gelengkan kepalanya. Dia melirik pada Bintang lalu berkata. “Jin Sinting, aku tidak suka membicarakan hal ihwal yang satu itu!” Wajah datar Jin Tangan Seribu tampak keras membesi.
“Kalau begitu halnya, Hai apa gunanya aku berlama-lama di tempat ini. Aku ingin menolong tapi yang punya diri malah menolak. Jadi aku ini jelas bukan termasuk orang yang nafsi-nafsian seperti katamu tadi. Aku mau pergi dulu. Tapi Hai Jin Tangan Seribu, ada sesuatu aku mau bilang padamu...” kata Jin Sinting.
“Apa?” tanya Jin Tangan Seribu pula.
“Habis mandi wajah dan tubuhmu kelihatan segar. Tapi apa gunanya kesegaran itu kalau habis mandi kau tidak berganti pakaian. Masih saja mengenakan pakaian bau apek! Ha... ha... ha!”
Wajah Jin Tangan Seribu tampak merah.
Jin Sinting lambaikan tangannya lalu sambil putar tubuh dan melangkah dia mulai menyanyi. “Na... na... na... Ni... ni... ni...”
“Jangan bicara kurang ajar anak muda!” bentak Jin Tangan Seribu dengan muka merah padam sedang Bintang berusaha agar tawanya tidak menyembur.“Bintang, bagaimana sekarang tubuhmu bisa jadi sebesar ini. Siapa yang menolongmu? Apakah kau telah bertemu dengan Jin Sejuta Tanya Sejuta Jawab?”“Belum Kek. Jin Sejuta Tanya Sejuta Jawab susah dicarinya. Yang menolong saya adalah seorang sakti yang disebut dengan nama Jin Obat Seribu. Orangnya gemuk. Di kepalanya ada sorban dan belanga tanah...”“Aku tahu dan kenal makhluk satu itu. Dia angin-anginan. Beruntung besar kau mendapat pertolongan dari dia. Biasanya dia suka membunuh siapa saja yang tidak disukainya. Lalu isi perut orang itu dibedolnya dan dimasukkan ke dalam belanga di atas kepalanya...”“Hueekkk!” Bintang tercekik dan seperti mau muntah mendengar ucapan Jin Tangan Seribu itu hingga si kakek mengerenyit heran. Sebelum ditanya Bintang sud
“Anak muda, kau tahu apa soal hidup. Apa lagi soal hidupku. Yang penting aku tidak jadi membunuhmu, malah menolongmu. Kau harus bersyukur...”“Saya dan kawan-kawan memang bersyukur dan berterima kasih padamu. Kek, apakah semua ini gara-gara Jin Muka Seribu?”“Jangan hubungkan diriku dengan makhluk satu itu!” hardik Jin Tangan Seribu tapi sambil membuang muka, memandang ke jurusan lain.“Kek, kau membuat aku tambah tidak mengerti. Dulu jelas-jelas sekali kau bilang kau di Perintah Jin Muka Seribu untuk membunuh kami bertiga dan mencari cincin berbatu hijau itu. Sikap dan ucapanmu membuat saya tidak tahu apa sebenarnya hubunganmu dengan Jin Muka Seribu...”Karena Jin Tangan Seribu tak memberikan jawaban maka Bintang melanjutkan ucapannya tadi. “Kek, ketahuilah jika ada kesempatan menemui Jin Muka Seribu saya akan membuat perhitungan dengan makhluk satu itu! Kalau tidak dia akan mendahului membunuh saya d
Dewi Awan Putih mengulum senyum yang membuat Bunda Dewi menjadi berdebar. “Hai kerabatku Dewi Awan Putih. Jangan kau berani berbuat menyalahi aturan. Kau pasti tahu betul apa yang terjadi dengan Ruhmintari, Dewi yang melanggar larangan dan melakukan perkawinan dengan Pahambalang hingga melahirkan seorang anak dijuluki Jin Patilandak. Apa kau ingin menerima nasib seperti Ruhmintari itu Hai kerabatku?”.“Ruhmintari...” ujar Dewi Awan Putih dengan suara perlahan dan bergetar. “Kerabat kita yang malang itu menemui ajal dengan perut pecah ketika melahirkan bayinya si Jatilandak. Dan kini dia mendekam menjadi patung batu akibat kutukan para Dewa serta Dewi. Tidak, Hai Bunda Dewi, aku tidak ingin mengalami nasib seperti Ruhmintari...”“Lalu siapakah yang hendak kau jelang di Negeri Jin?” tanya Bunda Dewi pula.“Terus terang, aku terbuai dan tergoda oleh mimpi...” kata Dewi Awan Putih.“Hai!”
Sesaat lagi binatang ini akan hinggap di lamping batu dekat air terjun tiba-tiba sepasang mata biru Dewi Awan Putih membesar. Wajahnya berubah.“Zeus, jangan turun ke tanah. Melayang ke balik batu sebelah sana. Aku melihat seseorang berusaha mendahului kita menemui pemuda di tepi telaga itu...”Di tepi telaga Ksatria Pengembara tampak heran ketika tiba-tiba Awan putih raksasa lenyap dari pemandangan. Lalu tahu-tahu sebuah makhluk berwarna coklat melesat di udara. Di lain kejap makhluk ini telah mendarat tujuh langkah di hadapannya.Sang makhluk ternyata adalah seekor kura-kura raksasa berwarna coklat yang memiliki dua sayap lebar hingga mampu melayang terbang di udara. Di atas punggung kura-kura raksasa ini duduk seorang gadis jelita berkulit putih yang rambutnya digulung di atas kepala. Pakaiannya terbuat dari kulit kayu berwarna jingga. Di dada dan pinggang dihias dengan kalungan bunga. Untuk beberapa lamanya gadis di atas kura-kura itu menatap taj
“Itu tidak mungkin, Ruhjelita. Dewi tidak mungkin kawin dengan manusia biasa. Aku tahu benar hal itu... Kalau itu sampai terjadi akibatnya sungguh luar biasa...”“Hai sahabat muda berambut panjang! Belum berbilang tahun kau berada di Negeri Jin ini, banyak hal yang sudah kau ketahui. Namun jangan kau menduga bahwa makhluk bernama Dewi itu selalu berada dalam kehidupan yang serba suci. Banyak di antara mereka yang tersesat dan melanggar pantangan. Salah satu di antaranya adalah Dewi yang kawin dengan seorang manusia biasa bernama Pahambalang hingga melahirkan seorang anak kutukan. Berbentuk manusia tapi tubuhnya penuh dengan duri seperti landak! Dan kurasa saat ini atau di masa mendatang semakin banyak para Dewi yang menjadi liar dan memilih jalan sesat karena tidak bisa bertahan terhadap tantangan gelora nafsu. Bukan mustahil kau sendiri bisa-bisa sudah menjadi incaran mereka. Hati-hatilah kau Hai Bintang...”Baru saja Ruhjelita selesai berucap
“Hentikan perkelahian!”Tapi tak satupun dari dua gadis cantik itu yang mau mendengar. Mau tak mau Ksatria Pengembara terpaksa melompat ke tengah kalangan perkelahian. Tapi dia ketiban nasib sial. Dia melintang di antara dua gadis itu pada saat Dewi Awan Putih lancarkan satu pukulan kilat ke arah Ruhjelita. Namun karena sosok Bintang melintang di depan maka hantaman Dewi Awan Putih mendarat telak di dada kanan sang Pendekar.Bukkkk!Bintang terjajar ke belakang sampai tiga langkah. Salah satu lututnya tertekuk dan tubuhnya hampir roboh kalau dia tidak cepat pergunakan tangan kanan untuk bertopang ke tanah. Dewi Awan Putih terpekik pucat ketika melihat apa yang terjadi. Saat itu justru tamparan tangan kanan Ruhjelita berkelebat ke depan.Plaaakkk!Tamparan keras mendarat di pipi kiri Dewi Awan Putih. Dewi bermata biru ini terpekik kesakitan. Darah mengucur di sudut kiri mulutnya. Meski menahan sakit akibat pukulan yang kesalahan menghant
DI TEPI telaga Dewi Awan Putih memandang ke langit, memperhatikan kura-kura raksasa melayang tinggi. Jika dituruti amarah hatinya ingin dia melesat mengejar lalu menyerang dengan serangan mematikan yakni sepasang sinar biru sakti yang bisa menyembur dari dua matanya. Namun kalau hanya akan ikut mencelakai Bintang, tak ada gunanya. Penuh kesal gadis ini akhirnya hanya bisa menundukkan kepala, tutup wajahnya dengan kedua tangan. Sesaat kemudian baru dia menyadari kalau dia masih memegang robekan lengan baju Bintang yang tadi diberikan untuk menyeka darah dari luka di sudut bibir akibat tamparan Ruhjelita.“Aku memukul tubuhnya. Pasti dia kesakitan sekali. Tapi dalam keadaan seperti itu dia masih ingat pada cidera yang kualami akibat tamparan gadis liar itu. Hai! Dia sengaja merobek lengan bajunya dan berusaha mengusap darah di sudut bibirku. Hai... Kalau saja aku bisa membaca isi hatinya...” Dewi Awan Putih tekapkan robekan baju Bintang itu ke wajahnya. Sepasang mat
Di lereng bukit yang sejuk dan sunyi, Ksatria Pengembara tegak berdiri sementara Ruhjelita enak saja membaringkan diri di tanah di atas rerumputan.Matanya tak lepas-lepasnya menatap wajah Bintang sedang senyum terus bermain di bibirnya yang merah. Sikapnya benar-benar menantang dan mengundang.“Kita sudah berada di lereng bukit Sekarang katakan apa yang hendak kau bicarakan?” bertanya Bintang.Ruhjelita balikkan tubuhnya. Menelungkup di tanah sambil dua tangannya ditopangkan ke dagu. Dari tempatnya berdiri Bintang bisa melihat sosok tubuh bagian atas si gadis, putih dan kencang. Dalam hati Ksatria Pengembara berkata. “Aku banyak mendengar sifat aneh gadis ini dari Maithatarun. Aku harus berhati-hati...”“Hai Bintang,” Ruhjelita berkata. “Kita hanya berdua di tempat ini. Ke manapun mata dilayangkan terbentang pemandangan indah. Mengapa harus buru-buru membicarakan segala urusan?”Bintang tersenyum. &l