“Pertama!” Pagandring membentak yang membuat pemuda gagah pencongkan mulut keheranan.
Dalam hati pemuda gagah itu memaki. “Sialan! Apa pertama yang dimaksudkan makhluk berkaca di jidatnya ini!”
“Pertama! Kita tidak bersahabat...!”
“Oh, begitu?! Tidak bersahabat boleh-boleh saja. Aku tidak rugi, kau juga mungkin tidak untung!”
“Kedua!”
“Kedua! Huh...! Apa yang kedua?!” pemuda gagah kembali pencongkan mulutnya.
“Kedua! Lekas tinggalkan tempat ini!”
“Walah! Aku baru saja sampai di sini! Sudah disuruh pergi! Apa-apaan ini! Memangnya tempat ini termasuk telaga dan air terjun itu milikmu?”
“Aku menghitung sampai tiga! Jika pada hitungan ke tiga kau tidak angkat kaki berarti kau minta mati!” hardik Pagandring.
Si Pemuda gagah hanya tersenyum-senyum simpul mendengar hal itu. “Kau jago berhitung rupanya! Coba ini bera
TIBA-TIBA Pagandring berdiri. Matanya menyala laksana api. Tangan kanannya bergerak mencabut kaca merah yang ada di keningnya. Mulutnya berkomat-kamit seperti membaca mantera. Kaca merah yang ada dalam genggamannya mengepulkan asap. Di saat yang sama tubuhnya berubah menjadi besar dan tinggi.“Astaga! Dia berubah menjadi dua kali lebih besar!” Bintang tercekat. Kalau tadi dia masih mengerahkan setengah saja dari tenaga dalamnya, kini dia alirkan seluruh Cakra Petir yang ada dalam tubuhnya ke tangan kanan. “Akan kuhantam selangkangannya! Masak-an tidak amblas!” kata Bintang dalam hati. Tangan kanannya segera diangkat ke atas. Ditarik ke belakang. Pada saat dia siap menghantam tiba-tiba dari balik air terjun berkelebat sesosok tubuh. Menyusul suara orang berseru.“Pagandring! Tinggalkan pemuda itu! Orang yang kita tunggu sudah datang!”Pagandring menyeringai buruk. “Kau masih untung anak muda! Kalau tidak ada urus
“Pagandring! Lipat gandakan tenaga dalammu! Rentang dua kaki! Lawan mengajak adu kekuatan. Kita berdua dia sendiri masak-an kalah!”Mendengar ucapan kakaknya itu Pagandring segera salurkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri kanan. Dua kaki bergeser merenggang. Saking hebatnya pengerahan tenaga dalam dua saudara kembar itu, sepasang kaki mereka sampai amblas setengah jengkal dan tanah yang mereka pijak kelihatan kepulkan asap!Di atas batu di tepi telaga kakek berjuluk Jin Tangan Seribu melihat bunga di atas air telaga bergoyang-goyang. Lalu perlahan-lahan dia merasakan pula dua kakinya mulai bergetar. Getaran itu turun ke batu yang dipijaknya! Jin Tangan Seribu adalah seorang tokoh disegani yang memiliki kesaktian tinggi serta tenaga dalam yang sudah mencapai puncaknya. Namun diserang gabungan dua kekuatan lawan begitu rupa tak urung dia mengalami kesulitan.Jin Tangan Seribu memandang ke arah bunga-bunga di atas permukaan telaga. “Sebentar
“Hai! Kalian masih seperti dulu saja. Serba kesusu, selalu sibuk hingga tidak bisa berbagi waktu dengan para teman.”Pagandrung gelengkan kepala. “Ketahuilah Hai Jin Tangan Seribu, kami datang membawa berita sedih. Jangan terkejut. Kami di Perintahkan untuk mengambil kepalamu!”Bintang tersentak kaget. Sebaliknya Jin Tangan Seribu tidak tampak terkejut. Malah dia tertawa bergelak. “Pagandrung! Sejak kapan kau pandai melawak!”“Kami tidak melawak!” membentak Pagandring. Sang adik memang punya sifat lekas naik darah.Tawa Jin Tangan Seribu langsung terputus. Wajahnya kini berubah. Tapi hatinya masih tidak percaya. Maka dia bertanya. “Kalau kalian tidak sedang membanyol, lalu siapakah yang memerintahkan kalian mengambil kepalaku?!”“Jin Muka Seribu!” jawab dua lelaki kembar itu berbarengan.Bintang menyumpah dalam hati begitu mendengar nama yang disebutkan dua lelaki kembar
Bintang tak tinggal diam. Sambil tekuk dua lututnya, dua telapak tangan didorong ke atas. Tapak Guntur dikerahkan oleh Bintang. Laksana disambar halilintar Sinar Darah Merah musnah bertaburan dengan mengeluarkan beberapa kali suara letusan yang menggetarkan seantero telaga.Blegar...! Blegar...!! Blegar...!!!Air terjun seolah berhenti mengalir untuk sepersekian kejapan mata! Di tepi telaga Pagandring terkapar dengan mata mendelik, mulut ternganga dan tubuh seperti lumpuh. Darah mengucur dari sela bibir dan hidungnya. Sebelumnya sewaktu bertarung melawan Bintang, orang ini sempat menderita luka di dalam. Bentrokan yang terjadi barusan membuka lukanya bertambah parah. Kalau saja bukan Pagandring mungkin saat itu sudah megap-megap meregang nyawa!Beberapa belas langkah di sebelah kanan telaga, Ksatria Pengembara terduduk di tanah dengan tubuh tergontai-gontai. Di pelupuk matanya dia seolah masih melihat sinar merah darah pukulan sakti yang dilepa
Dalam kesulitan seperti itu apalagi keadaannya tertelungkup membelakangi lawan, Bintang ambil keputusan untuk lepaskan pukulan Matahari Terik dengan tangan kiri sedang tangan kanan dengan tenaga dalam penuh dia hendak melepas Pukulan Rembulan Dingin.Di saat yang benar-benar menegangkan itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengekeh. Menyusul suara orang berucap. Dari suaranya jelas dia adalah seorang kakek-kakek.“Anak tolol! Percuma kau punya ilmu Amblas Bumi! Mengapa tidak pergunakan ilmu itu untuk selamatkan diri?!”Bintang terkejut setengah mati mendengar ucapan itu. Dia memang punya ilmu atau jurus yang barusan disebut orang yaitu warisan kakeknya, Dewa Tanpa Bayangan. Selama ini sangat jarang dikeluarkan karena memang mungkin belum menemukan keadaan yang cocok. Kini dia tidak mau berpikir lebih lama. Dua kakinya dihentakkan ketanah.Braaakkk! Bummmm!Kaki kanan Pagandring menghantam tanah hingga m
Pagandrung kertakkan rahang. Dia balikkan tubuh. Jin Tangan Seribu dilihatnya duduk bersila di atas sebuah batu besar di tepi telaga, menatap menyeringai ke arahnya. Ketika dia memperhatikan ternyata si kakek sebenarnya tidak duduk bersila di atas batu itu karena sosoknya menggantung di udara satu jengkal di atas batu! Dari apa yang disaksikannya itu sebenarnya Pagandrung menyadari bahwa ilmu dan tenaga dalam Jin Tangan Seribu berada jauh di atasnya. Namun karena sudah kepalang tanggung, untuk mundur begitu saja tentu dia merasa malu.“Jin Tangan Seribu, bicaramu sombong amat. Hendak mengajarkan tata cara bersopan santun padaku! Padahal sebelum kita dilahirkan adab sopan santun itu sudah ada di Negeri Jin ini! Karenanya biar aku saja yang memberi pelajaran padamu. Kau tak lebih dari seorang kacung yang tidak becus melakukan Perintah tuan besarnya! Jadi pantas kepalamu kucopot dari tubuhmu!”Jin Tangan Seribu tertawa mengekeh. “Ingin aku melihat bagaim
“Ah, sayang sekali. Menyesal aku tidak bertindak cepat. Orang yang menolongku itu mungkin sudah pergi tanpa aku sempat menemui dan mengucapkan terima kasih!”Bintang melihat ke arah air terjun. Di dalam telaga Jin Tangan Seribu masih asyik berkecimpung mandi. Bintang akhirnya dudukkan diri di bawah pohon besar. Belum lama duduk mendadak dia mendengar suara gemerisik semak belukar. Lalu ada suara orang menyanyi.“Na... na... na... Ni... ni... ni. Na... na... na... Ni... ni... ni.” “Eh, orang gila dari mana kesasar dan menyanyi di tempat ini?!” pikir pendekar kita sambil bangkit berdiri dan celingak-celinguk mencari orang yang menyanyi. Tapi dia tidak melihat siapa-siapa. “Aneh, suaranya begitu dekat tapi orangnya tidak kelihatan.” Bintang melangkah ke kiri, berputar ke kanan, membelok lagi ke kiri. Tetap saja dia tidak melihat siapa-siapa.“Na... na... na... Ni... ni... ni. Na... na... na. Ni... ni... ni.&rdqu
“Untung biji sapi. Bukan biji manusia! Ha... ha... ha!” Si kakek menyambung ucapannya tadi lalu tertawa gelak-gelak. “Sudah... sudah! Dari tadi kita tertawa saja! Ayo mulai menari! Payungi aku!”Si kakek tonggos melangkah lucu. Sesekali berjingkat-jingkat. Sambil tiada henti memukul tambur. Dari mulutnya terus menerus keluar nyanyian na-na-na ni-ni-ni. Pinggul dan pantatnya diogel-ogel, mulutnya senyum-senyum tonggos. Matanya sesekali dikedip-kedip genit. Lalu lidahnya dijulur-julur untuk membasahi bibir. Bintang yang memegang payung mau tak mau jadi melangkah mengikuti si kakek mengelilingi pohon keladi hutan. Sambil melangkah berputar-putar diam-diam Bintang menghitung.“Gila! Sudah dua ratus kali aku berputar mengikutinya mengelilingi pohon keladi!” kata Bintang dalam hati. Kakinya mulai pegal. Tangannya yang memegang payung terasa capai. Tapi di depannya si kakek terus saja menari. Semakin cepat dia menabuh tambur kecilnya semaki